LaQueen

By LupitaZhou

192K 14.3K 1.5K

"Ketika cinta tak harus memiliki tetapi juga merelakan..." Kisah kembar Laqueena dan Laquisha, sang pengidap... More

p r o l o g u e
LaQueen 1
LaQueen 3
LaQueen 4
LaQueen - 5
LaQueen - 6
LaQueen - 7
LaQueen - 8
LaQueen - 9
LaQueen 10
LaQueen 11
LaQueen 12
LaQueen 13
LaQueen 14
LaQueen 15
LaQueen 16
LaQueen 17
PENGUMUMAN PO ALANIS
LaQueen 18
LaQueen 19
LaQueen 20
LaQueen 21
LaQueen 22
LaQueen 23
LaQueen 24
LaQueen 25
LaQueen 26
LaQueen 27
INTERMEZZO - REAR VIEW
LaQueen 28
LaQueen - 29
LaQueen 30
LaQueen 31
Intermezzo - Minta Pendapat
LaQueen 32
LaQueen - 33
LaQueen - 34

LaQueen 2

8.6K 614 44
By LupitaZhou


Deru napas yang memburu itu berpacu dengan suara pukulan setir mobil yang cukup keras. Ledarius Barnaby tak mampu menahan emosi yang sedang menguasai dirinya. Bagaimana mungkin dalam waktu satu hari sudah ada dua orang yang menghinanya sebagai lelaki bisu? Saat bertemu dengan perempuan di lobi flat ia memang sempat mendengar teriakan perempuan itu. Tuhan memang baik, terkadang orang yang memiliki kekuarangan seperti dirinya justru diberi kepekaan lebih terhadap hal lain. Dan indra pendengarannya begitu tajam sehingga ia mampu menangkap setiap makian yang tertuju kepadanya.

Bukan... ia bukan tunarungu. Ia kehilangan suaranya tidak sejak lahir, tetapi sejak sepuluh tahun yang lalu. Kecelakaan naas itu yang telah merenggut sesuatu yang amat berharga bagi dirinya. Suara. Ya, mungkin hanya sebuah suara. Tetapi itu mampu membuatnya larut dalam frustasi panjang yang menyiksa. Ledarius--atau biasa dipanggil Darius—menundukkan kepalanya, mencoba meredam emosinya yang sedang memuncak dan siap menguar bersama asap tak kasat mata yang keluar dari dalam kepalanya.

Tidak, ia bukan tipe lelaki yang mudah mengumbar emosi sejak dulu. Ia lebih suka memendamnya dan melampiaskan pada benda-benda di sekitarnya. Dan kali ini, kemudi mobil yang menjadi korban. Darius menyandarkan dirinya di kursi kemudi, kepalanya menengadah dan pandangannya menerawang.  Ia larut dalam sebuah perenungan.

Terkadang ia berpikir mengapa orang lain lebih mudah mengatakan hal buruk tanpa dicerna kembali bahwa kata-kata mereka bisa menyakiti orang lain. Baik, dua perempuan asing itu memang tidak mengetahui apa-apa mengenai kondisinya, tetapi tetap saja mereka telah menyakiti hatinya. Terlebih perempuan di dalam gedung pertunjukan itu. Perempuan yang tiba-tiba datang di hadapannya dan memaki tanpa alasan yang jelas.

Bruuaakk!!!

Darius kembali memukul setirnya keras, tidak peduli rasa ngilu yang timbul memijit jemarinya sesaat setelah pukulan keras itu. Rasa penat dan pening membuat otaknya tidak bisa berpikir jernih. Hazel-nya kemudian tertumbuk pada benda yang teronggok di kursi kemudi yang ada di sisinya. Sebuah biola berdawai patah. Sepertinya ia harus ke toko alat musik untuk memperbaiki biola ini... atau membeli yang baru? Entahlah... yang jelas biola ini harus segera diselamatkan sebelum pertunjukan itu berlangsung.

Darius kembali fokus pada kemudinya, ia menyalakan mesin mobil. Tetapi sedetik kemudian ia mematikan lagi saat melihat sebuah mobil Lamborghini berwarna kuning metalik yang melintas pelan di area parkir gedung pertunjukan ini. Darius sangat mengenali mobil itu, terutama pemiliknya. Mobil yang telah lama ditinggal oleh sang pemilik. Tetapi kini sang pemilik itu telah kembali dan Darius mendadak benci dengan kenyataan itu. Lamborghini itu kini telah bersanding rapi di sisi mobilnya.

Aaaarrgh!!!

Rasanya hari ini benar-benar hari terburuk dalam hidup Darius setelah kecelakaan naas itu. Darius menggigit bibir bawahnya. Ia tidak ingin bertatap muka dengan sang pemilik Lamborghini. Tidak di saat suasana hatinya sedang tidak baik. Bertemu dengannya sama dengan memperparah mood.

Pintu Lamborghini terbuka ke atas dengan begitu gagah. Sang pemilik yang mengenakan pakaian serba hitam turun dengan penuh percaya diri. Tubuh lelaki itu jangkung dan tegap. Dengan dada bidang serta otot-otot yang menonjol di aliran nadi lengannya. Dari samping, Darius bisa melihat rahang kokoh yang selalu menjadi ciri khasnya. Sudah tiga tahun berlalu, dan ia masih sama. Dengan keangkuhan yang tak akan pernah hilang. Dengan sorot tajam yang selalu penuh dengan otoritas. Dengan seringaian yang menjadi senyum andalannya.

Darius berdecak sebal saat lelaki itu menoleh ke arahnya dan menatapnya dari balik kacamata hitamnya. Lelaki itu menyunggingkan senyum sinis pada Darius sebagai salam pembuka.

Lelaki itu kemudian berjalan pelan ke sisi kemudi mobil Darius dan masuk ke dalam tanpa permisi, melemparkan biola Darius begitu saja di jok belakang.

"Apa-apaan?!" pekik Darius dengan bahasa isyarat yang  sangat lancar. Sudah sepuluh tahun ini ia selalu berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Dan lelaki di sisinya ini juga fasih  berbahasa isyarat meskipun ia bukan penyandang disabilitas.

Lelaki itu melepaskan kacamata hitamnya dan menoleh kembali ke arah Darius. Senyum sinisnya tetap terukir indah dari bibir tebalnya yang cukup sexy. Kilau iris safir itu menatap Darius lekat seakan melakukan penilaian singkat.

"Sekarang kamu terlihat lebih dewasa," ujar lelaki itu sambil menepuk lengan Darius pelan.

Darius mengernyit tidak suka. Ia menepis lengan lelaki itu dengan kasar. "Jangan ganggu aku! Keluarlah! Mood-ku sedang tidak baik!" kembali Darius menggerakkan tangannya untuk berkomunkasi dengan lelaki itu sebelum memalingkan wajahnya.

Pemandangan beberapa mobil yang terparkir sejajar dan rapi lebih menarik perhatiannya dibanding menatap iris mata  safir itu. 

"Sepertinya Darius yang aku kenal tidak mudah mengumbar emosi. Apakah kepergianku yang lama membuatmu pada akhirnya ingin berpura-pura menjadi aku dengan meniru sifat-sifat yang melekat pada diriku? Selamanya kita berbeda, Darius," ujar lelaki itu dengan nada datar.

Darius melengos sekaligus mencibir. Ia malas menatap mata safir yang selalu mengintimidasi. Lelaki itu diam, ia seperti memberi jeda pada Darius untuk mendinginkan kepalanya. Darius sendiri merasa heran mengapa ia berubah menjadi begitu moody. Padahal sebelumnya ia tidak pernah seperti ini. Darius mencoba untuk menarik dan menghembuskan napas berkali-kali hingga sedikit merasa tenang.

"Masih bermain biola?"

"Ya. Dan sekarang biolaku rusak." Darius menunjuk-nunjuk biola yang tadi dilempar oleh lelaki bermata safir itu.

"Sebagai hadiah kepulaganku, aku akan membelikan biola yang baru untukmu. Bagaimana?" Mata safir lelaki itu kini melembut. Kedua alisnya terangkat pelan dan bertaut, bibirnya membentuk senyum simpul yang menawan dan pasti mampu membius perempuan mana pun yang melihatnya.

Darius hanya mengedikkan bahu acuh. Tetapi di sisi lain ia begitu tergiur akan hadiah yang akan diberikan. Biola baru? Siapa yang tidak menginginkannya? Dan ia bisa memastikan nanti akan mengambil biola paling mahal. Darius tersenyum licik. Ia tahu bahwa kakaknya ini tidak akan pernah mengecewakannya di balik sikapnya yang sangat keras dan angkuh.

Darius akhirnya menoleh dan balas tersenyum. Mood-nya tiba-tiba membaik. Ia mengacungkan ibu jarinya tanda bahwa ia menyetujui penawaran yang diberikan lelaki itu. Kedua kakak adik itu tertawa pelan dan Darius segera menyalakan mesin mobilnya menuju toko peralatan musik.

***

Queen berkali-kali melihat jam tangannya dengan hati yang kalut. Hari ini ia memasuki minggu-minggu awal semester di kampus dan jika sampai terlambat ia bisa memiliki nilai minus di mata beberapa dosen yang memang menerapkan disiplin yang sangat tinggi. Queen membuka ponselnya dan melihat jadwal kuliahnya dengan mata pedih. International Security, ia selalu cinta dengan mata kuliah itu. Dan ia berharap pada pertemuan pertama ini ia tidak membawa kesan yang buruk.

Queen adalah seorang mahasiswi di University of Moscow dan mengambil jurusan International Relation. Entah mengapa Queen suka sekali dengan hal-hal yang berbau politik dan penyelesaian konflik-konflik internasional di negara rawan perang. Jika tak mampu meraih mimpinya menjadi balerina, maka ia ingin menjadi duta perdamaian PBB.

Hal itu bukan tanpa dasar. Mungkin kesenangan itu menurun dari kakek-kakeknya yang merupakan salah satu petinggi di FBI.

Karena jalanan kota Moskow di pagi hari yang cukup padat,  mobil yang dikemudikan oleh daddy-nya yang bernama Kenny Alessandro, tiba di pelataran depan fakultas Queen 30 menut kemudian. Queen segera mencium kedua pipi Kenny sebelum turun dari mobil.
"Doakan aku tidak terlambat, Dad."

"Sure, dear. Be carefull... jangan pernah ceroboh jika tidak mau membahayakan dirimu sendiri." Kenny terkekeh sambil mencium kening putrinya.

Queen memutar bola matanya sebal. Itu adalah kalimat yang selalu diucapkan oleh Kenny tiap kali Queen akan menghilang dari jerat pengawasan Kenny. Kenny memang merupakan ayah yang sangat protektif. Meskipun Kenny bukan ayah kandung Queen tetapi Queen mencintainya lebih dari apa pun. 

"Aku pergi dulu, Dad." Tanpa menunggu balasan dari Kenny Queen segera berlari pelan masuk ke gerbang fakultasnya dan menyusuri lobi untuk menuju kelas yang terletak di lantai empat. Ia memandang lift yang sepi dan berniat untuk menaikinya.

Pintu lift terbuka secara otomatis. Tetapi jarak Queen dengan lift itu masih ada beberapa meter. Queen berlari agar lift tidak segera tertutup.

Bruaaak!!

"Aaaaagghh!!" teriak Queen saat ia tiba-tiba jatuh terjerembab.  Queen panik, ia melihat dirinya sendiri dan bernapas lega ketika tidak mendapati luka. Ia menoleh ke arah orang yang sengaja menabraknya.

Mata hazel Queen terbelalak saat menangkap sosok yang ia kenal... bukan.. lebih tepatnya sosok yang ia tahu. Lelaki dengan biola yang kemarin juga bertabrakan dengannya di depan lift flat!

Oh God! Pekik Queen dalam hati. Tiba-tiba saja mood hari ini memburuk meskipun kemarin ia sempat merasa... Eeerrr... tertarik dengan mata hazel itu kemarin.

Aargh!! Lupakan Queen!!! Ini bukan saatnya untuk menikmati indah ciptaan Tuhan. Ini adalah waktu-waktu yang sangat genting menghindari keterlambatan! jerit suara hati Queen.

Queen beranjak untuk segera  masuk ke lift. Tetapi lelaki itu dengan santainya menutup pintu lift secara tiba-tiba, tepat saat Queen sudah berada di depannya.

"Aaarghh!!" teriak Queen tanpa mampu mengeluarkan kata umpatan. Ia akhirnya menghela napas panjang dan memijit keningnya sendiri yg terasa pening akan kejadian  tidak mengenakkan pagi ini. Ia harus menunggu beberapa saat lagi di depan lift dan tentu itu akan memakan waktu.

Jantung Queen tiba-tiba berdetak tidak normal. Ia merasa bahwa hari ini memang bukan hari baiknya. Entah kenapa....

***

"Lima menit. Anda terlambat lima menit, Miss...." nada suara lelaki itu menggantung.

Queen menelan salivanya dengansusah payah. Ia mencengkeram erat buku jurnal tebal yang sengaja ia bawa dengan tangan agar terlihat seperti mahasiswa rajin walaupun tas ranselnya mampu menampung benda itu.

"Laqueena, Prof," jawab Queen dengan kepala menunduk. Ia benci saat dirinya menjadi pusat perhatian seluruh mahasiswa di kelas. Ia merasa bagai anak elementary school atau bahkan kindergarten yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah dan dihukum oleh gurunya.

Menyebalkan!!! Ingin rasanya Queen menangis saat ini. Ia ingin memeluk boneka saljunya.

"Biasakan melihat mata lawan bicara anda jika sedang berbicara, Miss Laqueen." Suara bariton itu mampu menusuk jantung Queen.

"Queen, Professor... cukup panggil aku dengan Queen," sergah Queen entah mendapat keberanian darimana.

Queen pada akhirnya mengalah dan menatap mata itu. Ia menahan napas saat merasakan aura yang berbeda dari lelaki di depannya. Dosennya ini masih terbilang muda. Jika Queen menebak usianya mungkin sekitar 30 tahun.

Rahangnya kokoh dan keras membentuk gurat wajah yang tegas. Rambutnya cokelat gelap sedikit panjang dan tidak di sisir sehingga tampak urakan. Bibirnya tebal, ranum dan seakan berteriak untuk minta dicium.

Aarrgh! Queen menghalau bayangan-bayangan mengerikan yang saat ini menari di otaknya. Sepertinya ia terkena sindrom sesak napas saat melihat lelaki tampan seperti kejadian kemarin.

Tetapi yang membuat Queen merasa istimewa dari lelaki ini adalah mata safirnya. Mata itu seolah menyedot Queen ke dalam dunia tanpa dimensi.

"Sudah selesai mengagumi diriku, Miss Queen?"

Queen tersentak dan kembali ke realitas saat suara bariton itu menyapanya sekali lagi dengan nada yang tegas.

Ya Tuhan... seandainya bumi bisa menenggelamkannya saat ini! Ia sungguh malu! Apalagi ia menjadi tontonan seluruh kelas.

"Duduklah dan jangan terlambat lagi di pertemuan selanjutnya," perintah dosen yang Queen sendiri tidak tahu namanya itu.

Queen berjalan pelan mencari bangku yang kosong. Dan ketika ia mendapati sebuah bangku kosong di ujung ruangan, ia kembali dikagetkan dengan mata hazel yang menatapnya tak bersahabat.

Aaargg!!! Wahai bumi dan langit... tolong tenggelamkan aku saat ini juga!!! pekik Queen dalam hati dengan gusar.

TBC

wuaaa... akhirnya post Laqueen.. maap lama.. idenya lagi banyak di alanis.. maklumin yaa.. bagi ide itu ssah banget loh...

Votement yaa...

Peluk Cium, LupitAra :*

Continue Reading

You'll Also Like

ZiAron [END] By ✧

Teen Fiction

7.8M 734K 69
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA, SEBAGIAN PART DI PRIVAT ACAK. TERIMAKASIH] _________________________________________________ (16+) Hanya kisah kedua pasang...
8.4M 673K 71
Kanesa Alfira hanya berencana berlibur usai resign dari Tano Group setelah bekerja selama 6 tahun. Memilih pulau Komodo sebagai destinasi liburan 2 m...
ALVASKA By Ay

Teen Fiction

31.5M 2.2M 49
©2021
5.8M 337K 17
"Ayang pelukkk" "Yang kenceng meluknya" "Ayang mau makannn" "Ayangg ciummm" "Ayanggg ikutt" "Ayanggggg" Pertamanya sok-sok an nolak.. Ujung-ujun...