Naga Angin 1

By bordineo

2.2K 84 12

Sakti diangkat menjadi prajurit Laskar Naga Angin, menggantikan Indraja sebagai Naga Timur. Segera dia menyad... More

1. Di Besalen
2. Menuju Hutan Besar
4. Kedatangan
5. Persiapan
6. Gelagat
7. Pertemuan di Penghujung Hari
Telah Terbit, Novel "Naga Angin 1"
[Pengumuman] Revisi Novel Pamor: Perubahan Nama dan Lainnya
Promo Merdeka!

3. Soma Bersaudara

287 11 2
By bordineo

SAKTI MASIH sempat berkelit dari sambaran berbahaya yang mengincar lehernya. Kemudian dia melompat mundur.

“Apa-apaan itu tadi?” semburnya. Dan begitu dia lihat siapa yang menyerang, dia menambahkan, “Kenapa pula kau ada di sini?”

Adalah Narasoma yang barusan menyergap Sakti, yang sekarang menyeringai menatap Sakti.

“Mereka di sini untuk membantu latihanmu,” Indraja yang menjawab.

“Mereka?” Sakti mengedarkan pandang. Dia mendapati Sutasoma tengah berdiri tenang sambil bersedekap agak jauh letaknya, di depan sebuah pondok yang menandakan markas Laskar Naga Angin. Sutasoma dan Narasoma. Soma Bersaudara. Mereka berdua memang selalu bersama.

“Aku tidak butuh bantuan dari orang sembrono.” Sakti menolak. Menolak Narasoma tepatnya. Bisa remuk badannya jika harus menghadapi pemuda liar seperti itu tiap kali latih tanding.

“Siapa yang kau bilang sembrono, ha?” Nyaris seketika, Narasoma menanggapi dengan nada tinggi. Tersindir rupanya dia.

Sakti mengabaikan Narasoma.

“Untuk sementara saja,” Indraja menyela, juga mengabaikan Narasoma.

“Oi, apa-apaan ini?” Narasoma tidak terima diabaikan.

Namun, baik Sakti maupun Indraja terus berbincang tanpa melibatkan Narasoma, seolah-olah Narasoma hanyalah lalat kecil yang terbang di sekitar mereka. Sedikit mengganggu, tetapi sudah sepatutnya diabaikan.

“Jadi nanti Narasoma akan menggantikanku, menjadi lawan tandingmu,” kata Indraja.

“Memang ada apa denganmu sampai harus diganti?”

“Untuk sekarang, aku ada urusan mendesak. Kebetulan sekali Empu Sambara juga tidak bisa melatih sampai selesai Pesta Laut.”

“Dan Sutasoma yang akan menggantikan Empu Sambara, begitu?”

Indraja mengangguk, lalu berbalik pergi.

“Hoi!” Sakti berseru, mencoba menghentikan Indraja. Namun percuma. Indraja langsung melesat cepat dan menghilang di balik lebatnya hutan. “Sialan! Seenaknya saja.”

Sakti mengalihkan perhatian pada Soma Bersaudara. Narasoma menyambutnya dengan seringai dan tangan terkepal. Nyata terlihat Narasoma tidak sabar membalas Sakti yang telah mengabaikan dirinya, dengan kekerasan pastinya. Sakti beralih ke yang tua. Sikap Sutasoma tidak banyak berubah. Sorot matanya yang teduh sungguh menenteramkan. Menjadi penawar keliaran sang adik.

“Kita lihat sejauh mana kemampuanmu.” Sutasoma buka suara.

Narasoma menidaklanjuti perkataan kakaknya dengan menghunus pamor. Tidak tanggung-tanggung, dia langsung menghunus kedua pamornya yang berupa badik. Sementara itu, Sakti serta-merta menarik kaki kanannya ke belakang, pasang kuda-kuda.

Narasoma terkenal sebagai pengguna dua pamor sekaligus dalam bertarung. Namun yang menjadi ciri khasnya adalah cara dia menggenggam pamor yang nyeleneh. Narasoma menggenggam kedua badiknya seperti menggenggam kerambit. Bahkan gagang badiknya dia buat seperti gagang kerambit dengan adanya lubang di ujung gagang.

Pada hakikatnya, senjata berpamor—badik maupun keris—adalah senjata sejenis belati, yang lebih diperuntukkan untuk menusuk daripada mengiris. Dengan cara genggam yang kebalikan dari biasanya, Narasoma bisa dibilang membalikkan sifat senjata itu. Kedua pamor Narasoma tidak lagi menjadi perpanjangan tangannya untuk menikam lawan, tetapi berubah menjadi senjata penyayat. Sakti sampai pada kesimpulan bahwa serangan Narasoma akan melibatkan kecepatan tinggi untuk memperbesar dampak sayatan. Yah, ini sesuai benar dengan tabiat Narasoma yang menggebu-gebu.

Selain itu, pilihan Narasoma yang menggunakan badik juga terkait dengan cara genggamnya. Cara genggam Narasoma membuat senjatanya sejajar dengan lengannya, dan ketika beradu dengan senjata lawan, besar kemungkinan tekanan yang terjadi membuat senjatanya mengenai lengannya sendiri. Sakti pikir, itulah sebabnya Narasoma menggunakan badik yang hanya bermata satu, untuk menghindari melukai diri sendiri.

Tampaknya Narasoma benar-benar bersungguh-sungguh. Pemuda beringas itu menggunakan tenaga dalam. Kini kedua pamornya menguarkan hawa panas yang menggelora.

“He, he, he, tidak perlu sampai sejauh itu!” tegur Sakti.

“Sudah kubilang, aku ingin melihat sejauh mana kemampuanmu,” kata Sutasoma. “Ladenilah adikku dengan segenap kemampuanmu.”

Kemudian Narasoma menambahi, “Kalau kau menahan diri, maka kau tidak akan punya kesempatan menang di semua pertarungan yang kau hadapi.” Narasoma mengakhiri perkataannya dengan menghambur ke arah Sakti.

Sangat cepat. Narasoma sudah mencapai Sakti sebelum Sakti sempat meraih senjata. Sakti mengelak lalu melompat mundur mencari kesempatan menghunus pamornya. Narasoma terus mengejar, tidak mau memberi jeda barang satu bentar pun kepada Sakti.

Suara berdenting terdengar disertai percikan api yang lebih banyak daripada benturan logam biasa. Sakti, yang telah menghunus Keris Naga Angin miliknya, langsung menyalurkan tenaga dalam untuk menangkis serangan Narasoma. Tanpa menggunakan tenaga dalam, dia tidak yakin mampu menahan serangan Narasoma yang sangat bertenaga dan menjadi lebih bertenaga lagi berkat penyaluran tenaga dalam.

Narasoma tersenyum meski serangannya berhasil ditangkis Sakti. Sejurus kemudian Sakti tersentak. Dia menyadari arti dari senyuman Narasoma. Menyadari kelengahannya.

Sakti yang terlanjur memusatkan seluruh daya upaya untuk menahan serangan Narasoma lengah akan keberadaan badik Narasoma di tangan satunya. Maka pontang-pantinglah Sakti menahan serangan Narasoma. Berikutnya, Sakti terjebak di bawah hujan serangan Narasoma yang tanpa henti.

Sakti semakin terpojok. Dia benar-benar kesulitan menghadapi lawan yang menggunakan dua senjata sekaligus. Jika terus begini, tinggal menunggu waktu saja serangan Narasoma mengenai dirinya. Dia harus mencari akal!

Yang pertama kali terlintas di kepala Sakti adalah melucuti salah satu senjata Narasoma. Tidak ada waktu lagi untuk mencari jalan lain. Dia langsung mencoba menangkap lengan Narasoma dengan tangan kirinya. Akan tetapi, Narasoma yang menyadari perubahan geraknya menutup celah dengan menjadikan badiknya sebagai perisai. Sakti mengurungkan niat.

Narasoma menyeringai, merasa telah menang. Namun seringainya segera hilang ketika melihat Sakti balas menyeringai.

Dalam sekejap mata, Sakti merogoh pisau dari balik baju dan langsung menggunakannya. Memang itu hanyalah pisau biasa, yang tidak akan mampu menandingi kehebatan pamor bertenaga dalam. Namun dengannya, Sakti jadi punya kesempatan untuk keluar dari desakan Narasoma.

Sebenarnya, selain Keris Naga Angin yang menjadi senjata utama sekaligus andalan, di balik bajunya prajurit Naga Angin biasanya juga membawa senjata lainnya—paling sering pisau dan kerambit. Memang tidak ada ketentuan khusus mengenai hal ini. Namun, prajurit Naga Angin tetaplah seorang pendekar. Dan seorang pendekar yang baik sudah seharusnya selalu siap untuk segalanya.

Pisau itu sendiri dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dipakai dan serbaguna. Mengiris, menusuk, bahkan dilempar dan menjadi pisau lempar pun bisa. Karena luas penggunaannya, prajurit Naga Angin setidaknya membawa lima buah pisau di balik bajunya.

Sakti bersiap melakukan serangan balik saat terdengar seruan dari Sutasoma.

“Cukup!”

Narasoma langsung melompat mundur. “Cih.”

Sementara itu, Sakti menarik kembali tenaga dalam yang dia salurkan, lantas menyarungkan kerisnya. Tidak lupa dia simpan pisaunya juga. Sesudah itu, dia tercenung.

“Sesuai yang Indraja katakan, kepekaanmu memang luar biasa. Bisa dianggap sebagai linuwih,” Sutasoma memberikan pujiannya.

Sakti tidak menanggapi apa-apa. Perhatiannya tertuju pada sekeliling. Tempat itu menjadi berbeda dari sebelumnya. Pondok yang menjadi penanda markas Laskar Naga Angin menghilang dari pandangan. Sekarang mereka berada di tengah-tengah reruntuhan pemukiman yang telah lama ditinggalkan.

Sebenarnya, sesaat sebelum pertarungan Sakti dengan Narasoma berakhir, Sutasoma menanamkan sirep di wilayah itu. Sakti bisa merasainya.

“Jadi dari awal ini maksudmu?” tanya Sakti.

“Ya,” jawab Sutasoma. Sejak awal dia memang tidak bermaksud melihat sikap Sakti. Kemampuan lain yang ingin dia lihat. “Soal tata gerak silat, semua dasar-dasarnya tentu sudah diajarkan kepadamu. Perkembangannya tinggal pada usahamu saja. Demikian pula soal penggunaan tenaga dalam. Kau sudah cukup mahir. Sementara soal sirep, kudengar kau mengalami kesulitan.”

“Tidak perlu kau tanyakan lagi. Kau pasti sudah mendengar semuanya dari Indraja.”

Dua bulan pertama menjadi prajurit Naga Angin, Sakti dilatih sikapnya agar mampu bergerak selayaknya prajurit Naga Angin: secepat angin, sesunyi bayangan. Tidak ada kendala berarti yang dia temui. Semua berkat olah tubuh selama di tingkat awal. Dua bulan berikutnya dia dilatih cara menggunakan tenaga dalam. Juga tidak ada kendala. Bahkan dia dipuji Empu Sambara lantaran pengendalian tenaga dalamnya begitu halus, setara pendekar yang sudah ahli. Dua bulan berikutnya lagi—hingga sekarang, Sakti diajari ilmu sirep. Berbeda dengan dua ajaran sebelumnya, Sakti kesulitan dalam menguasai ilmu ini.

Sutasoma tersenyum. “Aku hanya menegaskan.” Senyumnya dengan cepat menghilang.

Tanpa dinyana Sutasoma menyerang Sakti. Tangannya menusuk cepat dengan dua jari teracung. Sebuah totokan. Sakti berusaha menangkis. Namun Sakti harus mengakui keunggulan Sutasoma yang punya kegesitan yang berbeda dengan Narasoma. Lengan kirinya, yang dia maksudkan untuk menangkis, terkena totokan. Akibatnya, tangan kirinya lemas selemas tangan lumpuh.

Sutasoma melanjutkan serangannya. Di lain pihak, Sakti sudah bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Di saat terakhir, Sutasoma menghentikan serangan. Kedua jarinya berhenti tepat di depan mata Sakti.

“Dan sudah kuduga, kau pun tak tahu apa-apa soal totok,” kata Sutasoma dengan tangan masih teracung dan pandangan mata yang tajam. Ketenangan pemuda itu terasa dingin dan tanpa perasaan.

Sutasoma menurunkan tangannya dan menarik diri. Tatapan matanya melembut seperti sedia kala.

Langsung terdengar embusan napas lega dari Sakti. Dia seka keringat dingin di wajahnya yang sempat-sempatnya mengucur. Air tenang memang menghanyutkan.

Sejurus kemudian meledaklah tawa Narasoma. Cukup lama adik kembar Sutasoma itu terpingkal-pingkal.

“Apa kakak lihat…,” Narasoma berhenti, terengah-engah akibat tawanya, “tampangnya tadi… sewaktu mati kutu?” Narasoma kembali tertawa sembari menunjuk-nunjuk Sakti.

“Kembar sialan!” Sakti menyumpah. “Kembar tidak ada miripnya sama sekali.”

“Tidak usah hiraukan dia,” kata Sutasoma. Tersenyum. Entah Narasoma, entah Sakti yang dia senyumi. “Sekarang….”

“Lepaskan dulu totokan ini,”sela Sakti. Bahu kirinya bergerak sedikit, sedangkan sekujur lengan kirinya hanya terkulai, padahal dia bermaksud merentangkan tangan kirinya itu.

“Lepaskan sendiri.” Sutasoma bersedekap.

“Tidak.”

“Tidak apa? Tidak bisa?”

“Terserah. Lepaskan saja ini!” Sakti hampir membentak.

“Kalau kau tidak mau, nanti juga akan lepas sendiri.”

“Seharian seperti ini?” Suara Sakti semakin keras.

“Lebih dari sehari,” Sutasoma meralat. “Dalam pada itu, cobalah melepas totokanku.”

Lebih dari sehari? Apa-apaan? Sakti mendengus. Dia tidak mau membuang-buang waktu. Lagi pula jika totokan Sutasoma bisa bertahan lebih dari sehari, itu bukan totokan biasa. Totok Dalam. Totokan yang menggunakan tenaga dalam. Jelas dia tidak akan mampu melepaskan totokan ini.

“Apa kau cuma ingin pamer?” tanya Sakti.

“Maksudmu?” Sutasoma bertanya balik.

“Atau merisakku?”

Sutasoma diam.

“Jelas sekali totokanmu bukan totokan biasa. Untukku yang nyaris buta akan ilmu ini, mana mungkin bisa melepasnya hanya dengan Ledakan Tenaga Dalam. Jika kau hanya ingin mencari hiburan dengan memanfaatkan ketidakberdayaanku, sebaiknya sudahi saja. Aku tidak punya waktu untuk itu!”

“Jangan salah sangka. Aku di sini untuk membantu latihanmu.” Akhirnya Sutasoma menanggapi. “Tapi kau benar. Totokanku tadi adalah Totok Dalam. Tidak akan lepas hanya dengan Ledakan Tenaga Dalam. Sekarang coba kau salurkan tenaga dalam ke pamormu.”

Sakti tidak langsung menuruti perintah Sutasoma. “Apa tidak salah?”

Alis Sutasoma terangkat.

“Bukannya kau di sini untuk melatihku ilmu sirep?”

“Kau ini….” Sutasoma berdesah, lantas bersedekap. Resam tubuhnya seperti seorang bapak yang akan memberi wejangan kepada anaknya. “Malu bertanya memang membuatmu tersesat di jalan. Tetapi, kebanyakan tanya juga akan menghambat perjalananmu, memperlama waktumu sampai ke tujuan.”

“Aku tidak mau seperti kerbau yang dicocok hidungnya.” Sakti masih menunjukkan tentangan.

“Tapi masih perlu tuntunan.” Sutasoma pun tidak kalah akal menghadapi kengototan Sakti.

“Bocah ini…,” Narasoma menyahut. Malah dia yang geregetan. “Sudah, turuti saja apa kata Kakak Sutasoma!”

Sakti menoleh sejenak ke Narasoma, lalu mengabaikan pemuda itu.

“Kalau kita terus beradu mulut, kau juga yang rugi.” Sutasoma menutup perbantahan dengan ucapan yang tidak mungkin lagi ditentang Sakti. Walau bagaimanapun, Sakti tidaklah bodoh.

“Lakukan yang kuperintahkan tadi.”

Kali ini Sakti menurut. Dia merogoh hulu Keris Naga Angin miliknya, menghunusnya dan terakhir, menyalurkan tenaga dalam ke senjata berpamor itu.

Tidak terjadi apa-apa.

Sakti tercenung. Pandangannya terpaku pada keris di genggamannya. Tidak ada hawa panas yang menguar dari keris itu. Tidak ada tenaga dalam yang mengalir ke sana. Tidak ada tenaga dalam yang keluar dari tubuhnya. Dia tidak dapat mengeluarkan tenaga dalam!

Sakti memandang Sutasoma. Baru dia sadar betapa jauh perbedaan kekuatan di antara mereka.

“Totok bekerja dengan cara mengekang susunan saraf tubuh,” Sutasoma menjelaskan. “Tekanan dari jemari yang mengenai tubuh akan menciptakan semacam simpul yang menghambat kerja saraf, yang pada gilirannya membuat anggota tubuh terasa kaku atau lumpuh, seolah-olah tidak dapat digerakkan karena perintah pikiran memang tidak tersampaikan ke anggota tubuh. Simpul ini bisa terurai sendiri seiring berjalannya waktu. Namun ada cara cepat, yaitu dengan mengeluarkan tenaga dalam dalam jumlah besar dengan satu entakkan cepat.”

“Ledakan Tenaga Dalam,” Narasoma menyahut.

“Itu istilahnya,” kata Sutasoma sambil mengangguk sekali. “Semburan tenaga dalam yang tiba-tiba ini bisa menghancurkan simpul yang mengekang susunan saraf. Cara ini sama seperti yang digunakan untuk menangkal sirep.”

Sakti bermenung sebentar. Sedikit banyak dia sudah tahu sebagian penjelasan Sutasoma.

“Itu tadi untuk melepaskan totokan biasa,” Sakti menyimpulkan. Sutasoma mengangguk mengiyakan. “Lantas, bagaimana caranya melepas totokanmu ini, yang tidak hanya mengekang saraf, tetapi juga menutup jalan keluar tenaga dalam?”

Sakti sedikit tersentak. Pertanyaannya menyadarkan dirinya sendiri.

“Tentu kau menyadarinya, bukan?”

Sakti bergumam mengiyakan. Barangkali kelalaiannya semata yang membuatnya tidak menyadari kemiripan antara Totok Dalam dengan sirep. Dipandangnya Sutasoma yang tersenyum tenang. “Cara kerja Totok Dalam mirip dengan sirep.”

Sutasoma mengangguk. “Jika sirep bisa diatur untuk membelokkan tenaga dalam yang akan meluruhkannya, maka Totok Dalam bisa diatur untuk mengekang tenaga dalam agar tidak dapat mengalir menghancurkan simpul saraf.”

Sakti mengangguk-angguk. “Jadi apakah aku juga harus menuntun tenaga dalamku melewati jalur yang semestinya?”

“Kurang lebih begitu,” jawab Sutasoma. “Hanya saja, kali ini semuanya terjadi di dalam tubuh. Dan yang dicari bukan sebuah jalur, melainkan penghalang yang menghambat tenaga dalam.”

Sakti memejamkan mata, memusatkan perhatian. Dia sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk menghancurkan penghalang yang menghambat tenaga dalamnya sekaligus menghancurkan simpul saraf yang mengekang pergerakannya.

“Langsung cobakah?” tanya Sutasoma. Tidak ada tanggapan. Mengerti Sakti sedang memusatkan perhatian, Sutasoma langsung memberi petunjuk. “Perlu kau tahu, simpul yang mengekang saraf dengan yang menghambat tenaga dalam berbeda. Dan juga, simpul penghalang tenaga dalam tidak selalu berada di bagian tubuh yang terkena totokan.”

Tanpa memberi tanggapan, Sakti mencamkan benar-benar petunjuk Sutasoma.

Seperti darah, tenaga dalam tersebar di sekujur tubuh. Cara penyalurannya pun sama, berkat denyut jantung, lantas menyebar baik melalui susunan saraf maupun melalui pembuluh darah. Karena letak hambatan tenaga dalam yang tidak pasti, seperti yang Sutasoma katakan, Sakti memutuskan untuk menyusuri aliran tenaga dalam dari titik awal.

Dalam benaknya, Sakti membayangkan jaring-jaring aliran tenaga dalam yang meliputi seluruh tubuhnya. Perhatiannya tertuju pada jantung yang menjadi titik awal penyebaran tenaga dalam. Setelah itu dia kumpulkan tenaga dalam dan melepaskannya selaras dengan denyut jantung. Dia ikuti aliran tenaga dalam yang baru dia lepas itu. Sebenarnya ada lebih dari satu jalur aliran. Namun Sakti hanya memperhatikan mana-mana yang menuju lengan kirinya.

Tidak berapa lama Sakti membuka mata.

“Cepatnya!” seru Narasoma, terkejut. Bahkan Sutasoma pun menampakkan keterkejutan di raut wajahnya.

Sakti menyeringai. Dia tekuk lengan kirinya. Terasa kesemutan, tanda bahwa sarafnya telah tersambung seperti sedia kala. Mengabaikan rasa menggigit-gigit itu, dia kepalkan tangan demi menunjukkan kepuasannya telah mampu melepas totokan Sutasoma.

“Apanya yang kesulitan? Salah besar mereka mengatakan…,” Sutasoma menghentikan gumamannya tatkala melihat Sakti mengalihkan pandang dengan wajah menegang.

“Ada yang datang!” Sakti berseru.

Sutasoma menanggapi peringatan Sakti dengan menajamkan kepekaannya. Memang benar ada yang mendekat.

Sesaat kemudian seseorang masuk ke dalam sirep-nya Sutasoma.

“Hebat juga kau, Sela,” sambut Narasoma dengan pujian. “Bisa menemukan kami di dalam sirep-nya Kakak Sutasoma.”

Sela hanya tersenyum sekilas, lalu berpaling ke Sutasoma. “Ada yang menerobos. Tidak sempat kualihkan. Hapus atau ubah sirep-mu ini sebelum dia sampai ke sini.”

Tanpa menunda-nunda, Sutasoma menancapkan kerisnya ke tanah. Wilayah di sekitar mereka seketika berubah. Kecuali pondok yang masih tersembunyi dari pandang mata, semua kembali seperti sedia kala.

Sakti bisa mengerti langkah yang diambil Sutasoma. Tidak pernah ada kampung di tengah Hutan Besar. Tentu sangat mencurigakan bila orang yang menerobos menemukan reruntuhan. Selain itu, Sutasoma sepertinya juga bersiap akan kemungkinan terburuk: orang yang menerobos punya ilmu sirep yang tinggi. Jadi Sutasoma menghilangkan pondok dari penglihatan, alih-alih membuatnya terlihat ditinggalkan seperti biasanya.

Namun masih ada hal yang membuat Sakti merasa tidak sreg.

“Tunggu dulu,” kata Sakti sebelum mereka beranjak ke tempat yang lebih baik untuk mengamati. “Bukankah yang dilakukan Sutasoma barusan sangat sembrono? Dengan jarak sedekat ini, orang itu bisa merasakan sirep yang baru dipasang.”

Tentu saja. Mungkin itu yang membuat Sela kesulitan menggiring si penerobos keluar dari Hutan Besar dan malah kemari memberi peringatan.

“Tenang saja,” Sela mananggapi. “Sutasoma terkenal akan sirep-nya yang begitu halus. Apalagi jika dia membuat Simpang Siur, tidak akan ada yang bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang maya.”

“Tidak benar itu. Kau berlebihan menyanjungku,” sangkal Sutasoma. Dia melirik Sakti sekilas, seakan-akan ada yang tersirat dari perkataannya.

“Sudahlah. Ayo!” selang Narasoma. Dan tanpa menunggu tanggapan, adik kembar Sutasoma itu melesat ke pepohonan.

Tanpa ada yang berkata, semuanya mengikuti Narasoma, melesat ke ketinggian mencari dahan untuk bertengger.

Lalu, datanglah si penerobos. Seorang pemuda sepantaran mereka. Pastilah murid Perguruan Naga juga. Pemuda itu menghentikan langkah, menoleh ke sana kemari. Namun resam tubuhnya tidak seperti orang yang sedang tersesat. Ada yang tengah dia cari.

Tiba-tiba pemuda penerobos itu menoleh ke atas. Dia menatap tajam ke ketinggian pohon. Beberapa bentar berlalu, pandangannya menurun. Kemudian dia mulai melangkah kembali.

Sementara itu, di tempat yang sebelumnya diamati si penerobos, tiga dari empat pemuda yang bersembunyi di antara pepohonan menghembuskan napas lega. Satu lainnya, Sutasoma, tetap tenang mengamati si penerobos. Sutasoma terus mengikuti si penerobos baik dalam langkah maupun pandangan. Dia berusaha menggiring si penerobos keluar Hutan Besar.

“Sial!” keluh Narasoma. “Padahal raga kita berada di matra yang berbeda, kita juga sudah menyembunyikan diri, tapi masih saja dia bisa merasakan ada yang mengawasi.”

“Kepekaannya sudah terasah,” Sela menanggapi.

“Tapi, bisa-bisanya kalian berdua lengah?” tanya Sakti merujuk pada Sela dan seorang prajurit Naga Angin lainnya yang bertugas jaga.

“Dia tidak sendiri. Aku merasakan di tempat lain ada juga yang menerobos. Kemungkinan besar Bada menuju ke tempat itu.”

“Kau kenal dia?” tanya Narasoma. Karena dia dan kakaknya sering berpetualang ke penjuru Nusantara setelah lulus dari tingkat awal, keduanya jadi tidak terlalu mengenal murid-murid tingkat lanjut.

“Sekadar tahu,” jawab Sela. “Tidak pernah ada kabar mengenai kehebatannya.”

“Malah yang seperti itu yang berbahaya.” Narasoma mengalihkan pandang ke Sakti. “Kau, Timur?”

“Tidak lebih tahu darimu.”

Kemudian Sela melangkah pergi. “Aku masih harus berjaga,” katanya.

“Kurasa kita juga harus menyudahi latihanmu,” kata Narasoma.

Alis Sakti terangkat.

“Kakak Sutasoma tidak gegabah. Dia pasti sadar, orang yang kita hadapi tidak akan begitu saja teperdaya sirep. Langsung menggiringnya keluar Hutan Besar hanya akan membuatnya semakin curiga.”

“Ya sudah kalau begitu.” Sakti mengangkat bahu. “Tapi, selanjutnya bagaimana? Aku bahkan belum mendapat kiat apa-apa untuk menguasai ilmu sirep.”

“Ha?” Narasoma menatap ganjil pada Sakti.

“Apa-apaan itu?”

Narasoma mengalihkan pandang dan mencibir. Seolah-olah ada yang dia sembunyikan. “Besok,” katanya setelah beberapa saat berlalu, “datanglah kemari di waktu yang sama.”

Narasoma langsung melesat pergi tanpa menunggu tanggapan Sakti.

Continue Reading

You'll Also Like

2.9M 226K 44
Kalisa sungguh tidak mengerti, seingatnya dia sedang merebahkan tubuhnya usai asam lambung menyerang. Namun ketika di pagi hari dia membuka mata, buk...
9.8M 184K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...
17K 218 4
Cerita singkat tentang hal hal yang saya alami