Mari Saling Berterima

By tanindamey

1.8K 134 25

Ketika ketulusan dalam hubungan ternyata tidaklah cukup. Ketika dua manusia ingin bersama dalam waktu yang la... More

Mari Saling Berterima
Chapter 1 - Mengaku Cinta
Chapter 2 - Tiada Duga
Chapter 3 - Dan, terungkap.
Chapter 4 - Terbelenggu
Chapter 5 - Binar yang Lain
Chapter 6 - Risau
Chapter 7 - Tiba-tiba Hadir
Chapter 8 - Bunga Tidur
Chapter 9 - Bersemu
Chapter 11 - Rekah
Chapter 12 - Penganalisis yang Baik
Chapter 13 - Pagi yang Berbeda
Chapter 14 - Sebuah Pinta
Chapter 15 - Mengusik
Chapter 16 - Penengang
Chapter 17 - Terlepas?
Chapter 18 - Suara Hati
Chapter 19 - Bersua Kembali
Chapter 20 - Hari Jadi
Chapter 21 - Bergemuruh
Chapter 22 - Berseteru
Chapter 23 - Sekejap
Chapter 24 - Tersirat
Chapter 25 - Binar Untuk Gelap
Chapter 26 - Rindu
Chapter 27 - Diusahakan
Chapter 28 - Meredup
Chapter 29 - Selalu Lebur
Chapter 30 - Melangitkan Doa
Chapter 31 - Sandaran
Chapter 32 - Gamang
Chapter 33 - Sederhana Yang Menyempurnakan
Chapter 34 - Keraguan?
Chapter 35 - Kacau
Chapter 36 - Peduli
Chapter 37 - Pelik dalam Peluk
Chapter 38 - Bertaruh
Chapter 39 - Terisak Sendiri
Chapter 40 - Amarah
Chapter 41 - Berkilah
Chapter 42 - Peredam
Chapter 43 - Hilang Arah

Chapter 10 - Sandykala

53 3 4
By tanindamey

"Thanks, Mas Baskara."

~ Tarunika Mega Tara ~

Setelah hampir setengah hari di persewaan sepeda, mengelilingi taman, bahkan hanya duduk di tepi danau ternyata benar-benar tidak terasa bagi Baskara. Hampir seharian pula ia bersama seorang gadis yang baru ia kenali akhir-akhir ini. Baskara rasa tidak terlalu buruk jika membayangkan dekat dengan seseorang selain sahabat dan keluarganya. Bahkan, dalam waktu yang tidak lama ia bisa banyak berbicara dengan Tarunika. Baskara mengakui pula bahwa dirinya bukan orang yang banyak bicara pada orang baru. Meskipun sedikit berusaha keras untuk mempunyai topik pembicaraan, ia bisa melakukannya. Dan ia rasa, respon Tarunika juga membantunya. Gadis itu memberikan respon yang baik. Ia banyak bertanya ini dan itu.

Baskara tertawa diam-diam ketika Tarunika menanyakan hal yang terkesan polos, seperti, "Gimana rasanya jadi TNI, Mas?" atau, "TNI itu takutnya sama apa, Mas?". Saat mendengarkan pertanyaan itu, Baskara menahan diri untuk tidak mencubit pipi gadis itu.

Sebelum keluar dari persewaan sepeda, mereka singgah juga di café outdoor yang ada di tempat itu. Dan tepat pada sore hari mereka keluar dari sana. Mereka juga sempat berfoto. Tarunika menagih ucapan Baskara ketika bersepeda tadi. Laki-laki itu akan membawanya ke tempat yang lebih indah. Selama perjalanan Baskara tidak memberitahu.

"Mas, aku nggak perlu takut bakal diculik, kan?" tanya Tarunika sambil menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi mobil. Ia sangat kenyang sekali. "Masa iya calon TNI mau menculik calon rakyatnya."

"Ini dari tadi pagi kan sudah menculik kamu," jawab Baskara sambil fokus ke depan.

Tarunika menoleh. Ia tersenyum saja. "Eh, puter musik, nggak, sih, Mas?" Ia menegakkan tubuhnya.

"Boleh." Tangan Baskara terulur menyalakan musik. Terdengar lagu fly me to the moon. Lagu itu mengalun memenuhi ruang di antara Baskara dan Tarunika. Dan tanpa sengaja mereka bersama melantunkan liriknya. Sadar keduanya membuat saling tatap, lalu tertawa.

Tidak lama setelah melewati empat hingga lima lagu, Baskara menepikan mobilnya. Setelah terparkir, Tarunika adalah yang pertama kali turun. Ia mengagumi pantai itu. Tidak seperti pantai yang ada di kota asalnya. Pantai yang ada di depan mantanya saat ini benar-benar bersih. Dan di ujung sana ada dermaga. Dermaga itu yang menarik perhatian Tarunika.

"Gimana? Bagus, nggak?" tanya Baskara ketika sudah di samping Tarunika.

Tarunika mengangguk, menatap Baskara. "Ini bagus banget, Mas." Ia menunjuk dermaga. "Aku pengen ke sana."

"Ayo."

Dermaga yang benar-benar indah seperti melambaikan tangan pada Tarunika dan Baskara yang sudah berada di atasnya. Dermaga itu seperti bentuk huruf T, di tepi dermaga itu ada pembatas seperti pagar dan tiang lampu. Warna putih yang menambah kesan bersih.

Angin laut mulai menyapa. Mengibaskan rambut Tarunika yang panjang. Gadis itu mengambil ponselnya. Membuka kamera, mengambil beberapa gambar dan video. Hingga ia tidak sadar meninggalkan Baskara. Laki-laki itu tidak memperhatikan sekitarnya. Yang lebih menarik adalah gadis yang tengah sibuk mengambil foto.

Baskara juga membuka kameranya. Ia mengambil foto Tarunika diam-diam. Beberapa kali dengan gaya yang berbeda. Baskara melihat hasilnya. Ia tersenyum.

"Mas!" teriak Tarunika yang sudah berjarak jauh dari Baskara. Ia melambaikan tangannya, meminta Baskara mendekat.

Baskara berjalan mendekat.

"Kayaknya ini bakal jadi tempat favoritku deh, Mas. Bagus banget di sini."

"Tadi pas di tempat persewaan sepeda kamu juga mengatakan kalimat yang sama."

Tarunika menggeleng. "Ini yang lebih favorit, Mas." Mereka berada di tepi dermaga sambil memegang pembatas tepian. Tarunika menunjuk hamparan laut yang luas. "Liat, deh. Itu lautnya bagus banget. Dermaganya juga estetik. Aduh, suka poll."

Baskara juga menatap jauh di depannya. "Ini masih dua tempat. Masih banyak tempat indah-indah yang lain, loh."

"Nggak cukup kalau kita selesaikan sehari ini, ya, Mas?"

"Nggak cukup satu hari," balas Baskara menggeleng. "Itu artinya, kita harus ketemu di hari kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya."

Tarunika menoleh. Meneliti wajah Baskara dari samping. Laki-laki itu tinggi sekali. Tarunika mendongakkan kepalanya. Baskara perlahan juga menoleh, menatap Tarunika.

"Begitu, kan, Dek?" tanya Baskara kembali memastikan. Wajahnya yang tegas semakin tajam karena sinar matahri sore yang menerpanya. Mata sendu itu menenggelamkan lalu ikut hanyut. Senyumnya terbentuk membuat siapa pun yang melihat juga ikut tersenyum.

Tarunika tersenyum sambil mengangguk. "Gitu, ya?"

"Itu mengangguk artinya menyetujui." Baskara menyimpulkan.

Setelah puas berfoto di dermaga, Baskara mengajak Tarunika untuk turun dan berjalan santai di tepi pantai. Mereka berjalan berdampingan sambil menjinjing sepatu masing-masing. Kaki telanjangnya yang menapak pasir basah. Tiba-tiba Baskara menyentuh pundak Tarunika menggeser tubuhnya untuk bertukar posisi. Sehingga Baskaralah yang berada paling dekat dengan pantai.

Tarunika sempat terperanjat. Ia masih mencerna keadaannya sebelum Baskara mengatakan, "kamu kebawa ombak nanti."

Tarunika melebarkan mulutnya. "Emang aku sekecil itu apa, Mas?"

"Kalau keseret ombak, kan, repot nanti."

"Udah kayak popok bayi aja keseret ombak."

"Di sini pantainya bersih, ya. Jangan sembarangan. Nggak ada popok bayi."

Tarunika memperhatikan sekelilingnya. "Iya, sih."

Mereka masih terus berjalan. "Bisa renang, nggak, Dek?"

Tarunika menggeleng sambil mendongak menatap Baskara.

"Serius?" Baskara menaikkan satu alisya.

"Iya. Terakhir kali waktu SMA. Itu pun karena mapel penjas, kan. Mau nggak mau harus belajar." Tarunika terdiam sejenak. Ia tertawa. "Dulu tuh paling sedih kalau lagi kelas renang, Mas. Karena bener-bener nggak bisa. Belajar cara mengambang itu aja susah banget. Terus dapat tiga bulan mulai bisa renang. Tapi renang yang nggak santai."

"Gimana itu?"

"Ya renang yang berisik gitu. Kaki doang yang heboh, tapi nggak gerak. Aku di dalam air tuh kayak udah renang jauh gitu, kan. Tapi pas naik ke atas ternyata jaraknya deket banget." Ia tertawa sendiri.

"Oh, berarti udah tahu lah sedikit-sedikit tentang renang," sahut Baskara.

"Iya, tapi setelah itu ada covid, nggak lanjut. Sampai sekarang udah lupa cara renang."

Baskara melihat hamparan air laut yang beradu dengan langit senja itu. Warna jingga yang memendar seperti menyapa dan menarik baskara untuk lebih mendekat.

"Mau renang di sini, nggak?"

Tarunika menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Baskara. "Hah?"

Baskara hanya mengangguk saja, mengarahkan dagunya pada pantai.

Tarunika menggeleng cepat. "Nggak dulu, deh." Ia melanjutkan langkahnya, tetapi tangannya lebih dulu ditarik Baskara. "Mas, aku nggak mau, ya!"

"Paling enggak kena airnya, nggak, sih?" Baskara mulai iseng mendang air sehingga percikannya mengenai Tarunika. Gadis itu diam saja, meyerahkan diri sambil memejamkan matanya.

Baskara terawa.

Tarunika membuka matanya. Menatap Baskara tidak terima. "Gitu, ya?"

Baskara kembali menendang air dan mengenai Tarunika. Gadis itu tidak tinggal diam. Ia melempar sepatunya. Kemudian, ia berlari lebih mendekat dan ia menggunakan kedua tangannya menyipratkan air itu pada Baskara.

Laki-laki itu sepertinya terkejut karena Tarunika membalasnya jauh lebih parah. Dan saat itu Tarunika puas sekali. Ia juga beberapa kali mencoba menghindar dan mencoba lari. Tawanya ikut disaksikan senja yang sebentar lagi raib. Tarunika tidak memikirkan apa pun. Ia hanya tahu cara untuk tertawa pada saat itu. Entah disadari atau tidak, tawa yang tulus benar-benar bisa dirasakan dengan hati yang tulus pula.

***

Tarunika melihat di sudut koridor CCTV sudah menyala. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa setelah ini ia tidak perlu memikirkan hal negatif atau bergelut dengan rasa takutnya. Ia bernapas lega sebelum memasuki apartemennya. Lampu menyala otomatis ketika Tarunika menunduk melepas sepatunya.

Hari ini ia mengunjungi tempat yang belum pernah ia datangi. Senang sekali rasanya. Pertemuan dengan rasa cangung yang justru membuat Tarunika merasa aneh. Ia tersenyum sambil merebahkan tubuhnya di sofa. Menatap langit-langit apartemen. Lalu, senyumannya berubah menjadi kekehan. Ia tertawa sendiri.

"Lucu, ya," gumamnya pelan. Tarunika mengubah posisinya menjadi duduk. Menyelipkan rambutnya di belakang telinga. Maraih tasnya, ia berjalan ke kamar sambil bergumam, "semuanya juga lucu di awal. Pada akhirnya aja jadi nyakitin."

Tarunika membersihkan dirinya. Ia sudah berganti dengan kaos oversize dan celana pendek. Ia juga mengerjakan beberapa tugasnya. Musik mengalun pelan membuat Tarunika ikut menyanyi. Lalu, suara notifikasi membuatnya menoleh.

Mama

Jangan malam-malam nugasnya, ya, Aru. Kalau sudah langsung istirahat.

Tarunika membalas pesan itu.

Tarunika Mega Tara

Siap, Mama sayang

Tarunika hanya membutuhkan beberapa saat lagi untuk menyelesaikan tugasnya. Sekarang juga sudah hampir pukul sepuluh malam. Tempat tidurnya sudah melambai-lambai pada Tarunika untuk tertidur di sana. Tarunika tidak suka mengerjakan tugas hingga larut malam, ia lebih suka mengerjakan ketika mendapatkan tugas di hari itu juga. Namun, ketika menonton atau membaca buku hingga larut malam bukan masalah baginya. Apa lagi ketika di pagi harinya ia tidak memiliki jadwal, maka Tarunika akan tertidur ketika sudah larut malam. Itu kebiasaan buruknya.

Ia menutup laptopnya. Bergerak ke tempat tidur, tetapi langkahnya terhenti karena suara notifikasi di ponselnya.

"Mas Baskara?" ia bergumam ketika membaca siapa si pengirim pesan.

Baskara Aji Sukma

Malam, Dek
Sudah mau istirahat, ya?

Tarunika Mega Tara

Malam, Mas Baskara

Belum, sih. Masih sore ini. Baru selesai nugas

Masih sore? Perasaan tadi gue mau tidur, ya? Kok gue ngetik gini, sih. Pikir Tarunika.

Baskara Aji Sukma

Masih sore?

Tarunika Mega Tara

Iya, Mas. Jam malamku tuh jam 12

Baskara Aji Sukma

Astagaa
Ada ada saja

Besok free?

Tarunika duduk bersila di atas tempat tidurnya. Ia terdiam sesaat mengingat esok hari. "Aduh, gue besok full, ya?"

Tarunika Mega Tara

Aku besok full banget, Mas.
Kenapa?

Baskara Aji Sukma

Bersenang-senang

Tarunika berteriak pelan sambil tertawa. Ia berguling sambil merebahkan tubuhnya. Saat ini ia mengubah posisiya menjadi tengkurap dan masih membalas pesan Baskara. Niatnya untuk tidur pergi entah ke mana.

***

Keesokan harinya Tarunika benar-benar sibuk. Setelah kelas dari pagi hingga sore, ia berpindah tempat lagi untuk mengikuti rapat organisasi. Namun, tidak ada rasa lelah karena ia menyukainya. Apalagi ketika bersama Amara dan Ruhi semua beban atau mood yang berantakan pun akan membaik.

Ruhi tampak lesu di akhir rapat. Ia sudah ingin meninggalkan tempat itu, Tarunika mengetahuinya. Sementara Amara beberapa kali menguap juga. Mereka akan ke apartmen Tarunika setelah ini. Pada awalnya, mereka berpikir rapat akan selesai lebih awal. Namun, ada banyak anggota yang datang sangat terlambat sehingga rapat dimulai tidak sesuai undangan. Sejak rapat dimulai kedua sahabat Tarunika itu sudah bergelut dengan perasaan yang tidak semangat.

Dan kini, mereka sudah berada di apartemen Tarunika. Merebahkan tubuhnya di sofa karena kelelahan.

"Kesel banget gue, udah dibela-belain dateng awal, malah pada ogah-ogahan dateng," gerutu Amara.

"Pada muak kayaknya, Ra," sahut Ruhi.

Tarunika mendengar saja keluhan sahabatnya itu. Ia berjalan menuju pantri. Menuangkan air putih di kelas. Ia duduk sambil membuka ponselnya. Tarunika melihat nama-nama room chat yang ada di ponselnya. Sambil berpikir ia menopang kepalanya dengan satu tangannya. Satu tangannya lagi memegang ponsel.

"Perasaan semalem chatnya lancar-lancar aja. Kok hari ini nggak ada notif, ya?" gumam Tarunika. "Mas Baskara sibuk kali, ya?"

"Apa, Tar?" Amara berteriak membuat Tarunika mendongak.

Tarunika mengerjapkan mata. "Apa?"

"Ngomong sama siapa tadi?"

Tarunika menggeleng sambil turun dari pantri. Ia meninggalkan ponselnya di sana yang berbunyi dan ia tidak menyadarinya.

Saat sudah berada di dekat Amara dan Ruhi, ia berkata, "Yui, mau dipotong sekarang, nggak?"

Tarunika mengeluarkan semua peralatan guntingnya. Bahkan Amara sampai membuka mulutnya karena ternyata Tarunika menyimpan peralatan rambut. Banyak bentuk gunting dan sisir.

Ruhi jelas sudah sangat siap. Ia duduk menegakkan tubuhnya. Tarunika memberikan kain untuk menutup tubuh Ruhi. Ia menurut saja. Ia merasa berada di salon sekarang.

"Ini kita lagi main salon-salonan, ya?" Amara tertawa. "Eh, divideo nggak, sih?" Ia membuka kameranya meletakkan di meja.

"Boleh tuh, Ra." Ruhi menyetujui.

"Siap, Yui?" tanya Tarunika sambil membawa gunting di tangannya.

"Gaya lo uda kayak mau eksekusi pasien, ya?" celetuk Ruhi yang membuat Amara dan Tarunika tertawa bersama. Amara bagian mengawasi sambil menunjukkan contoh poni yang Ruhi mau. Sedangkan Tarunika sangat serius dengan pekerjaannya yang mulai memotong poni Ruhi.

Entahlah sampai berapa lama. Yang jelas, apartemen Tarunika benar-benar sangat ramai. Mereka saling menertawakan candaan dan celetukan yang keluar dari mulut mereka sendiri. Untung saja Tarunika sudah biasa memotong rambut, jadi dia masih bisa fokus. Sementara Ruhi seperti diambang percaya dan tidak percaya dengan skill Tarunika itu.

Hingga pada akhirnya, Ruhi melongo melihat pantulan wajahnya di depan cermin genggam. Kanan kirinya ada Amara dan Ruhi yang menunggu respon Ruhi.

"Kok gini, sih, Tar?" Ruhi bersuara.

Tarunika menatapnya khawatir.

"Lo keterlaluan banget, Tar." Amara juga ikut berkomentar sambil menggeleng.

"Kependekan, ya?" tanya Tarunika.

Ruhi meletakkan cermin. "Keterlaluan bagusnya. Astagaa, gue uda ngerasa kayak onni onni korea." Ia berteriak kegirangan.

"Gila, sih. Ini keren banget. Jago juga, ya lo, Tar. Skill terpendam sih ini." Amara menggeleng sambil bertepuk tangan. "Kita harus review hasil potongan Tarunika, Yiu. Bentar, gue ambil Hp gue tuh."

Dan setelahnya mereka berbicara di depan kamera. Video review potong rambut itu menjadi akhir sebelum sahabatnya itu meminta izin untuk pulang. Kehadiran sahabatnya itu membuat apartemen Tarunika benar-benar ramai. Dan sekarang sudah kembali sepi. Tarunika hingga tertawa sendiri mengingat Amara dan Ruhi.

Ia sudah membersihkan tubuhnya. Tarunika mengeringkan rambutnya yang basah menggunakan handuk. Dari tadi ia berjalan ke sana ke mari untuk mencari ponselnya. Berjalan keluar sambil terus mengusap rambutnya. Ia menghela napasya ketika melihat ponselnya ternyata ada di meja pantri.

Tanganya membuka layar kunci. "Astaga, ternyata Mas Baskara chat gue dari tadi."

Ia langsung membalas pesan Baskara sambil senyum-senyum sendiri. Ia berjalan ke sofa sambil mengetikkan pesan. Lalu, suara bel membuatnya terhenti. Tarunika melihat jam yang ada di ponselnya. Pukul sepuluh malam.

"Siapa yang datang malam-malam?" ia bergumam. Meletakkan handuknya. Lalu, berjalan pelan mendekati pintu. Di lubang intip itu, Tarunika mencoba memastikan.

Ada seorang laki-laki yang menggunakan jaket hijau, sambil membawa bingkisan. Tarunika mengerutkan keningnya. Ia tidak merasa memasan makanan. Jadi, ia membuka pintu.

"Iya, Mas?" Tarunika hanya sedikit menampakkan tubuhnya, ia seperti bersembunyi di balik pintu.

"Atas nama Tarunika, ya? Saya mau mengantarkan makanan," kata seorang driver. Ia menyodorkan bingkisannya.

"Loh, saya nggak pesan makanan, Mas." Tarunika semakin menghimpit pintu hingga terlihat kepalanya saja.

"Benar, kok, Kak. Ini atas nama Tarunika. Silakan diterima, Kak." Driver itu terus menyodorkan sehingga Tarunika terpaksa menerimanya. Dengan tatapannya yang bingung, ia membawa makanan itu di meja pantri. Menatapnya sejenak.

Baskara Aji Sukma

Sudah sampai makanannya? Nggak usah takut, itu dari aku, Dek.

Tarunika seketika cengar-cengir membaca pesan yang baru saja masuk ke ponselnya. "Oh, ternyata Mas Baskara. Aduh, jangan baik-baik gini, kek, Mas. Nanti gue suka gimana, nih?"

Tarunika berbicara sendiri sambil membuka makanannya. Senyuman menghiasi wajahnya. Sebelum ia mulai memakannya, ia foto makanan itu ke nomor Baskara.

Tarunika Mega Tara

Sent a photo.

Thanks, Mas Baskara.
Dijamin kenyang sebelum tidur ini.

Baskara Aji Sukma

Anak kecil harus makan yang banyak.

*** 

Terima kasih sudah membaca.

Panjang sekali chpater ini, ya? See u next chapter.

Tanindamey
Sabtu, 4 Mei 2024

Continue Reading

You'll Also Like

1.8M 61K 69
Cinta atau Obsesi? Siapa sangka, Kebaikan dan ketulusan hati, ternyata malah mengantarkannya pada gerbang kesengsaraan, dan harus terjebak Di dalam n...
2.5K 229 47
Impianku sederhana, mencintaimu seperti dulu. *** Mayang tak pernah menduga, menunggu pria selama setahun bisa menyuburkan rindu sekelam ini. Namun y...
2.4K 246 16
indo au maaf klo ada yg typo 😁😁😁
35.9K 2.5K 20
(TAMAT) Bukan, ini bukan cerita tentang Aruna. Tapi tentang Arumi, kakak perempuan Aruna. Tentang Arumi dan Andri