Dear Nafika badbaby sist!

By ccherwy

53.4K 4.4K 1.6K

"Saga, I LOVE YOU!!!" "Lu adek gua, Fika!" "Adek-adek'an gue, mah." *** Bagaimana reaksimu ketika orang yang... More

00. Prolog
01. Morning kiss
02. Keciduk Mama Papa
03. Ujian Matematika
04. Nafika galau
05. Cemburu
06. Bujuk rayu Saga
07. Badutmu
08. Sapu tangan biru
09. Gadis kecil di masa lalu
10. Nasi goreng ala Fika
11. Murid baru
12. Pencuri mangga
13. Tuan Muda Reo
14. Mimpi
15. Old love
16. Hujan with Reo
17. Fika demam (rindu)
18. Bukan cinta tapi rasa bersalah
19. Rahasia apa?
20. Hidup dalam kebohongan
21. Butuh kejelasan
22. Berjuta pertanyaan
23. Terlambat untuk berhenti
24. Luka lama
25. Bukan keluarga
26. Serpihan ingatan
27. What do you cry?
28. Masa lalu yang dirindukan
29. Gadis masa lalu, kembali.
30. Pesta petaka
31. Kau seorang ibu? Yang benar saja!
32. Two birds talk
34. Anak laki-laki dan lukanya
35. Menunggu untuk sia-sia
36. Keluarga yang hancur, lagi
37. Ini kisahmu, kamu berhak tau
38. Hanya punggung yang rapuh
39. Maaf yang tak seberapa
40. Reo si gentleman?
41. Terimakasih telah kuat
42. Karena kita terlihat sama
43. Ingatan yang segera kembali
44. Habiskan cintamu, di aku
45. Aku tak mau lupa lagi
46. Semuanya tak lagi sama
47. Pertama kalinya
48. Dinner sebelum ujian
49. Nafika, dan ujiannya
50. Menagih janji
51. I never loved you
52. Rintik luka lama
53. Liburan yang aneh
54. Sang Manipulator dan korbannya
55. Perasaan yang tak akan berubah

33. Ibu dan anak

562 56 1
By ccherwy

-HAPPY READING-

Nafika menyeritkan dahi, bertanya tak mengerti. "Maksudnya lo lebih baik dari Saga?"

"Iya. Gua bisa balikin nama baik lo," jawab Reo dari balik pintu.

Nafika tertawa pelan mendengar itu. "Lo engga bisa jadi kayak Saga, Reo. Lo cuma berandalan, sama begonya lagi kek gue."

Keduanya menjadi senyap setelah Nafika mengatakan itu. Reo menatap ke bawah, bertanya sesuatu, "Mana yang lebih penting? Prestasi? Organisasi? Atau nilai akademik?"

Nafika berpikir sejenak, lantas menjawab, "Prestasi?"

"Salah. Itu memang penting, tapi ada yang lebih penting dari itu," balas Reo lembut.

Nafika memeluk lututnya, berada di lantai membuat dingin lebih cepat menyentuh kulitnya. Apalagi dengan pembahasan Reo yang penuh dengan tanda tanya. "Terus? Apa yang penting selain prestasi? Nilai akademik?"

"Dari yang gua sebutkan di atas, semuanya salah." Reo tersenyum tipis, menghela napas pelan. "Yang penting dalam hidup itu pengalaman, Fii. Lalu disusul kapabilitas diri, fundamental, relasi, koneksi, progres, dan wawasan. Dan yang lebih utama, etika dan adab."

Reo berkata lagi, "Tanpa hal-hal yang gua ucapkan tadi, baik itu prestasi, organisasi, dan nilai akademik ga akan bisa digapai."

Wajah Nafika terlihat kagum mendengar perkataan Reo tadi. Selama ini dia sulit menangkap penjelasan dalam pelajaran, tapi ketika Reo yang menjelaskannya Nafika langsung mengerti. "Sejak kapan lo jadi pinter gini?" Nafika tertawa kecil, meragukan bahwa yang berbicara dengannya tadi bukan Reo asli, melainkan hantu.

Reo mengeluh atas balasan Nafika. "Lo pikir gen otak orang tua gua ga nyampai ke anaknya?"

"Kali aja, kan? Kayak gue, Mama sama Papa pinter, pengusaha hebat. Lah gue? Wah gue sendiri sampai ga tahan mau nyebut panggilan yang pas buat gue." Suara Nafika perlahan berubah lirih. "Mungkin benar kata Mama, harusnya gue hidup kayak tikus mati."

"Gua bilang itu bukan buat merendahkan lo, Fii." Reo merasa bersalah. "Coba lo liat sapu tangan itu, lihat apa yang dijahit di sana."

Mata Nafika terlihat bingung. "Emang apa yang ada di dalam sapu tangan ini?" Nafika membuka lipatan sapu tangan berwarna biru dongker itu, ada sebuah sulaman benang tambahan di sana.

"Untukmu 9 tahun yang lalu?" Nafika membaca sulaman yang tertulis di sapu tangan itu dengan nada bertanya.

Reo bergumam, "Sekarang udah 9 tahun, Fii."

"Ya?" Nafika tidak mendengar apa yang dikatakan Reo karena terlalu pelan.

Reo bangkit, menepuk pelan jas yang dia pakai. "Lupakan. Sekarang putuskan, lo mau pacaran pura-pura sama gua, atau ngga?"

"Entahlah." Nafika menunduk, menatap kembali sapu tangan itu. Hatinya seperti diganjal sesuatu setelah membaca itu. Dia memperhatikan lagi detail sulaman yang ada, dan itu berantakan.

Alis Nafika terangkat, tidak mungkin Reo menyewa tukang jahit payah yang tidak bisa menjahit 5 kata saja. Beberapa detik kemudian Nafika sadar, kata-kata itu dijahit sendiri oleh Reo.

Dengan cepat Nafika berdiri. "Reo!"

"Maaf kalau jelek jahitannya, Fii." Seakan tahu kenapa Nafika memanggil namanya, Reo tertawa kecil.

Nafika menggeleng cepat. "Kenapa lo susah-susah ngejahit sapu tangan ini?"

"Entahlah. Permintaan maaf, mungkin?" jawab Reo ambigu.

Perasaan Nafika semakin kesal. Dia selalu saja tidak mengerti apa pun mengenai orang sekitarnya. "Reo-"

"Dia datang, Fii," Reo menyela lebih dulu. Membuat Nafika langsung bungkam.

Dia? Maksud Reo ibunya?

Nafika langsung berbalik menggedor pintu. "Mama?!"

Aira menatap Reo tajam. Lalu dengan cepat membuka pintu kamar Nafika. Reo memperhatikan sambil bersenandung kecil.

"Wah, kenapa dibuka? Kirain bakalan dikurung sampai acara selesai," ujar Reo dengan nada menyindir.

Aira menyingkir dari hadapan pintu, mengabaikan Reo. Dia menatap putrinya yang terdiam mematung dengan penampilan yang kacau.

"Ayo pulang." Aira meraih lengan Nafika, namun ditepis langsung olehnya. Hal itu tentu membuat Aira dan Reo terkejut. Mereka menatap Nafika heran.

Nafika menunduk, tangannya terkepal kuat. Bahunya juga bergetar hebat. Reo dan Aira jelas tahu bahwa sekarang Nafika sedang menahan tangis.

"Ma ...? Jawab pertanyaan Fika, kali ini aja ..." Suaranya gemetar, bahkan seperti tercekat. "Kenapa Mama merahasiakan fakta mengenai kecelakaan Fika dulu?"

Aira terkejut ketika Nafika menanyakan hal itu, dia memalingkan wajahnya ke samping. "Karena itu hal yang benar untuk di lakukan."

"Hal yang benar?" Nafika mengangkat kepalanya, wajahnya telah basah karena air mata.

"Di mana letak benar dari membohongi putrinya sendiri, Ma?! Mama tahu gak, seberapa bingungnya Fika hidup dalam ketidaktahuan akan hidup Fika sendiri?!" Nafika menjerit, air matanya turun semakin deras. Bibirnya gemetar saat membentak Aira dengan suara sekeras itu.

"Mama ini orang tua atau bukan? Harusnya orang tua memberi tahu semua hal yang tidak diketahui anaknya! Mengenalkan padanya mana yang baik dan benar! Tapi kenapa Mama malah ngajarin Fika buat bohong?" tanya Nafika lirih, dia semakin terisak. Mata sayunya menatap Aira kecewa.

"Apa-apaan itu, Nafika?" Aira menjawab dengan dingin. "Kenapa harus aku yang disalahkan?"

"Aku juga mengalami hal yang sama!" Aira tiba-tiba berteriak, membuat tubuh Nafika membeku karena terkejut.

"Kau bilang kau menderita karena hidup dalam kebohongan, hah??" Aira mencengkeram kedua bahu Nafika. "Kau pikir aku yang menjalani kehidupan ini, hidup dalam kebenaran?!"

"Mama ...?" Nafika bergumam ketakutan.

Mata Aira memerah karena amarahnya. "Kau bertanya kenapa aku berbohong? Kau tanyakan itu pada orang yang ada di sebelahmu!"

"Kau tanya pada ibu dari orang itu!" Aira berteriak, lalu mendorong kasar Nafika pada Reo. "Dia! Dia dan ibunya mengendalikan semua orang seperti boneka! Mereka menipu, memaksa, bahkan menyiksa kami!"

"Apa maksudnya kami?" Nafika bertanya terbata-bata, dia sangat takut melihat Aira yang murka.

Aira menunjuk wajah Reo. "Ibunya! Ibunya membuat ibu Saga mengalami sakit jiwa dengan mengancamnya! Dia membuat kami gila!"

"Ibu Saga bahkan bunuh diri karena depresi akibat keluarga sialan itu!" Aira memekik kencang, dadanya naik turun. Air mata mengalir deras membasahi wajahnya.

Nafika langsung menoleh pada Reo dengan raut terkejut. "Apa maksud Mama, Reo? Bukannya nyokap Saga kecelakaan-"

"Hah! Kau tidak tahu, bukan?" Aira tertawa sumbang. "Hidupku jauh lebih menderita darimu, Nafika."

"Kau!" Aira menunjuk wajah Nafika dengan tatapan tajam. "Kau beruntung memiliki Saga yang menyayangimu! Kau beruntung memiliki kesempatan mempunyai keluarga bahagia! Kau seharusnya bersyukur selama ini aku tidak pernah menyiksamu walau seujung kuku!"

Napas Aira menderu, perasaan dan emosinya benar-benar menggebu. "Aku dipaksa menikah dengan orang yang sama sekali tidak mencintaiku! Memperlakukanku seperti budak! Dan kau seharusnya juga ku perlakukan seperti itu! Aku seharusnya menyiksamu seperti aku yang disiksa dulu!"

"Harusnya ... harusnya aku menyiksamu, Fika ..." Aira terisak sendu.

Bibir Nafika benar-benar kelu untuk membalas ucapan ibunya. Tidak, yang berbicara saat ini bukan ibunya, melainkan sisi terluka Aira.

Reo mengelus pundak Nafika, mencoba menenangkannya. Lalu dia berjalan menghampiri Aira. "Saya tahu apa yang ibu saya lakukan salah. Anda memang benar-benar menderita, tapi bukan berarti anda harus membuat Nafika merasakan hal yang sama."

Seharusnya hal seperti itu tidak pernah terjadi pada Aira. Ada banyak kasus di mana para korban mulai menjadi pelaku karena masalah dendam yang tidak bisa mereka balaskan. Rasa iri terhadap seseorang yang hidupnya lebih baik dari dirinya. Rasa kesal kenapa orang itu harus bahagia sedangkan dirinya menderita.

Banyak orang yang di didik dengan kekerasan melanjutkan didikan itu pada keturunannya, mereka mendidik anak-anaknya lebih keras dari dia dulu. Pada akhirnya dunia keji tidak bisa dipisahkan oleh hal seperti itu.

Terlebih lagi dalam dunia politik. Hal semacam itu masih sangatlah kental. Di mana pernikahan hanyalah ikatan untuk meraup keuntungan, memperbesar nama dan kekuasaan. Tidak mempedulikan apa arti dari pernikahan yang sesungguhnya. Dan menganggap bahwa pernikahan politik adalah hal "benar". Begitu aturan dari kejahatan berantai, yang di mana korban mulai menjadi pelaku.

Reo menghela napasnya, dia menepuk pelan pundak Aira yang tengah menangis. "Menjadi baik bukanlah kesalahan. Berhenti mengejar "kebenaran" dalam dunia politik. Bahkan kata menjijikkan masih belum tepat untuk mendeskripsikan kotornya dunia politik. Banyak para pendosa berada di sana, hal itu tak terkecuali pada keluarga kami."

"Rishe Gautama. Beliau memang orang yang menyebalkan, tapi terlepas dari semua itu beliau tetap ibu saya. Orang yang melahirkan saya. Mau seberapa besar saya membencinya, darah yang kental tidak akan bisa dipisahkan hanya dengan air," ucap Reo bijak. Bibirnya terangkat untuk tersenyum pada Aira. "Begitu juga dengan Fika, Tante. Dia putrimu, tidak ada kewajiban bagimu untuk membuatnya menderita, sebaliknya Tante harus membuatnya bahagia."

Reo berbalik menghadap Nafika, dia tersenyum pahit. "Yang dikatakan nyokap lo benar, Fii. Gua salah satu bagian dari masa lalu lo."

"Gua salah satu dari anak yang ada di poto ini." Reo mengeluarkan poto yang mereka temukan di rumah lama beberapa hari yang lalu.

Nafika semakin dibuat terkejut dengan semua hal yang baru saja dia dengar. Kepalanya terasa sangat sakit seperti ingin pecah. Satu persatu potongan memori mulai tersusun. Masih banyak bagian kosong yang tidak Nafika ketahui.

"Gue ..." Bibir Nafika begitu sulit untuk berbicara. "Gue harus apa sekarang?"

"Semua keputusan ada di lo, Fii. Ini hidup lo, gua dan nyokap lo cuma menyarankan jalan yang benar, dan yang memutuskan buat percaya sama kita itu lo sendiri," jawab Reo lembut.

Nafika menghapus air matanya yang ingin turun. Dia menatap ibunya. "Fika harus apa, Ma?" Dia bertanya sambil terisak.

Aira yang masih belum baikan memalingkan muka, mengusap gusar wajahnya. "Terserah kamu, Fika."

Nafika menggeleng tegas. "Fika putri Mama, Mama berhak membimbing Fika, ngasih tau mana yang benar buat Fika."

Mendengar itu tangis Aira pecah, dia bahkan berjongkok dan menutup wajahnya. Aira menangis kencang. "Maaf, Nak ... maaf ..."

Nafika segera menghampiri ibunya, memeluknya dengan erat. "Mama engga salah, Mama juga terluka. Seandainya Fika tau betapa terlukanya Mama, Fika ngga akan marah-marah."

Aira menggeleng, dia mengusap air mata Nafika. "No ... Putri Mama tidak pernah salah, Fika anak Mama engga pernah bohong. Kamu anak baik sayang."

Keduanya menangis dalam pelukan, Nafika merengek meminta maaf, dia benar-benar takut melihat ibunya marah. "Jangan benci Fika, Ma. Kalo ga ada Mama, Fika sama siapa ..."

"Ngga sayang, Mama ga akan pernah benci kamu." Aira mengelus kepala Nafika, mencium keningnya penuh kasih sayang.

Nafika terisak, matanya memerah karena terlalu banyak menangis. "Fika ga mau jadi anak kayak tikus mati, Ma ... Fika mau jadi putri Mama."

"Iya, sayang, iya. Kamu putri Mama, selamanya." Aira memeluk Nafika dengan erat, menyalurkan semua rasa sayangnya yang selama ini dia berikan dengan ragu-ragu.

Reo yang menyaksikan itu tanpa sadar meneteskan air mata. Dengan cepat dia menghapus air matanya, tersenyum tipis. Sebagai orang yang tahu bagaimana kondisi keluarga Nafika sesungguhnya, Reo turut bahagia melihat mereka bisa saling menyayangi tanpa syarat.

Aira menangkup wajah Nafika, mengelusnya dengan lembut. "Kamu nginep di tempat lain dulu, ya, buat sementara waktu?"

"Kenapa?" Nafika bertanya bingung. Hidung dan matanya sembab.

Aira beralih menatap Reo. "Karena Papa dan ibu Reo pasti akan berbuat hal buruk."

Reo menghela napas. Hal itu jelas sangat pasti. Ibunya tidak akan diam melihat Nafika memiliki orang yang menyayanginya dengan tulus. Karena Nafika ...

-TO BE CONTINUE-

HALOO!!! Selamat lebaran guys, minal aidzin walfaidzin yaa.

Maaf telat update soalnya sibuk persiapan mudik sama lebaran hahaa. Btw minta thr dong.

Continue Reading

You'll Also Like

Neroncia✔️ By N.

General Fiction

1.2M 73.4K 31
"Selain jago jebol gawang, gue juga jago jebol hati Cia." -Neron Bramasta Gabino "Banyak cewek yang pengen nikah sama pemain bola terkenal kayak Nero...
856K 72.3K 28
{SUDAH TERBIT} IG: IANA PUBLISHER IG: Alicia Falery Alice elene drain alexander atau bisa dipanggil cece adalah anak dari seorang pengusaha terkaya...
162K 19.9K 22
15+ Ini cerita tentang seorang gadis cantik yang baru menyadari kalau ia hidup disebuah novel yang temannya berikan.dimana ia hanyalah sebuah tokoh f...