LEANDER

By TaniaMs

191K 13.5K 744

Hidupku berjalan normal selama 17 tahun belakangan. Namun, keanehan mulai terjadi. Belakangan ini, kepalaku s... More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

14-END

15.9K 877 67
By TaniaMs

Hai, semua! Selamat pagi, semangat pagi!

Ini part terakhir Leander nih. Serius. Aku pengen namatin ceritaku aja. Jadi, kalo misalnya aku ngilang lama-lama toh nggak ada hutan lagi buat lanjut cerita. Mungkin mau vakum untuk sementara, atau malah mau nulis cerita baru lagi, aku masih belum tahu. Cuma ya sekarang-sekarang ini udah masuk semester-semester akhir, yah begitu

Jangan tanya apa kabarnya cerita Leandra, karena aku gak niat buat lanjutin huhu Anggap saja dia tidak pernah ada di antara kita *eyaaa Hmmm terus aku juga hide dulu nih The Lady Choseen, soalnya mendadak hilang gambaran keseluruhan ceritanya dari kepala haha

Well, gak begitu spesial sih endingnya, cuma ya semoga aja nggak ngebosenin...

Makasih loh udah ngikutin cerita Leander dari awal. Ngasih vote dan komentar yang bikin aku seneng selama nulis cerita ini...

Happy Reading!

AWAS TYPO!


oOoOoOoOo

Leander mondar-mandir di kamarnya yang sempit. Sesekali dia melirik ponselnya yang tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan semenjak dua jam yang lalu. Dia mengambil ponselnya, mengecek apa pesan yang dia kirim pada Felicia benar-benar terkirim, dan ternyata sudah. Bahkan langsung terkirim setelah dia menekan tombol send dua jam yang lalu. Tapi sampai sekarang balasan gadis itu tak kunjung masuk. Entah Felicia tidak mengecek ponselnya, atau mungkin gadis itu tidak berniat membalas pesannya sama sekali.

Leander menoleh ke pintu ketika pintu kamarnya tiba-tiba terbuka tanpa diketuk sama sekali. Siapa orang tidak sopan itu?

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Leander mendengus. "Sejauh yang kuingat, ini kamarku," sahutnya sambil menatap Leandra dengan tatapan ya-ampun-kau-bodoh-sekali andalannya.

Leandra memutar bola matanya jengkel. "Maksudku, ini kan jam 11 malam. Kenapa kau bisa ada di rumah? Bukankah seharusnya kau ada di hutan?" tanyanya. "Kupikir aku salah dengar saat mendengar langkah kaki di kamar ini."

"Aku bisa berada di manapun aku mau," balas Leander.

Leandra mencibir. "Felly mengabaikanmu, ya? Auramu buruk sekali."

"Kalau kau sudah selesai bicara, kau bisa menutup pintunya dari luar," ujar Leander datar.

"Pintar dan punya wajah tampan saja tidak cukup, Lean. Wanita juga butuh pria yang peka."

"Diamlah!" bentak Leander habis kesabaran.

Setelah mendorong Leandra keluar dari kamarnya, dia membanting pintu tepat di depan wajah kembarannya itu yang sedang menyeringai.

Leander kembali menatap ponselnya yang masih bergeming. Dengan kesal, dia melempar ponsel itu ke ranjang, lalu keluar dari kamarnya menuju hutan. Seharusnya dia tidak usah menyapa Felicia kalau akhirnya dia akan uring-uringan sendiri menunggu balasan gadis itu!

Ketika kembali keesokan paginya, mood Leander tidak berubah sama sekali. Pamannya, Skandar sudah berusaha menghiburnya sejak mereka bertemu di hutan, tapi candaan pamannya itu tidak berhasil memperbaiki moodnya. Biasanya mengobrol dengan Skandar selalu membuatnya lebih baik, tapi kali ini tidak. Sepertinya yang dia butuhkan adalah berbicara dengan Felicia.

Lagi pula, kenapa mereka malah bertengkar hanya karena sebuah status? Mereka kan sudah saling mengungkap perasaan, kenapa itu masih penting? Bahkan sampai sekarang dia masih tidak mengerti dengan ucapan Leandra. Berpacaran, bertunangan, dan entah apalah itu.

"Mau sarapan, Lean?" tanya Nicole saat Leander memasuki rumah lewat pintu belakang.

Leander menggeleng. "Aku hanya ingin tidur seharian."

Nicole berhenti mengaduk sesuatu yang sedang dimasaknya untuk sarapan semua orang. "Kau sakit lagi?"

Leander tersenyum tipis saat mendengar suara Nicole sarat akan kekhawatiran. "Aku mengantuk," ujarnya. "Hari ini jadwalku kosong. Mungkin aku akan turun setelah tengah hari."

"Kalau kau butuh sesuatu panggil aku, oke?"

Sepertinya aku butuh Felice, Mom, batin Leander. Sebagai balasan, dia hanya mengangguk, kemudian meninggalkan Nicole yang kembali sibuk dengan masakannya.

Begitu Leander tiba di kamarnya, ponselnya sedang berbunyi. Buru-buru dia menyambar benda pipih itu. Dia benar-benar tersenyum lebar saat melihat nama Felicia terpampang di layar.

"Pasti Felicia," komentar Leandra dari ambang pintu.

Leander berbalik, dan menatap gadis itu jengkel. "Kenapa kau tidak berduaan saja dengan Daren?"

Leandra menyeringai. "Dia sedang dalam perjalanan ke sini."

Leander mengangkat panggilan telepon dari Felicia sambil menutup pintu kamarnya. Tidak hanya sampai di situ, dia langsung menguncinya. Takut kalau-kalau Leandra memaksa masuk. "Hey," panggilnya. "Kau tidak membalas pesanku tadi malam."

"Aku sudah di hutan, Lean," ujar Felicia di seberang sana. "Kau mengirim pesan pukul sembilan, bagaimana aku bisa membalasnya?"

Leander duduk di tepi ranjang. "Kau tidak membawa ponsel ke hutan?"

"Tidak. Dulu aku pernah membawanya, dan hilang saat aku berburu."

"Lucu mendengarmu bicara tentang berburu," ujar Leander sambil terkekeh. "Di saat pasangan lain di luar sana akan beralasan dia sudah tidur ketika tidak membalas pesan, kau berkata bahwa kau sudah di hutan."

Felicia tertawa. "Pasangan vampire tentu saja anti-mainstream."

Leander berdehem. "Kemarin kau bertanya, apa kita berpacaran."

"Dan kau tidak menjawabnya."

"Apa kau butuh status agar aku tidak tiba-tiba meninggalkanmu dengan gadis lain?" goda Leander.

"Iya."

Leander terdiam. Tidak menyangka Felicia menanggapi pertanyaannya dengan serius. "Aku tidak akan meninggalkanmu, kalau itu yang kau takutkan."

"Bagaimana bisa kau seyakin itu?" tanya Felicia dengan nada sedikit sinis.

"Kita sudah terikat. Kita memiliki aura yang sama, dan Christian bilang kita berjodoh."

"Apa itu bisa menjamin kau tidak akan jatuh cinta pada gadis lain di luar sana?"

"Tentu saja," sahut Leander. "Mungkin aku bisa saja menyukai gadis lain di luar sana karena mereka cantik, atau karena mereka tinggi, atau karena kaki jenjang mereka. Tapi aku tidak bisa mencintai mereka."

Felicia mendengus.

"Kau tidak percaya jodoh, ya?" tanya Leander. "Sejauh apa pun kau menghindari seseorang, jika dia jodohmu, Tuhan punya ribuan cara untuk membuatmu kembali padanya."

Felicia berdecak jengkel. "Sudahlah! Aku mengantuk," sungutnya. "Oh ya, nanti malam aku harus ke New Meksiko. Aku meneleponmu untuk mengatakan itu."

"Apa? New Meksiko? Untuk apa?" tanya Leander kebingungan. "Berapa lama?"

"Dengar ya, kau bukan siapa-siapaku, jadi aku berhak pergi ke manapun yang aku mau. Bukan urusanmu juga berapa lama aku di sana."

Leander menatap ponselnya jengkel ketika Felicia memutuskan panggilan begitu saja. "Aku bukan siapa-siapa?" tanya Leander kesal. "Tapi aku kan..."

Leander berhenti bicara karena pada akhirnya dia sadar kalau Felicia benar. Dia bukan siapa-siapa gadis itu. Hanya karena dia mencintai Felicia, bukan berarti dia berhak atas gadis itu. Kalau setiap pria di dunia yang jatuh cinta berhak atas gadis yang dicintainya begitu saja, dari awal tentu saja status-status itu tidak ada.

Ah, sial! Kenapa dia baru mengerti sekarang?!

oOoOoOoOoOo

Leander menatap ponselnya putus asa. Sekarang akhir pekan dan Felicia sudah menghilang selama tiga hari. Gadis itu tidak bisa dihubungi sama sekali. Ketika Leander pergi ke rumahnya, rumah itu benar-benar kosong. Sepertinya gadis itu memang pergi ke New Meksiko, yang entah untuk urusan apa. Well, Leander berharap semoga saja gadis itu tidak menetap di sana.

My berating heart is getting tired

Tonight it feels like it's on fire

And I'm driving all alone

My hand is on my phone

Waiting for you to call me

Leander berjengit mendengar suara Leandra bernyanyi. Demi Tuhan, suara gadis itu benar-benar bisa merusak telinga orang yang sudah tuli sekalipun. Malas berbicara, dia hanya mendelik ketika gadis itu duduk di sampingnya sambil tersenyum lebar. Heran, Leandra tampaknya senang sekali menyindirinya belakangan ini.

Leander sedang duduk di sofa yang mengarah ke televisi, dengan ponsel yang ada di pangkuan. Jadi, kalau misalnya ponsel itu berdering dia bisa langsung menyambarnya. Di depannya, Lucy dan Alena duduk di atas permadani bermain uno. Leandra duduk di sampinya sambil memainkan ponsel, tapi entah kenapa kehadiran kembarannya itu benar-benar membuatnya jengkel. Justin duduk di sofa yang lain, tampak serius memperhatikan televisi dan Nicole di sampingnya membaca majalah.

"Please pick up the phone and call me...." Leandra kembali bernyanyi.

Sebelum Leander sempat mengomel, Lucy sudah membentak duluan. "Tidak bisakah kau diam? Suaramu jelek sekali!"

Bukannya kesal seperti biasa, Leandra malah terkekeh. "Suaraku memang jelek, tapi perasaan Lean jauh lebih hancur dari suaraku," sahutnya.

Leander mendelik. "Sekali lagi kau menyindirku, aku benar-benar akan menyumbat mulutmu itu!"

Leandra mengangkat bahunya sambil menyeringai. "Kenapa? Aku suka lagu itu. Lagu-lagu Secondhand selalu tepat sasaran."

"Dan jika aku masih mendengar lagu itu—"

Leandra menoleh ke balik bahu Leander. "Oh Felly! Kau sudah pulang?"

Leander langsung berbalik. Ketika mendengar suara tawa memenuhi ruangan, dia sadar kalau dia baru saja dikerjai kembarannya yang sakit jiwa itu. "Kau tidak punya pekerjaan lain, selain menggangguku?!"

Leandra tersenyum manis. "Tidak," sahutnya. Ketika ponselnya berbunyi pelan, Leandra tersenyum. "Wah, Felly akan pulang dua hari lagi."

Mata Leander menyipit. "Bagaimana kau tahu? Nomornya tidak bisa dihubungi sejak kemarin."

Leandra menunjukkan layar ponselnya. "Kami chat di skype. Dia memang mematikan ponselnya, karena tidak ingin diganggu."

"Memangnya aku penganggu?!"

"Mungkin?" balas Leandra enteng. Kemudian dia menyeringai. "Kau tidak tahu dia punya Skype?" Sebelum Leander sempat menjawab, dia kembali berkata, "Tentu saja kau tidak tahu, kau kan bukan siapa-siapanya."

"Bukan siapa-siapa bagaimana?!" bentak Leander tidak terima. "Aku pria yang mencintainya!" Leander tahu perkataan itu tidak bisa menolongnya, tapi setidaknya dia bisa membalas perkataan kembarannya itu.

"Cih! Itu tidak membuatmu berhak atas dirinya, kau tahu tidak?!" Leandra mencibir. "Aku kan sudah menjelaskan tentang tingkatan status padamu dari kemarin, masa tidak mengerti juga?!"

Leander menghela napas panjang. "Katakan padanya untuk mengaktifkan ponselnya, aku ingin bicara."

Leandra menyeringai. Dia menyodorkan ponselnya pada Leander yang menunjukkan bahwa dia sedang menelepon dengan Felicia via skype, dan gadis itu mendengar semua kata-kata Leander.

"Kau akan membayar semua ini," ujar Leander penuh dendam. Dia segera merampas ponsel Leandra, lalu meninggalkan ruang duduk. "Hey, Felice. Tidak bisakah kau mengaktifkan ponselmu?"

"Ponselku tertinggal di rumah," jawab Felicia enteng. "Selama di sini aku meminjam laptop sepupuku."

Ponselnya tertinggal? Batin Leander tak percaya. Gadis itu pergi ke negara bagian dan ponselnya tertinggal?!

"Aku tahu kau tidak percaya, tapi begitulah keadaannya," sahut Felicia.

Leander mendesah. Dia juga tidak bisa apa-apa kecuali mempercayai perkataan gadis itu. "Kenapa aku bisa tidak tahu kau punya skype?"

"Karena kau tidak bertanya," sahut Felicia enteng.

"Dan kenapa kau bisa chatting dengan Leandra?!" Leander nyaris habis kesabaran.

"Tidak usah marah-marah," sungut Felicia. "Seperti kata Leane, kau bukan siapa-siapaku, jadi kau tidak berhak mengomel seperti itu."

Astagaaa!!!

"Oke. Kalau begitu kita berpacaran sekarang!"

"WHAT?!"

"Kita berpacaran," ulang Leander. "Dengan begitu, aku bisa merecokimu."

Felicia mendengus. "Apa-apaan itu?!"

"Yes or no?" tanya Leander. "Mungkin kesempatan kali ini tidak akan datang dua kali."

"Apa katamu?!" jerit Felicia. "Hey! Apa begini caramu saat mengajak wanita berpacaran, hah?!"

"Aku akan bicara dengan benar kalau kau sudah pulang," ujar Leander. "Cepatlah pulang, oke?" Tanpa menunggu balasan Felicia, Leander langsung memutuskan panggilan. Dia tersenyum tanpa sadar.

"Begitu saja?"

Leander benar-benar terlonjak ketika mendengar Leandra tiba-tiba berbicara di belakangnya. Dengan kesal, dia mengembalikan ponsel kembarannya itu.

"Kau tidak mengajak Felly berpacaran?!" tanya Leandra tak percaya.

"Apa bagusnya kalau aku mengajaknya berpacaran lewat ponsel?" Leander balas bertanya. Dia menatap ponsel Leandra yang berbunyi. Felicia kembali menelepon. "Suruh dia cepat pulang kalau memang ingin berpacaran denganku," ujarnya sebelum berlari ke atas menuju kamar.

Leandra mendengus. "Hey Lean, jangan besar kepala! Memangnya kau itu setampan apa, hah?!"

"Tentu saja dia tampan Leane." Nicole tiba-tiba muncul. "Dia mirip ayahmu, tahu. Dan Justin itu tampan."

oOoOoOoOo

"Aku benar-benar baru sampai, kau tahu?" gerutu Felicia saat dia masuk ke mobil Leander yang berhenti di depan pagar rumahnya.

Leander hanya tersenyum tipis, dan mulai memajukan mobilnya meninggalkan kediaman Felicia. 30 menit yang lalu, Felicia mengabarinya bahwa dia telah tiba di rumah. Leander pun menyuruhnya bersiap karena dia ingin mengajak gadis itu pergi ke suatu tempat. Dan di sinilah dia sekarang. Sedang membawa Felicia menuju rumahnya.

"Ini kan jalanan menuju rumahmu." Felicia tersadar.

"Kita memang akan ke rumahku," sahut Leander.

"Kalau tahu akan ke sana aku pasti membawa oleh-oleh yang dipesan Leane," gerutu Felicia. "Kenapa malah pura-pura misterius? Ingin membawaku ke suatu tempat, dan ternyata itu adalah rumahmu. Ya Tuhan!"

Leander melirik Felicia yang tengah menekuk wajahnya. "Kau tidak bertanya, kan?"

Felicia mendelik jengkel. "Kupikir kau ingin memberi kejutan atau apa. Makan malam di luar mungkin?"

"Memangnya kau ingin makan malam di luar?" tanya Leander.

"Well, aku lebih suka di hutan sebenarnya."

Leander menyeringai. "Nanti aku akan mengajakmu ke hutan," ujar Leander. "Pasti menyenangkan jika kita berburu bersama."

Felicia tertawa. "Benar juga."

Hari sudah gelap ketika mobil Leander berhenti di depan pintu garasi yang tertutup. Di samping mobilnya, dia melihat mobil Daren. Sambil menggelengkan kepala, dia keluar dari mobil. Kekasih Leandra itu sudah berada di rumah sejak tadi pagi, dan sampai sekarang pria itu belum juga pulang. Tapi, mengingat di rumahnya memang ada acara, dia akan memaafkan Daren kali ini.

"Di rumahmu ada acara?" tanya Felicia ketika melihat pintu rumah terbuka lebar.

"Sekali sebulan, kami sekeluarga akan berkumpul."

Felicia langsung berhenti di depan pintu. "Ini acara keluargamu?"

Leander mengangguk. "Kau juga sudah bertemu dengan mereka semua. Kecuali Greyson. Dia kakak ibuku. Kuharap Jazzy juga pulang kali ini."

"Ini tidak benar," cicit Felicia. "Kau tidak bisa membawaku ke acara keluargamu begitu saja!"

"Tentu saja aku bisa," sahut Leander. "Kita berpacaran. Aku sudah bilang dua hari yang lalu."

Felicia mendelik. "Jadi waktu itu kau benar-benar mengajakku berpacaran? Dengan begitu santainya?"

"Kita kan sudah saling mengungkapkan perasaan. Apa lagi?"

Felicia sudah hampir memukul kepala Leander ketika seorang gadis cantik dengan rambut pirang tiba-tiba muncul di depan mereka. Gadis itu memekik ketika melihat Leander dan langsung memeluk laki-laki itu. what?!

"Ah, Lean! Lama tidak melihatmu!"

Leander terkekeh pelan dan menepuk punggung gadis itu pelan. "I miss you too, Jaz."

Felicia mendelik tajam.

Gadis itu melepas pelukannya, dan menatap Felicia. "Dan kau pasti Felicia yang dibicarakan semua orang!"

Felicia mengerutkan kening. Gadis ini... tepatnya dia siapa? Salah satu keluarga Leander?

"Aku Jazzy. Bibi Lean, tapi sebenarnya aku lebih suka jika dianggap kakaknya saja," ujar Jazzy. "Kau sudah bertemu Jaxon? Dia kembaranku."

Felicia mengingat-ingat. Kalau tidak salah dia memang pernah bertemu dengan paman Leander yang satu itu. Mendadak dia merasa malu karena sudah cemburu pada Jazzy.

"Ayo, masuk! Semua orang sudah berkumpul di halaman belakang."

Leander terkekeh ketika Jazzy meninggalkan mereka berdua. Dia menggandeng lengan Felicia dan membawa gadis itu menuju halaman belakang. "Santailah. Tidak perlu merasa seperti orang asing," ujar Leander. "Kau bukan orang asing lagi di keluargaku setelah kau berhasil menyelamatkanku."

Felicia hanya diam. Tidak tahu harus berkata apa. Ketika mereka sampai di taman belakang, semua orang benar-benar sudah berada di sana. Felicia bahkan meringis ketika melihat betapa ramainya halaman belakang itu.

"Selamat datang di keluarga Bieber!" seru Leandra semangat.

Semua orang langsung menoleh ke arah mereka dan Felicia benar-benar salah tingkah. Ya Tuhan! Begitu ada kesempatan, dia pasti akan membenturkan kepala Leander ke dinding terdekat.

"Wah, Felly, kau sudah datang." Nicole menghampirinya dengan senyum lebar.

Felicia balas tersenyum. "Halo, Nic. Aku tidak tahu akan dibawa ke sini, jadi aku meninggalkan oleh-oleh di rumah."

Nicole mengibaskan tangannya. "Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini," ujar Nicole. "Aku pikir kau tidak mau datang ke acara keluarga seperti ini, tapi Lean ternyata berhasil membawamu."

Tidak tahu harus berkata apa, Felicia hanya tersenyum.

"Ayo, kukenalkan pada semua orang."

Felicia menatap Leander cemas.

Leander terkekeh ketika melihat Felicia panik. "Keluargaku tidak mengigit," sahutnya enteng. "Aku akan di sana." Leander menunjuk tempat panggangan.

Felicia pun mengikuti Nicole yang nyaris menyeretnya ke depan semua orang. Tampaknya ibu Leander ini begitu senang dengan kehadirannya. Meskipun sudah pernah bertemu, Felicia tetap bersalaman dengan Skandar, Cody, Christian, dan Wero. Kemudian dia dikenalkan dengan Greyson dan Selena, Ariana istri Cody, Taylor istri Skandar. Perkenalan itu terus berlanjut sampai pada Jaxon, Jazzy, dan seluruh sepupu-sepupu Leander. Akhirnya dia tahu bahwa Leander lah yang tertua di antara semuanya.

"Kau bisa mengingat semuanya?" tanya Nicole sambil terkekeh.

Felicia meringis. "Jujur saja, aku ingat nama mereka. Tapi aku tidak tahu wajah dari nama-nama itu."

Nicole tertawa. "Tidak masalah. Kau punya banyak waktu untuk mengenal mereka," ujarnya. "Nah, temani Lean. Dia tampak kesepian di depan alat pemanggang itu."

Sementara Nicole kembali berkumpul dengan para orang tua, Felicia menghampiri Leander yang tampak sibuk memanggang daging. Sudah cukup banyak yang matang, yang kemudian disisihkan laki-laki itu ke atas piring. Hanya butuh sekian detik bagi salah seorang sepupu Leander untuk mengambil piring yang sudah penuh itu, kemudian membawanya ke tempat mereka berkumpul di sebuah meja.

"Wah, mereka tidak meninggalkan daging untukmu?"

Leander menoleh ketika Felicia sudah berdiri di sampingnya. "Tidak. Sepupuku itu maniak daging panggang. Mereka semua," ujarnya sambil menunjuk semua saudaranya yang mulai berebut daging yang baru saja dibawa oleh Natan.

"Kau akan memanggang semua ini?" tanya Felicia saat melihat masih ada daging yang belum dimasak sama sekali.

Leander mengangguk. "Keberatan menemaniku?"

Felicia menggeleng. "Aku cukup suka memanggang daging," ujar Felicia. Dia mengambil penjepit daging yang tersisa, dan membalikkan daging yang sudah matang bagian bawahnya.

Leander menunjuk Daren dengan penjepitnya. "Daren tidak bisa membantu sama sekali," ujar Leander. "Terakhir kali dia membantuku memanggang, tangannya melepuh," lanjutnya sambil terkekeh. "Sejak itu, Leandra berusaha menjauhkan Daren dari alat pemanggang ini. Sejauh mungkin."

Felicia melihat Daren yang duduk bersama Leandra di salah satu meja, dengan laptop yang menyala di depan mereka. "Dia sudah sering ikut berkumpul bersama kalian?"

"Kalau ditawarkan untuk menginap di sini, dia pasti akan langsung mau," tukas Leander sambil menggelengkan kepala.

Kemudian tatapan Felicia tertuju pada meja tempat semua orang tua. "Lalu mereka makan apa?"

Leander ikut menoleh ke arah pandangan Felicia. "Oh, mereka hanya minum darah."

"Apa?"

Leander terkekeh. "Tidak semuanya. Di sana ada camilan. Nicole membuatkannya untuk mereka yang tidak minum darah."

Felicia hanya mengangguk.

"Oh, Felice," ujar Leander tanpa melihat gadis itu sama sekali, "apa yang membuatmu sangat membutuhkan sebuah status?"

Felicia berhenti membolak-balik daging. "Apa?"

"Aku sudah memikirkannya dari kemarin," kata Leander, "kau pasti pernah mengalami hal yang tidak menyenangkan di masa lalu yang berhubungan dengan status. Apa laki-laki itu meninggalkanmu begitu saja?"

"Kenapa kau ingin tahu?"

"Agar aku tahu pria mana yang harus kubunuh," jawab Leander santai. Ketika melihat wajah syok Felicia, dia tertawa. "Aku hanya bercanda. Di film-film, mereka sering berkata begitu."

Felicia berdecak. "Kalau kau membunuhnya, kau pasti akan masuk penjara."

"Dan kau harus mengunjungiku setiap hari."

Felicia mendelik.

"Tunggu di sini," ujar Leander setelah mengangkat potongan daging terakhir dan meletakannya di atas piring. Dia mengambil dua buah kursi yang ada di dekat Leandra dan membawanya ke depan Felicia yang masih berdiri di dekat panggangan. Terakhir, dia mengambil dua cangkir yang sudah disediakan Nicole untuk mereka.

Felicia tersenyum ketika melihat isi cangkir itu. "Aku benar-benar kagum ibumu merelakan cangkir-cangkirnya dikotori oleh darah."

Leander tertawa sambil duduk di depan gadis itu. Di antara mereka ada meja kecil yang hanya setinggi lutut, tempat Leander meletakkan piring yang berisi daging panggang. "Itu resiko karena harus hidup bersama vampire."

Felicia berdehem. "Kau benar," mulai Felicia. "Aku pernah ditinggakan begitu saja. Kejadiannya beberapa tahun yang lalu, saat aku masih di high School. Aku dekat dengan seorang pria yang lebih tua dariku. Mungkin usianya sekitar lima tahun di atas kita. Karena dia begitu dewasa, aku menyukainya. Kami sering keluar bersama, terkadang dia mengantarku ke sekolah, atau mengajakku ke pesta teman-temannya. Kami dekat hampir dua tahun. Meski tidak pernah mengajakku berpacaran, tapi dia selalu bilang kalau dia mencintaiku. Jadi kurasa, tidak masalah, yang terpenting di mencintaiku." Pandangan Felicia menerawang. "Dia vampire murni. Dia tahu aku bisa membaca pikiran, jadi dia selalu membentengi pikirannya dariku. Saat itu kupikir, tidak masalah. Dia berhak mendapatkan privasi. Sampai akhirnya aku tahu kenapa dia selalu membentengi pikirannya dariku."

"Dia punya wanita lain."

Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan. Tapi Felicia tetap mengangguk. "Saat dia tiba-tiba menghilang, aku berusaha mencarinya. Setiap aku ke rumahnya, rumahnya selalu kosong. Aku terus menghubungi nomornya, namun tidak pernah aktif. Sampai akhirnya, orang tuaku mendapatkan undangan pernikahannya yang dikirimkan orang tuanya langsung."

Leander segera menarik kedua tangan Felicia dan menggenggam tangan itu erat. Meskipun wajah gadis itu tidak menunjukkan ekspresi apa pun, suaranya mulai bergetar.

"Dari orang tuanya, akhirnya aku tahu dia tinggal di mana. Jadi, aku pergi menemuinya. Dia tinggal bersama calon istirnya, dan saat aku tiba di sana wanita itu sedang tidak ada. Dia terkejut karena kedatanganku," ujar Felicia. "Aku langsung membentaknya, memarahinya, bahkan sampai menyebutnya bajingan. Tapi, dia memang bajingan. Kemudian, yang tidak kusangka sama sekali adalah dia balas membentakku. Dia bilang, aku tidak punya hak untuk marah-marah karena aku bukan siapa-siapanya. Hanya karena dia mengatakan bahwa dia mencintaku bukan berarti aku bisa bersikap seolah aku adalah kekasihnya." Felicia berusaha menarik tangannya dari Leander, namun laki-laki itu menggenggam tangannya begitu erat. "Aku tidak pernah menjadi apa-apa untuknya. Baginya, aku hanya gadis kecil yang bodoh, yang bisa menemaninya saat dia sedang bertengkar dengan kekasihnya." Felicia menghela napas. "Begitu dia selesai bicara, aku langsung menamparnya, dan mengatakan betapa menyesalnya aku karena sudah menghabiskan waktu dengan makhluk rendahan seperti dirinya."

Mata Leander menggelap. "Di mana dia sekarang?"

"Di neraka," sahut Felicia.

Leander mendesah. "Aku serius."

Felicia mengerutkan kening. "Aku juga serius," ujarnya. "Pesawat yang ditumpanginya untuk bulan madu meledak tak lama setelah lepas landas."

Leander kembali mendesah. "Sayang sekali. Padahal aku benar-benar ingin membunhnya."

Felicia berhasil tertawa. "Kau pasti kalah jika harus bertarung dengannya. Dia vampire murni," ujarnya. Felicia menoleh ke sekelilingnya sambil tersenyum. "Kau tahu, Lean, aku bisa membaca pikiran semua orang di sini."

Leander meringis. Dia sudah menyuruh semua orang untuk tidak berpikir apa-apa, tapi mereka semua susah diatur.

"Mereka bilang, mereka tidak sabar dengan kejutan yang sudah kau persiapkan." Felicia menatap Leander dengan tatapan menggoda. "Jadi, kau menyiapkan kejutan untuk kepulanganku?"

Leander melepaskan tangan Felicia dan mengusap wajahnya dengan gusar. "Yeah, begitulah," ujarnya. Dia merogoh saku celananya, dan mengeluarkan sebuah cincin dari sana. Dia meletakkan cincin yang bertahtakan permata mungil itu di atas meja.

Felicia benar-benar terkejut, bahkan seringai jail itu sudah menghilang dari wajahnya. Dia memang menginginkan kejutan, tapi tidak sampai seperti ini.

"Ada alasan kenapa aku tidak ingin berpacaran denganmu. Salah satunya karena menurutku itu sangat kekanakan, sementara kita sudah cukup dewasa tanpa harus direpotkan dengan status semacam itu. Kita sudah saling mengungkapkan perasaan, dan itu membuat hubungan kita sangat berarti. Bagiku, itu sudah cukup tanpa perlu adanya kalimat-kalimat seperti apa kau mau berpacaran denganku dan sebagainya. Tapi, kemudian aku tahu bahwa itu tidak cukup bagimu." Leander tidak melepaskan tatapan dari Felicia sama sekali. "Sampai akhirnya aku mengerti bahwa untuk beberapa alasan, status itu dibutuhkan. Leandra bicara omong kosong tentang—yang menurutnya—tingkatan status. Aku memang tidak mengajakmu berpacaran—sampai sekarang aku masih menganggapnya kekanakan—tapi aku menawarkan sebuah komitmen padamu. Komitmen seumur hidup. Umur kita masih begitu muda, aku tahu. Pernikahan itu tidak mudah, aku juga tahu. I'm not telling you it is going to be easy. I'm telling you it's going to be worth it." Leander kembali menggenggam tangan Felicia. "Aku tidak bisa berjanji akan selalu membuatmu bahagia di masa depan, tapi aku akan berusaha menjadi teman hidup dan suami yang terbaik untukmu." Tatapan Leander beralih pada Daren selama sedetik, kemudian kembali menatap gadis yang di hadapannya, yang matanya sudah berkaca-kaca.

Tak lama kemudian lampu mendadak mati, membuat halaman belakang itu gelap gulita.

"Lean." Felicia menggenggam tangan Leander karena terkejut suasana mendadak gelap.

Leander menarik Felicia berdiri, kemudian memutar tubuh gadis itu ke belakang, menatap dinding rumahnya yang sudah dia rusak dengan cat semprot khusus, yang bisa bercahaya saat gelap. Di sana ada empat buah kata yang berhasil membuat Felicia meneteskan air matanya.

Will you marry me?

"Felice, will you marry me?" tanya Leander sambil menatap Felicia lekat. Karena dia vampire, dia masih bisa melihat dengan jelas wajah gadis itu. "Aku punya beberapa pilihan jika kau kebingungan. A. Yes. B. Of course. Dan C. Yes, of course."

Felicia tertawa. "Yes, of course!" serunya dan langsung menghambur ke dalam pelukan Leander.

Leander ikut tertawa dan balas memeluk gadis itu. Dia bahkan tidak peduli dengan semua orang yang sedang menonton mereka ketika dia menundukkan wajah dan mencium Felicia.

Leander sadar bahwa ini bukanlah akhir dari segalanya. Mereka hanya baru saja menyelesaikan salah satu bab dalam kehidupan, dan akan memulai bab berikutnya yang pasti tidak akan mudah. Namun, Leander yakin mereka akan baik-baik saja. Karena selanjutnya, mereka tidak akan menghadapinya sendirian, melainkan bersama-sama.

THE END

oOoOoOoOo

So, this is the end of Leander!!!

Terlalu cepat, kah? Aku rasa juga begitu... Aku cuma udah nggak betah aja anggurin ini cerita lama-lama. Seperti yang aku bilang sebelumnya, aku cuma mau tenang kalau semisalnya lagi leha-leha, soalnya nggak ada hutan lagi kan yaa

Sampai jumpa lagi di lain kesempatan.

say goodbye to LEANDER!

Pekanbaru, 16-08-2016

5:14

Continue Reading

You'll Also Like

4.1K 167 13
Ini tentang Cahaya, perempuan cantik bersurai panjang dengan kesederhanaan nya yang tidak banyak berbicara. Sangat menyukai senja dan hobi memasak. W...
4K 238 17
''Aku tidak tahu apa yang terjadi,semenjak aku mengenal dirinya semua nya berubah dan ini pertama nya aku merasakan apa itu cinta,jujur walaupun kami...
71.7K 3K 16
Terkadang dunia emang terlalu jahat bagi seseorang karena itulah seseorang itu harus kuat untuk menghadapi dunia. Mungkin banyak hal sakit yang suda...
2.1M 98.9K 70
Herida dalam bahasa Spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...