[Hiatus] Random [Author's Boo...

By Healerellik

1.6K 198 900

Isinya hanyalah fanfict acak yang kemungkinan besar merupakan request/dare. Dan hak cipta kembali ke masing-m... More

The Fate
That's
Ganbatte!
Reply
The Magazine
Jealous
Dark Side
Truth Or Dare?
Our Stories
Truth Or Dare? (2)
Truth Or Dare? (2): Omake
Misunderstanding
Partner War
The Fate: A Rainbow After Rain
Your (Un)Secret Admirer
A Rain: Recycle
From One Mistake
The Camping Insident
My Song For You [Aisozou Version]
About Author [So OOT. Don't Read if You Won't]
My Song For You [Shuuna Version]
The New Things About You
Because You Are A Part Of Me
Let Me Take Care of You
[OOT] Maybe Interesting for You
[OOT] Ask Your Opinion
It's Not Only About Her
Say It!
Never End
Siblings?
Catoptric Tristesse
[OOT] Novelet Fanfiction
I'm Here For You
The New Things About You (2)

A Rain

118 11 126
By Healerellik


[Midorima Shintarou X Asakura Haruka]

.

Disclaimer: Tadatoshi Fujimaki and Asakura Haruka

Plot is mine.

And happy reading!

.

.

.

Come back, come back, come back to me

Like you would, you would, if this was a movie

Stand in the rain outside 'till I came out

(If This Was A Movie)

.

.

Langit sudah menangis kala jejak gadis itu baru saja menapaki lapangan sekolahnya. Hal itu membuat Asakura kembali menuju teras kelas. Batal pulang tentunya.

Benar saja. Hujan yang semakin menderas membuat gadis dengan rambut sepunggung itu memeluk dirinya erat. Sedikit menyesali dirinya yang tidak membawa jaket atau apapun yang bisa menghangatkan badan.

"Mau pulang bersamaku, nanodayo?"

Asakura menoleh dan mendapati lelaki jangkung tak jauh darinya. Mata emerald lelaki itu terbiaskan oleh uap air yang melapisi setipis kaca bergagang miliknya. Sebuah payung besar pun bertengger manis di tangannya.

"Bukan berarti aku mengkhawatirkanmu. Namun hari sudah semakin sore dan tak baik seorang gadis di luar, nanodayo."

Asakura mendecih pelan melihat ke-tsundere-an kouhai-nya itu. Walau dalam hati sebenarnya ia tersenyum hangat.

"Terima kasih, Midorima. Tapi aku tak butuh," ucap Asakura sengit. Dan ia sama saja. Kekerasan kepalanya mampu menutupi kebutuhannya saat ini.

Kontan saja mata Midorima Shintarou melebar sedikit. Sebelum akhirnya kembali ke bentuk semula dengan uap dingin yang mengiringinya.

"Ya sudah jika kau tidak mau, nanodayo!" ucapnya. Asakura hanya diam mendengar nada Midorima yang sarat akan kekesalan itu.

Eh? Kesal?

Asakura segera menatap punggung Midorima di bawah payung yang membawanya melintasi hujan. Ingin rasanya ia menghentikan langkah si shooter, meminta maaf, lalu mengiyakan tawaran yang mungkin sudah tak berlaku lagi itu.

Namun sayangnya, itu semua hanya akan terjadi di alam mimpi. Karena harga diri Asakura terlalu tinggi untuk melakukan itu. Alhasil, ia terus memandangi belokan di mana sosok Midorima telah lenyap.

Suara hujan belum juga merintik. Padahal, sudah nyaris tiga puluh menit ia berada di sana. Terlebih suasana yang semakin menggelap membuat Asakura merasa khawatir. Khawatir akan dirinya yang kan terkena omelan ibunya jika sampai di rumah nanti.

Bermodal hal itu, akhirnya Asakura mengambil langkah nekat. Ditaruhnya tas yang semula ia sampirkan di bahu, di atas kepalanya. Kemudian segera menerobos anak awan yang masih membuat barikade bernama hujan.

Asakura terus berlari. Melindungi kepalanya agar tak bernasib sama seperti anggota badannya yang mulai terekspos. Sampai akhirnya...

Tuk.

Brugh.

Kaki mungil itu tak sengaja menabrak batu di tengah jalan. Membuat dirinya segera terjerembab ke atas jalanan yang sudah tergenang kubangan itu.

Dinginnya suasana membuat dirinya bangkit perlahan. Namun hanya sampai terduduk. Karena tetiba saja ia menyadari bahwa kakinya terkilir. Di saat yang sama juga, ia melihat seragamnya yang sudah seperti tidak ada. Kini air hujan tak ubahnya sinar rontgen yang menampilkan bagian dalam tubuhnya. Membuatnya seketika risih walau hanya ia yang melihatnya.

Diam-diam ia merutuki dirinya yang telah menolak tawaran pemuda megane itu. jika saja ia menjawab sebaliknya, mungkin saat ini ia sudah duduk di kamarnya. Bergelung di dalam selimut hangat seraya menyesap coklat panas kesukaanya.

Sibuk dengan lamunannya membuat Asakura tak menyadari bahwa rintik hujan sudah berhenti. Namun di saat yang sama, suaranya masih terdengar. Lho, kok bisa?

Asakura mendongak dan mendapati seorang lelaki memayunginya. Walau dari bawah, ia sudah mengetahui siapa pemilik tubuh tegap itu. Ia mendesah kecil.

"Ternyata, bukan badanmu saja yang kecil. Namun pikiranmu juga, nanodayo."

Merutuki Midorima adalah yang dilakukan Asakura begitu mendengar hal tersebut. Dan dia tidak bisa melawan karena posisi mereka saat ini.

Midorima segera berjongkok. Menyejajarkan dirinya dengan Asakura yang masih belum beranjak. Kemudian memberi sebuah bungkusan.

"Pakai ini, nanodayo. Bukan berarti aku peduli padamu. Namun pakaianmu itu tak pantas bagi gadis, nanodayo."

Berkata seperti itu, Midorima pun memalingkan mukanya yang sudah memerah. Asakura yang mengerti tentang hal itu hanya diam sambil mengambil bungkusan yang langsung dibukanya itu. Sebuah jaket berwarna wortel pun menghiasi matanya.

Jangan bilang jika dia pulang hanya untuk mengambil jaket ini? Bukankah rumahnya berlawanan arah dengan sekolah? Batin Asakura perlahan seraya menenggelamkan tubuhnya dalam balutan benda itu.

Mereka berdua kemudian segera bangun lalu berjalan berdua. Entah penglihatannya yang salah atau bagaimana, namun Asakura melihat bahwa Midorima memberikannya ruang lebih di bawah payung itu. Terbukti dengan dirinya yang tidak disentuh sama sekali oleh hujan. Sementara sebelah bahu Midorima sudah termandikan.

Hanya orchestra gerimis hujan yang bersahutan dengan gemuruh kilat menghidupi langkah mereka. Tak ada oborolan sama sekali. Sementara di satu sisi, otak mereka sudah dipenuhi oleh berbagai pertanyaan yang ingin dilontarkan. Benar-benar percakapan sunyi.

"Itu rumahku!" Asakura menunjuk sebuah rumah yang terletak tepat di sebuah persimpangan. Midorima hanya mengangguk. Kemudian menyamakan derapnya dengan Asakura yang mempercepat diri.

"Etto ... Midorima, bagaimana kalau sekadar teh hangat dulu?" tawar Asakura begitu mereka berdua sudah berada di teras rumah keluarga Asakura.

Midorima hanya menggeleng pelan. Lalu tersenyum samar. "Ah, tidak perlu, nanodayo. Lain kali aku akan datang, nanodayo."

Asakura tersenyum kecil tanpa menyadari adanya makna lain di kalimat tersebut. Ia pun mengangguk ketika Midorima mengucapkan salam perpisahan. Dan ia tidak beranjak sampai akhirnya lelaki itu menghilang dari pandangannya.

"Tadaima."

Asakura bergegas mengganti sepatunya yang sudah kotor dengan sandal rumah tepat begitu sosok ibunya menuruni tangga. Ia pun tersenyum manis pada wanita itu.

"Haruka, siapa yang mengantarmu tadi?" tanya ibunya –Asakura Hanabi– ramah. Asakura pun dengan ringan menjawab, "Midorima-kun. Tepatnya Midorima Shintarou-kun, Bu."

Tak ada tanggapan membuat Asakura menoleh ke arah perempuan paruh baya itu. Dilihatnya sang ibu yang tersenyum ... getir?

"Apakah dia pacarmu?"

Pertanyaan itu membekukan langkah Asakura yang sudah di depan ibunya. Mukanya sedikit memerah karena itu. "Bukan. Dia hanya kouhai-ku," jawab Asakura dengan pelan.

"Kau menyukainya?"

Lagi, kalimat berbeda tanya namun satu makna itu membuat lidah si sulung Asakura itu kelu. Blushing yang terjadi pada wajahnya membuatnya semakin salah tingkah.

"Ya sudahlah. Lebih baik kau segera mandi. Pakai baju yang sudah Ibu siapkan di kamarmu. Bergegaslah. Kita akan makan di luar," ucap ibunya begitu Asakura tidak menjawab pertanyaan tersebut. Asakura hanya mengangguk tanpa sadar.

*****

Asakura sedikit terkejut ketika ternyata kedua orang tuanya membawanya ke sebuah restoran kelas atas. Terlebih ketika menyadari pakaiannya yang sedikit dewasa membuatnya merasa risih. Sebuah gaun berwarna pastel dengan tali spaghetti berhias bunga sakura berwarna senada. Juga sebuah highheels setinggi 5 cm sudah cukup untuk sedikit melambungkan usianya di mata yang memandang.

Perlahan, ia pun masuk digandeng oleh ibunya. Sementara ayahnya memimpin di depan. Sampai akhirnya mereka sampai di sebuah meja di pojokan yang sudah terisi oleh tiga orang dengan gaya yang menunjukkan status mereka.

"Hisashiburi, Kaze." Lelaki berambut abu itu berdiri untuk menyambut Asakura Kaze yang tak lain adalah ayah dari Asakura Haruka. Kaze pun tersenyum lalu merangkul sahabat lamanya itu dengan akrab.

"Hisashiburi, Ryo. Kau tak pernah berubah," jawab Kaze menimpali lelaki itu, Mayuzumi Ryo.

"Ahaha ... tak berubah namun umur bertambah!" guyonan Ryo pun disambut gelak tawa dari Kaze. Benar-benar menunjukkan hubungan mereka.

"Astaga ... aku lupa. Silahkan duduk Kaze, Hanabi, dan juga ..." Ryo menatap Asakura dengan sedikit heran. Sepertinya ia lupa akan identitas gadis itu.

"Asakura Haruka desu," jawab Asakura dengan sedikit menundukkan badannya.

"Hana-chan, apakah ia adalah Ruka-chan-ku yang dulu?" kini, giliran Mayuzumi Chinmi yang mengambil peran. Ia bangkit lalu menatap Asakura dengan pandangan kagum.

"Siapa lagi kalau bukan dia, Chin-chan?" seulas senyum disampirkan Hanabi pada istri sahabat suaminya itu. Dan selanjutnya, mereka pun saling memuji ala wanita yang tak kan ada habisnya.

Di tengah reuni khas orang berumur itu , Asakura hanya menatap heran pada pemuda berambut abu yang tengah fokus membaca sesuatu. Sama sekali tak terusik dan tak mau tahu akan acara yang terjadi di sekitarnya.

Light Novel kah? Lelaki seperti dia membaca LN? Aneh. Sama seperti si Tsunderima yang selalu membawa benda aneh di tang— tunggu. Kenapa aku malah memikirkan si Lumut itu?! Batin Asakura begitu melesakkan tubuhnya di antara kedua wanita itu.

Mereka pun memesan makanan di tengah obrolan yang terus berlanjut. Saling mengupas sejarah untuk dikorek lagi kenangannya. Dan Asakura hanya bisa tersenyum atau mengangguk begitu ia ditanya oleh empat orang itu.

"Oh ya, Chin-chan. Di mana Hiro-kun?" tanya Hanabi seraya menengok teman semasa kuliahnya itu.

"Chihiro ada di dekat ayahnya." Chinmi menunjuk jarak antara dirinya dan Ryo yang terisi oleh lelaki jangkung.

"Astaga. Gomen nasai. Aku sungguh tak melihatnya tadi," ucap Hanabi dengan sesal.

"Sepertinya hawa keberadaan Chihiro tetap seperti dulu. Tetap tipis. Benar kan, Ryo?" Kaze memberikan pendapatnya terhadap si Abu.

"Hahaha ... kau benar, Kaze. Bahkan kami masih kelimpungan mencarinya padahal ia ada di depan kami." Ryo menatap istrinya dengan senyum yang lebar.

Mereka kini mengganti bahan bullyan. Bila tadi Asakura direcoki oleh berbagai hal tentang dirinya –yang bahkan tidak ia tahu–, kini giliran pemuda bernama Mayuzumi Chihiro itu yang berkali-kali menaik turunkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan yang datang.

Tak lama setelah itu, makanan pesanan mereka pun datang. Seraya mengolah kudapan yang tersaji, mereka pun masih sibuk membicarakan apa yang bisa dibicarakan. Sampai akhirnya ...

"Oh ya. Ruka-chan sudah kelas berapa?"

"Kelas 3 SMA, Ba-san..." jawab Asakura pelan.

"Berarti Chihiro sudah tamat tahun lalu kan? Mereka sudah dewasa... " kali ini Kaze yang menimpali ucapan anaknya sendiri.

"Jadi, tunggu apalagi?" Ryo mengangkat suaranya seraya tersenyum miring.

"Ah ... ternyata saatnya sudah tiba ya?" Hanabi menyunggingkan senyum manisnya.

Asakura dan Mayuzumi kontan mengernyit. Jawaban yang saling menyahut itu benar-benar ambigu bagi mereka. Dewasa? Tunggu apalagi? Saatnya sudah tiba? Apa maksudnya?

"Uhm, Okaa-san. Apa yang kalian maksudkan?" tanya Mayuzumi memberanikan diri. Keempat orang tua itu pun tersenyum serentak dan memandang dua muda-mudi yang mereka apit.

"Begini, kami berempat sudah setuju jika Haruka dan Chihiro akan bertunangan."

Lidah Haruka mendadak kelu mendengar apa yang disampaikan oleh Ryo tadi. Bertunangan? Secepat ini?

"I-ibu ... mungkin kalian salah sangka." Asakura tak berani memandang kedua orang tuanya. Begitu juga dengan kedua Mayuzumi senior yang duduk tepat di depannya.

"Tidak, Sayang. Kami memang sudah merencanakan ini dari dulu. Bahkan dari kalian masih kecil, aku dan Chin-chan sudah ingin berbesan, lho ..." Hanabi merangkul Asakura yang diam mendengarkan semua itu. Namun sejatinya ia shock.

Diam-diam, diliriknya lelaki yang akan menjadi tunangannya tersebut. Tetap dingin dan wajah datarnya tak berubah sama sekali atas berita yang jelas-jelas mendadak itu. Apakah ia menerima pertunangan ini? Ah, kuso! Batinnya.

Tiba-tiba, semua makanan kelas atas itu terasa hambar di lidah Asakura.

*****

I know I can't take one more step towards you

Cause all that's waiting is regret

Don't you know I'm not your ghost anymore?

You lost the love, I loved the lost

(Jar of Heart)

.

.

"Shin-chan!" sapa seorang pemuda bersurai raven yang langsung merangkul akrab pemuda lumut di depannya. Walau tinggi mereka sudah berbeda jauh, namun sepertinya si Raven sama sekali tidak kesulitan untuk menggapai bahu sobat karibnya itu.

"Lepaskan tanganmu dariku, nanodayo." Midorima segera menepis tangan Takao Kazunari, si pemuda raven tersebut.

"Mengapa kau terlihat sedikit pucat pagi ini, Kawan?" tanya Takao setelah menelisik sedikit wajah berkacamata itu.

"Itu bukan urusanmu, nanodayo." Lagi, si Shooter itu tak menggubris sahabatnya. Dan langkahnya terhenti kala melihat seorang perempuan berambut hitam kemerahan yang tak jauh darinya. Niatnya yang semula hendak menegur diurungkan karena atmosfir di sekitar perempuan itu yang suram.

"Are? Bukannya itu Asakura-senpai?" ucap Takao. Entah ia menanyakan pada Midorima atau bergumam sendiri, namun itu dibalas oleh anggukan si Lumut.

"Oh ya, Shin-chan. Aku punya kabar baru," ujar Takao berusaha menarik minat pemuda megane itu. Dan dibalas dengan tubuh tegap itu yang seketika memutar langkah.

"Ini tentang Asakura-senpai ..."

Derap langkah Midorima terhenti tapi tidak berbalik. Di balik punggungnya, ia masih menunggu lanjutan kalimat itu.

"Shin-chan ... sampai kapan kau akan menyimpan perasaan itu kepada Asakura-senpai? Bukankah lebih baik jika diungkapkan?" ucap Takao hati-hati. Takut jika sisi buruk Midorima keluar.

"Apa maksudmu, nanodayo? Bukan berarti aku peduli. Namun kalimatmu itu masih perlu dipertanyakan, nanodayo." Di balik sana, Midorima menaikkan gagang kacamatanya yang sama sekali tidak bermasalah.

Takao mendesah demi melihat tingkah tsundere kawannya itu. "Ayolah Shin-chan! Kau tentu sangat mengerti perkataanku bukan?" ucap Takao sedikit parau. Seolah ia akan menderita jika Midorima tidak menjawab pertanyaannya.

Midorima terdiam. Benar-benar bungkam. Namun kemudian berujar lirih, "aku tidak pernah menyukainya, nanodayo."

Baiklah. Sepertinya Takao sudah emosi melihat kawannya itu yang sudah sangat jelas membohongi perasaannya sendiri. "Shin-chan! Aku serius! Berhenti bersikap menjengkelkan seperti itu!"

Midorima bingung melihat tingkah Takao yang benar-benar aneh tersebut. Sejak kapan Takao memaksanya untuk jujur akan perasaannya pada Asakura? Ada sesuatu yang tidak beres. Dan Midorima yakin akan hal itu.

"Aku juga serius, nanodayo! Bukan karena apa. Tapi aku benar-benar tidak pernah mencintai Asakura, nanodayo!" balasnya sengit.

Tak adanya jawaban membuat Midorima kemudian berbalik dan seketika membeku. Di sana, di belakang Takao, Asakura berdiri dengan menutup separuh mukanya. Tubuhnya bergetar seiring dengan matanya yang mengembun.

"Lalu, apa tujuannya kau memperlakukanku selama ini dengan baik, Midorima-kun?" lirih Asakura seraya berusaha mempertahankan suaranya agar tak berubah menjadi isak tangis.

"Asakura-senpai?!" kali ini, giliran Takao yang terkejut melihat kehadiran Asakura yang tentu saja tak diharapkan olehnya. Terlebih Midorima.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, Midorima-kun." Asakura memaksakan dirinya untuk sejajar dengan Takao. Yang otomatis lebih dekat dengan Midorima.

"A-aku ..."

"Dari awal aku sudah akan menanyakannya. Kukira, selama ini kita mempunyai perasaan yang sama. Tapi ternyata, hanya aku ya?" setipis senyum getir yang dirajut paksa oleh Asakura itu membuat Midorima semakin kehilangan kata-kata.

"Huft. Tak mengapa. Yang penting, aku sudah mengetahui perasaanmu padaku. Ya sudah. Jaa ne, Midorima-kun, Takao-kun." Berkata seperti itu, Asakura kemudian berbalik dan segera berlari entah kemana.

Hilangnya Asakura kembali membangkitkan sukma kedua pemuda itu yang sebelumnya terbang bebas. Mereka saling pandang. Seolah masih belum percaya akan apa yang terjadi.

"Shin-chan, mengapa kau seperti itu? Kau ... sudah kehilangan dia," ucap Takao tak berani menatap Midorima.

"Apa maksudmu aku kehilangan Asakura, nanodayo?" tanya Midorima pelan. Dirinya masih perlu menenangkan diri dari bayang Asakura yang benar-benar mengganggunya.

"Dia ... Asakura-senpai ... akan bertunangan, Shin-chan."

Mata Midorima melebar dengan sendirinya begitu telinganya menangkap seluruh kalimat Takao dengan sempurna.

"Bertunangan? Kau jangan bercanda, Takao!" refleks, Midorima pun menggenggam kerah seragam surai Raven itu dengan erat. Meminta kepastian akan berita yang ia harapkan tidak benar itu.

"Untuk apa aku bercanda dalam masalah seperti ini? Yang ada, kaulah yang bercanda dengan perasaanmu sendiri, Shin-chan!" Takao mengembalikan kalimat Midorima dengan telak. Benar-benar dingin untuk membekukan The Number One Shooter itu.

Midorima segera melepaskan genggamannya. Kemudian terdiam dan kembali memasang tampang dingin-tak peduli miliknya. "Darimana kau tahu itu, nanodayo?" tanyanya dengan intonasi suara yang nyaris tak terdengar.

"Dari ayahku. Tadi malam ketika ia akan pulang dari rapat di sebuah restoran, ia bertemu dengan kawan lamanya di sana. Ternyata, kawannya itu baru saja membicarakan perihal pertunangan anaknya dengan salah seorang karibnya," ucap Takao membeberkan informasi yang ia ketahui.

"Kau ingat Mayuzumi Chihiro yang merupakan anggota basket SMA Rakuzan? Ternyata dialah yang akan menjadi tunangan Asakura-senpai ..." lanjut Takao.

Hanya itu yang didengar oleh Midorima sebelum kakinya segera menapak dengan cepat meninggalkan Takao. Tentunya juga dengan meninggalkan rasa sakit di setiap jejaknya.

*****

Siapa yang bilang jika mencintai itu mudah? Jika kau tak bisa mengendalikannya, maka dalam sekejap mata ia akan menghancurkanmu dengan segala tipu dayanya yang manis itu. Cukup untuk membuat -setidaknya- sukmamu merasakan kegelapan yang amat.

Kalimat yang entah darimana didapat oleh Asakura itu semakin menghancurkan dirinya. Masih terngiang jelas di pikirannya pertemuan tadi malam. Pertemuan mendadak yang sama sekali tidak ia harapkan.

Bagaimana tidak? Keempat orang tua itu sudah seenaknya saja menentukan nasibnya. Dia akan segera terikat hubungan dengan orang yang tidak ia cintai tepat setelah kelulusan SMA. Itu artinya sebulan lagi.

Dan ia hanya bisa menganggukkan kepalanya. Bak boneka tali yang digerakkan sesuka hati oleh dalangnya. Padahal ia ingin memberontak. Ingin memberitahukan bahwa ia telah memiliki kekasih hati.

Namun sayangnya, kini giliran sosok pemegang kunci hatinya itu yang meluluhlantakkan dirinya dengan hebat. Masih ia ingat bagaimana tadi di sekolah ia tidak sengaja mendengar percakapan antara kedua sahabat itu. Percakapan yang –jika bisa– tidak ingin ia dengar seumur hidupnya.

Lalu, apa isi seluruh perbuatan dinginmu itu? Apakah hanya kebohongan yang ada di balik sikap tsundere-mu itu, Shintarou?! Sesal Asakura seraya menatap jaket orange yang belum ia kembalikan pada pemilik nama kecil yang sempat terlepas dari hatinya itu.

Seandainya jika ia bisa, bolehkah ia memutar ulang waktu ke masa sebelum ia mengenal Midorima Shintarou?

*****

Sudah sebulan berlalu. Upacara kelulusan kelas tiga sudah dilaksanakan minggu kemarin. Kini giliran siswa tahun pertama dan kedua yang mempersiapkan dirinya guna menghadapi ujian kenaikan kelas.

Tapi tidak bagi Midorima. Upacara kelulusan kemarin seolah adalah bom waktu bagi dirinya 'tuk kehilangan Asakura. Masih ia ingat bagaimana senyum gadis itu ketika dinobatkan sebagai siswi dengan nilai terbaik di SMA Shuutoku. Indah, namun pilu. Dan Midorima tahu penyebabnya.

Midorima hendak mematikan televisi ketika acara kesukaannya –Oha Asa– akan menampilkan peringkat zodiaknya hari ini. Entah apa yang dirasakan olehnya hingga acara kesukaannya itu terasa hambar.

"Kepada para Cancer, peruntungan kalian hari ini kurang memihak. Oleh karena itu, bawalah sesuatu berbentuk bunga Sakura sebagai lucky item kalian hari ini!"

Hanya hembusan napas yang diberikan Midorima dalam menanggapi acara itu. Mengapa hal itu bisa benar? Ah ... dan sialnya ia gagal fokus pada lucky item-nya kali ini. Membuat ingatannya kembali terlempar pada sosok mungil bermahkota hitam kemerahan itu. Sakura dan Asakura.

Mata emerald itu tertutup. Mencoba menetralkan setiap ruang di jantungnya yang terlalu kuat memompa darah. Tak tahukah mereka jika perbuatan mereka itu membuat sang Pemilik merasa gelisah?

Alhasil, setelah berkeliling sepagi itu, ia hanya bisa mendapatkan sebuah jepit rambut berbentuk bunga sakura yang memekar indah. Dimasukkannya benda itu ke dalam saku seragamnya sebelum akhirnya dijemput Takao menuju sekolah.

*****

Tell them I was happy

And my heart is broken

All my scars are open

Tell them what I hoped would be

Impossible

(Impossible)

.

.

Ujian hari ini adalah Biologi dan Kimia. Kedua mata pelajaran yang telah dikuasai oleh Midorima sampai ke akar-akarnya. Kedua mata pelajaran yang harus diampu jika ia tetap ingin menjadi dokter di masa mendatang.

Namun, jangankan sampai akar, memetik daunnya pun ia tidak bisa. 50 soal Biologi di depannya tak digubris sama sekali. Dibiarkan menganggur seolah mereka bisa saling centang sendiri. Dan salahkan pikiran Midorima yang selalu teringat akan bayang gadis yang secara tak sengaja telah ia hancurkan.

"Kuso!" umpat Midorima di atas peralatan sekolah itu. Segera ia menangkupkan kepalanya di atas meja. Mencoba memaksa neuron otaknya untuk berhenti berhubungan.

Seisi kelas menatap heran pada lelaki itu. Mengapa sang Bintang Kelas terlihat frustrasi di mata pelajaran kesukaannya? Padahal, dengan otak jeniusnya itu, seharusnya semua soal itu hanyalah kacang.

Namun tidak bagi Takao. Tatapan prihatin ia tujukan kepada pemilik punggung tegap itu. Diam-diam ia menyesali perbuatannya yang memberitahukan Midorima, bahwa hari ini adalah pertunangan Asakura dan Mayuzumi.

"Gomen nasai, Shin-chan..." lirih Takao berusaha 'tuk didengar oleh sosok yang tiba-tiba mengumpulkan lembar jawabannya itu dengan tergesa-gesa. Lalu segera menghilang di balik pintu kelas.

*****

Suara biola mengalunkan nada menyayat yang sudah dipatenkan oleh Bethoven terdengar jelas di penjuru ruangan itu. Dan gesekan demi gesekan itu seolah menyayat hati Asakura yang sudah tak pada tempatnya.

Di sini, dengan dibalut gaun berwarna hijau lembut, ia dipaksa harus tersenyum di tengah kerumunan orang yang mengelilinginya. Harus memberikan kesan bahagia pada pertunangan yang tak pernah ia mimpikan itu. Menutupi sukmanya yang sudah lelah menangis pilu.

Di sampingnya ada Mayuzumi yang menggunakan setelan jas berwarna hitam pekat. Sangat cocok dengan rambut abunya yang tampak bersinar. Namun raut wajahnya tak berubah. Tetap dingin dan minim ekspresi.

Asakura kira, hanya sampai di situ deritanya. Ternyata, ia juga diminta untuk kuliah di tempat Mayuzumi menimba ilmu. Bahkan jurusannya pun jika bisa harus sama. Alasannya? Sudah tentu agar mereka bisa lebih dekat dan saling mengenal satu sama lain.

Ingin rasanya Asakura memberontak. Cukup tentang pertunangan ini saja yang direncanakan. Bukan tentang masa depan ilmunya yang bahkan sudah disiapkan jauh-jauh hari. Namun, melihat binar bahagia pada raut renta kedua orang tuanya, membuatnya seketika mengibarkan bendera putih.

Dan acara puncak pun tiba. Mayuzumi Ryo meminta kepada seluruh hadirin untuk berkumpul di tengah ruangan. Meminta kesediaan mereka untuk menjadi saksi dari acara sakral itu. Dan tentu saja semuanya tersenyum mengiyakan.

Aku ingin kau melihat semua ini, Shintarou. Agar kau tahu, aku akan segera melupakanmu dari kehidupanku. Batin Asakura begitu tubuhnya bergerak sendiri untuk mengulurkan tangan pada Mayuzumi.

Dan, Asakura pun menggigit bibirnya kala jemari manisnya sudah dihiasi selingkar cincin berwarna putih. Gemuruh tepuk tangan pun membiaskan tubuhnya yang bergetar menahan sesak. Ah, semuanya sudah terlam—

"Aku tidak menerima pertunangan ini!"

Sebuah suara baritone mematikan ruangan tersebut. Semuanya mendadak bisu. Saling melirik guna mencari asal kalimat yang seharusnya tidak terlontar di acara bahagia itu.

Dan ingin rasanya Asakura menangis haru kala ia melihat sosok berkacamata yang mendekat ke arahnya. Dengan balutan jas formal berwarna putih, tubuh itu melewati kerumunan orang yang sigap memberikannya jalan menuju tokoh utama acara itu.

Semua tak akan menyangka jika pemuda di depan mereka ini masih kelas dua SMA. Penampilannya merubah umurnya menjadi lebih dewasa. Dan diam-diam, Asakura menyukainya.

"Hei Anak Muda! Apa maksud ucapanmu itu, huh?!" sambar Kaze menimpali ucapan Midorima. Mimpi apa ia semalam hingga pertunangan putrinya seperti ini?

"Maafkan kelancangan saya, Tuan. Saya Midorima Shintarou. Saya ke sini ingin mengambil kekasih saya, Asakura Haruka."

Dinginnya suara itu membuat satu ruangan tercekat. Benar-benar kenekatan yang luar biasa. Dan itu membuat Kaze serta Ryo menatap sangar pada Midorima.

Midorima hanya terdiam. Sama sekali tak memedulikan tatapan yang akan membunuhnya itu. Ia hanya menatap tak suka pada tangan kanan Asakura yang sudah memiliki tanda pengikat. Perlahan, ia pun mendekati sepasang sejoli itu.

Raut wajah Mayuzumi pun sedikit demi sedikit berubah ketika dengan beraninya Midorima menyentuh tangan Asakura. Mengangkatnya, lalu dengan sigap membuang cincin berhiaskan permata itu.

Kontan semuanya menahan napas. Tindakan Midorima yang sudah sangat berbahaya itu membuat mereka sedikit ketakutan. Terlebih ketika dengan lembut Midorima menarik pinggang Asakura ke dalam pelukannya. Lalu menunduk dan mengulum bibir gadis itu sama lembutnya.

Asakura shock seketika melihat tindakan di luar batas itu. Dari tadi ia hanya bisa berharap semuanya kan baik-baik saja. Namun sepertinya itu pupus seiring dengan lumatan Midorima pada bibirnya. Terutama ketika ia menangkap keseriusan pada sorot emerald itu.

Ciuman mereka terlepas. Setipis senyum Midorima berikan pada gadis itu. Sebelum akhirnya menggandeng tangan tersebut meninggalkan ruangan. Dan anehnya, tak ada yang memprotes atau menghentikan hal tersebut. Benar-benar kejutan yang luar biasa.

Namun belum saja mereka menghilang, Midorima sudah terlebih dahulu terhuyung akibat tinju yang tiba-tiba Mayuzumi layangkan padanya. Sontak semua wanita –terutama Asakura– memekik tertahan.

"Apa maksudmu dengan semua ini, Bocah?!" bentak Mayuzumi dengan wajah datar. Namun intonasi suaranya yang naik meruntuhkan raut tersebut.

"Seperti yang kau lihat. Aku hendak mengambil Asakura kembali," balas Midorima tak kalah dinginnya. Ia pun menyeka sedikit darah yang keluar dari ujung bibirnya. Tapi itu tidak berpengaruh sama sekali terhadap tekadnya.

"Memangnya apa hakmu hingga berani melakukan itu?!" kali ini, Ryo yang mengeluarkan suara. Di sampingnya, Chinmi berusaha untuk menjaga ketenangan suaminya itu.

"Aku adalah kekasih Asakura."

"Tapi Haruka tidak memiliki kekasih! Aku sendiri yang menanyakannya waktu itu," bantah Hanabi.

"Aku memang menjawab dia hanya kouhai-ku, Bu. Namun, aku tidak menjawab pertanyaan selanjutnya bukan? Waktu Ibu menanyakan tentang perasaanku pada Midorima-kun," cicit Asakura takut. Jujur. Ia sama sekali tak ingin membantah ibunya. Namun kondisi yang memaksanya melakukan hal itu.

Bugh!

Lagi, sebuah tinju mendarat di tubuh Midorima. Kali ini, di bagian perutnya. Membuat Midorima segera mengaduh terduduk. Semua tercekat. Karena yang melakukan hal itu adalah Midorima Shutarou. Ayah dari lelaki itu sendiri.

"Apakah ini yang sudah kuajarkan padamu, Shintarou?! Mengapa kau menjadi berengsek seperti ini?!" tanyanya dingin. Namun sorot tajam dari manic matanya membuat Midorima terdiam. Melihat itu, Shutarou pun naik pitam dan kembali mengepalkan tangannya.

"Ji-san! Berhenti!!" pekik Asakura begitu melihat tangan Shutarou yang akan kembali menghujam Midorima. Refleks, ia pun segera melindungi Midorima dengan duduk di antara kedua lelaki itu. Asakura memejamkan mata. Bersiap menerima rasa sakit yang ternyata tak pernah terjadi.

"Haruka, mengapa kau melindunginya?!" tanya Kaze pelan namun tajam. Asakura terdiam sebentar. Sebelum akhirnya memantapkan diri tuk menjawab pertanyaan itu.

"Karena aku mencintainya, Ayah. Aku mencintai Midorima-kun dari dulu. Dan juga, maaf. Aku tidak pernah dan tidak akan menerima pertunangan ini. Untuk apa aku melakukannya jika bukan bersama orang yang kucintai?" jawab Asakura berusaha tuk setenang mungkin. Dapat ia rasakan air matanya yang mengalir seiring dengan perasaannya tersebut. Akhirnya ia bisa mengungkapkan semua keluh kesahnya.

"Ruka-chan ..." paraunya suara Chinmi ditanggapi oleh senyuman lembut Asakura.

"Mayuzumi-basan, maafkan aku. Aku tidak bisa mewujudkan keinginanmu itu. Hontou sumimasen," ucap Asakura seraya menekuk tubuhnya di depan para orang tua itu.

Dengan susah payah, ia kemudian segera membantu Midorima untuk berdiri. Midorima tersenyum kepadanya. Permintaan maaf sekaligus terima kasih. Asakura pun mengangguk samar. Tangan mereka berdua kemudian bertaut. Lalu bersama-sama menerobos hujan lebat di luar sana.

*****

Make me your Aphrodite

Make me your one and only

Don't make me,

Don't make me your enemy

Your enemy

(Dark Horse)

.

.

Langkah mereka berhenti di bawah hujan. Tepatnya di sebuah taman yang berbeda kompleks dari gedung tadi. Mereka terdiam. Benar-benar kejadian yang luar biasa.

"Aho! Apa yang telah kau perbuat, Baka?!" teriak Asakura menyaingi gelegar hujan. Midorima hanya terdiam mendengar umpatan itu.

"Mengapa kau melakukan ini?! Padahal jelas-jelas kau sendiri yang mengatakan tidak pernah mencintaiku! Lalu apa yang alasanmu melakukan ini, Temee?!" Asakura lost control. Tangannya pun memukul dada bidang di depannya itu berulang kali. Melampiaskan berbagai perasaan yang bercampur hebat di dadanya.

Midorima tidak menyela. Apalagi menghentikan Asakura yang sudah kelelahan dan kedinginan di bawah hujan. Ia hanya melepas jasnya, memakaikannya pada tubuh gadis itu, lalu mendekap si Mungil itu dengan erat. Seolah tak akan melepaskannya lagi.

Asakura semakin terisak diperlakukan seperti itu. Dalam hati ia semakin menyumpahi si Megane yang bahkan merubah gaya bicaranya pada moment seperti itu. Dan itu benar-benar menyakitkan.

"Dengarkan aku, Asakura."

Asakura mendongak dan menyaksikan senyuman serta tatapan teduh dari lelaki itu. Menentramkan, sekaligus menyiksa dirinya.

"Terserah kau mau mengataiku apapun, nanodayo. Tapi ketahuilah. Aku pun menyimpan rasa yang sama denganmu, Asakura. Jadi, mengertilah akan tindakanku yang tadi itu, nanodayo," ucap Midorima dengan pelan.

"Dan untuk pernyataan itu, kau tahu bagaimana sifatku. Jadi, seharusnya kau pun mengetahui maksud ucapan "Aku tidak mencintai Asakura" itu, nanodayo," Sambungnya dengan intonasi yang semakin melembut.

Asakura hanya terdiam. Batinnya yang kacau memang bisa menangkap maksud Midorima. Namun hatinya masih memikirkan akibat dari perbuatan Midorima barusan.

"Aku akan menjelaskan semuanya pada mereka," ucap Midorima seolah tahu pikiran Asakura. Ia kemudian merogoh saku celananya. Lalu mengeluarkan lucky item-nya hari ini.

"Seperti ini lebih baik, nanodayo," ujar Midorima seraya menjepitkan benda itu pada rambut Asakura. Terlihat manis. Semanis senyum Asakura setelah itu.

Di bawah hujan, mereka kembali bertautan. Kali ini dengan perasaan yang sama. Saling mengisi daya akan sukma yang sudah terhubung dari sekian lama itu.

"Aishiteru, Haruka," bisik Midorima kembali. Asakura hanya tersenyum mendengar Midorima yang menyebutnya dengan nama kecil itu. Ah, rasanya berbeda.

Dan, anggap saja hujan hari itu adalah tangisan haru dari langit untuk mereka berdua. Tangisan haru untuk berlembar cerita baru, yang tak kan lekang oleh waktu.

.

.

.

And the ending, akhirnya nih fanfict publish juga. Setelah dua hari ketar-ketir gegara laptop yang masih tergadai, akhirnya aku bisa menyelesaikannya.

Dan juga, maaf yang sebesar-besarnya karena mungkin nih fanfict gak sesuai dengan harapan OC yang meminta genre angst. Tapi, Author hanya bisa sampai di sini. Jadi, Author juga sudah siap untuk tradefic besok.

Btw, Selamat Hari Raya Idul Fitri buat Readers yang melaksanakan ^^ Mohon maaf lahir dan batin ya. Terutama buat para OC yang sudah cukup sering saya nistakan. Baik yang sudah dipublish maupun yang dalam berbentuk drafts.

See you next part!

Continue Reading

You'll Also Like

1M 48.6K 36
Anyelir Dayana sangat mencintai Biru Nevandra, namun sebaliknya Biru terlihat tidak mencintainya, padahal hubungan mereka sudah berjalan 6 tahu laman...
320K 20.7K 38
"kita akan berkeliling wisata nanti saat hesa sudah besar dan papa yang akan menjadi bos di perusahaan agar bisa meliburkan diri mengajak hesa dan ma...
810K 72.2K 129
Takdir kita Tuhan yang tulis, jadi mari jalani hidup seperti seharusnya.
110K 6.4K 41
𝐁𝐫𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫𝐬𝐡𝐢𝐩 [ 𝗙𝗢𝗟𝗟𝗢𝗪 𝗗𝗨𝗟𝗨 𝗦𝗘𝗕𝗘𝗟𝗨𝗠 𝗠𝗘𝗠𝗕𝗔𝗖𝗔 ] Leo, seorang anak kecil berusia 5 tahun yang tinggal bersama seorang k...