Memories in the Making [END]

By dindaarula

91K 8.5K 1.4K

[Cerita Terpilih untuk Reading List @RomansaIndonesia - SPOTLIGHT ROMANCE OF NOVEMBER 2023] Menjadi lebih dek... More

ā€ Introduksi
ā€ 01 - Ketika Xenna Ditinggal Menikah
ā€ 02 - Problematika Hati dan Skripsi Xenna
ā€ 03 - Tentang Janu dan Pencarian Jodoh
ā€ 04 - Xenna Bukan Anak Kecil (Lagi)
ā€ 05 - Tindakan Langka Janu
ā€ 06 - Layaknya Kakak Ketiga Xenna
ā€ 07 - Xenna, Tumbuh Dewasa, dan Luka
ā€ 08 - Debaran Pertama untuk Janu
ā€ 09 - Dekapan Pertama untuk Xenna
ā€ 10 - Hal-Hal yang Patut Xenna Syukuri
ā€ 11 - Sisa Hari Bersama Janu
ā€ 12 - Hadirnya Teman-Teman Janu
ā€ 13 - Kekesalan dan Kecemburuan Xenna
ā€ 14 - Berlabuhnya Hati pada Janu
ā€ 15 - Xenna dan Sakit yang Tiada Habisnya
ā€ 16 - Janu dan Kucing Hitam
ā€ 17 - Naik Turunnya Perasaan Xenna
ā€ 18 - Ruang Pribadi dan Dunia Janu
ā€ 19 - Xenna dan Hati yang Terporak-poranda
ā€ 20 - Lebih Dekat dengan Janu
ā€ 21 - Harapan Perihal Kebahagiaan Xenna
ā€ 22 - Keinginan Tersembunyi Hati Janu
ā€ 23 - Xenna dan Bentuk Kepeduliannya
ā€ 24 - Janu dan Bentuk Kekhawatirannya
ā€ 25 - Ketika Xenna Menjadi yang Utama
ā€ 26 - Di Saat Janu Cemburu
ā€ 27 - Bimbingan, Obrolan Malam, dan Xenna
ā€ 28 - Perkara Ajakan "Kencan" Janu
ā€ 29 - Satu Lampu Hijau dari Tiga Pelindung Xenna
ā€ 30 - Perihal Pembuktian Perasaan Janu
ā€ 31 - Cukup Hanya dengan Xenna
ā€ 32 - Semua Akan Janu Usahakan
ā€ 33 - Rasa Kecewa yang Tak Xenna Duga
ā€ 34 - Keyakinan yang Menghampiri Janu
ā€ 35 - Sebuah Usaha untuk Membuat Xenna Pergi
ā€ 36 - Berada di Luar Kendali Janu
ā€ 37 - Amarah yang Melingkupi Xenna
ā€ 38 - "Kejahatan" yang Dapat Janu Maklumi
ā€ 40 - Janu di Ambang Bimbang
ā€ 41 - Hadiah yang (Tak) Xenna Inginkan
ā€ 42 - Tatkala Dunia Janu Meruntuh
ā€ 43 - Derai Air Mata untuk Xenna
ā€ 44 - Janu dan Hukuman dari Si Pelindung Nomor Satu
ā€ 45 - Kembali Pulang pada Xenna
ā€ 46 - Terkait Usaha Janu Menjemput Restu
ā€ 47 - Xenna Bersama Para Pelindungnya
ā€ 48 - Tibalah Janu di Penghujung Badai
ā€ 49 - Rumah Xenna yang Ramai Kembali
ā€ 50 - Balasan yang Pantas Janu Dapatkan
ā€ 51 - Perubahan yang Ada Karena Xenna
ā€ 52 - Janu Mengaku Pada Akhirnya

ā€ 39 - Xenna dan Ketenangan yang Enggan Hadir

1K 105 79
By dindaarula

"XENNA ... ini beneran kamu? Kamu udah nggak marah lagi sama Abang? Kamu udah mau ngomong lagi sama Abang, Xen?"

Xenna lekas menggigit bibir dengan jantung yang berdetak lebih cepat. Pada akhirnya, ia dapat kembali mendengar suara yang begitu dirindukan setelah berusaha menekan ego dan mengakui bahwa dirinya sudah keterlaluan. Intonasi lembut yang penuh dengan kelegaan tersebut pun membuat Xenna menyadari bahwa lawan bicaranya sekarang sudah sangat menunggu akan datangnya momen ini. "Abaaang ... Xenna kangen," adu gadis itu segera sembari menahan luruhnya cairan bening yang muncul tanpa seizinnya.

"Abang juga, Xen. Abang juga kangen sama kamu. Rasanya Abang nggak percaya waktu lihat kalau ternyata kamu yang telepon Abang," tutur Vandi terdengar antusias, membuat Xenna yakin kakak laki-laki pertamanya itu berbicara dengan kedua sudut bibir yang terangkat. Namun, perasaan khawatir pun turut bergabung ketika Vandi melanjutkan, "Tapi, gimana kondisi kamu sekarang, Xen? Kamu nggak papa, 'kan? Abang terus kepikiran dari kemarin setelah dengar kabarnya dari papa ...."

"Xenna udah nggak papa, kok. Abang nggak perlu khawatir," jawab Xenna, berusaha terdengar meyakinkan.

"Kamu nggak bohong sama Abang, 'kan?"

"Nggak, Abang."

Embusan napas Vandi pun langsung tertangkap oleh rungu Xenna. Masih dengan cemas yang berselimut ketenangan, Vandi melontarkan tanya, "Gimana ceritanya kamu sampai bisa nggak makan seharian, Xen? Kok kamu tiba-tiba jadi bandel begini? Apa karena Abang dan Wira udah jarang ngingetin kamu kayak dulu lagi?"

Xenna meringis pelan, sedikit tak menyangka Vandi berpikir demikian. "Nggak gitu, Abang ...." Lantas, ia pun menerangkan, "Habisnya Xenna panik karena Xenna harus setor revisian di malam itu juga, sementara pekerjaan Xenna aja banyak yang belum selesai. Xenna nggak bisa mikirin hal lain, terus Xenna juga nggak sadar sampe udah ngelewatin jam makan ...."

"Ya ampun, Xen," adalah reaksi pertama Vandi, yang kemudian disusul oleh embusan napas lelah. "Kamu dengerin Abang, ya? Skripsi kamu emang penting, tapi kesehatan kamu jauh lebih penting dan itu yang harus kamu prioritaskan. Harusnya kamu bisa lebih aware karena kamu tahu sendiri apa akibatnya kalau kamu terlambat. Makan tuh nggak ngehabisin banyak waktu, Xen, jadi nggak ada yang namanya nggak sempat, apalagi sampai dilupakan padahal itu kebutuhan utama."

Tidak ada balasan dari Xenna sebab penuturan Vandi lekas mendatangkan rasa sesal dalam dirinya.

"Janji sama Abang, nggak akan diulangi lagi?"

"Iya Abang, Xenna janji."

"Abang nggak mau ya, dapat kabar nggak mengenakan lagi soal kamu nantinya," Vandi menyahut tegas. "Terus, sekarang kamu di mana, Xen? Udah di rumah atau masih di rumah Janu?"

Xenna menggigit bibirnya sejenak. Nyatanya, saat ini ia tidak sedang berada di kedua tempat tersebut, dan ia pun tahu bahwa dirinya tak bisa membohongi Vandi dalam keadaan seperti ini. Namun, jika gadis itu berkata jujur, sudah dapat dipastikan Vandi akan mengomelinya untuk yang kedua kali, sehingga keraguan betul-betul menahannya sekarang. Sampai beberapa detik berselang, ketika sadar tak punya pilihan lain, pada akhirnya Xenna pun membalas, "Xenna lagi di rumah dosen pembimbing Xenna, lagi nunggu giliran buat bimbingan ...."

Hening dengan cepat mengambil peran, dan Xenna yakin Vandi sudah menyiapkan kata-kata yang akan kembali dilontarkannya pada sang adik perempuan.

"Xenna--"

"Xenna udah izin sama Papa kok, dan Papa juga bolehin Xenna. Tadi juga Papa sendiri yang anterin Xenna ke sini," Xenna buru-buru menyela, sebelum Vandi sempat bersuara. "Nanti juga Xenna pulangnya dijemput Papa lagi. Pokoknya selesai bimbingan, Xenna bakal langsung pulang dan istirahat. Xenna janji."

Balasan pun tidak segera datang. Barangkali Vandi masih berusaha mencerna serta mencoba mengerti situasi Xenna saat ini. Dan, lelaki itu berhasil melakukannya sebab ia langsung berujar, "Janji juga sama diri kamu sendiri, Xen, jangan cuma janji sama Abang."

Diam-diam Xenna pun merasa lega usai mendengarnya. "Iya, Abang ...."

Kemudian, tak ada lagi yang bersuara setelahnya. Xenna pun hanya diam menunggu, beranggapan bahwa mungkin Vandi sedang memikirkan apa yang harus disampaikannya lagi. Dan, ketika helaan napas terdengar dari seberang sana, Xenna sempat mengira mereka akan melanjutkan pembahasan yang sama. Setidaknya, sampai mulut Vandi kembali melontarkan kata-kata.

"Xen ... maafin Abang, ya?" ungkap Vandi, begitu menyesal. "Abang sebetulnya nggak mau bohongin kamu, tapi Abang nggak punya pilihan lain. Abang pun pengen banget ngejelasin semuanya sama kamu sekarang juga, tapi sayang, sekarang waktunya lagi nggak tepat." Henti sesaat. "Kamu tetap mau kasih kesempatan buat Abang jelasin 'kan, Xen? Kamu juga mau maafin Abang, 'kan?"

"Xenna udah maafin Abang, kok. Xenna juga mau dengerin Abang ...." Kedua mata Xenna kian memanas mendengar itu. Jika sedang berada di rumahnya sendiri, tentu Xenna takkan berusaha menahan-nahan air matanya yang sudah bertumpuk di pelupuk. "Abang nggak bisa pulang sekarang-sekarang aja, gitu? Nunggu Xenna wisuda kelamaan. Xenna pengen cepet ketemu Abang."

Vandi seketika menghela napas berat. "Nggak bisa, Xenna. Maaf, ya? Kalau bisa pun Abang juga pengen pulang dalam waktu dekat ini. Abang pengen ketemu kamu. Abang juga pengen ngobrolin semuanya secara langsung sama kamu." Kemudian, nada bicara Vandi mendadak berubah serius ketika ia mengimbuh, "Dan, Abang juga perlu ketemu sama Janu."

Penuturan Vandi lekas saja mengundang kerutan di dahi Xenna. "Mau ngapain, Abang?"

"Untuk kasih dia sedikit pelajaran. Dia udah bikin kamu nangis, 'kan?"

Sontak Xenna pun tertegun dengan kedua matanya yang melebar. "Abang tau dari mana ...?" tanyanya begitu pelan.

"Dia sendiri yang kasih tahu Abang, Xen. Dia minta maaf sama Abang karena udah mengingkari kata-katanya sendiri."

Xenna makin tak percaya lagi usai mendengarnya. Jadi ... Janu sempat memberi tahu Vandi apa yang sudah dilakukannya terhadap Xenna atas kesadaran dirinya sendiri? Xenna tidak tahu jelas kata-kata macam apa yang telah Janu ucapkan kepada Vandi. Xenna pun tidak tahu apakah Janu turut memberi tahu Vandi tentang akar permasalahannya. Namun, jika Janu sudah mengakui kesalahannya secara langsung seperti itu, bukankah ia sedang berada dalam bahaya sekarang?

"Masalahnya udah selesai. Abang jangan apa-apain Mas Janu," pinta Xenna segera. Begitu ingin melindungi lelakinya.

"Emangnya kamu pikir Abang mau ngapain, Xen? Kasih pelajaran dalam bentuk kekerasan?" sahut Vandi begitu tenangnya, tidak sesuai dengan kalimat yang ia ucapkan. "Itu bukan cara Abang. Abang nggak suka main tangan. Soal itu, biar jadi urusannya Wira."

Sontak Xenna pun memelotot panik. "Abaaang, ih! Pokoknya Abang nggak boleh apa-apain Mas Janu. Xenna bakal marah dan nggak mau ngomong lagi sama Abang kalau Abang nggak dengerin Xenna!"

Vandi kontan saja terdiam di saat itu juga. Cukup lama, saking terkejutnya. "Xen, ya ampun, Abang cuma bercanda .... Masa kamu mau marah lagi sementara kamu aja baru maafin Abang?"

Xenna mendengkus samar dengan wajah merengut. "Bercandanya nggak lucu."

"Kamu sesayang itu sama Janu?"

"Iya."

"Lebih-lebih dari sayangnya kamu ke Abang?"

"... Nggak tau."

"Kok nggak tahu?"

"Emangnya kalau Xenna tanya, Abang lebih sayang Xenna atau Kak Sandra, Abang bisa jawab?"

Lagi-lagi Vandi sukses dibuat geming. Prakiraan Xenna tepat sasaran. Vandi tidak bisa menjawabnya secara gamblang. Dan pada akhirnya, lelaki itu hanya bisa tertawa hambar, dan tak lama disusul oleh kalimat, "Kadang Abang masih nggak nyangka aja, Xen, kalau kamu udah sebesar ini." Ada jeda di mana Vandi mengambil napas sejenak. "Kayaknya, Abang udah harus mulai nyiapin diri dari sekarang."

Kedua alis Xenna segera menyatu. "Nyiapin diri buat apa, Abang?"

"Nyiapin diri ... kalau-kalau Janu melamar kamu lebih cepat dari yang Abang perkirakan."

Xenna kontan geming di saat itu juga.

Lebih cepat? Yang benar saja. Xenna hanya mampu menyunggingkan senyum pahit.

Sebab faktanya, jika melihat dari keadaan saat ini, bukankah apa yang Vandi katakan merupakan sesuatu yang mustahil untuk terjadi?

Mas Janu
Ternyata benar, kalau kamu pergi?
Kamu sengaja gak kasih tahu saya?
Kamu pikir bagus kamu bersikap begitu?

Xenna Adhika
Galak bener ish mas janu kenapa sihhh
Masih bete gara2 tadi yaa?
Aku kan udah minta maafff ☹️

Mas Janu
Gak usah alihin pembicaraan.
Gak ada hubungannya dgn permasalahan tadi.

Xenna Adhika
Ya tapi itu dari typingnya aja masih kerasa bgt keselnya 😭

Mas Janu
Siapa juga yg gak akan kesal kalau kamu bandel begini?

Xenna Adhika
Udah cukup aku kena omel papa dan bang vandi hari ini
Mas janu jangan ikutan marah juga 😣

Mas Janu
Saya gak akan marah kalau kamu bilang dan jelaskan sejak awal.

Xenna Adhika
Berarti mas janu marah sama aku ya 😞

Mas Janu
Menurut kamu?

Xenna Adhika
☹️☹️☹️
Aku nggak bisa reschedule jadwal bimbingan
Sebelumnya malah aku udah 2 kali nunda bimbingan
Aku udah makin dikejar deadline
Waktu bimbinganku tinggal sisa 1 kali lagi sampai batas pengumpulan
Mana mungkin aku ngga panik mas
Temen2ku malah udah pada sampe bab akhir
Tapi aku masih stuck aja di bab 4 karena revisiannya ngga beres2
Aku takut
Kalau  aku gagal sidang bulan ini gimana, mas? 😢

Mas Janu
Sayang

Xenna Adhika
Hmm 🥺

Mas Janu
Fokus sama diri kamu sendiri
Jangan berpikir macam-macam
Biar kamu gak terlalu terbebani saat menjalani bimbingan nanti dan proses-proses selanjutnya
Kasih tahu saya kalau sudah selesai
Nanti saya jemput
Maaf, saya gak coba mengerti posisi kamu

Xenna Adhika
Masss 🥺🥺🥺
Tapi
Kok tiba2 jemput sih maass
Ngga bisaa
Aku pulang sama papa nanti

Mas Janu
Sama saya
Nanti saya yg bilang ke papa kamu.

Xenna Adhika
Ihh jangannn
Nanti kalau papa curiga gimanaa ☹️

Mas Janu
Kalau gitu kamu yg bilang
Kamu selalu punya banyak alasan
Seperti tadi
Kamu bilang saya kaget karena ada kecoa lewat.

Xenna Adhika
😭😭😭
Maaff maass tadi aku ngga bisa mikir alasan lainnn 😭🙏🏻

Mas Janu
Sudahlah, gak perlu dibahas lagi.
Jadi gimana?

Xenna Adhika
Iyaaa aku mau pulang sama mas janu aja
Nanti aku cari alasan biar papa ngga jadi jemputt
Nanti aku kabarin lagi yaa mas sayangg

Mas Janu
Ya

Xenna Adhika
Ih
Sedih banget masa balesnya cuma gitu 😞

Mas Janu
Ya, sayang

Xenna Adhika
Hihi 😁
Kurang emotnya aja itu maass

Mas Janu
Emot apa?

Xenna Adhika
Yaa yang cocok dongg

Mas Janu
Ok
👍🏻

Xenna Adhika
IHHH KOK MALAH DIKASIH JEMPOL
EMOT LOVE LOH MAKSUDKU MAAASS 😭

Sesi bimbingan ditutup dengan perasaan kecewa yang menyerbu Xenna begitu hebat. Merupakan kekecewaan yang tertuju untuk dirinya sendiri. Selama beberapa waktu ke belakang Xenna yakin sekali dirinya sudah melakukan yang terbaik, tetapi tepat pada hari ini kenyataan malah menamparnya telak, menyadarkannya bahwa segala hal yang telah ia usahakan nyatanya tetap belum mampu menyentuh kata cukup. Masih saja ada yang perlu diperbaiki, masih saja ada yang perlu dibenahi. Dan, Xenna masih perlu berjuang sedikit lagi untuk benar-benar mencapai halaman terakhir.

Rasa kecewa itu pun tampaknya turut dirasakan oleh sang dosen pembimbing, yang cukup menyampaikannya lewat tatapan dan Xenna langsung tahu bahwa ia sudah menghancurkan harapan yang tertanam dalam diri wanita itu. "Masih ada waktu  tersisa, Ibu harap kamu bisa pergunakan dengan sebaik mungkin," Bu Tanti tetap berusaha bertutur lembut kendati tetap ada ketegasan di dalamnya. "Ibu ingin saat kamu menghadap Ibu lagi nanti, skripsi kamu sudah utuh dengan hasil yang jauh lebih baik lagi dari ini. Ya, Xenna?"

Mendengar itu, Xenna paksakan bibirnya menyunggingkan senyum dengan anggukan pelan. Lantas, dengan berusaha terdengar meyakinkan, ia membalas, "Iya, Bu. Saya akan menyelesaikan skripsi saya dengan tepat waktu, saya juga akan berusaha lebih baik lagi dalam pengerjaannya."

Bu Tanti terdiam sejenak, sebelum mengembuskan napas panjang-panjang. Kemudian sorot kedua matanya berubah serius. "Tolong pegang kata-kata kamu sendiri, ya? Karena kita sudah tidak punya banyak waktu lagi," ungkapnya memperingati. "Kamu pernah datang ke Ibu dengan membawa hasil pekerjaan yang memuaskan. Jadi Ibu percaya kalau kamu bisa. Ibu percaya sekali sama kamu, Xenna."

Tanpa Bu Tanti sadari, kata-kata itu dengan segera bertransformasi menjadi beban tak kasatmata yang bertumpuk di bahu Xenna. Gadis itu justru kian takut akan kembali melakukan kesalahan, yang nantinya akan kembali berujung menimbulkan kecewa. Namun, dalam situasi seperti ini Xenna pun berusaha kerasa untuk menjadikannya sebagai cambukan ringan agar semangatnya tak luntur begitu saja.

Usai melontarkan kalimat-kalimat penuh keyakinan lainnya, Xenna akhirnya dipersilakan pergi dari hadapan Bu Tanti seraya membawa barang-barang yang dibawanya. Tak lupa ia turut memanggil mahasiswa bimbingan selanjutnya yang tengah menunggu di ruang tamu.

Dengan langkah gontai, Xenna melanjutkan langkahnya menuju beranda. Satu tangannya mendekap erat tas laptop, sementara yang lainnya sibuk mengetikkan pesan pada Janu, memberi tahu sang kekasih bahwa kegiatannya sudah rampung hari ini, dan Janu sudah bisa menjemputnya di lokasi yang telah ia kirimkan.

Xenna pikir, ia sudah bisa mengistirahatkan kepalanya yang terasa pening bukan main sembari menunggu kedatangan Janu. Namun, tampaknya hal tersebut akan berakhir menjadi angan-angan saja ketika sepasang netranya mendapati pemandangan tak terduga di halaman rumah. Sebab pada dua kursi kayu yang terdapat di sana, terisi oleh dua orang perempuan yang dulu pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya.

Gia. Xenna bisa paham mengapa Gia bisa berada di tempat ini karena mereka memang dibimbing oleh dosen yang sama, dan ia tengah menunggu giliran.

Namun, Sheila? Kenapa ia bisa berada di sini juga?

Kemunculan Xenna dari dalam tentu saja lekas mengundang atensi kedua orang tersebut. Tentunya mereka pun tampak terkejut bukan main.

Pandangan Xenna lantas mengarah pada Sheila, bertahan selama beberapa detik. Dan, tak bisa dipungkiri bahwa kekecewaan dalam dirinya terhadap perempuan itu nyatanya sudah jauh berkurang drastis sehingga ia tidak merasakan apa-apa kali ini. Hal itu pula yang membuat Xenna tak ragu untuk lebih dulu bertanya, "Lo kenapa ada di sini, Shei?"

"Oh, itu," Sheila mengerjap, "lo tadi ada liat Anggi di dalam? Dia kan satu kos sama gue, terus dia minta tolong sama gue buat dianterin ke sini karena kebetulan gue lagi kosong juga." Jeda sesaat, di mana Sheila menarik lengan Xenna agar ia duduk di sebelahnya. Tentu tanpa adanya persetujuan. Xenna yang sudah merasa lelah sekali sungguh tak lagi sanggup untuk memprotes.

"Oh, gue kira ...." Xenna menggantungkan kalimatnya, sementara matanya melirik pada Gia.

Segera paham maksud Xenna, Sheila pun mdengan santainya menyahut, "Nggak, Xen. Dia udah punya jemputannya sendiri, jadi udah jelas nggak butuh jasa gue lagi buat antar-jemput ke mana-mana."

Tanpa menyebut nama, tentu Xenna langsung mengerti siapa "jemputan" yang Sheila maksudkan. Gadis itu pun hanya manggut-manggut tanpa memberi balasan, dan hening lekas mengambil perannya di saat itu juga.

Alih-alih canggung, Xenna hanya merasa bingung apa yang harus dibicarakannya pada Sheila. Kekecewaan besar pada Gia yang belum mampu lenyap pun membuat ia masih enggan untuk bicara dengannya. Alhasil, Xenna hanya sibuk memainkan ponsel, sesekali bertukar pesan dengan Janu--yang selalu menyempatkan diri untuk membalas ketika ia bertemu kemacetan.

Mas Janu
Kamu itu masih sakit.
Kenapa susah sekali dibilangin?
Pusing saya lama-lama.

Xenna mengembuskan napas malas. Kendati demikian, ia tak kuasa menahan tarikan di sudut-sudut bibirnya lantaran Janu yang sibuk mengomel--meski hanya lewat chat--terasa seperti hiburan tersendiri baginya, sekaligus sukses mengalihkan pikirannya sejenak. Dan, seperti biasanya, Xenna tiada henti menguji kesabaran lelaki itu dengan berbagai macam balasan yang turut disertai emotikon-emotikon sebagai pelengkap.

"Chat-an sama siapa sih, Xen? Seru amat kayaknya, sampe senyum-senyum gitu."

Celetukan Sheila langsung mengalihkan perhatian Xenna. Senyumnya lenyap seketika, dan hanya tergantikan oleh sebuah lengkungan tipis. "Kepo, lo."

Mendengar itu, Sheila kontan memicingkan mata curiga. "Biasanya kalau jawabannya gitu, pasti lagi chat-an sama cowok."

"Emangnya kenapa kalau gue chat-an sama cowok?"

"Ya nggak papa, Xen, nggak ada yang ngelarang juga. Tapi, jangan-jangan, itu cowok yang waktu itu jemput lo, ya?"

"Kalau sekarang pacar gue sih, lebih tepatnya," ralat Xenna begitu enteng sembari memamerkan senyum bangga. Bangga sebab laki-laki yang saat itu hanya mampu Xenna harapkan dapat menjadi pengganti Arka, kini sungguh-sungguh telah menjadi miliknya.

Dan, Sheila yang pernah mendengar kalimat itu terlontar dari mulut Xenna pun sontak membulatkan mata tidak percaya. "Demi apa, Xen? Dia beneran pacar lo sekarang?"

Xenna hanya mengangguk-angguk ringan sebagai jawaban.

"Sumpah, ya ... lo nemu di mana cowok kayak gitu, Xen?" tanya Sheila dengan rasa penasaran tinggi yang tak bisa ia sembunyikan begitu saja. "Sejak kapan selera lo berubah jadi pria matang begitu? Dari tampilan luarnya aja udah keliatan jelas kalau levelnya beda jauh dari yang onoh."

Sontak Xenna tertegun, memandangi Sheila tak menyangka. Entah Sheila hanya murni bercanda, atau ia benar-benar tengah menyindir Gia--yang sedari tadi tidak bergabung ke dalam percakapan. Saat Xenna mengarahkan tatapannya pada Gia, ia pun segera mendapati ekspresi tak senang di wajah perempuan itu. Membuat Xenna tak bisa mencegah dirinya berasumsi bahwa hubungan Sheila dan Gia pun tampaknya sudah mulai mengalami keretakan.

Dan, oleh karena tak ingin hanya diam, Gia akhirnya bersuara, pada Xenna berujar sinis, "Cepet juga ya, lo dapat pengganti Arka."

Kerutan terbentuk di dahi Xenna. Tidak mengerti mengapa Gia harus menyahut dengan intonasi seperti itu. "Emangnya kenapa kalau cepet, Gi?" Xenna balik melontarkan tanya, berusaha tetap tenang.

Seolah apa yang baru saja dikatakannya hanyalah hal biasa, Gia menatap Xenna lurus-lurus, lantas membalas, "Ya nggak papa, sih. Cuma aneh aja ... lo ngelupain Arka secepat itu? Atau jangan-jangan, lo malah jadiin cowok baru lo itu sebagai pelampiasan?"

Xenna pun sukses dibuat geming. Bukan karena penurutan Gia benar adanya, tetapi ia tak menyangka bahwa ucapan seperti itu lokos dari mulut seorang pengkhianat yang sudah menyakitinya begitu hebat. Apakah mungkin, Gia sudah betul-betul lelah mengharapkan kata maaf hingga sudah berani menyulut api? Lantas, apakah Xenna masih perlu mendengarkan perempuan itu seperti apa yang pernah Janu sampaikan kepadanya?

"Nggak ada yang aneh dari move on cepet, Gi," Sheila segera menyela sebelum Xenna sempat bersuara. "Arka yang ninggalin Xenna dengan cara kayak gitu aja udah lebih dari cukup buat bikin Xenna ilfeel, kali." Henti sesaat. "Lagian, bagus dong, kalau Xenna udah move on? Lo udah bisa tuh, milikin Arka seutuhnya. Lo nggak perlu capek-capek overthinking kalau suatu saat Xenna bakal balik sama Arka."

Gia terdiam, memandang Sheila seolah ia baru saja dikhianati. "Shei, gue pikir lo ada di pihak gue?"

Tanpa rasa takut sedikit pun, Sheila membalas tajam, "Gue cuma nggak mau ngulangin kesalahan yang sama, jadi gue mutusin berdiri di pihak yang benar sekarang."

Apa yang Xenna pikirkan memang terbukti benar adanya. Satu tindakan Sheila mengacaukan segalanya, dan Sheila melakukan itu semata-mata sebagai bukti bahwa ia memang telah menyesali tindakannya dulu. Dan kini, Sheila benar-benar ada di pihak Xenna. Sheila yang dahulu selalu berusaha menutupi semua kebusukan Gia dan Arka benar-benar telah beralih menjadi si penentang nomor satu. Entah ia lakukan demi Xenna atau dirinya sendiri, yang jelas Xenna tetap berhasil dibuat tersentuh karenanya.

Di sisi lain, penuturan Sheila kontan menghadirkan kecewa mendalam pada air muka Gia. Tak lama amarah pun bergabung, bersamaan dengan tatapnya yang mengarah pada Xenna. "Hidup lo emang selalu beruntung ya, Xen?" ujar Gia dengan senyum pahit yang merekah di bibirnya. Kemudian, ia bingkas dari kursi, menambahkan, "Lo sengaja mau ngasih liat ke gue kalau hidup lo baik-baik aja, atau lo sengaja mau pamer kalau lo udah dapat pengganti yang jauh lebih baik dari Arka?"

"Gi, lo apa-apaan, sih?"

Sheila menyahut kesal, sementara Xenna hanya mampu terdiam. Sebab jika memang ini waktunya untuk mendengarkan, maka ia tetap mesti melakukannya. Kendati harus ia abaikan rasa nyeri yang mulai menyerang hatinya.

Tak menggubris ucapan Sheila, Gia terus saja melanjutkan, "Gue bener-bener nggak ngerti, Xen. Hidup lo dan hidup gue padahal sama-sama nggak sempurna, tapi kenapa lo masih bisa dikelilingi orang-orang yang sayang sama lo, sementara gue nggak?" Sejenak Gia menghirup napas dalam-dalam. Suara penuh kedengkian itu lantas kembali melantun, "Lo masih punya papa dan dua kakak yang bener-bener sayang dan peduli sama lo. Lo juga punya cowok yang secinta itu sama lo. Tapi gue ... gue udah nggak punya orangtua, dan kakak gue bahkan udah nggak peduli lagi sama gue setelah dia menikah.

"Memang, gue akhirnya bisa ngerasain dicintai sama pacar lo yang dengan jahatnya gue rebut itu. Gue akhirnya punya satu orang yang selalu ada buat gue di saat gue senang maupun sedih," ungkap Gia, yang pada akhirnya--tanpa sadar--membuka rahasianya sendiri, alasan atas perbuatan buruk yang telah ia lakukan pada Xenna. "Tapi kenapa ... di saat Arka udah jadi milik gue sepenuhnya, dia masih aja sibuk ngejar-ngejar lo? Kenapa di saat gue udah kasih semuanya sama dia, termasuk barang berharga gue sekalipun, matanya masih aja terus tertuju ke lo? Dunia se-nggak adil ini buat gue, Xen. Dunia sejahat itu ngebiarin gue terbuai karena cinta yang nyatanya cuma cinta palsu."

Penuturan panjang Gia sukses membungkam Xenna dan Sheila begitu lama. Di saat dirinya belum mendapatkan reaksi apa pun, Gia lantas menggunakan kesempatan itu untuk beranjak pergi meninggalkan pekarangan rumah Bu Tanti begitu saja, seolah lupa apa tujuan utamanya bertandang ke sana. Kendati demikian, Xenna masih saja membeku di tempat lantaran fakta yang baru ia dengar cukup mengejutkan, dan begitu menyakitkan.

"Xen ... lo tau kan, semua yang Gia rasain sama sekali bukan tanggung jawab lo? Bukan salah lo juga kalau Arka masih berusaha untuk dapetin lo lagi walaupun lo udah mutusin dia." Sheila berbicara dengan hati-hati. Sebab ia tahu apa yang Gia katakan mustahil takkan segera mengusik pikiran Xenna. "Gue bener-bener nggak habis pikir ... semua yang Gia lakuin ternyata didasari oleh perasaan iri terhadap lo."

Xenna tetap diam selama beberapa saat, sebelum ia akhirnya menoleh pada Sheila dengan kedua mata yang sudah tampak memerah. Ia menarik napas dengan berat seraya menggigit bibir bawahnya kuat. "Sakit banget gue dengernya, Shei ...," ujar gadis itu lirih.

"Xen ...."

"Ternyata, dari dulu rasa sayang yang kita punya nggak pernah cukup untuk Gia. Dia pun bahkan nggak tau ... kalau salah satu keberuntungan yang pernah gue rasain dalam hidup gue nyatanya karena gue punya sahabat seperti dia."

"Untuk penjelasan konsep secara rinci boleh kirim ke e-mail saya saja, dan bagaimana kelanjutannya pasti akan dibahas dalam rapat di kantor besok .... Baik, kalau ada apa-apa bisa langsung hubungi saya. Terima kasih, selamat sore." Setelah bermenit-menit lamanya, percakapan Janu dengan seorang klien akhirnya usai juga. Dan selama itu pula Janu sedikit kesulitan untuk fokus lantaran Xenna yang duduk di jok sebelah lebih banyak diam sejak gadis itu masuk, dengan raut wajah yang tampak begitu lelah dan agak murung.

Tentu Janu bertanya-tanya dalam hati, apa yang telah terjadi saat Xenna melakukan sesi bimbingannya tadi? Janu tak ingin menyampaikannya secara langsung sebab ragu yang menahan. Ia hanya takut melakukan kesalahan jika dirinya bersikap berlebihan seperti sebelumnya.

Namun, tak lama setelah Janu kembali menyimpan ponsel dalam saku celana, Xenna tahu-tahu sudah menoleh ke arahnya dengan pandangan yang tak terdefinisikan. Hanya saja ... Janu tetap dapat melihat jelas adanya kesedihan di sana. Dan, Janu sungguh tak menyukai hal tersebut.

"Mas ... aku boleh peluk?" pinta Xenna secara tak terduga, dengan kedua mata yang berbinar penuh harap.

Janu terdiam sejenak. Usai memastikan lampu lalu lintas masih berwarna merah, lelaki berkacamata itu sedikit memiringkan tubuhnya agar dapat menghadap Xenna. "Tapi, saya lagi nyetir," balas Janu terdengar tenang, bukannya menolak keras. Yang ia lakukan setelahnya adalah menaruh tangan kirinya di atas tas yang berada di pangkuan Xenna dengan telapak terbuka. "Sementara begini dulu saja, gimana?"

Xenna mulanya hanya memandangi tangan Janu, sebelum akhirnya mengangguk  dan menyelipkan jari-jemari kanannya di sana untuk ia genggam. Kemudian, dengan pelan Xenna pun bertanya, "Mas Janu nggak tanya aku kenapa?"

Terpaksa Janu menunda jawabannya sejenak. Sebab tepat di saat itu, suara klakson dari arah belakang lekas menyadarkan Janu bahwa lampu sudah berubah hijau meski ia baru berpaling sebentar. Lantas Janu kembali melajukan mobil, menyetir dengan satu tangan dan membiarkan tangan kirinya dikuasai oleh Xenna.

"Saya menunggu kamu yang memberi tahu saya," tukas Janu, menoleh pada Xenna sekilas. Masih tak menyangka Xenna bertanya seperti itu padanya.

Sementara itu, Xenna mengeratkan genggamannya dengan pandangan tertunduk. Kemudian, membalas lirih, "Aku capek banget ... revisiannya nggak selesai-selesai."

Janu yang mendengar itu lekas tersenyum maklum--kendati fokusnya tetap pada jalanan di depan. Sebab mengeluh perihal skripsi bukanlah sesuatu yang salah, dan merasa sedih karenanya pun bukanlah kesalahan pula. "Kalau capek, istirahat dulu. Baru setelah itu coba selesaikan lagi." Jeda sejemang. "Saya bisa bantu kamu seperti waktu itu. Jadi jangan terlalu dijadikan beban, ya?"

Xenna hanya mengangguk pasrah oleh sebab sudah lelah dengan permasalahannya yang satu itu.

"Panas kamu belum sepenuhnya turun," ujar Janu seraya mengelus punggung tangan Xenna dengan ibu jarinya. Perasaan khawatir pun terselip jelas dalam intonasinya. "Kamu bawa obat?"

"Nggak, aku lupa bawa," Xenna membalas seraya menatap Janu tak berdosa, membuat lelaki itu hanya mampu menahan diri untuk tidak lagi mengomeli gadisnya.

Lantas, Janu mengembuskan napas panjang, sebelum memungkas, "Ya sudah, kalau begitu kita mampir dulu ke apotek, baru setelahnya cari tempat makan."

Usai melewati dua perempatan, Janu yang mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang akhirnya menemukan satu apotek yang terletak persis di sisi jalan besar. Halaman yang cukup kosong memudahkan Janu parkir di sana dengan cepat. Tanpa menunggu lama, Janu pun lekas melepas seat belt, bersiap untuk keluar. "Kamu tunggu di sini, biar saya yang turun," ujar lelaki itu kala mendapati Xenna hendak melakukan hal serupa.

Xenna bersikap patuh, menuruti apa yang Janu katakan. Ia pun akhirnya membiarkan Janu turun dan beranjak menuju apotek, meninggalkannya sendirian dalam kendaraan beroda empat tersebut.

Di saat itu, atensi Xenna teralihkan ketika melihat ponsel milik Janu yang tertinggal di jok. Barangkali tergelincir dari saku lantaran Janu tidak memasukkannya dengan benar.

Awalnya, Xenna tidak terlalu memedulikan benda tersebut. Namun, suara getaran panjang yang sekonyong-konyong terdengar membuat Xenna secara otomatis kembali memerhatikannya. Gadis itu bahkan sampai sedikit memajukan tubuh hanya untuk melihat siapa yang tengah menelepon Janu sekarang.

Dan, Xenna berakhir menyesal setelahnya.

Amanda Geneva is calling ....

Mendadak napas Xenna terasa berat, sedikit sesak, mengetahui perempuan itu ternyata masih saja berusaha menghubungi Janu seperti ini.

Panggilan tersebut tidak terjawab; Janu masih belum kembali dari apotek; dan Amanda nyatanya tidak berhenti sampai di situ. Kini justru getaran-getaran pendek yang bermunculan, membuat Xenna tak tahan untuk tidak meraih ponsel Janu karena ingin mengeceknya sendiri, cukup membacanya lewat bar notifikasi.

Amanda Geneva
Janu
Ayah mau ketemu lo
Lo bisa luangin waktu?

Sontak Xenna tertegun. Ketika kembali tersadar, tangannya sedikit gemetar, bahkan ketika ia kembali meletakkan ponsel milik Janu di tempatnya semula. Seketika ia tak fokus, pikirannya pun melayang entah ke mana. Sebab sungguh tak mungkin jika isi pesan seperti itu takkan membuat Xenna dihantui oleh berbagai prasangka negatif.

Kali ini, apa lagi?

Sesulit itukah bagi semesta untuk memberikan ketenangan barang sejenak bagi Xenna dalam menjalani hidupnya yang penuh oleh kekacauan?

-ˋˏ ༻❁༺ ˎˊ-

bandung, 8 mei 2024

Continue Reading

You'll Also Like

244K 57.6K 52
If there's bunch of reason people to leave me. I'll make you stay, for one reason.
1.4K 106 12
NOVEL TERJEMAHAN ęœ«äø–之ē”·å¾ŒåØę­¦ Pengarang: Ning Meng Cat Jenis: Tanmei doujin Status: Selesai Pembaruan terakhir: 15 Mei 2021 Bab Terbaru: Bab 107 pengantar...
1.9M 61.4K 69
Cinta atau Obsesi? Siapa sangka, Kebaikan dan ketulusan hati, ternyata malah mengantarkannya pada gerbang kesengsaraan, dan harus terjebak Di dalam n...
1.4M 86.3K 37
"Di tempat ini, anggap kita bukan siapa-siapa. Jangan banyak tingkah." -Hilario Jarvis Zachary Jika Bumi ini adalah planet Mars, maka seluruh kepelik...