STRANGER

Von yanjah

674K 75.7K 14.8K

Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang... Mehr

Basa-basi
01 - Pertemuan pertama
02 - bersama Satya
03 - misi kecil
4 - hasil
5 - dendam Tarendra
6 - sarapan
7 - penyusup
8 - tidak sama sekali
9 - masih misteri
10 - usaha
11 - bakat terpendam
12 - mimpi buruk
13 - sifat yang menurun
14 - pelakunya
15 - rawrr
16 - enak
17 - hari sial
18 - ketemu
19 - Renata tahu
20 - flashback
21 - suruh dia pulang
22 - menyesal kan?
23 - dijemput
24 - ada Ayah
25 - yang tidak mau menerima
26 - main
27 - malam yang berbeda
28 - tanda cinta
30 - seperti sihir
31 - pilihan
32 - terungkap
33 - selalu menerima
34 - bukan salahnya
35 - mengobati
36 - yang terjadi
37 - tercekik
38 - ironis
39 - yang terbuai
40 - runtuh
41 - hilang arah
42 - yang rapuh
43 - setahun telah berlalu
44 - menusuk
45 - misi Jesher
46 - keraguan
47 - Menyelamatkan Galen
48 - duka yang tak sama
49 - balon
50 - dia, kuat
51 - terus menyangkal

29 - liburan

12.4K 1.5K 262
Von yanjah

Nama tokoh, tempat kejadian dan konflik cerita ini hanya fiktif belaka.

.

.

.

.

*****

"Ayah nggak jadi ke luar kota."

Sebait kalimat itu semakin menambah tebal lapisan penyesalan Jesher hari ini. Tak lain karena alasan dibalik Tarendra mengambil keputusan tersebut disebabkan oleh ulah nakalnya.

"Siapa yang mau repot-repot pergi kunjungan kalo tangannya sakit begini?"

"Ayah jadi nggak bisa jabat tangan sama orang gara-gara kamu."

"Ngetik susah, nyetir susah, makan juga susah!"

Semua keluhan yang semata-mata ditujukan untuknya terus terngiang-ngiang ditelinga, mengiringi langkah Jesher yang kini sedang menuju ruang kerja Ayahnya. Dengan nampan berisikan cookies dan kopi hitam ia menerobos masuk dan menghampiri sosok itu.

"Kata Kak Ellie ini yang terakhir. Ayah nggak boleh minta kopi lagi malam ini," tutur Jesher lemah meletakkan nampannya di sudut meja. Ia hanya mengulangi apa yang Ellie tekankan beberapa menit lalu.

Tapi Tarendra seolah menulikan telinganya. Ia tak merespon ucapan Jesher atau bahkan sekedar menerima tatapan memelasnya.

"Ayah butuh sesuatu lagi nggak?" Tawar Jesher sebelum meninggalkan ruangan.

Ya, sampai tangan Tarendra sembuh dia siap menjadi babu untuk sementara. Setelah membantunya berganti pakaian, mengambilkan beberapa barang, menggeser benda-benda yang mengganggu, bahkan hingga menutup jendela pun Jesher yang harus melakukannya.

Tarendra benar-benar tak menggunakan tangan kanannya sejak dia menginjakkan kaki di rumah. Semua yang biasanya ia lakukan sendiri sekarang harus membutuhkan tangan Jesher. Walau terkadang ia masih harus mendesis karena anak itu yang tak bergerak cepat dan sesuai keinginannya.

"Kalo nggak ada aku keluar dulu." Baru saja Jesher berbalik suara Tarendra malah mengudara, memerintahnya dengan santai.

"Ambil kursi, duduk di sini," ujar Tarendra menunjuk sisi kanannya.

Mendengar itu Jesher spontan memajukan tubuhnya, terkejut dengan apa yang lelaki itu minta. "Duduk disamping Ayah?"

Tarendra hanya menghela dan melayangkan tatapan kesal membuat Jesher buru-buru memindahkan kursi dari sudut ruangan ke tempat yang ia perintahkan.

Setelah memastikan putranya duduk tenang, Tarendra mengambil iPad yang tergeletak di atas meja dan menyerahkannya pada sang anak. "Terserah mau nonton, main game, atau ngapain aja. Duduk disitu! Jangan kemana-mana."

Sepertinya sekarang Tarendra memiliki trust issue. Rasanya ia tak mau lagi membiarkan Jesher berkeliaran sendiri setelah apa yang terjadi belakangan ini, pasalnya tiap kali anak itu dibiarkan tanpa pengawasan selalu saja terjadi sesuatu yang berujung merepotkannya.

Jesher yang tak mengerti maksud tindakan Ayahnya memilih mengangguk saja. Menerima benda yang diberikan oleh Tarendra dan mulai memainkannya.

Selama hampir satu jam Jesher benar-benar hanya duduk diam memainkan iPad milik Ayahnya tanpa ada kegiatan lain. Tarendra pun nampak tak ingin diganggu selama menyelesaikan pekerjaannya. Hanya sesekali menyesap kopi tanpa mengalihkan perhatian dari laptop di depan mata.

Sampai Jesher yang akhirnya bosan mulai terusik akan rasa penasaran, ia intip data-data yang ditampilkan dilayar monitor, membacanya lalu terkejut sendiri karena rupanya itu adalah daftar nama anggota Wira yang mereka ketahui. Beruntung sekali namanya tak ikut masuk di dalam kolom.

Lalu layar terus digilir hingga menampilkan angka-angka dan informasi lainnya. Jesher bisa membaca semuanya dengan jelas, dan beberapa informasi yang Tarendra dapatkan ternyata salah. Baik jumlah anggota Wira, jumlah korban, dan daftar tindak kriminal yang dilakukan juga tidak semuanya benar.

Laporan itu terlihat sangat berlebihan dimata Jesher. Jumlah anggota Wira tak sebanyak yang tertulis di sana, terlebih setelah markas mereka diserang banyak yang tewas dan tertangkap. Lalu jumlah anak yang sudah terjual juga tidak sesuai, bisnis perdagangan manusia bukan hal yang mudah dan sulit untuk mendapatkan korban, Jesher jadi heran sendiri mengapa bisa orang-orang ini berpikir mereka mampu mendapatkan anak sebanyak itu?

Mereka juga tak memperjualbelikan senjata secara ilegal, Wira hanya membeli tanpa menjualnya kembali. Itupun cukup jarang dilakukan karena jumlah senjata yang  mereka miliki sudah cukup banyak.

Walaupun sudah beberapa bulan ini tak terlibat, tapi Jesher bisa memastikan bahwa angka itu tidak melonjak dengan cepat. Prinsip Wira yang tak mau melibatkan banyak orang adalah alasan utamanya. Lelaki bengis itu selalu mengatakan bahwa semakin banyak orang yang ia miliki maka kelemahannya juga bertambah banyak.

Jadi, secara garis besar semua deretan kata dan angka yang Tarendra pikirkan hingga alisnya menyatu itu hanya sebuah laporan palsu. Entah darimana asalnya, tapi Jesher yakin kalau orang yang mendapatkan informasi ini pasti tidak menyelidiki dengan benar. Jesher tahu kebenarannya, dia tahu banyak karena Erik selalu bercerita padanya.

Ingin menegur tapi ragu. Ia benar-benar penasaran dengan apa yang Ayahnya pikirkan tentang ini tapi Jesher bahkan tak berani untuk bertanya. Takut jika Tarendra malah terganggu dan membuatnya semakin kesal. Jadi, sebelum itu ia harus lebih dulu membaca suasana hati Ayahnya.

Jesher mengulurkan tangan, mengambil satu cookies yang belum tersentuh sama sekali. Secara perlahan dengan gerakan hati-hati ia menyodorkan kue itu sampai ke mulut Tarendra dan langsung dilahap Ayahnya begitu saja.

Menyadari tak ada tanda-tanda penolakan Jesher pun tersenyum lega. Lantas ia mulai angkat suara. "Ayah yakin itu bener?"

Tarendra menoleh mendapati kepala Jesher yang sudah hampir menempel dibahunya. Kedua mata jernih itu mengerjap lucu hingga ungkapan-ungkapan untuk merutuk ia telan kembali. Sebaliknya ia malah menanggapi dengan lembut. "Enggak. Ini nggak mungkin seratus persen bener tapi seenggaknya kita punya bayangan."

Jesher langsung menarik diri. Dia seharusnya tahu bahwa Tarendra tidak akan mudah tertipu. Lelaki itu cukup pemikir untuk tidak secara mentah-mentah mempercayai semua informasi yang didapatkan.

"Kamu penasaran?" Tanya Tarendra. Lelaki itu beralih sepenuhnya dari layar monitor dan menghadapi sang buah hati.

"Dikit. Kaget aja liat korbannya sebanyak itu. Kok tega banget." Jesher lagi-lagi memasang wajah polos seolah baru mengetahui kekejaman dari kelompok Wira. Padahal dia juga salah satu penyumbang angka di sana.

Walau tak banyak, Jesher sudah menghabisi beberapa orang di bawah perintah Erik. Selama ini ia hanya bergerak mengikuti langkah lelaki itu, terkadang ia diminta menghabisi orang-orang yang mengganggu jalan Wira dalam bisnis obat-obatan terlarang. Biasanya mereka yang mencoba mencuri untung sendiri atau mencoba berkhianat akan dicari untuk kemudian diberi pelajaran, dan Jesher adalah orang yang bertugas untuk itu bersama Satya.

Tetapi pekerjaannya tak semenyeramkan itu. Jesher ini masih terbilang anak bawang, tidak dibiarkan menjalankan misi sendirian dan terkadang saat beraksi hanya mendapat bagian beres-beresnya saja. Hanya bagian akhir, memastikan target mereka benar-benar sudah mati seperti yang disuruhkan. Karena itu dia selalu membawa belati, karena benda tajam tersebut lebih mudah dibawa dan digunakan.

"Makanya kamu jangan keluyuran. Nanti diculik, dibunuh terus dijual organ kamu sama orang luar negeri." Tarendra mencecar, walau terdengar kesal tapi kekhawatiran yang menyertai bisa remaja itu rasakan.

"Udah pernah." Jesher membatin.

Dia sudah merasakan kondisi antara hidup dan mati itu seperti apa, namun ia tetap senang dengan peringatan Tarendra kepadanya.

"Mereka juga pasti terlibat dengan orang-orang berkuasa di dalam negeri." Kata Tarendra pelan. Walau masih belum pasti, ia sangat yakin bahwa alasan Wira masih bertahan hingga saat ini karena bantuan dari orang-orang yang berkuasa.

"Kayaknya sih gitu," timpal Jesher mengangguk setuju.

Dulu, Erik pernah memberitahunya bahwa Wira menyimpan buku yang berisikan nama-nama orang berpengaruh di dalam negeri yang pernah menggunakan jasanya dan terlibat dalam bisnisnya. Sayang sekali Erik sendiri tak pernah melihat bentuk dari buku itu seperti apa, namun jika suatu saat terungkap, maka bisnis Wira bisa benar-benar hancur juga orang-orang yang selama ini membantu akan ikut jatuh bersamanya.

"Jadi, apa rencana Ayah abis ini?"

"Tidur. Capek, besok masih harus kerja." Jawab Tarendra nyeleneh. Sengaja tak menanggapi pertanyaan Jesher dengan serius. "Kopi juga udah habis."

"Emang besok nggak libur?" Tanya Jesher bingung. Pasalnya besok sudah weekend biasanya mereka menggunakan hari itu untuk rehat dari pekerjaan. Tetapi Tarendra malah berniat terus bekerja. "Om Tama ngajakin aku main. Boleh nggak?"

"Berdua doang?"

Jesher mengangguk. Namun segera meralat dengan buru-buru. "Ada Rival sama Kak Ellie. Tadinya mau ngajakin Ayah tapi kata Om Tama, Ayah nggak suka liburan."

Sepertinya yang Tama katakan memang benar. Selama mengenal lelaki itu ia tak pernah sekalipun melihatnya menghabiskan hari libur dengan mengunjungi tempat-tempat yang menyenangkan. Selalu di rumah, diruang kerja hingga hari berganti.

"Emang mau kemana?" Tarendra terlihat mulai tertarik.

"Nggak tahu. Om Tama belum ngasih tahu."

"Dan langsung iyain gitu aja?" Heran Tarendra dengan tingkah polos putranya. "Gimana kalo kamu dibawa ke kandang buaya? Mau? Mau dimakan buaya?"

"Ayah kenapa marah? Om Tama nggak mungkin juga ngajak liburan ke kandang buaya." Balas Jesher sedikit bersungut, mengikuti Ayahnya yang mulai meninggikan suara.

Merasa dikuasi amarah Tarendra langsung membuang napas. Menetralkan emosi yang tiba-tiba memuncak tanpa sebab. "Kalo kamu pergi siapa yang bantuin Ayah? Kamu lupa janji kamu apa tadi siang?"

Kedua bahu Jesher langsung merosot. Ia sudah sempat berjingkrak-jingkrak di kamar karena akhirnya bisa pergi liburan tapi sekarang semua angan-angannya dengan mudah dihempaskan oleh penolakan Tarendra.

"Kalo gitu, nanti aku telpon Om Tama dulu. Bilang kalo liburannya nanti aja." Ucap Jesher lemas. Semangatnya menguap begitu saja setelah agenda yang disusun oleh Tama harus dibatalkan.

"Biar Ayah yang telpon. Kamu ke kamar sekarang, beresin tempat tidur Ayah." Titah Tarendra mutlak.

Jesher lagi-lagi hanya bisa menurut. Dengan langkah berat ia keluar dari ruangan itu guna melakukan apa yang Ayahnya perintahkan.

Sementara Tarendra langsung meraih ponselnya dan mendial nomor Tama setelah memastikan Jesher benar-benar sudah menjauh.

"Apa? Gue lagi sibuk!"

"Lo ngapain ngajak-ngajak Jesher liburan? Emang mau kemana?" Tanpa basa-basi Tarendra menyerang sahabatnya.

Desahan kasar terdengar dari seberang. "Ke kandang buaya. Pake nanya, ke dufan doang kok. Katanya dia belum pernah ke sana."

Tarendra memijat pelipisnya mendengar suara Tama yang nyolot diseberang sana.

"Aman kok Ndra. Ada Rival sama Ellie. Nggak lama juga, keliling bentar abis itu gue balikin. Dalam keadaan utuh tanpa lecet sama sekali."

Janji manis Tama bukanlah hal yang bisa Tarendra percaya begitu saja. Bohong sekali jika mengatakan mereka hanya pergi sebentar, sementara Tarendra hapal betul dengan kebiasan sahabatnya yang bisa menghabiskan waktu seharian saat sedang di luar. Orang seperti Tama ini selalu lupa waktu dan punya cadangan tenaga yang banyak sehingga berkeliaran dari mulai pagi sampai malam pun dia sanggup.

"Enggak."

"Jahat banget! Ndra, gue—"

Tarendra memutus panggilan secara sepihak sebelum suara cempreng Tama melayangkan protes lebih banyak. Telinganya tidak akan sanggup.

— — — —  S T R A N G E R — — — —

*****

Setelah berhasil menginjakkan kaki di taman hiburan yang sudah ia idam-idamkan beberapa minggu belakangan, Tama akhirnya bisa tersenyum lebar. Pasalnya butuh perjuangan yang sangat amat besar untuk liburan kali ini, dia sampai harus mendatangi Tarendra langsung dan menyebutkan berbagai macam alasan agar lelaki gila kerja itu mau mengijinkan Jesher untuk ikut bersamanya.

Kurang lebih tiga jam Tama habiskan menjejal sahabatnya dangan bujuk rayuan sampai merasa mulutnya berbusa. Tak lupa menjanjikan beberapa hal yang pada akhirnya disetujui oleh Tarendra. Jadi, untuk semua perjuangannya Tama berharap benar-benar bisa menikmati hari ini sampai puas.

"Om, aku baru pertama kali ke sini." Ucap Jesher sembari mengedarkan pandangan menyapu keramaian disekitar. Langit yang cerah di atas mereka seolah menggambarkan suasana hatinya yang gembira.

"Iya tahu." Balas Tama acuh. Ia rangkul remaja itu dan menyeretnya untuk segera beranjak. Waktu mereka tidak banyak jadi tidak perlu mengambil detik untuk berdiam diri.

Bersamaan dengan langkah Tama dan Jesher yang bergerak, empat orang di belakang mereka pun turut menyusul. Ellie dengan mata berbinar melangkah mantap menuju satu wahana permainan yang ia yakini sekarang menjadi tujuan si pemimpin rombongan. Sedangkan Rival, Tarendra dan Danu bersama wajah datar masing-masing melangkah pelan, tak peduli walau jarak membentang semakin jauh dari tiga orang yang excited diantara mereka.

Omong-omong rombongan yang dibawa oleh Tama ini terlihat seperti dua kubu yang berbeda, hal ini karena pakaian yang mereka kenakan terlihat sangat kontras seperti siang dan malam. Tama, Jesher dan Ellie kompak memakai warna terang sedangkan Tarendra, Danu dan Rival nampak sangat suram dengan setelan serba hitam.

Mereka lalu berkumpul di samping komidi putar yang kini ramai. Wahana kuda-kudaan yang berputar secara perlahan itu sebagian besar diisi oleh anak-anak membuat Jesher ragu untuk mencoba, tapi tepukan keras yang berasal dari Tama meyakinkannya untuk bergabung. Disaat yang sama kelompok remaja dan beberapa pasangan juga terlihat mendekat, ikut bergabung bersama mereka.

"Ndra, dia yang mau bukan gue!" Tama berbalik menegaskan pada sahabatnya bahwa Jesher lah yang meminta lebih dulu walau sebenarnya dirinya yang menghasut anak itu.

Dan Tarendra pun sebenarnya tahu, tetapi memilih diam dan tak merespon walau di sana Tama semakin bersungut mencoba meyakinkan mereka.

"Udah sana!" Danu yang jengah mendorong Tama untuk segera enyah dari hadapannya.

Akhirnya, walau sedikit kesal karena perlakuan Danu, dua orang itu berjalan memisahkan diri. Tama bahkan naik lebih dulu, baru setelah itu Jesher menaiki kuda dibelakangnya.

Tak lama wahana itu kemudian berputar, seruan riang dari para bocah terdengar memenuhi pendengaran Jesher yang berpegang kuat pada tiang yang tertancap ditubuh si kuda. Kepalanya lalu menoleh pada rombongan mereka, menemukan Ellie yang berdiri paling depan dengan ponsel siap merekam momen langka ini.

Jesher langsung melambaikan tangan dengan wajah sumringah, begitu juga dengan Tama yang tak mau kalah, lelaki itu sampai membuat anak kecil disebelahnya menatap takut karena berteriak terlalu keras.

Rival yang berdiri disebelah Tarendra sampai tak sanggup menahan tawa karena tingkah mereka. Sekaligus gemas melihat Jesher seolah menjelma jadi anak delapan tahun yang nampak sangat menikmati wanaha bermain tersebut.

Disisi lain Danu dan Tarendra sama-sama memasang wajah bosan. Danu sampai berulang kali menghela, tidak mengerti dengan kebodohannya sendiri untuk ikut. Jika bukan Tarendra yang memaksa tentu dia sedang bersama sang istri sekarang.

"Bagus 'kan?" Ellie menghampiri Rival dan memperlihatkan hasil jepretannya dengan bangga. Dilayar ponsel itu terpampang jelas wajah ceria Jesher dan senyum lebarnya.

Tarendra yang diam-diam mengintip tanpa sadar ikut menarik kedua sudut bibirnya, kebahagian yang anak itu rasakan didepan sana telah menular padanya yang hanya berdiri beberapa meter dari wahana. Lalu pandangannya kembali fokus memperhatikan Jesher, momen menyenangkan seperti ini berhasil mengingatkannya pada saat mereka mengunjungi panti asuhan. Senyum dan tawa anak itu terdengar sama. Kedua mata yang hanya dipenuhi kegembiraan membawa Tarendra pada sebuah kehangatan, merasa dadanya hanya dipenuhi taman bunga yang bermekaran.

Sayangnya setelah beberapa putaran, wahana itu berhenti sehingga Tama dan Jesher harus turun. Lagipula mereka masih harus mencoba wahana lain ditempat ini jadi lebih baik untuk segera bergegas.

"Sini foto dulu mumpung masih cerah nih. Entar kalo udah jalan lagi nanti lupa!" Ellie berseru memanggil Jesher untuk melangkah lebih cepat.

Namun saat remaja itu menghampiri Tama buru-buru mencegatnya. "Sama gue dulu!" Tanpa ragu ia menarik putra sahabatnya dalam sebuah rangkulan. Merapatkan tubuh dan tersenyum manis untuk mendapatkan hasil foto terbaik.

Ellie pun langsung mengangkat ponsel, memotret dua orang berbeda usia itu dengan latar komidi putar. Setelah mengambil satu gambar mereka langsung memeriksanya dan kompak tersenyum detik itu juga.

"Bagus nih," puji Tama melihat fotonya dan Jesher yang terlihat sangat akrab, wajah keduanya nampak berseri-seri hingga ia terus mengangguk puas dengan hasilnya.

Sekarang giliran Ellie, wanita itu menyerahkan ponselnya kepada Tama kemudian menarik Rival dan Jesher untuk merapat, mengabaikan dua lelaki tua di sana yang terlihat sangat suram.

"Val, nunduk dikit dong. Kamu ketinggian!" Titah Tama saat melihat perbedaan tinggi Rival dan Ellie yang sangat jomplang. Lalu saat lelaki berusia dua puluhan itu menekukkan kaki ia segera memotretnya.

Sama seperti sebelumnya, mereka langsung menghampiri Tama dan melihat foto mereka dari layar. Hasilnya sesuai dengan yang Ellie inginkan, terlihat sangat menawan dengan senyum mereka bertiga yang terukir manis.

"Bagus banget. Suka!" Ellie memperbesar gambar dan melihat wajah mereka satu-persatu. "Jesher gemes banget!"

Yang mendapat pujian hanya bisa terkekeh walau dalam hati ia juga mengakui bahwa dirinya ini memang menggemaskan.

Ditengah suasana hangat itu Ellie tiba-tiba teringat dengan atasannya, ia berpaling menatap Tarendra dan wajah dongkol lelaki itu langsung membuatnya meringis. Beruntung Tama yang peka segera mengambil alih.

"Giliran lo!" Lelaki bergelar dokter itu mendorong sahabatnya untuk maju. Untung saja Tarendra bersikap pasrah, karena kalau tidak, Tama akan mencak-mencak memaksanya saat itu juga.

Sepasang Ayah dan anak itu lalu berdiri bersisian, terlihat sangat kaku sampai Tama yang berperan sebagai fotografer berdecak sebal.

"Ini bukan foto peresmian anak perusahaan yang baru, Bapak Tarendra! Jangan kaku!"

Tarendra sempat mendecih namun detik selanjutnya ia menarik Jesher untuk mendekat, merangkul remaja itu seperti yang dilakukan oleh Tama sebelumnya. Saat Tama memberi kode, mereka lalu tersenyum menatap kearah kamera sampai lelaki itu menyelesaikan hitungannya.

"Lagi! Lagi! Pake gaya dong!" Melihat hasilnya yang cukup bagus, tiba-tiba saja Ellie jadi bersemangat.

Mendengar hal itu Jesher dan Tarendra kompak mengangkat jempol dan sama-sama tersenyum.

Tama sampai hilang kata melihatnya. "Dasar manusia kayu. Gaya begitu doang." Cibirnya setengah berbisik namun tetap mengambil gambar.

Akan tetapi Danu yang mendengarnya mencoba menimpali. "Terus lo nyuruh dia gaya apa? Suruh bikin lope gitu? Norak!"

"Lo yang norak. Gaya tuh nggak melulu harus jempol, banyak kok yang bisa dilakuin. Misalnya--"

"Husst!" Tegur Rival heran. Mereka ini umurnya sudah kepala empat tapi berkelahi seperti bocah.

Perhatian mereka lalu kembali fokus pada sepasang Ayah dan anak itu. Setelah mengambil satu foto Tama yang masih belum puas lagi-lagi menyuruh mereka berganti pose. Sekalian dia mengerjai Tarendra, jarang-jarang lelaki itu mau manut disuruh-suruh begini.

Tarendra yang bingung karena mati gaya pada akhirnya hanya memasukkan tangan kiri ke saku celana lalu tangan kanannya menepuk kepala anak semata wayangnya dengan senyum teduh. Tindakan itu membuat Jesher kepalang senang dan malah tertawa sambil mengangkat dua jarinya membentuk huruf V saat Tama melayangkan hitungannya.

Dengan itu sesi foto berakhir. Sungguh, Tama benar-benar merasa terharu saat melihat hasil dari kerja kerasnya. Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa melihat kembali raut kebahagiaan yang begitu jelas diwajah sahabatnya. Ia senang, karena setidaknya bisa menyatukan Ayah dan anak itu dalam satu foto. Juga merasa ikut bangga dengan usaha Jesher sejauh ini mengambil hati Ayahnya.

Mereka lalu melanjutkan penjelajahan menuju wahana lain yang lebih menantang. Sebuah wahana bermain berbentuk perahu yang berayun sangat menarik perhatian Jesher. Jadi dengan wajah memelas yang dipunya ia meminta mereka para orang dewasa hingga akhirnya bersedia untuk mencoba.

Tama, Jesher dan Ellie duduk di barisan depan sedangkan Rival Tarendra dan Danu duduk dibelakang mereka. Semua atas instruksi Tama tentunya. Ia berdalih bahwa tiga lelaki berpakaian hitam itu harus duduk bersama agar tak merusak suasana bagi mereka yang ingin benar-benar menikmati permainan.

Saat wahana itu mulai berayun. Tama mengangkat tangan yang langsung disusul dua orang disampingnya, mereka bertiga berteriak seperti orang-orang pada umumnya, benar-benar menikmati setiap detik yang terlewati. Sungguh jauh berbeda dengan orang-orang berwajah datar dibelakang yang hanya terdiam tanpa reaksi apapun kendati angin menerpa tubuh menyapu rambut kebelakang, Tarendra sempat menghela tak tahu dimana letak keseruan dari permainan itu.

Setelah puas, mereka lalu lanjut berkeliling mengikuti setiap langkah Tama, mencari-cari sekiranya bagian mana lagi yang harus dicoba. Hingga waktu pun terus berjalan dan tanpa sadar mereka telah menghabiskan berjam-jam di dalam sana.

"Terakhir deh. Udah sore juga kan, naik ini pasti seru, bisa liat pemandangan juga." Tama menjelaskan sembari menunjuk bianglala yang kini sedang berputar. "Gue sama Danu, Jesher sama Bapaknya, Ellie sama Rival. Oke?"

Tak mau mendengar bantahan dari orang-orang didepannya, Tama segera berbalik dan berjalan lebih dulu. Mau tak mau lima orang lainnya menyusul, Ellie yang sebenarnya takut ketinggian pun akhirnya harus dikuatkan oleh Rival.

"Nggak bakal jatuh. Kalo jatuh, entar cari pegangan aja."

Ellie melirik sinis. Semudah itu dia mengatakannya. "Mana sempat."

Sesuai dengan instruksi Tama sebelumnya, mereka naik berpasang-pasangan. Dan sekarang Jesher yang terjebak bersama Ayahnya hanya bisa terdiam, menunggu celah untuk bisa bercakap. Tatapanya kemudian mengedar pada pemandangan luar yang cukup indah.

Tak pernah terpikirkan dibenaknya akan menghabiskan sore yang elok bersama sosok yang paling disayangi. Bersama Ayah yang sedang ia usahakan segala perhatian dan kasih sayangnya.

Karena sampai sekarang pun, Jasher merasa bahwa lelaki itu belum sepenuhnya menghapus penghalang diantara mereka. Entah apa sebabnya, tetapi ia percaya lambat laun hubungan yang ia impikan itu pasti bisa terwujud.

"Nggak takut?" Tarendra bertanya tiba-tiba membuyarkan lamunan Jesher.

Tadinya ia pikir anak itu akan merengek ketakutan saat wahana ini bergerak. Tapi yang dilihat kini Jesher justru menikmati setiap detik ditempat ini bersamanya.

"Enggak." Jesher menjawab dengan senyum.

"Aku kan anak Ayah. Ayah berani aku juga berani," lanjutnya dalam hati. Jika dipikir-pikir lagi hari ini ia lebih banyak tersenyun dan tertawa. Pipinya sampai pegal sekarang.

"Kira-kira kapan lagi ya bisa balik ke sini? Kita 'kan belum coba yang lain." Jesher melirik ragu, menunggu jawaban dari lelaki itu.

Tapi Tarendra malah diam saja dan ikut melemparkan pandangan pada langit sore yang mulai kekuningan. "Dari pada ke sini lagi, gimana kalo lain kali kita ke gunung aja?"

"Naik gunung?" Pupil Jesher melebar nampak antusias. Saat Tarendra mengangguk samar ia langsung memajukan tubuh tanpa sadar. "Mau."

Perlahan Tarendra menggulirkan bola matanya menyambut tatapan penuh minat dari dua netra cokelat sang buah hati. "Tapi berdua aja." Detik berganti dan kerutan dalam muncul dikening putranya.

"Kenapa?" Tanya Jesher spontan. Pikirnya akan lebih seru jika mereka pergi bersama-sama seperti hari ini.

"Tama sama Ellie ribet. Danu sama Rival nggak suka. Jadi berdua aja." Jawab Tarendra cepat. Melihat anak itu yang terlihat bingung ia lantas melanjutkan, kali ini ia memberitahu alasan sebenarnya. "Sekali-kali pergi berdua. Emang nggak suka?"

Jesher tak bisa menyembunyikan senyumnya mendengar hal itu. "Suka. Duh, jadi nggak sabar." Kemudian pandangan Jesher jatuh pada tangan Tarendra yang masih balut perban, katanya masih sakit walau tidak separah kemarin.

"Tapi tangan Ayah belum sembuh. Tunggu—"

"Emang yang bilang mau pergi deket-deket ini siapa? Kita perginya nanti, masih nggak tau kapan."

Jesher langsung mendengus. Ia pikir minggu depan mereka akan naik gunung. Rupanya masih lama, menunggu lelaki itu mengambil libur lagi tentu akan memakan waktu yang sangat lama. Mungkin cukup untuk dia bisa tiga kali kembali ke taman hiburan ini bersama Tama.

"Kenapa cemberut?" Tarendra menoel jidat Jesher lalu tersenyum kecil karena reaksinya yang malah semakin pundung.

"Kalo nunggu Ayah, pasti lama. Syukur-syukur tahun ini bisa." Remaja itu berucap dengan sedikit kesal. Lalu ide cemerlang tiba-tiba hadir diotaknya. "Nggak lama lagi aku ulang tahun, gimana kalo kita—"

"Nggak bisa." Tolak Tarendra bahkan tanpa menunggu Jesher menyelesaikan ucapannya. Namun dibalik acuh sikapnya ia telah memikirkan hari spesial itu berkali-kali.

"Ayah udah punya rencana lain buat itu, Jesh."

.

.

.

To Be Continued

————————————

Bapak Tarendra lagi PDKT😇 mari doakan semoga agenda naik gunungnya bisa kesampaian.

Btw, sorry nih jadi nunggu lama...

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

Surrenders Von VEE

Jugendliteratur

61.5K 4.3K 48
Deskripsi? Tidak ada. Datanglah, siapa tau membuatmu betah. #sickstoryarea Jangan salah lapak, berakhir menghujat.
6.9K 1K 20
[Fantasi, No romance, No bl, but bromance] Sung Hanbin, mahasiswa biasa yang menjalani kehidupan monoton suatu hari harus masuk ke dalam sebuah novel...
SCH2 Von xwayyyy

Aktuelle Literatur

376K 45.1K 100
hanya fiksi! baca aja kalo mau
12.2K 2.4K 17
orang bilang cinta datang karena terbiasa, tapi gimana ya kira-kira sama yohan yang terbiasa menemukan sticky note dan makanan manis di lokernya? pos...