Ting!!
Timer oven yang berdenting mulai menyadarkan sepasang wanita dan lelaki yang berhadapan di meja makan dengan diam sedari tadi.
Awkward! Gadis meruntuki dirinya sendiri, bagaimana ia bisa berkata seperti itu? Okelah, Gadis mengakui jika ia menyukai Rama tapi untuk sejujur itu mengatakan di depan Rama? Hell! Setidaknya ia masih punya urat malu yang tadi serasa hilang entah kemana.
Sedang Rama juga ikut diam, karena dua alasan. Alasan pertama, karena Gadis yang melamun dan alasan yang kedua yang menyadari penuh arti ucapan Gadis. Tapi ia lebih memilih untuk tidak memikirkan hal itu dan mengabaikannya.
Gadis berdiri dari duduknya dan menyiapkan makanannya yang sudah matang dengan tangan gemetar. Sial! Bahkan kegugupannya pun belum juga hilang?
"Perlu bantuan Dis?" tanya Rama yang menyadari ada yang tidak beres dari balik punggung Gadis.
Cepat-cepat Gadis menggeleng. Kalo sampe Rama kesini! Bisa lebih matii nihh!
"Eng..gak, gak usah Ram. Bisa kok, bisa." jawab Gadis sambil menarik napas dalam dan membuangnya perlahan, untuk lebih menenangkan pikiran dan jantungnya.
Gadis kembali lagi ke meja makan membawa dua piring yang berisi maccaroni schotel dan meletakkan satu untuknya dan satu untuk Rama.
"Makan Ram, semoga suka yaa." katanya mencairkan sedikit suasana dan mulai menyantap makanannya dengan diam lagi. Biarlah! Masa bodoh dengan Rama yang memandang dirinya aneh malam ini.
*****
Anisa baru memejamkan setengah kelopak matanya, dan ia merasa seseorang masuk ke dalam kamar rawat inapnya.
Anisa kembali membuka matanya dan melihat Rama yang datang dengan kemeja yang lengannya sudah dilipat sampai siku dan jas yang disampirkan di bahunya.
Rama terlihat lelah, Anisa tahu itu. Terlihat dari sayu kelopak matanya yang tetap saja dipaksa membaca sesuatu dari teleponnya.
Mungkin dari kantor, pikir Anisa.
"Penting banget Ram urusanmu sampe gak duduk dulu?" tanya Anisa membuka suara.
Rama kaget dan segera mendongakkan wajahnya cepat menatap si pemilik suara yang ia kira sudah tidur sedari tadi.
Lampu di ruangan ini sudah mati semua bahkan lampu di nakas sebelah sofa pun tak nyala malam ini, membuat Rama hampir tak dapat melihat apa pun dalam ruangan yg gelap gulita ini.
Segera Rama memencet tombol send dengan cepat pada sebuah pesan, 'aku udah sampe Dis, thank you banget makan malemnya tadi'
Dengan cepat Rama memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana, "Aku kira kamu udah tidur, Nis." Rama menghampiri Anisa dan mengelus puncak kepala wanita itu penuh sayang.
Anisa mencibir, "Dasar gak peka banget. Gitu tuh manusia kalo udah pegang handphone gak sadar kalo dari tadi aku liatin."
"Tidur Nis, udah malem."
Anisa mengangguk, "Harusnya aku dong yang bilang ke kamu. Kamu kan besok kerja, berangkat pagi. Aku kan nganggur bisa tidur kapan pun."
Rama tersenyum, benar ucapan Anisa. Seharusnya dia sudah tidur sekarang mengingat jarum panjang di jam dinding mulai menunjuk pada angka 11. Hampir tengah malam.
"Iyaa aku juga mau tidur, capek banget."
Anisa mengangguk, dan Rama mulai berjalan menghampiri sofa di pojok ruangan, berhadapan dengan ranjang yang Anisa tempati.
Masih bisa Anisa lihat Rama yang menyalakan lampu di atas nakas dan mengecek kembali ponselnya sebelum merebahkan diri dan memejamkan matanya.
Anisa tersenyum miris, dia merindukan kehidupannya dulu yang dapat makan siang bersama Rama di sela-sela jam istirahat kantornya dan selalu diantar-jemput setiap harinya. Bukan pertemuan setiap malam dan pembicaraan tidak lebih dari 30 menit sebelum tidur seperti tadi. Ia menginginkan waktu yang lebih, waktu yang lebih untuk bersama Rama, waktu yang lebih untuk merasakan kebahagiaannya.
*****
Rama terbangun saat merasakan usapan lembut berada di dahinya.
"Nis?" Rama membuka matanya perlahan-lahan dan sedikit mengerutkan matanya, menyesuaikan cahaya yang masuk.
Anisa memang sudah dibiasakan untuk turun sendiri dari ranjang, jadi sepasang kruk sudah disiapkan di sebelah ranjangnya.
Anisa tersenyum, cantik. "Udah hampir jam 6 Ram, kamu gak berangkat kerja?"
Rama bangkit dari tidurnya, dan segera melihat ke kanan dan kirinya, sepertinya kemarin ia meletakkan benda itu di atas meja.
"Nis, handphone aku di meja ini dimana?"
"Tadi ada telpon terus mau aku angkat eh lowbatt, mati tiba-tiba. Kayaknya orang penting deh Ram abisnya bunyi terus gak dimatiin."
"Sekarang dimana handphone ku, Nis?" tanya Rama tak sabaran.
Anisa menunjuk nakas dengan dagunya, segera Rama mengeceknya dan menemukan handphonenya. Rama memencet tombol power lama dan hasilnya nihil, handphonenya tetap tak menyala. Anisa sendiri kebingungan melihat Rama yang ia asumsikan sedang panik.
"Nis aku mau mandi sama siap-siap di rumah." Rama berdiri dan menyambar jasnya lalu tergesa-gesa berjalan melewati Anisa menuju pintu.
Anisa hanya diam memandang Rama yang berlalu pergi tanpa sedikit pun beranjak dari tempatnya. Ketika lelaki itu hampir menyentuh gagang pintu ia berbalik menatap Anisa, lalu tersenyum dan berjalan kembali ke arah wanita itu, Rama mengelus rambut Anisa penuh sayang.
"Aku pergi dulu." pamitnya.
Tanpa banyak bicara, Anisa mengangguk patuh. Rama pun berjalan lagi menuju pintu dan kali ini ia benar-benar hilang dari pandangan Anisa.
Anisa duduk di sofa tempat Rama tidur setiap malamnya. Entah kenapa ia merasa resah kali ini. Tapi ia tidak tau apa yang harus ia lakukan dan katakan saat ini.
Setiap orang boleh punya kekurangan, tapi kita punya Tuhan yang akan memberi kelebihan.
Dan sekarang Anisa tau, yang ia bisa lakukan hanya berdoa. Satu-satunya hal mudah yang dapat ia lakukan kapan pun dan dimana pun. Anisa berharap semoga Tuhan memberikan kelebihan berupa kesabaran yang luar biasa untuk menghadapi semua kekurangannya.
*****
Rama mengunyah roti yang disiapkan ibunya di meja makan dan segera duduk di kursi kemudi mobilnya. Pukul 7.30 ia bisa saja datang terlambat, tak masalah toh siapa yang akan memecatnya.
Tapi Gadis? Bagaimana jika tokonya baru buka saat Gadis datang?
Rama menyalakan handphonenya yang baru ia cas saat sampai di rumah tadi. Bodoh Ram! Kenapa sebelum tidur ia bisa tak ingat jika batrai ponselnya lemah?
Dilihatnya 12 missed call dan 20 new message. Tanpa membuka pun Rama tau jika itu pasti berasal dari Gadis untunglah sebelum pulang kemarin Gadis meminta nomor teleponnya. Jika tidak? Mungkin ia tidak akan mendapatkan pesan dari Gadis yang mengatakan berkasnya tertinggal di sana dan mengharuskannya untuk kembali ke apartemen wanita itu.
Rama sampai pada apartemen wanita itu pada pukul 8, Gadis yang memang sedang menunggunya sedari tadi di lobi segera menghampiri lelaki yang berada dalam mobil hitam keluaran terbaru ini.
"Thanks Dis! Nunggu lama ya? Maaf." kata Rama setelah menerima berkasnya yang ketinggalan.
"Gak papa kok Ram. Lain kali itu diangkat orang telpon, aku kira kamu ada apa-apa di jalan, Ram." Gadis tersenyum. Rasanya senang sekali hari ini. Betapa Tuhan begitu baiknya memberikan jalan lagi untuk bertemu dengan Rama pagi ini.
Gadis sengaja bangun pagi-pagi sekali dan mengobrak abrik lemarinya untuk mendapatkan rok skinny berwarna fucshia, dengan atasan blouse bunga-bunga berwarna biru yang kontras dengan warna rok nya. Tapi biarpun begitu, ia tetap terlihat cantik dan sama sekali tidak kampungan.
"Kamu langsung berangkat ini Dis?"
Gadis mengangguk, "Iya aku jalan duluan ya Ram, soalnya tokoku udah buka."
Segera Gadis berbalik dan melangkah pergi, sebelum akhirnya suara Rama menginterupsi langkahnya.
"Ayo naik Dis, aku antar!"
Gadis ingin bersorak di depan gedung apartemennya. Ya Tuhan, jadi begini rasanya kasmaran cinta masa sekolah. Masa iya udah gak sekolah, tapi dikasih cinta malu-malu-in kayak gini?
Gadis berbalik setelah berdehem keras dan meredakan senyum yang ia sendiri tidak bisa kendalikan.
"Emang gak ngerepotin kamu?"
Rama menggeleng cepat, "Enggak, ayo naik!"
Setidaknya ini balasan terima kasih Rama karena Gadis sudah mau repot-repot menunggunya. Hal itu tak salah kan?
--------