My Unplanned Husband

By Happiness_sugar

1.5M 36K 583

Takdir tak akan pernah ada yang tau kecuali sang maha kuasa. Ada yang bilang, batas antara cinta dan benci it... More

Welcome
Part 01
Part 03
Part 04
Part 05
Part 06
Part 07
Part 11
Part 12
Part 13
Part 16
Pengumuman
Part 17
Part 19
Part 20
Part 21
Part 23
Part 24
Part 26
Part 27 Bab 2
Part 28
Welcome back
Kabar Bahagia!!!
VOTE COVER
Akhirnyaa

Part 02

80.5K 2.8K 31
By Happiness_sugar


Hening, senyap dan dingin, itulah suasana yang kuhadapi saat ini. Duduk diam dialam mobil BMW X6 berwarna hitam yang melaju dengan normal membelah keramaian kota. Entahlah, aku sendiri bingung.

Setelah keributan pagi tadi, tiba-tiba saja papa dan mama menyeretku kesebuah restoran dan mempertemukanku dengan keluarga Om Jaya. Kami-tepatnya hanya papa, mama dan Om Jaya- merundingkan masalah kaburnya Kak Niken dan kelangsungan pernikahan yang kurang seminggu lagi dilaksanakan.

Karena tak ingin menanggung malu dan pernikahan ini adalah keinginan terakhir dari istri Om Jaya yang biasa ku panggil Tante Via, akhirnya dengan segala pertimbangan dan persetujuan dari kedua belah pihak. Pernikahan ini tetap berlangsung, pernikahan Rendra Ramiro Dhananjaya denganku.

Setelah pertemuan itu, aku dipaksa untuk pulang bersamanya. Namun sejak 15 menit yang lalu, dia masih saja diam menatap lurus kedepan tanpa menoleh sedikit saja padaku.

Hal itu membuatku gugup sekaligus bingung, apakah dia merasa terbebani dengan keputusan ini? jika iya, kenapa tadi dia tidak menolaknya? Atau dia sekarang sedang menyesal dengan keputusannya? Semua pikiran nengatif menyerangku dengan membabibuta.

Otakku rasanya ingin pecah saat ini. Akhirnya kuputuskan untuk tetap diam dan melamun menatap kejendela disebelahku yang menampilkan pemandangan ramainya jalanan yang kami lewati. Namun sebuah deheman akhirnya menyeretku untuk kembali kedunia nyata.

"Bagaimana kabarmu? Sudah hampir 10 tahun kita tak bertemu.Maafkan aku jika keputusan mendadak ini memberatkanmu, tapi aku ingin kebebasan. Karena pernikahan ini satu-satunya jalan agar aku bisa mendapatkan kebebasan, jadi ku harap kau bisa bekerjasama dalam pernikahan ini."

Aku yang sebelumnya diam malah semakin terdiam. Menatap lurus kedepan sambil meremas jari-jariku yang berada diatas pahaku.

Apalagi masalah yang akan datang? Sebenarnya Kak Niken dan orang disebelahku ini tak ada bedanya, mereka mengharapkan sebuah kebebasan. Hanya saja cara mereka untuk mendapatkannya itu yang berbeda. Kupikir dia berbeda, karena jujur saja bagiku Ramiro terlihat seperti orang yang sangat pendiam, penurut dan bertanggung jawab, sehingga aku menyetujui pernikahan ini. Karena kupikir aku masih bisa mengharapkan sedikit kebahagian darinya. Ternyata pikiran itu salah, sangat salah.

"Tenang saja, aku menganggap pernikahan ini ada dan akan menganggap kau sebagai istriku dimata semua orang. Tapi jangan sampai kau melibatkan perasaanmu, aku tak bisa menerimanya dan aku juga membenci perceraian. Kau tau bagaimana aku kan, dunia malam, klub, wanita dan nafsu sudah mendarah daging padaku dan kau tak bisa melarangku. Mau tak mau kau harus menerimanya dan jangan sekali-kali meminta perceraian nantinya." Aku terus membisu, terlalu bingung untuk mengatakan apa yang ada dipikiranku.

Entahlah, didalam pikiranku hanya ada KENAPA HARUS AKU YANG MENGHADAPI INI SEMUA. Entah aku yang terlalu lama diam atau memang dia menambah kecepatan mobilnya, tiba-tiba saja kami sudah sampai didepan rumahku.

"Terimakasih sudah mengantarku, Assalamualaikum."

Saat aku akan keluar dari dalam mobil, dia menarik tangan kananku dan mendudukkanku kembali. Setelah itu merebut dompet yang kubawa dan mengambil handphoneku. Dia sepertinya memasukkan nomor handphonenya dan setelah itu mengembalikan dompet beserta handphoneku.

"Besok jam 10 tunggu aku di cafe Secret Garden, kau tau tempatnya bukan gadis pintar." Aku mengangguk mengiyakan perintahnya. Suaraku seperti hilang ditelan bumi. Mungkin karena aku terlalu shock dengan pernyataannya tadi.

"Okey, cepat masuk ke kamar and have a nice dream, sayang." Aku hanya menatapnya sekilas kemudian bergegas keluar dari mobil dan masuk kedalam rumah.

Rasanya hari ini adalah hari yang paling melelahkan dalam hidupku. Setelah masuk kedalam kamar, aku berganti pakaian dan menidurkan diriku. Mungkin karena terlalu lelah, akhirnya aku jatuh tertidur tanpa harus menghitung domba terlebih dahulu.

Keesokan paginya, aku terbangun dengan malas menatap sekeliling kamarku sendiri. Jika saja Kak Niken tak kabur, pasti sekarang aku sudah mulai mengemasi barang-barangku untuk pergi ke Paris.

Menjadi desainer adalah satu-satunya impianku yang tersisa. Dan mungkin setelah ini, hanya akan ada aku dan segudang kesusahan yang telah menanti.

Kenapa saat aku baru saja akan berhasil membuka pintu kebebasanku selalu saja ada yang menguncinya kembali? Apa salahku di kehidupan yang sebelumnya hingga sekarang harus seperti ini?

Akhirnya kuputuskan untuk membersihkan kamarku untuk menghabiskan waktu, jujur saja kamarku seperti kapal pecah saat ini. Buku-buku berserakan dimana-mana, entah itu dilantai, ditempat duduk yang menyatu dengan jendela menghadap ke taman belakang, di tempat tidur bahkan hingga di kursi gantung yang kuletakkan dibalkon.

Aku sendiri yang mendesain kamar ini, karena inilah satu-satunya tempat dimana hanya aku yang bisa mengaturnya dan memilikinya. Dengan kamar yang bernuansa hitam dan putih terkesan nyaman dan hangat namun juga misterius ini aku biasa menghabiskan waktuku.



Sepertinya aku terlalu terobsesi dengan dua warna itu, karena hampir seluruh pakaian, perabot dan benda milikku berwarna kedua warna tersebut. Entahlah, bagiku kedua warna itu seperti diriku.

Ada saat dimana sisi putih akan memenuhi diriku dan akan ada juga saat dimana sisi hitam yang lebih mendominasi diriku. Namanya hidup siapa yang tau bukan.

Tak terasa aku menghabiskan 3 jam berhargaku hanya untuk membersihkan kandangku sendiri. Badanku berkeringat dan sepertinya berendam dengan air hangat beraroma mawar dan vanilla sangat menyegarkan.

Aku sudah menunggunya selama 30 menit di kafe yang dia tentukan sendiri. Jika saja dia bukan orang yang kuhargai maka tanpa babibu aku pasti sudah meninggalkannya 10 menit yang lalu. Aku melanjutkan kegiatanku membaca novel dan mengacuhkan segelas cappucino hangat didepanku. Sepertinya capuccino itu tak bisa disebut hangat lagi, karena asap yang mengepul tadi sudah menghilang begitu saja.

Tiba-tiba seseorang menduduki kursi didepanku, seseorang dengan setelan jas berwarna hitam senada dengan celana kainnya yang dipadu dengan kemeja putih yang melekat pas ditubuhnya seperti memang dijahit khusus untuknya.

Karena penasaran akhirnya kuarahkan pandanganku kewajahnya dan terlihatlah seseorang dengan mata berwarna abu-abu yang tajam itu sedang menatapku tanpa ekspresi. Setelah itu dia memanggil pelayan untuk memesan secangkir americano dan kembali menatapku.

"Aku tadi ada kerjaan." Tanpa kata maaf dan tanpa salam, apakah dia tak mengerti tata krama sedikit pun. Ahh kenapa aku harus bertemu dengan seseorang yang menyebalkan seperti dia dalam hidupku yang sudah suram ini. dia membuat hidupku semakin suram saja.

"Assalamualaikum, aku gak peduli dan to the point aja mau ngomong apa. Waktuku itu berharga." Dia menyipitkan matanya yang membuat matanya semakin mempesona saja.

Ramiro memiliki wajah diatas rata-rata wajah Indonesia dengan rahang tegas, hidung mancung, iris mata abu-abu yang tajam, rambut hitam, lesung pipit dikedua pipinya dan terakhir bibir penuhnya yang agak kemerahan alami. Dia memang bukan asli keturunan pribumi, dia blasteran Jerman-Indonesia. Semua orang pasti akan berpikir 2 kali untuk mengalihkan pandangannya dari manusia setampan dewa didepanku ini. Seperti saat ini saja, hampir seluruh pengunjung kafe -khususnya wanita- menatapnya dengan mata lapar.

"Whoa, apakah ada yang salah dengan capuccino yang kau minum? Kau sangat menyebalkan. Lebih menyenangkan bisa berhadapan dengan wanita menyebalkan sepertimu. Bukankah kau pengangguran nona? Seharusnya aku yang mengatakan tentang waktu siapa yang berharga. " Sepertinya dia benar-benar gila. Aku hanya bisa memutar bola mataku dan kembali fokus pada novel ditanganku yang bagiku 100x lebih menarik daripada orang gila didepanku ini.

" Setidaknya aku tak gila sepertimu. Aku tak peduli dengan waktu berhargamu itu Mr. Ramiro, dan bisakah kau segera mengatakan apa tujuanmu mengadakan pertemuan ini?" Dia menanggapi ucapanku dengan senyum tipis yang bisa dikatakan itu adalah seringaian.

"Aku hanya ingin kau menemaniku meminum segelas kopi di pagi hari Ms. Renata. Kau benar-benar berubah ya, dulu kau gadis manis yang penurut sekarang kau menjadi wanita dengan mulut tajam dan mungkin saja pembangkang. Tapi setidaknya kau lebih jinak dibandingkan kakakmu." Dia benar-benar gila dan sebentar lagi mungkin aku yang gila. Dia membuatku menunggu selama 30 menit hanya untuk menemaninya meminum kopi.

"Kau membuang-buang waktuku. Tapi ada yang ingin kukatakan padamu." Dia menyangga kepalanya dengan telapak tangannya diatas meja kemudian memiringkan kepalanya dan menatapku sambil menyeringai. Dia iblis, dan dengan senang hati aku yang akan jadi malaikat pencabut nyawanya.

Ini waktunya, aku sudah memikirnnya secara matang. Apapun akibatnya aku yang akan menanggungnya. Aku tak bisa membohonginya, bagaimanapun juga ini pernikahan bukan permainan. Tak ada kata restrat dalam pernikahan dan bagiku pernikahan hanya akan kulakukan 1x dalam hidupku. Ya, aku harus mengatakannya. Aku harus mengatakan ini padanya.

Continue Reading

You'll Also Like

5K 232 4
Ketika berusaha kabur dari orang-orang ayahnya, Kirana menumpahkan latte pada seorang pria yang menghalangi jalannya, menggagalkan kaburnya. Terima k...
118K 4.9K 30
Alvio Kaleo, seseorang dengan sifat dingin yang berbanding terbalik dengan Fradila yang selalu terlihat ceria, namun siapa sangka ia mempunyai cerita...
266K 8.7K 38
WAJIB FOLLOW SEBELUM BACA! COMPLETE ✅ HR #72 in Fanfiction 17/05/2018 Ketidak tahuanya akan maksud buruk dari lelaki yang menikahinya, membuatnya har...
2.4M 109K 47
⚠️ Jangan menormalisasi kekerasan di kehidupan nyata. _______ Luna Nanda Bintang. Gadis itu harus mendapatkan tekanan dari seniornya di kampus. Xavie...