Steal My Boy

By rswna_

5.8K 575 139

Araminta Azalea selalu yakin dirinya bisa meluluhkan hati Rajendra yang semula es menjadi air, yakin bisa mem... More

Arti nama pangeran
Si 'masalah besar'
Peraturan Rajendra
Kembali ke masa lalu
Satu bulan yang berat
See you again
Kematian tak terduga
Tidak sama layaknya hari yang lain
Berbeda dari hari yang lain
She left me
Farewell
Unexpected
Undercontrol
Putri Azalea's gift
Easy go
Hello, Paris!
Wanted
Lamaran Dingin....
What the.....

mimpi atau?

193 18 1
By rswna_

Jendra terlihat menahan kesalnya pada Ara yang baru saja duduk disampingnya dengan menutup pintu mobil dengan membantingnya keras.
Berusaha sabar akan jadi kebiasaannya mulai sekarang.

"Ngapain sih kamu ngikutin Ara?"

Sekedar menoleh dan mendapati wajah Ara yang tak kalah juteknya. Apa sekesal itu hanya karena Jendra mengikutinya?

"Udah sampe. Kamu mau turun atau saya turunin?"

Ara memilih turun dari mobil tanpa berkata apapun lagi. Pangerannya itu masih menjelma seperti pangerannya yang dulu. Masih seenaknya sendiri dan tidak mau menurutinya, ditambah suka memaksa layaknya tadi.

"Kita mau liat keadaan Rasti atau Daffa dulu?" Jendra menghentikan langkahnya.

"Terserah"

"Saya nanya kamu, Ara. Nggak boleh ada kata terserah diantara kita"

Ara memutar bola matanya geram. Pernyataan macam apa itu?

"Kalo gitu kamu mau kemana dulu?" Ara berbalik tanya.

"Kok malah kamu yang gantian nanya saya?"

"Aku nggak mau ada protes diantara kita, Pangeran"

Pa-nge-ran?

Ara mengutuk bibirnya yang tak bisa dicegah itu. Bukannya membuat Jendra kesal, malah membuatnya kini senyum-senyum ambigu kearahnya.

"Aku nggak akan protes lagi kalau gitu."

Digenggamnya tangan Ara lalu berjalan ke ruangan tepat dimana Rasti berada. Disana terlihat Farid yang masih tertidur di sofa. Anak itu sudah banyak sekali membantunya. Jadi heran, kenapa lelaki seperti Farid masih belum menemukan wanita? Padahal setahunya banyak wanita yang berusaha mendekatinya.

"Kak Rasti kurusan ya, Jen" ucap Ara yang duduk didekat Rasti dan menggenggam tangannya yang cukup dingin itu.

"Permisi, ada keluarga yang ingin bertemu dengan Ny. Rasti sekarang"

Tak lama setelah dokter itu bicara, masuklah beberapa orang yang sangat dikenal Jendra. Ya, orangtuanya yang sudah lama tidak dijumpainya. Malah semuanya bertemu ketika waktu malah menyedihkan seperti sekarang.

Jendra memperhatikan wajah bundanya yang memeluk Rasti yang belum sadarkan diri juga. Bundanya, melihatnya saja tidak. Sedangkan ayahnya mulai berjalan kearahnya.

Ia tahu raut wajah itu. Ekspresi kedua orangtuanya masih sama seperti dahulu lagi. Seperti sebelum kejadian ini menjadi kedua kalinya.

"Farid bilang tangan kamu patah. Belum juga kamu obatin?" Kata ayahnya dengan wajah serius.

Diliriknya Farid yang sudah bangun dari tidurnya dan menunjukan kedua jarinya membentuk peace kearahnya.

"Udah sembuh"

"Suster! Hem tolong bawa anak ini. Tangannya patah"

Jendra menggelengkan kepalanya saat suster itu menariknya. Sebelum berhasil lolos keluar, dilihatnya Ara yang melihatnya khawatir. Ya, semoga benar begitu, dan Jendra berharap begitu.

**

"Lain kali, sebelum parah seperti ini, harusnya Pak Jendra pergi untuk memeriksa tangan bapak. Sebelum terjadi pembengkakan seperti ini."

"Jangan panggil saya Pak" omel Jendra saat mengetahui dirinya dipanggil bapak.

Walau sudah berumur begini, Jendra belum mau dipanggil bapak sebelum ia punya keturunan. Memangnya setua itu dirinya?

"Hahaha, anda persis dengan ayah anda"

Jendra mengangkat sebelah alisnya. Tak mengerti maksud dokter itu barusan,

"Hem, saya lupa berkenalan. Saya Mahenra, teman ayah anda. Begini, sebelum Frans menikah dengan ibu mu, sering sekali dia berkunjung kerumah sakit ini karena keluhannya entah itu kecelakaan balap liar, tawuran, bahkan pernah jatuh dari lantai 3, untung masih selamat, dan punya anak setampan anda. terakhir kemari, dia mengomeli saya karena memanggilnya bapak. Katanya dia belum punya anak, menikah saja belum, saat itu saya jadi menganggapnya lucu."

Bibir Jendra masih terbuka sekarang, mendengar perkataan dokter itu membuatnya tak percaya sama sosok ayahnya sendiri. Ia bahkan tidak tahu menahu masalah ayahnya dulu.

Jangankan tawuran, ia kira ayahnya hanya pria cupu saat disekolah berkat perbincangannya dengan ayahnya memang sangat irit dan jarang.

"Kenapa lama banget, Jen?"

Seseorang menyentuh bahunya dan sentuhan itu terasa hangat menembus kemejanya. Tidak, tidak mungkin itu Farid, atau ayahnya, juga bundanya. Pasti bukan.

"Jen? Kamu nggak papa?"

Dilihatnya kesamping, dan matanya menemukan Ara yang masih menampakkan wajah khawatirnya.

"Saya permisi,"

"Kok kamu jadi keluar duluan, emang dokternya udah selesai ngomong? Dia bilang kamu kenapa? Sakitnya gimana? Parah atau...."

"Pangeran kamu nggak papa, sayang"

Ara tak tahu harus bagaimana menanggapi perkataan pangerannya. Kalau diam saja, pasti terlihat kalau ia tengah salah tingkah. Tapi kalau bicara, bicara apa?

"Muka kamu merah, Ra. Malu ya?"

Oh my god!
Kenapa juga muka gue bisa merah? Malu-maluin aja sih Ara!!

Ara masih mengutuki dirinya dalam hati. Masa sih mukanya merah. Ia harus menyentuh wajahnya. Kalau panas berarti memang benar wajahnya merah seperti kata Rajendra.

"Boongin. Hahahaha" tawa keras Jendra terdengar jahat ditelinganya.

"Nggak. Lucu. Jen!"

"Hahahahahahaha"

"Aaaa udah dong. Diliatin orang aku malu"

Setelah melihat Ara hilang dibalik pintu, ia menghetikan tawanya. Sebenarnya itu tadi tawa terkerasnya sepanjang masa. Tapi Ara malah menyuruhnya jauh-jauh darinya.

***

Pagi kembali menyapa Ara.
Ya, akhirnya ia menyerah untuk segera bangun karena sinar matahari terus memanasi sebelah wajahnya.

"Pagi, putri tidurku"

Mendengar suara yang tak asing itu, Ara melotot lebar dan beranjak dari ranjangnya.

"Pangeran! Ngapain disini?!"

hup! Keceplosan lagi.

"Ngapain disini? Ini kamar saya, Ara. Kamar saya"

Kata-kata 'kamar saya' ditekankan lagi kali ini. Membuat Ara menatap sekeliling kamar yang membuatnya tidur nyenyak semalam.
Kalau dipikir-pikir, rumahnya di Jakarta masih jauh dari tempat Rasti dirawat semalam. apalagi, kamarnya kan sangat kecewean dan bukan berwarna putih hitam seperti ini.

"Kok... bisa? Kamu ngapain Ara?"

"Pegang-pegang dikit, sama-"

Ara melotot sebal dan meraba tubuhnya sendiri. Tidak mungkin!

"Sama apa!"

"Sama bangun dari mimpi. Dan tau kenyataan kamu nolak saya, saya nggak jadi pegang-pegang. Udahlah, sana mandi" katanya sambil mendorong tubuhnya sampai kedepan kamar mandi.

"Apalagi?"

"Aku nggak bawa baju, trus..."

"Baju kamu udah saya siapin dilemari. Cepat mandi sebelum saya berfikir lebih baik memandikanmu setelah ini"

Tanpa pikir panjang, Ara berlari kedalam kamar mandi dan menutupnya rapat-rapat.

*

Ara masih menatap isi dalam lemari besar yang ada dihadapannya. Semua itu baju-bajunya. Ya, baju-bajunya dan lengkap dengan.... what? Gimana bisa?!

"JENDRAAAA!"

"Ngapain kamu teriak-teriak? Ada hantu lagi?"

Rupanya Jendra masih mengingat kejadian waktu itu. Dimana dirinya berteriak karena pintu yang ditutupnya sendiri.

"Darimana kamu dapet baju-baju aku... sama pakaian dalam aku. Aku belum ngizinin kamu!"

"Kalo nunggu kamu ngizinin, pake baju apa kamu sekarang? Mau telanjang hem? Nggak papa kalo kamu mau bangunin singa lapar" katanya menahan tawa.

Kali ini pasti Ara sudah berfikiran tentang dirinya yang semakin mesum itu. Tapi biarkan Ara tahu bahwa ia laki-laki. Dan ia masih menunggu jawaban Ara untuk menerimanya. Ara harus menerimanya.

Kruyukkkk asdfghjkl

"Kalo laper, ngomong. Kalo ditahan gini, kamu jadi marah-marah,"

Ara memukul pelan perutnya yang tiba-tiba berisik itu. Sekarang, semua emang lagi berpihak sama pangerannya itu.

"Kamu mau masak, Jen?"

"Hemm"

Tak berkata apa-apa lagi, Ara memilih duduk untuk memperhatikan bagaimana pangerannya saat memasak. Tangannya yang masih diperban membuatnya tak tega melihat Jendra yang mulai kesusahan memegang mangkuk didepannya.

Jendra melihat tangan lain di mangkuknya. Tangan Ara. Yang sekarang mengambil alih mengocok kuning telurnya.

"Kamu duduk aja. Biar Ara yang masak."

"Kamu masih butuh istirahat, Ra."

Ara tak mengerti kata-kata Jendra. Yang butuh istirahat itukan dia, bukan Ara. Ara tak tahu saja kalau semua yang dilakukan Jendra tidak lebih untuk sekedar membuat wanitanya terpesona. Ya walau yang bisa ia lakukan hanya hal-hal kecil seperti memasakan untuknya.
Tapi bukannya memasak untuk Ara, sekarang justru Ara yang memasaknya untuknya.

"Je? Kok bengong sih?"

"Ng-ggak papa. Saya mau masak. Kamu duduk aja"

"Nggak. Biar Ara yang masak"

"Saya yang masak Ara"

"Aku"

"Saya"

"Aku!"

"Saya"

"Terserah. Bodoamat. Awas ya kalo kamu butuh Ara, Ara nggak bakal mau bantu. Ara mau tidur aja"

Suara langkah kaki yang cepat dan tampak dihentakan itu membuat Jendra geleng-geleng kepala. Ara udah kembali seperti Ara yang ia mau lagi. Ara yang dulu sempat membuatnya benci setengah mati, sekarang malah membuatnya kecanduan setengah mati.

Setelah semua yang dimasaknya selesai, Jendra menyadari tubuhnya yang sudah benar-benar mandi keringat. Rupanya memasak bukan hal yang mudah, ya walaupun pizza, sphagetti juga salad yang dimasaknya tidak seburuk yang ia kira sebelumnya.

Baru saja ingin memutuskan mandi, tapi dirinya teringat Ara yang masih dikamarnya.

Sebenarnya, semua yang dilakukannya ini, seperti membuat Ara tinggal dirumahnya, agar ia tidak kehilangan Ara lagi.
Terlebih saat ke Jakarta, ia masih bersama Rama dan hal kemarin membuat ia takut mengembalikannya pada Rama. Laki-laki itu brengsek juga, tapi cukup pintar karena polisi belum menemukannya sampai sekarang.

krekk

Bagus kalau pintunya tidak terkunci. Dengan begini ia tidak perlu berteriak untuk memanggil Ara supaya bagun.

Hem tunggu. Apa didalam Ara benar-benar tertidur?

"Ara? Saya masuk ya?"

Tidak ada jawaban dan Jendra memilih untuk masuk saja.

Dilihatnya wanitanya yang sepertinya masih tertidur. Ia kira anak itu bercanda untuk tidur.
Lihat bagaimana wajah polos Ara ketika tidur. Bukan seperti wanita berumur 20-an.

"Ra, bangun yuk. Kita makan dulu"

"Ra? Kamu nafas nggak si?" Dilihat-lihat emang nggak ada nafas dari anak itu. Wajahnya lebih dekat lagi kearah wanitanya. Dan...

"Kamu ngapain sih deket-deket gitu. Mau macem-macemin Ara ya? Ngaku!"
"Saya tau kamu nggak tidur dari tadi. Kamu laper, mana bisa tidur nyenyak. Kebawah, saya udah selesai masak"

Nggak mau berpura-pura lagi karena itu sudah pasti akan menyiksa perutnya yang lapar. Ia beranjak turun ke bawah untuk makan tanpa melihat Jendra yang memperhatikan segala gerak-geriknya dari belakang dan sekarang tersenyum ringan menatap Ara yang tengah berjalan, setelahnya ia pun berjalan ke kamar mandi di kamarnya.

Tidak mungkin harus makan bersama Ara dengan aroma keringatnya.

***

Suatu cahaya membangunkan tidur panjangnya. Sinar yang mulai membuat jari-jarinya terasa hangat hingga akhirnya sempurna membuka mata.

"Dokter!!"

"Pasien sadar!"

Rasanya masih terlalu lemas dan tubuhnya serasa kaku. Tidak ada tenaga bahkan hanya untuk mengangkat kepalanya.

"Pasien sadar dan sudah bisa dilihat. Setelah ini temui saya, ada banyak yang dapat saya sampaikan" kata dokter itu yang mulai menjauh dari sana.

Sedikit demi sedikit matanya melihat sosok yang ada disampingnya.

"Lo ngapain, Rid?"

Farid. Sudah lama juga rasanya ia tak melihat temannya yang satu itu sejak saat ia pun tak menemukan Jendra disini. Ya semua itu karena keduanya malah pergi ke Paris tanpa mengajaknya.

"Lo tidur kelamaan. Kumis gue sampe panjang." Katanya dengan sedikit tertawa.

Seperti ada yang ia lupakan. Tapi... apa? Ia tidak bisa berusaha mengingatnya karena kepalanya sakit bukan main.

"Lo kelebayan. Eh, kok gue bisa ya disini? Sakit banget kepala gue."

Farid mendekatkan kedua alisnya merasa curiga. Masa sih Daffa lupa? Atau memang ia belum ingin mengingatnya?

"Yang lo inget terakhir kali itu... apaan?"

"Gue sama Jendra pulang dari pengadilan. Gue kecelakaan ya?"

kecelakaan? Masa iya dia nggak inget Rasti? Nggak khawatir gitu?

"Nggak beres. Lo diem disini, gue panggil dokter. Oke?"

*

"Ra, abis ini kamu mau kan nemenin saya keluar?"

Ara yang baru menyelesaikan makannya itu sempat terkejut sama pernyataan yang Jendra katakan.
Bukannya Jendra suka maksa? Kenapa nggak narik Ara aja sampe diluar?

"Kamu masih sakit, Ra? Kalo gitu aku panggil dokter ya?" Katanya sambil tangannya menyentuh lehernya.

Memang panas.

"Badan kamu panas, Ra. sini-sini, kamu duduk, aku ambil obat."

Ara menyipitkan mata. Entah bingung ataukah kesal menanggapi pangerannya yang tiba-tiba sepeduli ini padanya. Lagi pula Ara tidak merasa sakit. Semua baik-baik saja.

"Jen, kamu kok berubah?"

Mendengar Ara bicara seperti itu, Jendra menaruh kembali handphonenya. Ia berniat memanggil dokter tadi.

"Apa maksud kamu, Ara?"

"Iya kamu berubah. Kalo jawabannya karena kamu mau narik hati aku, nggak kayak gini caranya.. pangeran"

Pangeran.

Syukurlah wanitanya masih mau memanggilnya dengan sebutan konyol itu. Konyol seperti itu tapi tetap saja ia akan suka. Namanya juga cinta.

"Kalo kamu mau aku nunggu 6tahun atau bahkan lebih, aku bakal nunggu."

Ara menggelengkan kepalanya, lalu mengaitkan tangannya di tangan Jendra. Rasa hangat yang belum pernah ia dapatkan. Dan tentu saja yang ia tunggu sejak dulu. Ya, Jendra yang akan membalas perasaannya.

"Aku sayang sama kamu. Mau 6tahun, atau bahkan lebih, perasaan aku, hati aku, nggak pernah bisa jauh-jauh dari kamu. Selama itu aku nunggu kamu buat cinta aku, aku nggak pernah yakin kamu mau cinta aku nantinya. Kamu tau, kamu tuh manusia terdingin dari yang terdingin yang pernah aku temuin, dan aku suka kamu yang bener-bener diri kamu, Jen. Aku nggak mau kamu peduli sama aku sedangkan kalau kamu bosan, kamu mulai bersikap dingin lagi dan ketika itu aku udah nyaman sama sikap kamu yang terlalu peduli sama aku. Kamu pikir aku bakal tega liat kamu nunggu aku selama itu? Apa kamu pikir aku bisa sia-siain kesempatan yang aku tunggu selama 6 tahun ini? Aku kira kamu lebih pintar dari aku."

Masih mendengarkan kata demi kata yang terngiang di telinganya padahal Ara sudah berhenti bicara.

"Kamu... udah dewasa?"

Ara tertawa singkat, tangannya semakin erat dilengan pangerannya. Ia hanya ingin yang dulu hanya mimpi dan sekarang ia berhasil mendapatkan tangan itu.

"Aku harus gimana biar kamu suka?"

"Kamu tau nggak, aku pengen kamu peluk aku. Tapi daritadi kamu nggak meluk-meluk. Nggak peka banget sih pangeran!"

Seolah semua ini terasa mimpi, Jendra menjauhi Ara. Nggak mungkin rasanya kalo wanita yang udah 6 tahun ini disakiti hatinya, yang berusaha disingkirkannya, yang berusaha dimusnahkannya, memaafkan dirinya yang udah berbuat semua itu sama dirinya?

"Kamu khilaf ya suka sama Ara? Baru sadar sekarang makanya kamu tiba-tiba jauhin aku gini?"

"Kamu nggak mungkin semudah ini buat terima lamaran aku, Ra. Kamu udah buang waktu kamu berrahun-tahun buat nunggu aku? Usaha kamu nggak sebanding sama usaha saya yang baru beberapa bulan ini ngejar kamu. Kamu nggak sadar itu? "

Ara menggeleng tidak percaya lagi. Kenapa pangerannya masih berfikiran hal-hal bodoh seperti itu.

"Trus kamu mau aku buang waktu aku buat nungguin dendam aku selesai, dan saat itu selesai saat umur aku udah hampir kepala tiga, baru kita nikah, gitu yang kamu pikirin? Pangeran Ara nggak cerdas lagi,"

Ara mendekat lagi. Kali ini ia yang memeluk Jendra didepannya. Walaupun belum dibalas, tapi sudah terasa hangat. Ia tidak akan pernah lupa akan hal ini.

"Dengan kamu ngomong itu semua. Itu tandanya kamu mau kita nikah?"

"Aku pasti yes!"

Jendra tertawa bingung, ia masih mengira semua ini bukan alam nyata. Tapi kenapa pelukannya ini begitu terasa nyata.

Ia mulai membalas pelukannya. Memeluk tubuh Ara erat sampai Ara bosan nantinya.

"Kamu nggak pernah pelukan ya? Aku susah nafas" sindirnya masih disana.

"Hem? Maaf. Aku terlalu bahagia sampai ngga tau harus apa aku sekarang, Ra"

"Udahan pelukannya. Katanya mau keluar? Aku ganti baju dulu ya!"

***

Drttttt

"Ada apaan Rid?"

"(Lo harus ke rumah sakit sekarang. Daffa lupa sebagian ingatannya)"

What?!
Berita macam apa lagi sekarang setelah kejadian perencanaan pembunuhan beberapa hari yang lalu?

"Gue kesana sekarang"

Masih sibuk mengikat tali sepatunya, Ara berhenti sebentar. Mendekati Jendra untuk sekedar bertanya.

"Ada..."

"Kita kerumah sakit sekarang, Ra" sahutnya sambil berjongkok dibawah Ara.

Hampir saja ia memarahi Jendra kalau saja tidak melihat pangerannya yang tengah mengikat tali sepatunya.
So sweetnyaaa pangeran gue. Teriaknya dalam hati.

Setelah terikat semua, Jendra melihatnya sekali lagi. Dari atas sampai kebawah. Mulai dari mengikat tali sepatu, sekarang merapihkan topi Ara yang sedikit miring lalu menariknya keluar dari sana



Hayooo aku nunggu vote nya ya! Hehehe sama komentarnya juga lhoo biar aku tau apa yang menurut kalian salah atau kelebayan ya? Dohhh aku emang susah kalo nulis yg sweet scene gini jadi kocok otak dulu. Maaf kan author kalo blm memuaskan kalian
*memuaskan (?)

-R

Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 11.7K 30
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
1.4M 86K 37
"Di tempat ini, anggap kita bukan siapa-siapa. Jangan banyak tingkah." -Hilario Jarvis Zachary Jika Bumi ini adalah planet Mars, maka seluruh kepelik...
3.5M 254K 30
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...
544K 42.5K 18
[SEBAGIAN DI PRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU BARU BACA] Dilarang ada hubungan antara senior dan peserta OSPEK, Galen, sebagai Ketua Komisi Disiplin terpa...