Kalopsia [ NaruHina ] ✔

By eminamiya_

108K 11.7K 2.7K

Kau tahu apa yang paling aneh dengan diriku? Aku tetap mempertahankan hubungan ini meski situasi kita salah... More

Kalopsia
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
40
41
42
43
Extra Part

39

1.8K 231 153
By eminamiya_

.

.

--- K A L O P S I A ---

.

Happy Reading

.

.


Hinata masih membatu di tempat.

Jantungnya terus berdentum sangat hebat, meskipun beberapa orang di sekitar sudah berlari mendekat untuk memastikan apa yang terjadi.

"Apa yang terjadi?"

"Dia baik-baik saja?"

Suara-suara itu seperti gema di telinga Hinata.

"Boruto!" seruan Toneri sedikit menyentak. Pria itu segera berlari untuk melihat lebih dekat.

Boruto tampak sedikit gemetar. Ia sudah berada dalam pelukan Naruto yang berlari lebih dulu dibanding Toneri untuk memastikan keadaannya.

Beruntung, pemilik kendaraan masih sempat menghentikan kelajuan saat ujung depan mobilnya sudah nyaris menyentuh badan kecil Boruto.

"Ada yang terasa sakit?"

Mendengar dari sang ayah, Boruto mengangguk. Telapak tangannya sedikit terluka karena tercukur aspal saat jatuh terduduk tadi.

"Dia baik-baik saja?" Sang pengemudi ikut merasa khawatir. "Haruskah dibawa rumah sakit?"

Boruto telah merengut. "Aku tidak mau ke rumah sakit."

Naruto mencoba membantu sang putra agar bisa berdiri. "Kau merasa baik-baik saja?"

Boruto mengiyakan.

"Ada yang terluka?" Toneri ikut menambahkan.

Naruto hanya melirik singkat padanya.

"Boruto?" masih dengan tubuh yang sedikit gemetar, Hinata datang. Ia meraih sang anak dan menyentuh tangannya. Ingin melihat dan meyakini bila anaknya baik-baik saja.

"Ibu ..."

Ada sebulir keringat yang mengalir di pelipis Hinata. Dia benar-benar syok atas kejadian ini.

"Ibu sudah pernah bilang, jangan menyeberang jalan sembarang!" suara Hinata sedikit meninggi. Kepanikan membuat emosinya jadi terpancing.

Sedikit lagi, jika meleset sedikit saja, Hinata bahkan tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi.

"Maafkan aku, Ibu." Boruto mulai menangis. Dia sadar sudah melakukan kesalahan.

"Sudah, jangan marahi dia. Boruto juga masih terkejut."

Suara itu membuat Hinata menoleh pada Naruto.

"Lebih baik, bawa dia pulang dan--"

"Seharusnya, kau tidak datang."

Naruto terdiam.

Bahkan, Toneri yang sedang berdiri di dekat Hinata menjadi ikut tutup mulut.

"Kalau kau tidak datang, Boruto tidak akan menghampirimu."

"..."

"Ini tidak akan terjadi bila bukan karenamu."

"Hinata, sudahlah." Toneri mencoba menenangkan sang wanita.

"Bisa kau bayangkan apa yang akan terjadi kalau kendaraan ini terlambat berhenti?!" Tetapi, Hinata seperti menutup telinga dan menolak untuk tenang.

"..."

"Kau hanya membuat masalah." Hinata masih melanjutkan. "Seharusnya, kau tidak pernah ada di sini."

Naruto tertunduk. Saat Boruto dibawa untuk benar-benar menjauh darinya, ia tidak bisa berkutik.

Toneri menghela napas pelan. Ia pandangi Naruto yang kini sudah bangkit berdiri. Naruto tidak berkata apa pun.

Setelahnya, Toneri mengikuti langkah Hinata.

.

.

Naruto merasa khawatir pada Boruto, itu sebabnya, meskipun ia tahu jika Hinata sedang marah padanya, Naruto tetap mengikuti kendaraan Toneri yang mengantar ibu dan anak tersebut untuk pulang ke rumah.

Naruto akan mencoba mengabaikan kekesalan Hinata untuk memastikan bila keadaan Boruto sudah semakin membaik.

Saat ini, Hinata sedang mengobati tangan Boruto yang sedikit terluka.

Mata Boruto masih basah karena sebelumnya sempat mendapat teguran dari sang ibu.

"Masih terasa sakit sekali?" Naruto mencoba bertanya.

Bibir kecil Boruto semakin tertekuk. "Ayah ..."

"Tidak apa-apa. Jangan menangis lagi."

Air mata Boruto malah menjadi semakin banyak.

"Lain kali, jangan langsung menyeberang seperti tadi. Itu berbahaya dan--"

"Lebih baik, kau pergi," Hinata memotong cepat. Ia sedang tidak ingin melihat dan mendengar Naruto saat ini. "Boruto harus beristirahat."

"Aku tidak mau tidur siang."

"Boruto!"

Boruto langsung terdiam saat sang ibu menatapnya dengan tegas.

Dengan sengaja mengabaikan keberadaan Naruto, Hinata sudah mengangkat sang balita dan bersiap membawanya masuk ke kamar.

"Kalau begitu, aku juga akan kembali." Toneri berkata dari dudukan seberang.

"Terima kasih sudah mengantar kami."

Toneri tersenyum. "Baiklah, Boruto, dengar-dengar pada Ibumu, ya? Itu untuk kebaikanmu, agar yang seperti ini tidak terulang lagi. Papa akan pergi dulu."

Papa. Naruto langsung berpaling dengan enggan ke arah lain.

Setelah Hinata berlalu menuju kamar, Naruto juga sudah lebih dulu beranjak keluar dari rumah dibanding Toneri.

Saat berniat memasuki mobil, Naruto menoleh karena menyadari Toneri mendekat.

"Kurasa, kau tidak perlu menemui Boruto dulu untuk beberapa saat. Suasana hati Hinata sepertinya masih tidak begitu stabil."

Naruto mendelik. "Siapa kau sampai berani memberiku perintah?"

"Bukan perintah, hanya saran. Ini untuk kebaikan Hinata dan Boruto."

Seketika saja, Naruto sudah membalikkan badan menghadap langsung. Laki-laki ini bersikap seolah Naruto adalah keburukan di sekitar Boruto dan Hinata.

"Berhenti ikut campur, atau kuremukkan mulut sialanmu itu." Naruto memberi peringatan.

Toneri terdiam sesaat. "Aku tidak ingin mencari masalah," lalu, ia melanjutkan. "Tapi kau tahu, ..."

Garis mata Naruto menajam saat Toneri sedang tersenyum padanya.

"Sejak awal, aku berada di dekat mereka karena memang aku peduli mereka. Tetapi, setelah kejadian ini, sepertinya aku sudah menemukan tujuan lain."

Alis Naruto menaut semakin dalam.

"Aku jadi merasa ingin terus melindungi mereka. Ingin Boruto semakin dekat denganku dan ... benar-benar semakin berambisi untuk memiliki Hinata."

Keparat sialan ..., Naruto mendesis dalam hati.

Naruto mungkin sudah berniat untuk mengadu kekuatan, tetapi Toneri lekas menjaga jarak.

"Aku tidak ingin membuat keributan lebih jauh di depan rumah Hinata. Aku duluan."

.

.

Naruto tahu, hari ini akan terjadi badai yang cukup besar. Beberapa media pemberitaan bahkan sudah memberi peringatan agar orang-orang tidak beraktivitas di luar rumah saat malam nanti.

Tetapi, meski sudah tahu apa yang akan terjadi kedepannya, hal itu tetap tidak menyurutkan niat Naruto untuk datang ke kediaman Hinata.

Hinata bahkan sudah tahu jika ada orang di depan rumah, karena Naruto telah menekan bel dan bahkan mengetuk pintu beberapa kali.

Tetapi, Hinata seperti tidak berniat untuk membukakannya.

"Ibu, itu suara Ayah." Boruto sempat mendengar suara. "Ibu, Ayah datang."

Tetapi, Hinata hanya bergeming dan berlagak sibuk merapikan bantalan sofa.

Tanpa menunggu lagi, Boruto sudah berlari menuju ke depan, berniat membuka pintu bagi sang ayah dan meninggalkan Hinata bersama siaran televisi yang menyala.

"Badai malam ini mungkin akan menjadi yang terburuk dalam beberapa tahun terakhir ..."

Hinata menarik napas berat. Matanya terpejam sesaat dan memilih untuk mematikan televisi. Kemudian, ia menyusul Boruto.

Boruto tidak akan bisa mencapai pengait pintu di bagian atas.

"Ibu, aku tidak sampai."

Baru saja dikatakan, Hinata sudah mendapati Boruto berjinjit secara sia-sia.

Pintu dibuka oleh Hinata.

Naruto sudah menatap sedikit jengah karena dibuat menunggu terlalu lama. Ia tahu, Hinata pasti sengaja.

"Ayah, ayo masuk."

Naruto merasa Boruto sangat manis. Hanya dia yang menyambutnya begitu hangat dan menariknya masuk ke dalam.

"Apa susahnya hanya membuka pintu?"

Hinata tidak menanggapinya.

Mereka masuk ke ruangan tengah. Bagian terhangat di dalam rumah.

"Boruto sudah baik-baik saja?" Naruto masih mencoba membuka obrolan, namun, respon Hinata terlalu seadanya.

"Hm."

Naruto melepas napas pasrah. Lebih baik, ia menghabiskan waktu dengan bermain atau bercerita bersama Boruto dulu saat ini.

Mungkin, ucapan Toneri ada benarnya. Suasana hati Hinata sedang jelek -- terutama padanya.

Tepat pada pukul delapan, badai mulai terjadi. Hujan deras diselingi angin begitu kencang terdengar mengacaukan di luar rumah.

"Ayah, kenapa dinosaurus yang ini besar, dan ini kecil? Padahal mereka sama."

"Mungkin yang besar ini kakaknya dan yang kecil ini adiknya."

"Adik?"

Naruto tersenyum. "Kenapa?"

"Aku juga ingin punya adik. Temanku memiliki adik."

Naruto melirik singkat pada Hinata yang sedang sibuk sendiri membaca buku di satu dudukan dekat jendela.

"Adik itu datang dari mana?" Boruto masih melanjutkan.

"Dari seorang laki-laki, lalu dia lahir lewat perempuan."

Naruto terkekeh dengan wajah tidak mengerti Boruto.

"Ayah dan Ibu yang membuatnya."

"Sama seperti membuatku?"

Naruto mengangguk. "Benar."

.

.

Sekiranya pada pukul sembilan, badai terdengar kian ganas di luar sana.

Boruto sudah terlelap di paha Naruto setelah lelah bermain dan bercerita.

Naruto merasa lega. Ternyata, tidak ada hal tertentu yang terjadi pada Boruto setelah kejadian siang tadi.

"Aku akan memindahkan Boruto ke kamar," Hinata mencoba mengangkat Boruto, tetapi sang anak menggeliat dan tidak mau menurut.

"Biarkan saja dulu."

"Dia bisa masuk angin."

"Ambilkan selimutnya saja."

"Ini sudah sangat malam."

"Dengan kata lain, kau ingin aku segera pergi?" Naruto memandang langsung mata Hinata. "Kau sungguh-sungguh berharap aku pergi dalam cuaca seperti ini?"

Hinata terdiam.

"Situasi seperti ini sangat rawan. Aku masih sayang nyawa, Hinata."

Perkataan Naruto memang benar. Keadaan di luar sangat buruk.

"Biarkan saja Boruto di sini untuk sementara. Atau, kau ingin tetap bersikeras membawanya ke kamar dan menggantikan posisinya menemaniku di sini? Aku kesepian bila tidak ada Boruto."

Hinata tertegun. "Tidak jelas sekali." Setelah itu, ia pergi.

Hinata kembali hadir dengan selimut dan bantal lembut Boruto di tangannya.

"Letakkan kepalanya di sini," Hinata memintah agar Naruto mau bekerja sama membuat Boruto lebih nyaman.

Selama kegiatan Hinata mengatur posisi Boruto dan membuatnya tetap hangat, mata Naruto terus tertuju pada wajah sang wanita.

"Hinata ..." Mata Naruto begitu dalam. "Maaf."

Bibir Hinata terkatup erat.

"Maaf sudah membuatmu menjadi ketakutan hari ini."

"..."

"Semua memang karena ulahku. Aku yang membawa masalah."

"..."

"Seandainya aku tidak datang untuk menjemput Boruto, hal itu tidak akan terjadi." Naruto merasa tawar hati karena Hinata tidak bersedia menatapnya. "Kau benar. Seharusnya, ... aku memang tidak pernah ada di sini."

Ketika itu, Hinata telah mendongak. Tatapan mereka bertemu, dan Hinata sadar bila ia tidak bisa mengendalikan getaran di matanya.

"Tapi, setelah aku mempertimbangkannya kembali, setelah aku menyadari dan sudah terlanjur menikmati kebersamaan ini, aku tidak bisa."

"..."

"Aku ingin egois dengan berharap tetap berada di dekat Boruto, sebagai ayahnya. Meskipun kehadiranku mungkin hanya menjadi masalah."

"..."

"Dan ... aku masih tetap pada tujuanku."

Hinata meneguk ludah.

"Kau. Aku masih ingin mencobanya. Tetap mencobanya. Mencoba memperbaiki semuanya dan mencoba meraih hatimu lagi. Maka dari itu--"

"Apa kau menganggap remeh semua rasa sakitku, Naruto?"

Naruto terdiam sejenak.

"Aku tidak ingin membahas ini."

"Semua tergantung padamu. Jika pada akhirnya kau merasa tetap tidak bisa menerimaku kembali, aku akan mundur. Aku hanya ingin melakukan yang bisa kulakukan."

"..."

"Untukmu, dan untuk anak kita."

Keheningan terjadi.

"Aku ... merindukanmu." Naruto meringis dalam hati. "Sangat."

.

.

Naruto mendesah pelan.

Sebuah elusan ringan sedang ia nikmati pada pipinya.

Naruto menyukai sentuhan ini. Begitu lembut dan hangat. Sehangat bagaimana satu kecupan kecil langsung ia berikan pada wajah di depannya.

Tawa pelan terjadi. Boruto terkekeh ceria saat mendadak saja ujung hidungnya mendapat ciuman dari sang ayah.

"Ayah bangun, sudah pagi," ucapan ceria Boruto terdengar mengisi ruangan.

Naruto mengambil tempat untuk duduk. Karena badai yang tak kunjung reda, ia diperkenankan untuk menginap semalaman.

Naruto tidur di sofa ruang tengah, karena Hinata tidak sempat menyiapkan kamar lain untuk bisa dikenakan. Naruto tidak masalah akan hal itu. Lagi pula, tempat ini sama nyamannya dengan ranjang.

Satu hal sempat membuat Naruto mengernyit heran. Perasaan, ia tidak memakai selimut malam kemarin. Tetapi saat bangun, tubuhnya sudah dibalut kain hangat.

Tanpa sengaja dikontrol, senyuman Naruto mengembang tipis sekali dengan sendirinya.

"Boruto, waktunya man--" Perkataan Hinata terhenti saat mendapati jika Naruto ikut membalas tatapannya. "Waktunya mandi," namun setelahnya, ia melanjutkan.

Boruto lekas berlari menuju kamar mandi.

"Hinata,"

Hinata yang berniat menyusul sang anak, kembali menoleh saat namanya dipanggil.

"Terima kasih," Naruto berkata. "Untuk izin menginapnya dan selimutnya."

Hinata bergumam pelan. Tidak ada balasan yang begitu berarti.

.

.

Toneri sudah berencana untuk berkunjung pagi ini.

Keadaan badai yang cukup besar semalam, membuatnya ingin tahu bagaimana keadaan Hinata dan Boruto pagi ini.

Tetapi, saat baru saja tiba, Toneri dibuat penasaran dengan sebuah kendaraan di depan rumah Hinata.

Toneri tahu jika ini adalah mobil milik Naruto.

Tapi ...

Dia datang sepagi ini?

Toneri menekan bel dan yang menyambutnya bukanlah sang pemilik rumah, melainkan Naruto.

Raut wajah Naruto seketika menjadi masam. Untuk apa orang ini datang pagi-pagi begini? Mengganggu suasana saja.

Terutama, Naruto semakin tidak nyaman karena Toneri seperti sedang menyeleksi penampilannya.

Sedikit berantakan, terutama pada bagian rambut dan pakaian.

Toneri mengernyit. Apa Naruto tinggal di sini semalam?

"Mana Hinata?"

"Memandikan Boruto, kenapa?"

Bahkan tidak ada ucapan untuk mempersilahkan masuk. Naruto malah terkesan ketus padanya.

"Toneri?"

Suara dari arah belakang membuat dua pria tersebut menoleh. Tampaknya, Hinata sudah selesai memandikan Boruto.

Hal ini membuat Naruto tidak merasa nyaman. Malas melihat interaksi Toneri dan Hinata, ia memilih kembali masuk ke dalam dan menghampiri Boruto.

Sang anak sedang dibalut handuk merah muda yang melingkari dadanya.

"Apa ini? Kau anak perempuan?"

"Aku Boruto."

Naruto mendengus geli. Ia meraih Boruto dalam gendongan.

"Oh! Aku mendengar suara Papa."

Naruto berdecak pelan. "Ck. Boruto, boleh aku meminta satu hal?"

"Apa?"

"Tidak usah memanggilnya Papa lagi."

.

.

Kejadian kemarin mungkin membuat Hinata menjadi sedikit waspada.

Saat Naruto meminta mengantar Boruto ke sekolah, Hinata menolaknya dengan alasan mereka akan bersama Toneri.

Alhasil, Naruto pergi dengan tangan kosong. Mungkin juga bersama suasana hati yang tidak senang.

"Dia menginap di rumahmu?"

Mereka sudah dalam perjalanan menuju toko setelah selesai mengantar Boruto ke sekolah.

"Semalam badainya cukup hebat. Aku tidak mungkin mengusirnya."

"Apa ini berarti sesuatu?"

"Apa maksudmu?"

Toneri mencoba tersenyum. "Kau masih sangat perhatian padanya."

"Ini hanya bentuk sisi kemanusiaan." Hinata menunduk.

Hening terjadi. Belum ada obrolan hingga beberapa menit setelahnya.

"Apa kau akan memberinya kesempatan? Semakin hari, tampaknya kalian juga menjadi lebih dekat."

"Itu tidak benar!" tanpa sadar, intonasi Hinata sedikit meninggi. "Aku ... aku hanya ..."

".... Aku masih ingin mencobanya. Tetap mencobanya. Mencoba memperbaiki semuanya dan mencoba meraih hatimu lagi. ..."

"Semua tergantung padamu. Jika pada akhirnya kau merasa tetap tidak bisa menerimaku kembali, aku akan mundur. Aku hanya ingin melakukan yang bisa kulakukan. Untukmu, dan untuk anak kita."

Hinata kembali terdiam.

Keraguan ini, semua terasa jelas oleh Toneri.

"Kalau begitu, kau harus segera bertindak, Hinata."

Hinata melirik kecil.

"Kau pernah berkata jika tidak akan membiarkan masa lalu yang menyakitkan menjadi bagian dalam hidupmu lagi."

"..."

"Kalau keadaannya masih seperti ini, kurasa, Naruto akan berpikir jika selalu ada peluang baginya. Kau bersikap seolah masih memberinya ruang."

"..."

"Jangan bersikap gegabah, Hinata. Seseorang yang pernah menyakiti, akan berpotensi memberi rasa sakit lainnya."

Bibir Hinata tertekuk kecil.

"Kau memang tidak bisa menghalanginya untuk bersama Boruto, tapi, kau bisa membuat agar dia tidak melampaui batas, terutama padamu."

"Bagaimana caranya?"

Kendaraan Toneri terhenti tepat ketika mereka di depan rambu lalu lintas yang memberi tanda berhenti.

Pria tersebut menoleh. "Bangunlah hubungan bersama orang lain. Dengan begitu, Naruto akan sadar jika dia sudah tidak memiliki peluang apa pun, termasuk peluang untuk menyakitimu lagi."

Tatapan Toneri menjadi lembut. "Kau hanya perlu membuka hatimu untuk yang lain. Pada sesuatu yang lebih tulus."





BERSAMBUNG ...


Dahlah, Nar, Ton, gelut aja kalian berdua. Perlihatkan, punyanya siapa lebih gede.

Perasaan dan kesungguhannya.

Wkwk.

Jiraiya: Punyanya Om dong yang unggul :)

👩🏻: ....

Jiraiya: Enggak percaya, nih? Mau Om kasih--

👩🏻: Eh, enggak usah! Enggak usah! Percaya kok, Om!

***

Akhir-akhir ini aku lagi males ngerevisi, gaes. Maap ni kalo isinya agak belepotan dan mungkin terkesan jadi gimana-gimana. Nanti kalo udah mood baru kucoba baca-baca ulang dan perbaiki kalo ada bagian yang enggak srek.

Anw, bagian ini agak panjang. Semoga aja enggak bikin eneg.

Aku sendiri pun heran, makin ke sini kok tiap chapternya malah makin panjang. Maap ya :(

Dari awal-awal udah selalu aku tekanin, ya. Jangan terlalu berharap sama cerita yang aku bikin. Kalau misal alurnya udah terkesan enggak masuk akal dan membuat kalian bosan, mohon untuk tidak dilanjutkan membaca. Silahkan ditinggalkan tanpa meninggalkan komentar buruk ^_^

Jika berkenan, sempatkan untuk memberi vote ya, biar aku tetap semangat ^^

Continue Reading

You'll Also Like

242K 18.1K 39
Menikah karena perjodohan jelas bukan impian Boruto, mengingat Boruto sudah memiliki kekasih. Sarada yang mencintai Boruto hanya bisa pasrah saat sua...
38.9K 7.9K 31
"Sebenarnya editorku itu Mbak Wen atau Mas Tian si bawel, sih?" Awalnya semua berjalan baik-baik saja, bahkan jadwal terbit bukunya sudah diumumkan...
737K 58.9K 63
Kisah ia sang jiwa asing di tubuh kosong tanpa jiwa. Ernest Lancer namanya. Seorang pemuda kuliah yang tertabrak oleh sebuah truk pengangkut batu ba...
94.7K 9.4K 38
FIKSI