Ada yang Memang Sulit Dilupak...

By aixora_28

1.4K 367 186

Ini kisahku. Kisah Talitha Saraswati yang bertemu seorang cowok. Duduk satu meja, dapat kesempatan nyanyi bar... More

Intro
Momen Pertama
Momen Kedua
Momen Ketiga
Momen Keempat
Momen Kelima
Momen Keenam
Momen Ketujuh
Momen Kedelapan
Momen Kesembilan
Momen Kesepuluh
Momen Kesebelas
Momen Kedua Belas
Momen Ketiga Belas
Momen Keempat Belas
Momen Kelima Belas
Momen Keenam Belas
Momen Ketujuh Belas
Momen Kedelapan Belas
Momen Kesembilan Belas
Momen Kedua Puluh
Momen Kedua Puluh Satu
Momen Kedua Puluh Dua
Momen Kedua Puluh Tiga
Momen Kedua Puluh Empat
Momen Kedua Puluh Lima
Momen Kedua Puluh Enam
Momen Kedua Puluh Tujuh
Momen Kedua Puluh Delapan
Momen Kedua Puluh Sembilan
Momen Ketiga Puluh
Outro
Momen Istimewa 1 (PoV Raga): Kebohongan Jihan

Momen Istimewa 2 (PoV Raga): Kau Cinta Pertama dan Terakhirku

10 4 6
By aixora_28

Aku memilih menyingkir saat Tiana, Melisha, Anindya, dan Nuri memeluk bersamaan kepada wanita berbalut gaun pernikahan di pelaminan. Keempatnya tak menyembunyikan sama sekali basah di pipi bahkan sebelum akad menggaung di bawah tenda pernikahan dengan hujan cahaya yang meneduhkan. Warna silver dan gold menambah kesan mewah, tetapi syahdu untuk menghiasi hari bahagia kami.

Mereka merangkulku. Dari sisi kanan dan kiri. Tidak lain para suami yang istrinya sibuk bertangis bahagia dengan wanitaku di sana.

"Mereka itu udah pada bangkotan, tetapi kelakuan masih kayak anak SMA." Itu gerutuan Akmal. "Aduh, baby-ku di perut emaknya apa kagak begah itu? Dijepit tante-tantenya di kanan dan kiri."

Satu pria di antara kami tertawa. "Tenang aja, Brader. Mereka enggak mungkin bikin calon keponakan terluka."

Itu suara Dei. Menenangkan sembari menepuk-nepuk pelan bahu Akmal.

"Dipikir-pikir, mereka ini hebat, ya? Berkawan dari SMA sampai sekarang udah pada mau punya anak."

"Persahabatan antar wanita itu, biasanya, memang lebih langgeng."

"Aku bersyukur karena Talitha punya mereka."

"Untung begomu enggak kelamaan, Ga. Satu anak manusia terselamatkan. Enggak jadi menggalau seumur hidup."

"Lagi pula, kalaupun Raga keterusan bego, masih banyak cucu Adam yang akan berusaha untuk mengobati patah hatinya Talitha, kok." Rashaka menimpali perkataan Dei.

"Kamu salah satunya yang berniat untuk menyembuhkan?" Aku masih berpendapat bahwa Rashaka yang dulu berkemungkinan menyimpan perasaan istimewa kepada wanitaku.

Mereka terhitung sangat dekat. Lebih akrab Talitha dengannya daripada aku. Selain karena satu kelas dan sering sekelompok belajar, mereka juga di ekskul yang sama. Intensitas pertemuan dengan Rashaka jauh lebih banyak daripada denganku. Belum lagi ... walau terkesan dingin dan tidak banyak bicara, Rashaka adalah tipe pria yang mudah membuat nyaman lawan jenis. Act of service. Perhatiannya tertuang dengan tindakan, bukan sekadar kata-kata.

"Sayangnya, sejak awal aku sudah tahu bahwa kesempatan masuk ke hatinya enggak akan pernah ada." Pria yang sebentar lagi akan menyusul kami masuk ke geng Calon Bapak-Bapak itu menjengitkan kedua bahu. Tak mau ambil pusing.

Untung saja wanita itu sudah menjadi milikku. Secara resmi. Tercatat di mata agama juga hukum sejak pukul delapan pagi hari ini. Butuh hampir empat belas tahun sampai akhirnya benang takdir kami terpintal di pintu yang sama. Jadi, aku tak perlu cemburu kepada pria itu atau pria mana pun.

"Banyak-banyak bersyukur mulai sekarang, Ga. Belajar peka juga karena yang namanya wanita akan selalu sulit dimengerti." Dei menepuk-nepuk pelan bahuku. "Enggak banyak wanita seperti Talitha Saraswati yang cuma menyimpan satu nama pria di hatinya sampai belasan tahun. Enggak terkatakan. Memilih bungkam hanya demi melindungi perasaannya enggak semakin patah karena antara ekspektasi dan realita berbanding terbalik."

Aku melirik Dei yang berdiri tepat di samping kiri. "Tumben ucapanmu bener. Biasanya mesum mulu."

"Sialan!" Dia memukul pelan bahuku.

Namun, aku setuju dengan nasihat Dei. Talitha adalah rasa syukur terbesarku saat ini. Wanita pertama yang berhasil membuatku jatuh cinta karena suara indah dan bentuk matanya. Wanita pertama yang berhasil menimbulkan debar sehingga malam-malamku sulit terpejam. Wanita yang memberiku inspirasi untuk menciptakan lagu-lagu bagi band yang digawangi Mas Arga and the Gangs.

Wanita yang akan kucintai sampai kapan pun. Wanita yang akan menjadi satu-satunya istri seorang Raga Jiwa Asmarandana. Calon ibu terbaik bagi keluarga kecil kami.

***

"Ga, tolong bantu pretelin jepit lidinya." Dia terlihat sibuk di depan cermin rias saat aku menyusul masuk.

Gaun berbalut tile mutiara yang dikenakannya beberapa jam lalu telah berganti piyama terusan sebetis bercorak polkadot putih dengan warna dasar violet. Sepasang gambar beruang menghiasi bagian tengah. Duduk bersebelahan dengan salah satunya memakai pita berwarna lavender.

Aku tak langsung beranjak untuk memenuhi permintaannya. Bergeming sampai-sampai panggilannya kembali mengalun.

"Ga?" Dia sampai menoleh. "Bantuin."

Wajah cemberutnya lagi-lagi menghias. Ah, lucu sekali! Alih-alih membuatku marah karena dicemberuti olehnya, sering-sering membuatnya cemberut justru mengundang kegemasan.

"Masa masih panggil aku 'Ga', sih? Kita sudah menikah, loh." Kupeluk dia dari belakang. Membiarkan dagu menyandari kepala dengan rambut yang awut-awutan karena sebagian riasan rambut telah dibongkar.

"Memang mau dipanggil apa? Kayak ABG aja yang harus banget pakai panggilan khusus."

"Harus, dong. Biar lebih spesial."

"Nasi goreng kali ah spesial." Dia terkikik. "Lagian, kok kamu jadi bucin begini? Mana Raga yang irit bicara dan sok-sokan dingin di kelas?"

Dia menyinggung lagi sikapku selama kami sekelas saat SMA.

"Situasinya sudah beda, Sayang." Kusarangkan kecupan singkat di lehernya. Aroma manis menyusup ke dalam hidung. "Itu kan kamuflaseku biar enggak kelihatan gugup kalau lagi deketan sama kamu."

Dia tertawa. "Ada yang begitu ternyata, ya. Baru tahu kalau seorang Raga Jiwa Asmarandana bisa gugup di hadapan cewek."

"Hanya di hadapan gadis yang aku cintai." Satu lagi kecupan kuberikan di ceruk lehernya. Lebih dalam. Lebih lama. Membuatnya menggeliat geli.

"Ga ...."

"Hm?"

"Jangan digituin! Entar nimbul bekas, ih!"

"Apa masalahnya? Kan, sudah resmi. Enggak apa-apa kalau dikasih tanda."

"Malu, ih."

Semburat kemerahan memenuhi pipi wanitaku.

"Kini usai sudah segala penantian panjangku. Setelah temukan dirimu, duhai kekasihku. Hanya di hatimu akan kulabuhkan hidupku karena kaulah cinta terakhirku." Masih sambil melingkarkan pelukan di dadanya, kusenandungkan lagu yang sejak dulu memang kufavoritkan.

"Ari Lasso. Cinta Terakhir." Dia menggenggam satu lenganku lantas menoleh. Sebaris senyum menghiasi wajahnya yang entah bagaimana selalu menggemaskan.

Rasanya, seluruh hal yang melekat di sosok wanitaku memang terlihat mungil. Dari hidung, mata, bibir, bahkan bentuk wajah. Menggemaskan. Tidak bosan untuk dipandang.

Satu kecupan lagi bersarang. Mendarat di sepasang bibir yang telah lepas dari pulasan lipstik.

"Kalau aku cinta terakhirmu, siapa cinta pertamamu?"

"Kamu." Kubantu dia melepasi satu per satu jepit lidi. Ada belasan yang terselip di sana-sini.

"Bukan Jihan?"

"Jangan bahas dia."

Dia tertawa. Sangat renyah. Sengaja sekali menggoda. "Aku kan tanya."

"Aku males jawab." Rambutnya semrawut setelah belasan jepit lidi itu terlepas.

Diulurkannya sisir kepadaku. Tanpa perlu diminta pun kubenahi rambutnya yang tak seberapa panjang. Dia memang lebih senang rambut pendek sebahu. Hal yang menambah mungil dan imut penampilan.

Dia beranjak. Berbalik menghadapku. Melingkarkan kedua lengan ringkihnya di pinggangku.

"Kau buat aku bertanya. Kau buat aku mencari. Tentang rasa ini. Aku tak mengerti. Akankah sama jadinya. Bila bukan kamu. Lalu senyummu menyadarkanku. Kau cinta pertama dan terakhirku."

Aku menunduk. Kusentuhkan hidungku di hidung mungilnya. "Itu lebih cocok, ya. Lagunya Sherina. Cinta Pertama dan Terakhir."

"Kupikir, cuma Ari Lasso yang kamu tahu."

"Ngeremehin." Aku mengubah posisi.

Dia membelakangi ranjang. Ide jail muncul di kepala. Perlahan, kuarahkan langkah agar kami tiba di ujung ranjang yang membuatnya harus melangkah mundur.

"Eh, eh!" Tubuhnya mengempas lembut di ranjang kami. Terperangkap kungkunganku. "Ga?"

"Panggilannya diubah. Ayo!"

Dia kembali tertawa. Menangkup wajahku dengan kedua tangan. "Oke. Mau dipanggil apa? Baby, Honey, atau ... Cinta?"

"Hm ... jangan yang terlalu lebai, ah. Cukup panggil Mas aja. Mas Raga."

"Baiklah, Mas Raga. Gimana, Mas Raga? Sudah puas dengan panggilan yang berubah?"

Ganti aku yang tertawa. Dia betul-betul menggemaskan. Mungkin, jauh darinya beberapa jam saja akan membuatku tersiksa. Rindu selalu tak terbendung kepadanya.

Tatap yang jatuh berubah ciuman. Satu lagi bagian wajah wanitaku yang akan membuat tergila-gila. Menyesapnya perlahan serupa menyesap cangkir cokelat hangat. Manis dan melenakan.

Tanpa sadar, tubuh kami terdorong sampai ke tengah. Masih dengan saling menatap. Masih dengan saling menempelkan bibir. Merenggut perlahan-lahan kewarasan.

"Sekarang?"

"Hm ... matiin lampu utamanya. Ganti lampu tidur." Dia meminta sembari melirik lampu di atas kami.

"Enggak mau terang aja?"

Dia menggeleng. Senyum tipis tersimpan di bibir.

Baiklah. Aku menurut saja. Memenuhi kemauannya adalah bentuk sayang seorang suami, bukan? Selama masih masuk akal.

Terang berubah remang-remang. Kembali aku mengungkung tubuh mungil wanitaku. Menjatuhkan satu kecupan di ceruk lehernya. Lantas ....

"Besok aja, ya. Aku capek banget. Takut enggak maksimal."

"Sayang ...."

Alih-alih bersimpati, dia justru tertawa. Memelukku. Menyelipkan kepalanya di ceruk leherku. "Janji. Besok lebih maksimal. Sekarang, langsung bobo aja. Besok pagi masih harus irim-irim."

Digigitnya sebentar daun telingaku lantas didorongnya pelan tubuhku yang sudah kehilangan daya karena ucapannya tadi.

Apa boleh buat. Tak mungkin juga aku memaksa. Salah-salah, dia trauma dan justru membenciku karena pengalaman pertamanya tak berjalan sesuai keinginan.

"Selamat tidur, suamiku Mas Raga Jiwa Asmarandana." Sebelah lengannya melingkari perutku.

"Selamat tidur, istriku Talitha Sarawasti." Kudaratkan ciuman di kepalanya sebelum kami benar-benar terlelap.

Dia benar. Tak mungkin malam ini. Padatnya acara seharian tadi sudah melolosi energi. Tidak akan maksimal menikmati apa yang seharusnya dinikmati bagi mereka yang telah sah sebagai suami dan istri.

***

Continue Reading

You'll Also Like

3.7M 352K 58
(Novel Di Usia 16 sudah tersedia di toko buku offline dan online @maple_books) Maira masih menunduk, tidak berani menatap lawan bicaranya saat ini, s...
309K 29K 25
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA.] (PART MASIH LENGKAP, RINGAN KONFLIK.) SAYA MENANTANG KALIAN BACA CERITA INI. Agatha nggak punya Mama. Agatha nggak punya Pa...
1.9M 103K 35
Flora tidak menyukai Dicko. Sebatas memenuhi permintaan Farrel, Flora menyetujui pertunangannya dengan Dicko sejak di bangku SMA. *** Terkenal pember...