My True Me (END)

By deesar

45.3K 6.1K 11.3K

17+ Setahun yang lalu, Zita tiba-tiba tersadar dan mendapatkan luka panjang dari telapak hingga pergelangan... More

Epitasio
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
That Night (1)
That Night (2)
That Night (3)
That Night (4)
That Night (5)
That Night (6)
That Night (7)
That Night (8)
That Night (9)
That Night (10)
That Night (11)
That Night (12)
That Night (13)
That Night (14)
That Night (15)
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Her Past (1)
Her Past (2)
Her Past (3)
Her Past (4)
Her Past (5)
About Him and His Girl
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
For Tonight
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh
Empat Puluh Delapan
Empat Puluh Sembilan
Lima Puluh
Lima Puluh Satu
Lima Puluh Dua
Hatred (1)
Hatred (2)
Hatred (3)
Hatred (4)
Hatred (5)
Hatred (6)
Lima Puluh Tiga
Lima Puluh Empat
Lima Puluh Lima
Lima Puluh Enam
Lima Puluh Tujuh
Lima Puluh Delapan
Enam Puluh
Enam Puluh Satu
Enam Puluh Dua
Animo
Enam Puluh Tiga
Enam Puluh Empat
Enam Puluh Lima
Enam Puluh Enam
Catastrophe (END)
Extra Part (1)
Extra Part (2)
Extra Part (3)

Lima Puluh Sembilan

184 9 15
By deesar

2136 kata

Kalo aing lambat update, tolong maklumi aja, karena buat nulis beberapa part krusial ke depan, diri ini butuh otak-atik narasi biar maksud di otak hamba bisa tersampaikan dengan bhaaiiiqquuee.

Sekian dan terima angpao 🤭

...

"Bisa-bisanya lo diem aja." Theo terus mengomelinya. "Lo kan pasti dipanggil waktu terapi, kenapa nggak pernah ngomong kalau lo nyimpen ingatan masa kecil lo?"

Sherly duduk menunduk dengan bibir mencebik. Theo teramat marah setelah ia mengakui soal ingatan tentang Galen dan Zivana yang merupakan saudara sedarahnya.

"Lupakan kejadian malam ini. Benci kakak kalau itu bisa buat kamu bahagia."

"Bunuh kakak karena udah bikin memori buruk buat kamu. Bunuh kakak yang udah jadi perusak kebahagiaan kamu."

Kalimat yang Galen ucapkan malam itu tak pernah bisa Sherly mengerti. Ia tak tahu, kenapa Galen meminta adiknya sendiri untuk membencinya? Ia juga tak paham, kenapa sang kakak justru meminta untuk dibunuh? Memang kebahagiaan apa yang sudah kakaknya itu rusak hingga mengatakan kalimat seputus asa itu?

Tak ada hal lain yang ia ingat selain ingatan menyenangkan masa kecil saat mereka masih tinggal bersama. Yang ia tahu, tiba-tiba saja ia tersadar dalam kondisi teramat lelah di dalam sebuah kotak sempit, tubuhnya terasa lemas, dan pandangannya terlampau samar untuk melihat Galen yang menangis sambil mengucapkan kata-kata aneh itu.

"Karena Kak Galen minta gue buat benci dia," jawab Sherly, "dan gue nggak bisa melakukan itu. Nggak mungkin gue membenci kakak gue sendiri. Jadi, yang bisa gue lakukan hanya pura-pura nggak kenal sama mereka. Dengan begitu gue nggak perlu membenci siapa-siapa. Toh, mereka juga bersikap kayak gitu ke gue. Pura-pura nggak ngenalin gue seolah gue hanya orang asing."

Saat mendengar kata-kata Zivana di pertemuan terakhir mereka di mall. Sherly menyadari jika sebenarnya Zivana mengenalinya. Zivana tahu jika dirinya adalah saudari kembarnya. Bahkan Zivana juga tahu jika dirinya hanya kepribadian lain yang dimiliki Zita. Meski begitu, kedua kakaknya bersikap seolah dirinya hanya orang luar yang tak dikenal. Apa mungkin karena dirinya hanya bagian lain dari diri Zita?

Hati Sherly terasa disayat. Tak ada yang menganggapnya nyata di dunia ini. Bahkan kakaknya sendiri.

Kepala yang sedari tadi menunduk, kini mendongak. Menatap ke arah Theo yang sedang berdiri di depannya. "Gue nggak merasa ingatan tentang masa kecil gue perlu diceritakan. Gue memang bukan anak penurut. Gue sadar, gue sering buat masalah. Tapi, sejauh ini, gue nggak pernah berbuat bodoh buat nyelakain Zita kayak yang Mila lakukan. Seharusnya itu udah cukup buat kalian untuk nggak mengusik hidup gue."

"Sher--" Ucapan Theo terpotong karena Sherly tiba-tiba berdiri.

"Lo mau bilang kalau seharusnya gue kooperatif buat kesembuhan Zita?" Sherly tertawa sumbang. Matanya bergerak menatap satu per satu mata yang ada di ruangan itu. "Pantes Mila sebenci itu sama kalian. Kami punya hati dan pikiran kami sendiri, tapi kalian nggak pernah mikirin itu."

Sherly berdiri, berjalan menuju pintu untuk keluar dari tempat menyesakkan itu.

"Mau ke mana?"

Pertanyaan itu membuat Sherly memutar mata malas. "Gue nggak bisa napas kalau terus-terusan di sini." Sherly memutar sedikit badannya, melirik ke arah Theo. "Atau lo lebih suka gue berhenti napas aja?"

Setelah mengatakan itu, Sherly berlalu begitu saja. Theo berniat untuk mengejarnya, tapi Adifa lebih dulu berjalan ke arah pintu, memberikan isyarat agar Theo tetap di tempat dan ia yang akan menemani Sherly.

...

Di kursi taman rumah sakit, Sherly duduk dengan punggung bersandar. Kepalanya menengadah, menatap langit cerah dengan tatapan mendung. Beberapa kali bibirnya mengembuskan napas berat yang menyesakkan dada.

"Lo tahu berapa banyak orang yang udah kakak lo bunuh? Lo tahu siapa aja yang udah jadi korbannya?"

Perkataan itu terus memenuhi pikirannya. Membuat ia mempertanyakan kepercayaannya sendiri pada sang kakak.

Melihat Mila terlibat, Sherly cukup yakin jika hal itu berkaitan dengan kematian Kamila. Ia memang tahu jika putri Andri itu meninggal karena dibunuh, tapi ... tidak mungkin Kakak pelakunya, kan?

Galen dalam ingatannya adalah sosok yang penyayang. Jadi, bagaimana mungkin lelaki seperti itu melakukan kejahatan hingga merenggut nyawa orang?

Lagi, Sherly menghela napas kasar. Matanya yang menatap langit kini memejam. Mulutnya bermonolog, "Kakak nggak mungkin ngelakuin itu, kan?"

"Semua orang baik bisa aja jadi jahat kalau punya alasan," sahut seseorang.

Bersamaan dengan suara Galen kembali melintas di kepala Sherly.

"Jangan menilai orang hanya dari satu kebaikan. Orang baik bisa berbuat jahat karena ada alasan dan kesempatan."

Terdengar mirip.

Mata Sherly terbuka, kepalanya menoleh ke samping, melihat Adifa sudah duduk di sebelahnya dengan pandangan tertuju ke depan.

Satu dengkusan Sherly keluarkan. "Jadi, lo mau bilang kalau lo orang baik yang membunuh kakak gue karena sebuah alasan?"

Sebelah sudut bibir Adifa terangkat tipis, kemudian menoleh pada Sherly. "Gue nggak tahu dia kakak seperti apa di ingatan lo. Tapi diingatan gue, dia adalah orang yang udah bunuh bokap gue. Sedangkan yang Mila ingat, Galen adalah pembunuh kakaknya."

"Kak Galen pasti punya alasan." Sherly memalingkan muka, mencoba denial dengan fakta yang ada.

"So do I."

"Karena dendam?" Sherly tersenyum sinis. "Itu bukan alasan."

"I know," ujarAdifa, sama sekali tak mengelak. "Tapi itu cuma satu dari sekian alasan."

Sherly kembali menoleh, bertanya dengan nada mengejek. "Emang apa lagi? Nggak usah ngebuat-buat alasan."

Sambil tertawa pelan, tangan Adifa bergerak mengambil sebotol susu yang ia letakkan di samping duduknya dan memberikannya ke Sherly. "Gue nggak tahu lo suka apa. Yang gue tahu cuma Mila yang suka susu."

Mata Sherly memicing. "Nggak lo isi racun atau obat tidur, kan?"

Adifa tertawa lagi. "Ternyata kalian mirip." Melihat Sherly menautkan alis, Adifa melanjutkan, "Lo sama Mila."

"What?" Mata Sherly melotot. "Jangan pernah samain gue sama si jelek Mila."

"Kalau Mila jelek, berarti lo juga jelek." Tangan Adifa bergerak di depan wajah. "Muka kalian sama."

"No!" Sherly tak terima. "Gue jauh lebih cantik." Tangannya mengibas rambut, tapi yang ia dapat hanya kekosongan. Kembali disadarkan jika rambutnya sudah dipangkas pendek. "Argh! Zita sialan!"

Adifa memandangnya. "Lo sebenci itu sama Mila dan Zita?"

Sherly membuang napas. Bibirnya mengerucut dengan dahi berkerut, tampak berpikir. "Kalau sama Zita, sih, nggak. Tapi, I hate Mila very much. You know what she's done to me? She burned all my dresses!" adu Sherly penuh kekesalan. "Lo tahu alasannya apa? Cuma karena gue ngewarnain rambut jadi maroon!"

Tanpa sadar, mata Adifa melirik rambut Sherly, membayangkan rambut itu benar-benar di warna merah marun. "I think, it's not that bad."

"Nah ...." Akhirnya ada yang sependapat dengannya, tapi sejenak kemudian Sherly tersadar. "Ngapain gue jadi curhat sama lo?"

Sherly bangkit dari duduknya, berniat untuk pergi, tapi pertanyaan Adifa berikutnya membuat badannya kembali berbalik.

"Lo bisa lari nggak?" Kepala Adifa menoleh ke beberapa arah lalu menatap Sherly sambil tersenyum. "Kita olahraga dikit."

"Hah?"

Tanpa menunggu jawaban, Adifa langsung menarik tangan Sherly untuk berlari bersamanya.

"Kalau mau olahraga, olahraga aja sendiri. Jangan ngajak gue," keluh Sherly dengan kaki yang terpaksa ikut berlari daripada tersungkur jika tiba-tiba menghentikan langkah saat sedang ditarik seperti itu.

Tanpa menghentikan laju kakinya, Adifa melirik pada Sherly sejenak, menoleh ke belakang, lalu kembali menatap gadis itu. "Lo bisa bawa mobil?"

"Nggak." Sherly mengernyit mendengar pertanyaan tiba-tiba itu. Namun, melihat Adifa beberapa kali menoleh ke belakang, ia pun jadi penasaran. Reflek kepalanya menoleh, melihat lima orang pria--jauh di belakang--tengah mengejar mereka. "Orang-orang itu siapa?"

"Mungkin orang-orangnya Hazel," jelas Adifa yang mengarahkan mereka berlari ke parkiran basement. "Gue anter ke mobil. Sembunyi di sana sampai gue datang."

Dari awal, Adifa sudah merasa aneh. Ia melihat beberapa orang--yang berada di beberapa titik berbeda--terus mencuri pandang ke arah Sherly. Mengingat Zita pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya, Adifa bisa menyimpulkan jika orang-orang itu mengikuti Zita, bahkan mungkin sejak Theo mengajaknya pergi dari rumah sakit.

Masuk ke area parkir, Adifa menggandeng Sherly menuju area mobilnya--mobil yang Andri sewa untuk mereka--terparkir. Namun, sebelum sampai ke tempat mobilnya berada, Adifa menyeret Sherly bersembunyi di antara dua mobil selagi lima pengejarnya belum terlihat.

Sambil berjongkok, Adifa menekan remote mobilnya, membuat mobil SUV hitam--yang berjarak dua baris di depan mereka--membunyikan suara tanda kunci terbuka.

Ia lantas menoleh pada Sherly, menyerahkan kunci mobil dan ponselnya. "Gue bakal alihin perhatian mereka," kata Adifa sambil menggerakkan kepala ke arah mobilnya terparkir. "Sembunyi di sana, terus cari nama Ridan atau Kayana, kasih tahu apa yang terjadi sekarang."

Sherly dibuat panik. "Lo ninggalin gue sendiri?"

Satu umpatan lolos dari bibir Sherly saat Adifa langsung pergi tanpa menjawab pertanyaannya. Dilihatnya Adifa menendang atau memukul kap beberapa mobil secara random hingga alarm mobil-mobil itu berbunyi.

Kepala Sherly menoleh ke arah mereka masuk tadi. Dilihatnya lima orang yang tadi mengejarnya telah terlihat, ia buru-buru menunduk, berjalan jongkok menuju sisi lain mobil agar tak terlihat oleh kelima orang itu.

Begitu para pengejarnya berlalu karena melihat Adifa, Sherly berlari dengan membungkuk ke arah mobil yang Adifa tunjuk. Ia masuk dari pintu belakang. Duduk berjongkok di space antara kursi depan dan kursi belakang agar dirinya tak terlihat dari kaca mobil. Tangannya lantas mencari satu dari dua nama yang Adifa sebutkan di dalam ponsel lelaki itu.

Di sisi lain, Adifa sengaja membunyikan alarm beberapa mobil untuk mengecoh pengejarnya, memberi pengalihan agar Sherly bisa masuk ke dalam mobil tanpa ketahuan. Sambil melakukan itu, Adifa terus berlari menuju ke area parkiran bagian atas. Sesampainya di sana, ia baru berhenti. Mengatur napasnya selagi menunggu orang-orang tadi sampai ke tempatnya.

Tiga orang datang, dua orang lainnya masih ada di parkiran bawah. Itu artinya dua yang lain mungkin sedang mencari keberadaan Sherly. Sebenarnya, bisa saja Adifa ikut masuk mobil bersama Sherly dan meninggalkan tempat itu. Hanya saja, ia tak bisa mengambil resiko.

Kemungkinan, para pengejar itu mempunyai mobil dan memarkirkannya tak jauh dari tempat mereka berada sekarang. Pergi begitu saja hanya menyebabkan aksi kejar-kejaran di jalan raya yang justru bisa membahayakan orang lain. Satu-satunya cara untuk menghindari hal itu tentu dengan membuat lawannya kesulitan bergerak agar pergi tanpa khawatir akan dikejar.

Untuk bisa melakukan itu, maka Adifa harus bisa melumpuhkan mereka dengan cepat. Apalagi Sherly bisa saja dalam bahaya jika sampai ditemukan oleh dua pengejar lainnya.

Ketiga pria itu berlari ke arah Adifa. Ia reflek mundur, naik ke atas salah satu mobil untuk menghindari serangan secara bersamaan. Begitu satu orang menyusulnya naik, Adifa langsung menendangnya hingga tubuh pria itu terjungkal membentur lantai beton.

Satu orang lainnya ikut naik, sebelum Adifa sempat menyerangnya, dari belakang sebuah tendangan menghantam punggungnya. Tubuh Adifa terhuyung ke depan, disambut tinjuan di perut oleh orang di hadapannya.

Adifa mengernyit kesakitan, tubuhnya jatuh bersimpuh. Dalam posisi itu, Adifa segera menarik lutut pria di hadapannya hingga pria itu jatuh terjengkang dan punggungnya mengantam kaca mobil. Bersamaan dengan itu, Adifa mengubah posisinya, menggerakkan kakinya untuk menendang pergelangan kaki pria di belakangnya.

Karena kehilangan keseimbangan, pria di belakangnya terhuyung ke arah Adifa. Tangan Adifa langsung menangkap leher pria itu, mencengkeramnya, kemudian melempar tubuh lawannya hingga menghantam body samping mobil di sebelahnya.

Masih di atas atap mobil, pria pertama yang ia tendang tadi kembali naik. Adifa menangkap tangan pria itu saat mencoba meninjunya. Diputarnya tangan itu ke arah punggung sekaligus meraih leher belakang pria itu, menekan lehernya hingga tubuh lawan membungkuk. Dalam posisi itu, tangan Adifa yang lain mengarahkan bertubi-tubi pukulan ke wajah pria itu.

Setelahnya, Adifa memendang area tungkai kaki, membuat lawannya itu ambruk. Adifa lantas meraih tangan pria itu, menariknya sambil berguling di atas punggung lawannya itu untuk turun dari atap mobil. Teriak kesakitan menggema saat suara patah dari tangan yang terpelintir ke belakang terdengar.

Dua lagi.

Pria yang tadi menghantam kaca kembali menyerangnya. Tangannya melayangkan beberapa pukulan yang berhasil Adifa tepis. Saat tinjuannya kembali diarahkan pada Adifa, ia menangkap tangan itu, langsung menyuruk ke bawah lengan lawan dan seketika menghantam rusuk samping pria itu dengan sikunya. Tangan Adifa kemudian memiting kepala pria itu, berniat untuk membanting tubuhnya lantai.

Namun, sebelah tangan pria itu lebih dulu memukul punggung Adifa, kakinya bergerak menendang belakang lutut hingga Adifa terjatuh. Tangannya yang tadi Adifa cekal segera melingkar ke leher lalu dengan kuat membanting tubuh Adifa.

Adifa melenguh saat punggungnya membentur lantai. Tanpa sempat menghindar, lawannya menginjak kuat dada Adifa beberapa kali.

"Ughh ...." Adifa mengerang kesakitan.

Dari injakan, lawannya mengubah serangan menjadi tendangan. Saat itu juga, tubuh Adifa berguling menghindar, tangannya lantas bertumpu di lantai, kakinya balas menjejak kencang ke dada lawan yang berdiri di depannya.

Pria itu terhuyung mundur. Adifa menahan rasa sakit di dadanya dan segera bangkit, meraih dan memegang kepala lawan dengan kedua tangan, lalu menariknya ke bawah, menghantamkan lutut ke wajah lawan.

Belum juga lawannya tumbang, dua tangan tiba-tiba melingkar di perut Adifa. Tubuhnya ditarik mundur oleh pria yang lain, membuat mereka sama-sama terjengkang ke belakang. Adifa lantas menyikut dagu pria di belakangnya untuk melepaskan diri.

Dari arah depan, satu tendangan mengarah padanya. Adifa berguling menjauh. Baru sempat berdiri dengan kedua lutut, dua pria di depannya bergantian mengarahkan tendangan ke kepalanya. Adifa bergerak mundur di atas kedua lututnya sambil menangkis semua tendangan dengan dua lengannya.

Saat melihat celah, Adifa berdiri, meninju dada salah satu pria dan menendang paha pria yang lain. Adifa berdiri, menghampiri pria yang ditinjunya, menghantam lehernya dengan lengan bawah, lalu berputar untuk menendang bagian samping lutut pria itu hingga ambruk dan mengerang kesakitan karena tulang lututnya keluar dari tempatnya.

Adifa terengah kelelahan, menyentuh dadanya yang teramat sakit bahkan saat dirinya bernapas.

Satu lagi.

...

Tbc

...

Bang Dipa, semangaaatt!!!

060224

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 40.8K 10
Semua terlihat sempurna di kehidupan Maudy, seorang aktris papan atas yang juga dikenal sebagai kekasih Ragil, aktor tampan yang namanya melejit berk...
6.1M 325K 14
Ketika lelaki yang ia cintai menolak pernyataan cintanya, Caca bertekad untuk menaklukkan hati lelaki itu. Lagipula, sebelum janur kuning melengkung...
7.7M 1M 69
🚫 SEBAGIAN CHAPTER DI PRIVATE; FOLLOW AUTHOR TERLEBIH DAHULU 🚫 "Kita putus." "Hah? Oh, oke." "Gue bakal punya cewek baru Athena, lo jangan berharap...
ALGRAFI By Liana

Teen Fiction

33.9M 2.7M 72
[SUDAH DI FILMKAN] Berawal dari keinginan bocah laki-laki berusia 7 tahun bernama Algrafi Zayyan Danadyaksa yang merasa harus melindungi sahabat keci...