"Maaf Tuan, ada motor mendadak muncul sehingga saya kehilangan keseimbangan dan motor itu pun juga hampir kepleset." Membuat Richard yang mendengar penjelasan dari driver kesal dan segera keluar dari mobil.
"Are you blind?" seru Richard yang sudah tak tahan ingin mengomel. Untung saja mobilnya tidak jatuh ke jurang. Entah apa yang terjadi kalau sang driver bukanlah orang yang cukup ahli bermanuver.
"I'm in hurry, name your price!" Mata Richard bersitegang dengan seseorang yang kini ditatap olehnya dan baru saja turun dari motornya tanpa mempedulikan motor yang sudah rusak itu, dilemparnya begitu saja dan tak ada kata maaf juga untuk Richard.
"Cih. Kau pikir ini hanya urusan uang? Do you think i'm a beggar?" Richard kesal.
"Kalau kau tidak mau aku mengganti rugi mobilmu. Ya sudah minggir." Pria itu masih angkuh di hadapan Richard. Dan sekarang dia bicara dengan menggunakan bahasa Indonesia yang terdengar fasih.
"Aku masih bicara denganmu. Mau ke mana kau? Adakah orang yang menyuruhmu untuk membunuhku?" Richard sepertinya tidak mau membiarkan orang itu pergi begitu saja. Dia masih menahan dan mencengkram keras pakaiannya hingga membuat pria itu seakan-akan kesal dan marah.
Tapi,
"Rafael orang yang ada di depanmu itu adalah Richard Peterson. Sepertinya dia menduga kalau kau adalah orang yang disuruh untuk membunuhnya. Atau memata-matainya. Dia dari keluarga Peterson, keluarga terkaya di dunia."
Pria itu sedang ada dalam sebuah misi. Saat ini dengan motor yang dia gunakan tadi dia tak sama sekali ingin menjegal Richard. Tapi memang jalurnya saja terpotong dan dia tidak sengaja menabrak mobil pria itu. Dan suara yang didengarnya itu dari temannya yang memang memantau.
Tidak ada keinginan untuk menyinggung sama sekali tapi matanya menjurus ke satu mobil yang memang ada di belakang mobil Richard.
"Kau pikir aku tidak punya kegiatan sampai harus mengikutimu dan mencari pekerjaan murahan untuk menguntitmu dan membunuhmu? Cih." Pria yang dipanggil Rafael itu pun mendorong Richard menjauh dari pakaiannya sambil menunjukkan sesuatu pada Richard.
"Paul Newman Rolex Daytona?" seru Richard, yang melihat langsung apa yang ada di tangannya tadi itu ternyata sama dengan yang digunakan oleh pria di hadapannya dan membuatnya kesal.
Jam itu memang ada 1700 pieces saat baru dibuat. Dan salah satunya juga dimiliki oleh Rafael.
Richard yang tidak suka disamai tentu saja dia merasa kesal.
"Palsu?"
"Cih." Kalau soal urusan uang dan dianggap remeh seperti ini Rafael sepertinya memang tidak suka
Saat itu juga dia melepaskan jam tangannya.
"Buktikan sendiri olehmu ini asli atau palsu!" seru Rafael dengan sangat congkak dan sombong, dia memicingkan matanya pada Richard. Lalu dengan dagunya dia menunjuk ke satu arah.
"Seharusnya kau bertanya pada mobil yang berhenti agak jauh di sana itu. Sepertinya dia yang mengintaimu bukan aku." Sampai sana saja Rafael bicara dan kini,
"Rafael, naik sini." Sebuah mobil Jeep datang dari arah motor Rafael dan membuat Rafael segera mungkin naik ke dalamnya. Dia tidak mempedulikan lagi orang yang ada di belakangnya itu.
"Hei jam tanganmu ini!" pekik Richard, yang tentu saja sudah menyadari kalau jam tangan yang dimiliki Rafael itu bukanlah palsu. Dari berat dan saat tangannya memegang juga dia bisa melihat kalau itu sama persis seperti yang dimilikinya.
"Kalau aku sudah membuka jam tanganku dan menyerahkan pada orang lain, maka aku tidak akan mengambilnya lagi. Apalagi kau memakai kembarannya." Dan itu kata-kata Rafael sebelum dia masuk ke dalam Jeep. Yah, Rafael sempat melirik ke tangan Richard dan melihat sesuatu di pergelangan tangan pria itu yang melukai pride-nya.
"Kau menyerahkan jammu padanya?"
"Hmm, hanya Paul Newman Rolex Daytona. Supaya dia bisa berpikir sedikit kalau orang yang ditemuinya bukanlah orang miskin."
"Heish, harusnya kau berikan padaku saja Rafael."
"Cih. Maxi, sejak kapan kau punya jiwa pengemis dan mengharapkan benda dari bekas orang lain untuk kau pakai di pergelangan tanganmu? Apa aku mengajarimu untuk menjadi pengemis?"
Senyum seseorang di samping Rafael pun terurai walaupun Rafael tidak melihatnya dan dia juga tidak menatap Rafael sedang fokus pada jalanan yang mereka lalui.
"Tidak ada apapun di dalamnya? Aku kan bertanya mungkin saja kau menyimpan sesuatu di dalamnya dari Alan?"
"Aku tidak memakai jam tangan canggih buatan Alan. Itu hanya jam koleksi biasa," seru Rafael yang kini melirik pada orang di sampingnya dengan gemas.
"Maxi apa menurutmu jumlah kekayaanku dengan jumlah kekayaan keluarga Peterson lebih banyak kekayaan keluarga Peterson? Dan siapa itu Richard? Berapa kekayaan pribadinya?"
"Negative Rafael, tak ada info kekayaannya." Alan yang nyeletuk. "Semua kekayaan Peterson itu atas nama Gerald Peterson. Tapi orang itu tidak ada data pribadinya. Kita harus menyelidi--"
"Buat apa? Aku hanya tanya berapa kekayaannya bukan ingin menghabiskan waktuku mencarinya. Sekarang saja aku belum menemukan di mana Alexander," gerutu Rafael yang lagi-lagi membuat orang di sampingnya senyum-senyum.
"Hei Rafael kau menghitung-hitung kekayaan orang terkaya di dunia bukan? atau orang yang bertemu denganmu tadi?" tanya Maxi yang masih menyetir mobilnya.
"Mungkin dia kebelinger dengan hartanya sendiri dan tak tahu bagaimana cara menghitungnya Maxi."
Lalu orang yang ada di belakang mobil yang duduk di deretan kedua itu merespon. Seakan menyindir Rafael membuat Rafael tersenyum sinis sambil membuang wajahnya.
"Leo, maklumlah, Rafael kan orang kaya yang tidak masuk ke dalam catatan harta kekayaan pengusaha dunia. Hahaha. Jadi gudang emas yang dimilikinya tidak akan pernah masuk hitungan dan semua kekayaannya itu tidak akan pernah ada yang tahu," sindir Maxi yang juga bisa mendengar penjelasan dari Alan tadi di ruang pengendali dan yakin itu menyinggung Rafael.
"Harusnya aku melaporkan kekayaanku supaya mereka tahu siapa sebetulnya orang terkaya di dunia. Cih. Bukan Richard Peterson, tapi aku."
"Hah, sabarlah Rafael. Memang kau mau membayar pajaknya Rafael? Lagian kata Alan tadi yang terkaya di dunia itu bukan Richard tapi Gerald," sinis Leo.
"Hah, apa kalian bodoh?" Rafael tersenyum sinis lagi campur gemas. "Alan sebutkan nama lengkap dari Richard Peterson."
"Cuma Richard G. Peterson. Hmm, Rafael mungkin saja dugaanmu benar? Richard Gerald Peterson. Jadi selama ini dia mengelabui dunia dengan mengatakan Gerald Peterson bukan Richard Gerald Peterson? Kenapa dia menyembunyikan huruf G ini? Tak semua orang tau nama tengahnya." Alan tak pernah sama sekali memikirkan nama orang kaya di dunia. Makanya dia percaya tak percaya dengan celetukan Rafael.
"Wah, kenapa tidak ada orang yang memperhatikan ini? Aku rasa mereka tak mungkin bodoh kan?" seru Maxi yang terheran-heran kenapa Richard menyembunyikan jati dirinya.
Tapi di sini Rafael hanya tersenyum simpul makin gemas dengan teman-temannya.
"Tentu saja banyak orang yang sudah tahu siapa dirinya tapi memang menyembunyikan identitasnya, membodohi publik dan membuat ini sebagai sebuah konspirasi tersendiri. Aish, sama saja seperti yang dilakukan oleh Alexander dulu mengelabui kita semua."
"Ah, apa menurutmu orang terkaya di dunia ini rintangan untuk kita, Rafael?"
"Heish, sudahlah Leo. Dia hanya seorang pebisnis yang hanya mementingkan tentang uang."
Rafael tak mau mengambil pusing lagi.
"Nah, itu Jo. Cepat jemput dia dan sekarang kita bisa kembali ke ruang pengendali."
"Hmm, kau benar Rafael. Pulau ini clear. Alexander tidak menaruh apapun di sini dan tidak ada lab-nya. Tempat dia tinggal bersama Clarissa itu--"
"Jangan kau sebut-sebut dia tinggal di sini bersama dengan istriku."
"Lah, kita ke Bali ini kan karena memang Clarissa sempat menyeletuk kalau dia pernah tinggal di sini bersama Alexander di villa pribadinya?"
"Leo apa kau ingin mati?" Rafael memerah wajahnya.
"Heish, baiklah. Kita ke sini untuk mencari Alexander dan laboratoriumnya bukan untuk melihat tempat tinggalnya bersama dengan Clarissa menghabiskan malamnya--"
Door dorrr.
"Hey, hey, oke aku diam! Watch your gun! Kita kembali ke ruang pengendali," seru Leo yang sudah tidak lagi mau mengganggu temannya karena Rafael sudah mengeluarkan senjatanya dan menembaki jok belakang. Tentu saja tidak mengenai tubuh Leo. Kalaupun kena itu pun hanya akan kena baju anti pelurunya saja.
Senjata itu ditembakkan hanya untuk melepaskan semua perasaan kesal Rafael yang tidak mau membayangkan bagaimana Clarissa dan Alexander menghabiskan malam di sana.
Clarissa, kenapa begitu bodohnya kau melayaninya? Heish, dan kenapa aku mau tidur denganmu padahal kau bekas seribu pria? Hang otak Rafael, sedikit orang menyinggungnya dia bisa emosi hebat sekarang.
Mereka memang sedang memburu Alexander.
Setelah kematian Alexander di Brazil mereka memang mencari ke seluruh dunia apakah Alexander memiliki laboratorium lainnya. Tapi sampai saat ini mereka belum menemukan apapun.
Ini juga yang membuat Rafael frustasi. Dia ingin membersihkan sebersih-bersihnya. Sejujurnya dia belum yakin kalau Alexander memang benar-benar menghilang.
"Hei kau tidak apa-apa tadi?" Jo bicara saat pintu mobil terbuka dan dia naik.
"Aku tidak apa-apa. Hanya saja villa itu tadi ditempati oleh Russian. Dia pikir aku ke sana ingin mencuri sesuatu. Sepertinya Alexander masih menyewakan villa itu. Mungkin dia masih punya pundi-pundi uang atau orang yang ditugaskan mengurus villa itu menyewakannya pada orang lain."
"Jadi Itu alasanmu mencuri motornya?"
"Hmm," ucap Rafael. "Alan bersihkan semua data-dataku dari CCTV yang kulewati. Sudah kau lakukan?"
"Tenang saja Rafael itu semuanya sudah beres," seru Alan yang suaranya juga bisa didengar di telinga teman-teman Rafael lainnya.
"Jelaskan padaku tempat yang kau periksa!" pinta Rafael, tanpa menengok ke belakang ke seseorang yang duduk di samping Leo.
"Di sana clear." Jo menjawab cepat.
Ada tiga villa yang pernah ditempati Alexander di Bali bersama dengan Clarissa. Rafael mengecek satu tempat, Leo dan Maxi satu tempat karena Maxi harus menunggu Leo dengan mobil yang ditumpanginya. Sedangkan Jo dan Rafael sama-sama beraksi sendiri di dua tempat berbeda.
"Berarti hanya tinggal satu cara untuk mendapatkannya."
"Apa itu Rafael?"
"Sesuai dengan kataku dulu. Tunggu sampai dia mencari kita maka kita tahu kalau dia sudah comeback."