About LOL (Losing Out Love)

By NaMeyya_

52.7K 5K 333

Ini kisahku... kau tahu? Cerita klasik dimana seorang gadis mencintai secara diam-diam, hingga akhirnya harus... More

Sneak A Peek
1_ Blackout
2_ Uproar Eleven !!!
3_ Rude but Sweet
4_ Yes... you, Girl!
5_ A Thief
6_ Not Over Yet
7_ Signs of Hope
8_ School Bell
9_ Friendship
10_ Wake Up, Snow White!
11_ Stalker
12_ Your Heartbeat
13_ You, Under The Tree & Crescent (1)
14_ You Under The Tree & Crescent (2)
15_ Cold Hearted Girl
16_ Fluorescent
17_ The Truth of Mistakes
18_ Like We Used To Be
19_ The Evil of Angel (1)
20_ The Evil of Angel (2)
21_ All About Crescent
22_ The Promise of Love
23_ Rise In Sunrise
25_ Stay with Me (2)
About LOL by Illy (End)

24_ Stay with Me (1)

1.7K 181 2
By NaMeyya_

Selama di pesawat, Illy hanya bersandar di bahu Al, menutup matanya seolah benar-benar tertidur. Sebenarnya, ia hanya ingin menghindari percakapan apa pun dengan Al, seraya memendam sendiri ketakutannya. Atau mungkin, kebahagiaannya jika ia benar-benar mendapatkan anugrah secepat itu.

Entahlah, Al tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Illy. Yang ia tahu, keputusan mereka untuk pulang lebih awal memang tepat. Ia tidak ingin kondisi Illy lebih buruk. Walaupun masih berharap Illy akan mengatakan apa yang ia rasakan, apa yang membuatnya mendadak diam, tapi akhirnya ia hanya berbaik sangka dengan berpikiran jika Illy hanya kelelahan.

Tiba di Jakarta….

Al dan Illy pulang ke aparteman Al, karena sebagian barang-barang Illy memang sudah diantar ke sana saat mereka di Lombok. Sebenarnya, melihat keadaan Illy yang seperti itu, Al akan lebih tenang jika pulang ke rumah orang tua Illy. Tapi, Illy bersikeras ingin segera menempati apartemen Al, apartemen yang cukup luas dengan dua kamar di dalamnya. Setibanya di kamar, Illy langsung berbaring di tempat tidurnya, tanpa berkata apa pun, membuat Al semakin bingung.

"Kamu cape banget ya, sayang?" tanya Al sambil mengusap rambut Illy.

“…” Illy hanya mengangguk pelan.

"Ya udah, kamu istirahat, ya. Aku keluar dulu." Al menyelimuti Illy dan mencium singkat keningnya.

~~~

Al tengah mondar-mandir di ruang tengah, masih khawatir dengan keadaan Illy saat ponsel di saku celananya bergetar. Al mengtambilnya dan melihat nama Agra. Dengan lesu, ia mengangkatnya. "Halo, Gra…?"

"Al? Kenapa lo lemes gitu? Lagi ngapain?"

"Lagi mondar-mandir."

"Maksud lo? Lo lagi di pantai?"

"Gue udah pulang, baru aja sampe di apartemen."

"Kok? Bukannya seminggu?"

"Illy sakit, gue juga bingung dia kenapa. Tadi pagi dia muntah-muntah, terus pingsan di kamar mandi. Sekarang dia lagi tidur. Dia masih lemes, padahal udah dikasih obat. Mana gak bisa di ajak ngomong, lagi."

"Muntah-muntah? Dari kapan?"

"Dari tadi pagi.” Tapi kemudian, Al ingat jika itu bukan yang pertama. "Eh, bukan, dia pernah mual-mual juga waktu gak suka nyium bau badan gue."

"Wah, dia hamil kali, Al! Keren lo! Baru ada dua minggu, lo udah bikin dia mabok? Hahaha!"

"Ha-hamil?" Al sedikit tidak percaya. Jauh di dalam hatinya, ia sungguh merasa senang jika itu benar. Tapi, kenapa seperti ada sesuatu yang mengganjal? Ya, Al semakin yakin jika Illy menyembunyikan sesuatu yang seharusnya ia tahu.

Al memutus sambungan telpon dengan Agra, dan segera menelpon Rendy. Jika apa yang Agra katakan itu benar, maka Rendy harus tahu. Karena Rendy lah orang yang bisa memutuskan, ia harus senang atau cemas.

"Halo, Ren!" Al berbicara dengan suara panik.

"Al? Kenapa lo panik gitu?"

"Ren, lo lagi kerja? Kalau enggak, lo datang ke apartemen gue sekarang, please! Ini penting banget!"

"Apartemen? Lo udah balik?"

"Iya, pokoknya lo ke sini, ya! Entar gue ceritain semuanya!"

~~~

Secepat kilat Rendy sudah tiba di apartemen Al. Ia yakin ada sesuatu yang tidak beres. Sementara Illy masih tertidur, Al dan Rendy memutuskan untuk berbicara di pantry yang letaknya berjauhan dari kamar utama.

"Illy mana?" Rendy bertanya sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Itu pertama kalinya ia mengunjungi apartemen Al.

"Dia lagi istirahat. Ren, gue mau tanya sesuatu. Lo tahu betul gimana kondisi Illy, kan? Gue yakin lo juga tahu sesuatu yang gue gak tahu." Al memulai tanpa berbasa-basi.

"Illy gak papa kan, Al?" Rendy mulai cemas dengan arah pembicaraan Al.

"Gue mau tahu, kalau seandainya Illy... hamil...." Al sedikit ragu saat mengatakannya. “… gimana?”

"Apa? Lo gak lagi becanda, kan? Illy udah kasih tahu lo soal ini, kan?" Rendy mulai panik.

"Kasih tahu... soal apa?" Al mengernyit bingung. Akhirnya, kecurigaannya mulai terbukti.

"Ya ampun, Al! Jadi Illy gak kasih tahu lo?! Al, lo yakin Illy hamil?"

"Gu-gue… gak yakin sih. Tapi, kalau emang iya, kenapa? Kenapa lo sepanik ini?"

"Harusnya gue gak percaya sama dia, harusnya gue kasih tahu sendiri sama lo." Rendy meremas dahinya. "Al, lo harus tahu, kondisi Illy gak memungkinkan buat hamil, resikonya terlalu besar."

"...” Rasanya seperti tersambar petir. Al menyesal, kenapa Illy selalu menyembunyikan hal sepenting itu darinya?

"Selama ini Illy bergantung sama obat-obat keras buat memaksimalkan kerja jantungnya. Kalau buat tubuhnya sendiri aja jantung Illy udah gak bekerja normal, gimana jantung itu bisa bertahan dengan beban lebih berat? Kehamilan Illy pasti meningkatkan beban kerja jantungnya, Al. Dan lebih parah lagi, perempuan hamil gak boleh minum obat keras, resikonya bisa bahaya buat janin dalam kandungan, janin itu gak mugkin bertahan. Sebaliknya, Illy, dia harus minum obat itu, dia bergantung sama obat itu."

Dari penjelasan itu, hanya satu hal yang bisa Al tangkap, dan itu yang paling ia takutkan. "Maksud lo, Illy gak punya pilihan lain?"

"Al, kelainan jantung Illy udah di tingkat ke tiga. Kalau masih di tingkat satu atau dua, mungkin dia bisa aja hamil dengan normal. Tapi, dalam kasus Illy, ini terlalu beresiko. Buat hindarin kemungkinan terburuk, jalan terbaik yang gak beresiko buat Illy sekarang cuma satu. Gak ada pilihan lain, selain-"

"Kenapa gak ada pilihan? Aku udah milih...."

Al dan Rendy tersentak saat mendengar suara Illy. Entah sejak kapan Illy berdiri tidak jauh dari mereka.

"Seandainya aku hamil, aku akan jaga janin ini. Aku lakuin apa pun buat janin ini." Illy seperti sudah mantap dengan keputusannya sendiri.

Al menghampiri Illy dengan emosi bercampus cemas sudah memuncak di kepalanya. "Kenapa, Ly?! Kenapa kamu gak bilang?! Kamu selalu bikin aku jadi orang paling bodoh yang gak ngerti apa-apa dalam hidup kamu! Kamu lupa? Aku ini suami kamu sekarang. Selama ini selalu kamu yang putusin semuanya sendiri. Dari dulu kamu bilang gak mau egois,tapi kenyataannya kamu selalu egois. Kamu gak pernah mikirin perasaan aku!"

Illy tertunduk dengan raut wajah semakin gelap. "Kamu yang lupa.... Kamu udah janji, mau kabulin apa pun permintaan aku. Itu janji kamu, kan? Then proove it now!"

Al menggeleng cepat. "Janji itu? Gak! Janji itu udah kalah sama janji nikah kita! Aku gak akan biarin kamu bahayain hidup kamu, Ly! Aku-"

Saat Al masih akan bicara, Illy mengeluarkan sebuah testpeck yang sejak tadi ia sembunyikan di balik badannya. "Aku hamil...," akunya datar.

Al melihat testpeck itu, dan tidak mau tak percaya. Ia mundur menjauh, seraya berharap dua garis merah itu tidak sedang memastikan apa-apa. “Gak….”

"Kenapa? Bukannya semua suami harusnya bahagia kalau istrinya hamil?" Suara Illy mulai bergetar, seiring air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya.

"Ta-tapi… ini gak boleh, Ly. Aku gak mau, kamu harus…." Al tidak yakin dengan apa yang ingin ia katakan.

"Gugurin janin ini?" Illy melangkah, mendekati Al. "Janin ini anak kamu, kamu rela bunuh anak kamu? Dia gak punya dosa apa-apa, kamu mau bunuh dia?!!"

"Tapi nyawa kamu lebih penting, Ly!” Al balas membentak. “Kamu gak-”

"Gak akan bisa hidup, itu maksud kamu?" suara Illy terdengar semakin lirih. Ia menangis dan bersimpuh di depan Al. "Al, Aku mohon, biarin aku lakuin ini. Aku janji, aku bisa, aku pasti bisa. Al, Aku rela lakuin apa pun supaya aku sama anak ini bisa bertahan."

"Gak, aku gak mau kehilangan kamu.” Al menggeleng. “Sekecil apa pun, aku gak mau ngambil resiko itu." Al tidak bisa menerima keputusan Illy. Tapi, saat melihat air mata itu, ia akhirnya merengkuh Illy ke dalam pelukannya, dan mulai menangis. "Please, jangan lakuin ini sama aku, Ly. Kita baru aja mulai semuanya. Aku gak mau kehilangan kamu."

"Kalau gitu kamu gak akan kehilangan aku, aku bisa, Al. Aku mohon, percaya sama aku," sahut Illy dengan keyakinannya.

Melihat kejadian itu, Rendy sama sekali tidak tahu harus berbuat apa. Sama seperti Al, ia tidak akan pernah rela jika Illy menyerah dengan penyakitnya demi janin dalam kandungannya. Apa pun akan ia lakukan untuk membuat Illy bertahan.

~~~

Di Rumah Sakit….

Al dan Illy duduk bersebelahan, namun diam tanpa kata, tanpa sediki pun bersentuhan. Mereka hanya berharap Tuhan akan menunjukan yang terbaik. Tapi, sepertinya arti yang 'terbaik' bagi Illy dan Al saat itu benar-benar jauh berbeda.
Di dalam laboratorium, Rendy dan Resa, temannya yang merupakan dokter kandungan tengah memeriksa hasil tes urin Illy. Tak lama, Rendy dan temannya keluar dan mengajak Illy dan Al masuk ke dalam ruang periksa.

"Hasilnya negative, kan?" tanya Al yang bahkan belum duduk.

"Lo duduk dulu, Al. Biar Illy diperiksa sama Resa buat mastiin hasilnya," kata Rendy yang sudah lebih dulu duduk.

Illy berbaring, sementara dr. Resa memeriksanya. Tak butuh waktu lama, Resa sudah bisa menyimpulkan semuanya. Ia beranjak duduk di kursinya. Diikuti Illy yang duduk di samping Al.

"Hasilnya sama?" tanya Rendy pada Resa.

"Hasil testpeck, hasil labor, dan pemeriksaan USG cocok. Nyonya Illy positif hamil."

Suasana tegang berubah hening. Tidak satu pun dari mereka membuka suara. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Al yang merasa semuanya begitu tidak adil dan terlalu menakutkan untuk diterima segera berdiri dan pergi meninggalkan ruangan itu begitu saja. Bahkan, tanpa menoleh pada Illy.

Tepat setelah Al melempar pintu ruang praktek itu, Illy mulai menangis. Ia mengerti, tapi tidak benar-benar mengerti. Ia tahu, tapi tidak yakin sudah tahu segalanya. Ia siap, tapi apa itu saja cukup? Saat itu, saat melihat reaksi Al, hatinya memang terluka. Tapi ia sadar, ia tidak bisa menyalahkan Al. Bukan salah Al jika ia tidak akan pernah siap berada dalam posisi itu. Bahkan, jauh dalam hatinya, Illy sendiri pun tidak yakin pada dirinya sendiri.

~~~

Di dalam kamar yang gelap, di atas tempat tidur yang bahkan belum  lama ia tempati, Illy terus menangis. Dan tangisannya enggan berhenti saat ia menyadari bahwa dirinya hanya menangis seorang diri. Orang yang saat itu ia inginkan ada di sampingnya, menghiburnya, mendukung, dan menguatkannya, justru meninggalkannya.

Illy tahu, memang dirinya yang egois. Tapi, apa salah jika ia mencoba untuk memiliki hidup yang sempurna seperti wanita-wanita lain? Yang terlahir secara sempurna untuk tiga fase dalam hidunya, saat terlahir sebagai bayi, saat menikah dan menjadi seorang istri, dan terakhir, saat melahirkan dan menjadi seorang ibu.

Illy berjanji untuk berjuang sekuat tenaganya. Ia akan bertahan untuk hidupnya dan hidup darah dagingnya yang saat ini bahkan belum memilliki detak jantung. Illy berjanji akan tetap hidup, untuk tetap bisa memiliki Al seutuhnya, selamanya. Tapi, jika seandainya perjuangan itu harus berakhir dengan kematiannya, setidaknya ia untuk mati dengan kebangggaan itu.

"Al... apa kamu benar-benar gak bisa terima keegoisan aku ini? Untuk terakhir kalinya, biarin aku egois. Al… jangan tinggalin aku...."

Illy memeluk dirinya dalam gelap, berharap Al akan datang dan menggantikan kedua tangannya, untuk memeluk tubuh gemetarnya, mengurangi rasa takutnya akan kematian.

~~~

Seperti halnya Illy, Al yang saat itu hanya tertunduk dengan wajah muran juga ingin sekali memeluk Illy. Tapi, ia hanya bisa diam, dan bahkan tidak sanggup menatap wajah orang yang sangat ia cintai itu, melihat wajah tegar yang tanpa ragu memilih untuk berjuang melawan kematian. Sampai kapan pun, tidak akan ada yang bisa melawan maut yang Tuhan hantarkan melalui perantara malaikatnya, bukan? Dan Al takut.

"Al...."

Al mendengar suara Agra memanggilnya, tapi ia enggan untuk mengangkat kepalanya. Ia yakin, kabut gelap sudah terlihat memenuhi auranya, cukup untuk membuat Agra mengerti tanpa mengtakan apa pun.

Agra masuk ke dalam ruang kerja Al yang hanya dibiarkan dengan penerangan temaram dari lampu meja. Perlahan ia duduk di samping Al. "Tadi Rendy telpon gue. Al, Gue tahu ini berat buat lo...."

"Lo tahu kan, seberat apa perjuangan gue buat bisa dapetin Illy? Lo bandingin seberapa tahun gue nelangsa dan seberapa hari gue bahagia sama dia? Kenapa takdir sejahat ini sama gue?" Suara Al semakin beratdan lirih. Air mata sudah mulai melewati kelopak matanya.

"Al, gue gak tahu harus ngomong apa.” Agra berusaha untuk tidak menangis, walaupun tidak tahan. “Jujur, gue sendiri memang ngerasa ini terlalu berat buat lo jalani. Tapi, mungkin Illy punya alasan yang kuat kenapa dia lakuin ini."

"Alesan? Apa? Egois! Cuma itu alesan dia! Dari dulu dia egois, dia gak pernah mikirin perasaan gue, dia cuma mikirin dirinya sendiri! Ini gak adil! Gue gak mau dia selalu seenaknya ninggalin gue. Dan sekarang, dia mau milih buat ninggalin gue selamanya?"

"Al, apa yang selama ini Illy lakuin itu karena dia mikirin lo, dia mau yang terbaik buat lo. Bahkan, kalau pun dia harus lihat lo bahagia sama orang lain, dia rela. Lo ingat, kan? Kalo dia egois, dia gak akan mikirin lo sampai sejauh itu. Dan bukan salah dia kalau takdir yang gak misahin kalian, bukannya lo sendiri yang gak bisa ninggalin dia? Al, harusnya lo udah tahu kalau lo harus nerima semua kekurangan Illy ini, harusnya lo udah siapin diri lo buat ini sebelum mutusin semuanya."

"Maksud lo gue harus siap-siap buat kehilangan dia, gitu? Sama aja kayak lo nyuruh gue gali lubang kubur gue sendiri! Jadi, semua yang gue lakuin selama ini salah?"

"Al, gak ada yang nyalahin lo di sini. Tapi, gak seharusnya lo ninggalin Illy dalam kondisi dia sekarang."

Untuk beberapa detik Al hanya terdiam, lalu menangis sejadinya. "Gue harus gimana? Gue harus gimana?!"

Agra mengusap bahu Al, tetap diam dan memberikan Al kesempatan untuk menangis sepuasnya. Ia berharap, setidaknya itu bisa mengurangi beban Al. "Al, ikuti kata hati lo, gue yakin cinta lo terlalu besar buat lakuin hal sejahat ini sama dia."

~~~

Al berjalan menembus gelapnya malam. Samar-samar, ia mendengar suara isak tangis. Ia terus mendekat sampai tepat berada di belakang Illy. "Maafin aku, aku udah ninggalin kamu tadi...,” lirihnya, memecah keheningan.

Mendengar suara itu, Illy segera bangkit dan memeluk Al dalam tangisnya. "Jangan tinggalin aku, Al.... Aku butuh kamu...."

Al tidak sanggup berkata apa-apa lagi, ia hanya memepererat pelukannya, seraya melepaskan semua ketakutannya, dan mencoba menguatkan diri untuk apa pun yang akan ia hadapi selanjutnya.

~~~

Tidak ada yang bisa menghentikan Illy, tekatnya sudah lebih kuat dari raganya. Semua orang yang ingin mencegahnya, pada akhirnya harus mengambil satu-satunya pilihan yang Illy berikan, yaitu menjaganya, memberinya kekuatan untuk melewati kehamilan itu dengan tenang.

"Apa benar-benar gak ada cara lain selain obat?" tanya Al.

Rendy berpikir sejenak. "Untuk sementara ini, cuma ada satu cara yang paling aman."

"Apa? Apa pun yang terbaik buat Illy, lakuin aja, Ren."

"Transplantasi alat pacu jantung. Semoga itu bisa buat Illy bertahan, minimal sampai usia kandungannya menginjak tujuh bulan."

"Tujuh bulan?"

"Di usia tujuh bulan atau trimester ketiga kehamilan, ibu hamil pasti mengalami peningkatan volume plasma dan curah jantung, kita bisa sebut peningkatan volume darah. Dan itu bahaya. Bahkan, buat proses persalinan secara sesar dan setelahnya pun sangat beresiko, Al." Rendy berhenti sejenak, memberikan Al kesempatan untuk bernafas dalam ketakutannya.

"Kita harus yakin, Al. kalau Illy sendiri gak bisa kita cegah, berati kita harus lakuin apa pun buat bantu dia. Tugas lo sekarang, pastiin Illy bisa hidup disiplin, dia harus ada dalam perawatan intensif selama masa kehamilannya. Jangan sampai kondisi fisik dan psikisnya drop, sedikit pun jangan. Dia harus benar-benar istirahat."

Al menghela nafas berat seraya memejamkan matanya sejenak. "Gue ngerti...." Walaupun sulit untuk menjalaninya, Al akan tetap melakukan apa pun itu, asalkan Illy bisa melewati masa-masa sulitnya. Ya, ia harus kuat, lebih kuat dari Illy.

~~~

Setelah melakukan operasi tanam alat pacu jantung, Al memutuskan untuk membawa Illy tinggal di Lembang, Bandung, di sebuah Villa yang terletak di daerah sejuk dan jauh dari polusi. Udara di sana jauh lebih sehat, akan sangat membantu Illy dalam menjaga kesehatannya secara alami, juga ketenangan yang akan lebih terjamin.

Di Bandung, Illy ditangani oleh dokter lain yang merupakan teman dekat Rendy.  Setidaknya, itu cukup membuat Rendy tenang karena ia hanya bisa meninjau kondisi Illy secara langsung satu kali dalam satu minggu. Bahkan, untuk berjaga-jaga, Rendy menyarankan Al untuk mengambil seorang perawat yang selama 24 jam penuh bisa melayani Illy. Dan Al hanya menurut.

♡♡♡

Continue Reading

You'll Also Like

7M 48.2K 60
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
3.5M 254K 30
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...
2.5M 31.5K 29
"Lebarkan kakimu di atas mejaku! Aku ingin melihat semua yang menjadi hakku untuk dinikmati!" desis seorang pemuda dengan wajah buas. "Jika aku meny...