Tergenggam dalam Nyaris | ✓

Crowdstroia

146K 17.9K 1.6K

Gautama Farhandi adalah pengacara untuk organisasi bisnis pasar gelap bernama "Balwana". Suatu hari, dia mene... Еще

PEMBUKA
1 || and, she eats
2 || and, she wakes (1)
3 || and, she wakes (2)
4 || and, he discloses
5 || and, she fought (1)
6 || and, she fought (2)
7 || and, he accepts (1)
8 || and, he accepts (2)
9 || and, he looks
10 || and, she took his hands
11 || and, they take pictures
12 || and, they take pictures (2)
13 || and, they visit their house
14 || and, they clean their pool
15 || and, she helps him doing plank
16 || and, they eat dinner together
17 || and, she goes with her friend
18 || and, she swims
19 || and, she meets the neighbors
21 || and, they attend their daily meeting
22 || and, they confess [END]

20 || and, they go to a party

4.3K 572 36
Crowdstroia

| 20 |

and, they go to a party



ADA BANYAK PRODUK bibir dengan berbagai macam tekstur, kelembapan, warna, dan hasil akhir. Bening suka warna merah jambu yang lembut. Tapi malam ini, mungkin dia harus menggunakan warna yang lebih berani.

Bibirnya kini terpulas dengan warna merah yang sedikit kecokelatan, warna merah yang lebih kalem, menyatu dengan kulit Bening yang putih. Dia mengenakan gaun satin biru kobalt dengan potongan yang membelah dari pertengahan paha kanan hingga betis. Rambutnya digelung dengan anak-anak rambut yang dicatok hingga bergelombang. Bening merasa penampilannya sudah cocok dengan acara malam ini, tetapi kurang aksesoris di leher. Jadi dia membuka laci-laci berisi perhiasan di dalam walk-in-closet miliknya. Setelah dia menemukan kalung yang pas, sebuah ketukan muncul di pintu.

"Masuk!" seru Bening, membawa kalung pilihannya ke depan cermin tinggi. Tama pasti hanya ingin memastikan bahwa dia sudah siap.

Sesuai dugaan, langkah pria itu terdengar memasuki kamar. Suaranya menyusul bertanya, "Udah siap?"

"Belum! Tapi tinggal pakai kalung kok." Bening membuka pengait kalung dan memasangnya di leher. Dia kira Tama akan menunggu di luar, tetapi pria itu ternyata memasuki walk-in-closet, terlihat dari cermin besar yang sedang merefleksikan mereka. Semakin dekat, semakin Bening sadar betapa sempurnanya kemeja hitam dan setelan jas biru gelap yang Tama kenakan; terlihat berkelas dan menyesuaikan tubuh Tama yang tinggi dan bagus.

"Ah." Tama terlihat agak terkejut melihat Bening di cermin. Pria itu mengerjap-ngerjap, tak berbicara beberapa saat sampai Bening menoleh ke arahnya. Sejenak, Tama ingin melarikan jemari ke sepanjang punggung Bening yang terbuka, menelusuri tulang belikat dan garis tengah punggung dari leher hingga pinggang sambil melihat reaksi Bening lewat cermin. Pria itu pun segera menarik napas dan mengendalikan diri sebelum bertanya, "Perlu bantuan?"

"Ehm." Sebenarnya Bening tak perlu bantuan, sebab dia sudah biasa memakai kalung sendiri. Tapi dia senang dengan atensi Tama. "Boleh. Tolong pasangin kalung, ya."

Tama segera melangkah ke belakang Bening. Napas Bening hampir tercekat saat tubuh pria itu hanya sejengkal di belakangnya. Mereka sempat berpandangan dari refleksi cermin, merasakan canggung yang mendorong rasa ingin membuang muka oleh malu. Bening pun langsung memberikan kalungnya ke Tama tanpa melihat pria itu.

Tama membuka dua ujung kalung, melingkarkannya di leher Bening. Hangat napas pria itu menyapu kulit. Rasanya Bening jadi agak menggigil oleh antisipiasi dan kegugupan. Secara rasional, Bening tahu bahwa takkan ada apa-apa yang terjadi setelah Tama selesai memasangkan kalung. Namun di detik itu, Bening sadar: dia ingin dicium oleh Tama.

Bening pun tak kuasa bertanya-tanya. Jika sentuhan seperti ini saja sudah membuatnya sebegitu gelisah, bagaimana ketika Tama menyentuhnya lebih banyak dan menciumnya lebih dalam? Bagaimana jika mereka melakkan kontak fisik yang lebih?

Tak ingin imajinasinya meliar, Bening segera menjauh begitu Tama selesai memasangkan kalung.

"Makasih, Tama," ujar Bening dengan senyum, hanya mengangguk, tak berani menatap wajah pria itu lama-lama.

Tama tak menjawab. Alih-alih, dia bertanya, "Kamu nggak apa-apa?"

"Ehh, nggak apa-apa kok. Aku kelihatan gugup ya?"

"Iya. Kamu nggak perlu khawatir. Saya dan yang lain pasti bakal menjaga kamu."

Bening tak mengkhawatirkan itu. Tentu saja dia percaya bahwa Tama akan melindunginya. Namun dia tak mungkin berkata bahwa dia gugup oleh kedekatan Tama alih-alih pesta Ishtar.

Dia ingin Tama menciumnya setelah selesai mengaitkan kalung. Dia ingin Tama menginginkannya. Dan Bening sebenarnya agak frustrasi karena ketertarikan yang dia rasakan hanya terjadi secara sepihak. Di saat dirinya sangat terpikat dan suka dengan Tama, pria itu terlihat hanya menganggapnya seperti pekerja Balwana lain yang masih belum berpengalaman dan harus dilindungi. Namun, dia dapat menangkap bahwa Tama beberapa kali tertarik kepadanya, meski cuma secara fisik. Barangkali walau mereka tak berkesempatan untuk menjadi sepasang kekasih, mereka masih punya kesempatan untuk hal lain?

Bening menyukai prospek terlibat kontak fisik lebih dengan Tama. Terutama karena mereka serumah, rasanya lebih natural jika mereka tertarik dengan satu sama lain. Namun, pria itu sudah memegang aturan yang dijaga bertahun-tahun perihal tak berhubungan dengan rekan kerja. Tama hanya akan menjalin hubungan dengan wanita yang benar-benar dia yakini cocok sebagai pasangannya. Jika harus seperti itu, dan Bening tak ada kesempatan menjadi kekasih Tama, apa itu berarti Tama juga akan menolak jika Bening menginisiasikan ciuman atau seks?

Bening menarik napas, agak sebal. Dia tak ingin ditolak jika dia berusaha merayu. Bagaimana cara membuat Tama tidak menolak—atau minimal kesulitan menolaknya?

Usai Bening mengambil tas tangannya, Tama mengamati perubahan ekspresi wanita itu, tapi tak bisa menebak apa yang sedang Bening pikirkan. Bening terlihat sedang berpikir keras sambil memajukan bibir, seolah tengah membayangkan sesuatu yang penuh tantangan sekaligus menyebalkan. Sebenarnya itu pemandangan yang lucu hingga membuat Tama ingin tertawa dan mencium Bening. Tapi dia tak bisa mencium wanita ini sembarangan, jadi dia hanya memandangi ekspresi Bening sambil menahan senyumnya hingga mereka turun ke lantai satu.

Mereka akan mendiskusikan lagi perihal rencana malam ini. Tama sudah menyiapkan tim penyidik di dalam mobil lain dipimpin oleh Ario, Sersan Balwana yang dipilih Rendra untuk menggantikannya di Operasi Swarga Elok, sebab Rendra menjadi pengawas untuk kedua tim penyidik di dua operasi yang sedang berjalan di Balwana.

Selain Operasi Swarga Elok, saat ini Balwana juga melakukan Operasi Penyusupan JavaMedica yang dipimpin oleh Snow. Namun, Snow tidak ikut dalam kamuflase seperti halnya Tama. Cakupan Operasi JavaMedica pun lebih kecil, karena seleksi masuknya sangat ketat, sehingga tak banyak anggota Balwana yang bisa menyusup ke sana dan bekerja di sana dalam waktu lama.

Mia dan Soma sudah berada di ruang duduk ketika Bening dan Tama turun. Sebuah laptop tersambung dengan Ario, menampilkan wajah pemuda berambut cepak dari Divisi Teknologi dan Keamanan Siber Balwana itu.

"Malam, semuanya" ujar Tama. "Sudah ada laporan baru? Saya mau cek mulai dari Mia."

Mia mengangguk. "Kemarin, saya udah janjian sama Suniarsih, ART rumah Dhyan. Kami akan makan malam bersama di tempat jualan ketoprak dekat rumah saat Dhyan sudah pergi untuk ke pesta Ishtar. Saya bakal menggali informasi dari dia sambil makan malam."

"Bagus, Mia." Tama mengangguk. "Soma ada laporan baru?"

"Belum ada, Mas. Tapi, Snow kasih pesan ke saya buat mengingatkan Mas Tama buka email."

"Ada hal darurat?"

"Snow nggak ada ngomong begitu sih, Mas."

Kalau begitu, dia bisa membuka surel nanti saat di mobil. "Oke. Ario, gimana set up kameranya?"

"Semua kamera udah terpasang dan berfungsi, Mas Tama," ujar Ario dari laptop. "Saya juga udah menyambungkan semua kamera ke hape dan komputer Mas Tama. Sejauh ini, saya belum melihat hal mencurigakan."

Tama mengangguk. "Bening, ada laporan?"

"Aku tadi udah kasih hampers ke Dhyan dan mengakrabkan diri," jawab Bening. "Kami tadi pagi mengobrol cukup lama. Dhyan paling sering membicarakan soal teman-temannya, para tetangga, terutama Ishtar. Dhyan paling lama berbicara soal bagaimana Ishtar suka tebar pesona ke laki-laki lain, dan banyak yang nggak berani menolak undangan pestanya karena Ishtar adalah janda kaya sekaligus cucu pengusaha besar." Bening terdiam sejenak. "Aku menduga kalau suaminya Dhyan pernah digoda atau tergoda dengan Ishtar, karena itulah Dhyan agak sensi."

Tama beralih ke Mia. "Mia, tolong cek hal itu nanti saat kamu mengobrol sama Suniarsih."

Mia mengangguk. "Siap, Mas Tama."

"Ada lagi?" tanya Tama kepada Bening. "Siapa kakek Ishtar?"

"Kakek Ishtar dan Ismael adalah salah satu pemegang saham terbesar di JavaMedica."

"Baik, apa ada lagi?"

"Dhyan dan Leoni sudah berangkat duluan ke pesta. Mereka bilang akan menunggu di dalam mobil Leoni sama Hansel. Mereka pakai Alphard putih, nanti diparkirkan di dekat rumah Ishtar. Cuma itu yang bisa kulaporkan."

"Oke, nanti kita susul mereka." Tama menatap semua orang di meja itu. "Semoga operasi ini berjalan baik dan bisa terkendali."

Para anggota lain pun mengangguk. Tama menyuruh mereka mulai menjalankan rencana. Kemudian dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan meminta Bening mengulurkan tangan.

"Pakai gelang ini. Ada tombol darurat di tengahnya." Tama mengenakan gelang itu ke tangan Bening, lalu menunjukkan tombol yang dimaksud berbentuk berlian kecil berwarna merah. "Tekan tiga kali, nanti pasti sampai sinyalnya ke Ario dan ke jam tangan saya." Tama menekan tombolnya tiga kali untuk mengecek, lalu menunjukkan smart watch-nya yang bergetar dengan pesan peringatan. "Di situ juga udah dilengkapi sama tracker, jadi kami bisa langsung tahu di mana keberadaan kamu."

"Oke." Bening mengelus gelangnya. "Aku paham."

Mereka berdua diantar Soma dengan mobil agar cepat sampai dari Blok-C ke Blok-A. Di depan rumah Ishtar, banyak mobil sedang terpakir. Bening dan Tama turun beberapa rumah sebelum rumah Ishtar untuk menghindari keramaian.

Tama mengulurkan lengan, dan Bening mengaitkan tangannya di lengan tersebut sebelum berjalan. Dhyan sudah menunggu mereka di salah satu mobil yang terparkir bersama Leoni dan Hansel.

Leoni terlihat gembira sekali saat melihat Bening. Mereka mengobrol dan saling memperkenalkan suami masing-masing, karena Tama dan Hansel belum pernah bertemu langsung. Tama malam ini akan mendekati Hansel dan masuk ke dalam lingkar pertemanannya.

Rombongan itu pun masuk ke lokasi pesta. Dari luar, rumah Ishtar dan Ismael terlihat megah, bertingkat tiga dengan halaman yang luas. Pesta diselenggarakan di lantai satu dengan banyak furnitur digeser ke sisi-sisi ruang. Tamunya cukup banyak. Ketika Bening tiba, sudah ada belasan orang di dalam rumah saling berbincang. Semuanya terlihat sudah kenal dengan satu sama lain.

"Kita sapa pemilik rumah dulu yuk," ujar Leoni. Dia memimpin rombongan menuju sosok wanita bergaun putih di tengah ruangan. Bening menangkap sosok Ishtar. Wanita itu berambut sepinggang. Tatapan matanya tajam dan memikat, garis mata tegas membingkai iris matanya yang dilapis lensa kontak biru cemerlang. Biru yang berbeda dengan mata biru laut dalam milik Willy. Bibirnya tebal dan penuh, dipulas lipstik merah yang menyatu dengan warna kulitnya yang agak kecokelatan. Dan ketika bibir itu menyunggingkan senyum, gerakannya pun terlihat sensual secara natural.

Bening hampir mewajari para pria yang tergoda oleh wanita ini. Namun, tentu dia tak mewajari tindakan menggoda pria bersuami atau tindakan memberi respons positif terhadap rayuan orang yang bukan pasangannya.

Berdiri di samping Ishtar, Ismael pun tak kalah memukau dibanding saudarinya. Dia terlihat paling atraktif dibanding para peneliti yang lain. Alisnya tebal menaungi sorot mata yang terlihat bersahabat. Hidungnya mancung, bertulang pipi agak menonjol dan bersama garis rahangnya terlihat memahat wajahnya hingga seperti patung. Dia berkulit cokelat dan bertubuh atletis dengan potongan rambut buzz cut yang maskulin. Penampilan Ismael beda sekali dengan peneliti lain yang terlihat seperti orang yang terlalu lama duduk di depan laptop, tak sempat olahraga atau menjaga pola makan. Ismael justru terlihat lebih cocok memperkenalkan diri sebagai atlet.

Leoni menyapa Ishtar dan Ismael, lalu memperkenalkan, "Kenalin. Ini tetangga baruku, namanya Bening. Dan ini sama suaminya, Tama. Bening kebetulan temen SMA aku juga."

"Wah, kalian janjian tinggal bareng di sini?" tanya Ishtar, terlihat takjub.

"Enggak, aku juga baru tahu ternyata Bening pindah ke sini," ujar Leoni. "Ya kan, Bening?"

Bening mengangguk, lalu mengulurkan tangan ke arah Ishtar. "Aku Bening. Maaf ya, join pesta ini tiba-tiba."

"Ah, nggak apa-apa. Leoni udah bilang kok memang bakal nambah dua tamu dari pihak dia." Ishtar menjabat tangannya. "Lagian, kita kan tetangga."

"Aku datang tanpa tahu pasti," ujar Bening, mendekati Ishtar. "Sebenarnya pesta ini diselenggarakan atas dasar apa, ya?"

"Atas dasar apresiasi." Ishtar tersenyum. "Aku habis beli lukisan bagus."

"Oh, di mana lukisannya?"

"Di situ, lagi dilihatin orang-orang." Ishtar memandu mereka menuju sebuah ruangan besar dengan sebuah lukisan di tengah dinding. Bening pun terpukau melihat lukisan tersebut. Terpajang dengan bingkai jati berukir yang elegan, lukisan itu menggambarkan sebuah pohon besar dengan seorang wanita dan pria yang mengenggam buah. Adam dan Hawa. Namun bukan cuma itu. Di bawah tanah yang dipijak Adam dan Hawa, terdapat jalinan double heliks warna-warni yang familier bagi Bening. Itu adalah rantai DNA.

"Kenapa beli lukisan ini?" tanya Bening.

"Karena Adam dan Hawa adalah simbol permulaan manusia, dan lukisan ini terlihat cocok di dalam rumah seorang peneliti," ujar Ishtar. "Eh, udah cobain makanannya? Enak-enak lho."

"Ah, oke. Kami bakal ambil makanan dulu." Bening menatap Tama. "Yuk, Mas."

Tama terlihat geli mendengar panggilan itu. Dia lalu mengangguk kepada yang lain sebelum pergi bersama Bening.

"Saya bakal deketin Hansel dan Ismael," ujar Tama setelah mereka jauh dari yang lain. "Kamu coba dekati Ishtar. Tapi kalau Ishtar sedang sibuk, coba mengobrol dengan Hansel dan Ismael, semisal saya lagi nggak sama mereka. Obrolin tentang rumah dan lukisan itu. Sama tadi saya lihat ada beragam penghargaan di lemari kaca. Kamu bisa ambil topik dari penghargaan-penghargaan di sana."

"Oke." Bening kini berdiri di meja berisi makanan. "Aku ambil makanan dulu."

Setelah beberapa saat mengambil makanan dan mencicipinya bersama, Tama pergi menuju tempat Hansel dan Ismael sedang duduk dan mengobrol. Jadi Bening mengambil sepiring croissant dan pergi menuju ruang lukisan. Ishtar masih di sana, sibuk mengobrol dengan beberapa orang. Jadi Bening mempelajari penghargaan-penghargaan di lemari kaca sambil memakan croissant-nya. Mentega di croissant ini sangat lembut dan gurih.

Dalam kabinet sebelah lemari kaca, ada berbagai majalah tersusun. Sebuah majalah TIME Special Report menarik perhatiannya. Dipublikasi tahun 2003 dengan sampul wanita dan pria yang telanjang, tapi bagian intimnya tertutup oleh dua pita heliks kuning. Tajuk utamanya adalah Solving The Mysteries of DNA.

"Tertarik?" tanya Ishtar yang seketika mengagetkan Bening.

"Kamu bikin kaget aja," Bening berkomentar. "Iya, sampulnya menarik. Idenya kayak lukisan yang kamu beli itu."

"Iya kan? Memang terinspirasi dari Adam dan Hawa."

"Majalah ini punyamu?" tanya Bening. "Kamu tertarik sama DNA manusia?"

"Iya, punyaku. Tapi yang menekuni bidang sains itu adikku. Aku lebih pandai jadi pengusaha." Ishtar tersenyum melihat sampul majalah itu. "Kamu sendiri gimana? Habis nikah, sibuk dengan kegiatan apa?"

"Sejauh ini, masih menikmati hidup sebagai ibu rumah tangga." Bening tak yakin dengan jawaban itu. Dia tak benar-benar menjadi ibu rumah tangga, sebab itu adalah peran untuk pekerjaan kamuflasenya. Namun jika dia sungguhan menikah, sepertinya dia lebih suka bekerja membuka usaha atau membantu keuangan di salah satu bisnis Balwana. "Kegiatanku seputar olahraga, masak, urus suami, belanja, ke salon, sama ketemu temen," serta harus membuat laporan dan mempelajari profil kamu serta informasi baru tentang orang-orang yang harus digali informasinya, tambah Bening dalam benak. "Jujur, aku bosen sih. Jadi mau buka usaha juga kayak kamu. Tapi, yang kecil-kecilan aja gitu. Kamu ada saran, nggak?"

"Wah, kebetulan," ujar Ishtar. "Kamu bermasalah nggak, kalau harus urus kafe? Aku punya kafe di dekat sekolah, tapi butuh pekerja yang telaten dan bisa manage keuangan. Aku harap kamu nggak merasa direndahkan karena aku minta kamu kerja di balik kasir."

"Oh, enggak, enggak. Lagian kan kamu cuma memikirkan pekerjaan yang kebetulan lowong aja. Aku mungkin harus datangi kafe itu dulu sebelum menerima tawaranmu."

"Silakan. Kafe buka setiap hari dari jam sepuluh pagi sampai jam delapan malam. Itu kafe kecil, dan pengunjungnya lebih banyak dari anak yang sekolah dekat situ." Ishtar lalu melanjutkan, "Aku sebenarnya nggak kuat kalau harus urus semua bisnisku. Pengin aku serahkan bisnis kafeku ke satu orang yang kompeten. Tapi nyari yang telaten ini kok susah banget. Bulan lalu malah ada yang bawa kabur duit kasir sampai dua puluh juta."

"Hah?" Bening terkejut. "Dua puluh juta? Terus gimana sekarang?"

"Yah ... orangnya masih dicari sama polisi. Padahal anaknya cukup telaten. Tapi, begitulah. Rajin dan telaten, tapi justru nggak bisa dipercaya." Ishtar menghela napas, lalu menatapi foto-foto di lemari kaca. "Ini bukan tentang uang, walau memang itu penting. Aku lebih mementingkan kepercayaan dan ketelatenan. Mungkin memang belum jodoh aja sama yang cocok dengan kerjaan ini."

Bening melihat lagi beberapa foto di lemari kaca yang memajang beragam penghargaan. Dari beberapa penghargaan yang dia baca, ada nama yang mencuri perhatiannya: Unitum. Nama tersebut mewarnai banyak penghargaan yang terpajang. "Di sini banyak penghargaan dari Unitum, ya. Ini lembaga penghargaan sains?"

"Iya dan bukan," jawab Ishtar. "Spesifiknya, Unitum adalah organisasi di dalam kantor tempat Ismael bekerja."

Bening merasa menemukan salah satu kunci informasi tentang musuh Balwana. "Oh, semacam ... klub dalam kantor? Ada klub tenis, klub basket, klub masak. Dan ini klub ... KIR?"

Ishtar sontak terbahak. "Hahaha, iya, iya, bener. Ini kayak ekskul KIR dalam kantor. Tapi tentu klub KIR ini lebih advanced, berhubung kantornya memang kantor berisi peneliti."

"Jadi, Unitum ini meneliti apa aja?"

"Mutasi genetik manusia. Mereka juga suka memberi penghargaan kepada orang-orang yang berprestasi. Mungkin kamu bisa tanya-tanya sendiri ke Ismael terkait penelitian dia."

Bening berusaha tersenyum. "Ah, baiklah. Kamu sendiri nggak ikut jadi peneliti?"

Ishtar bergumam sejenak. "Lebih asik jadi pengusaha."

Bening bergumam memikirkan maksudnya. "Apa itu artinya, kamu pernah jadi peneliti, terus banting setir jadi pengusaha?"

Senyum Ishtar berubah jadi seringai. "Menurutmu?"

"Menurutku, itu kemungkinan yang nggak mustahil, melihat ketertarikan kamu ke sains."

Ishtar terkekeh. "Mungkin cuma kamu yang menanggapi ketertarikanku dengan serius."

"Emang yang lain nggak begitu?"

"Orang lain lebih sering melihatku sebagai orang yang suka membuat pesta dan menggoda suami orang."

"Apa kamu memang melakukannya?"

"Apa? Menggoda suami orang?" Melihat Bening mengangguk, Ishtar bergumam panjang. "Yah, kadang iya."

"Begitu ya." Bening pun melanjutkan, "Apa kamu nggak menganggap bahwa menggoda suami orang itu salah?"

"Oh, apa ini, Bening? Baru semalam kenal, dan kamu mau mulai menghakimi aku?"

"Aku lagi bertanya, bukan menghakimi. Karena yang duluan menyebut soal 'menggoda suami orang' itu kamu, bukan aku. Artinya, kamu sadar dengan gosip-gosip tentang kamu."

Ishtar tersenyum, terlihat terhibur. "Iya, aku sadar. Tapi nggak seharusnya kita membicarakan hal seperti ini di pertemuan pertama kita."

"Ah, terlalu intim?"

"Terlalu intim."

Bening tersenyum. "It's nice talking to you."

"The feeling is mutual."

Bening menghabiskan croissant-nya sambil menatap ke seberang ruangan. Di sisi lain darinya, Tama terlihat sedang melangsungkan rencana untuk mengakrabi Hansel dan Ismael. Jadi sebelum Ishtar pergi, Bening melanjutkan obrolan dengan topik lain. "Makanan di sini enak-enak ya," puji Bening. "Interior rumahmu juga bagus. Ini kamu sendiri yang memilih?"

"Oh, iya, tapi dibantu sama beberapa desainer interior dan chef. Udah cobain makanan apa aja?"

"Baru croissant sama iga bakar madu. Itu aja udah enak banget, kayak jamuan hotel bintang lima."

"Karena chef-nya memang chef hotel bintang lima." Ishtar tersenyum bangga. "Aku rekrut dia dari hotel bintang lima. Definitely worth the price."

"Oh, berarti tiap hari kamu makan masakan chef?"

"Nggak kok. Aku cuma culik dia bentar dari restoranku untuk bikin jamuan pesta ini." Ishtar menatapnya dengan tertarik. "Mungkin kamu bisa datang sesekali ke restoranku."

"Kamu punya restoran juga?"

"Restoran, bar, salon, spa, dan kafe." Dia terlihat bangga mengatakannya. "Kamu bisa datangi semua tempatnya. Tapi kalau kamu suka makanan-makanan di sini, aku rekomendasi untuk mampir dulu ke restoranku."

"Wow, Ishtar ... kamu manage semua bisnis itu?" tanya Bening tanpa bisa menutupi kekagumannya. "Itu keren banget."

Ishtar terlihat puas. "Well, what can I say? I am an entreprenur."

"Boleh kasih nama sama alamat restoranmu? Sama kafemu juga, biar sekalian."

"Of course." Ishtar mengeluarkan ponselnya. "Ketik nomormu di sini."

Mereka pun bertukar kontak, lalu lanjut mengobrol soal jamuan makanan sambil mencicip makanan yang ada. Dari sudut-sudut mata, Bening melihat Ismael pergi ke arah tangga, sedangkan Tama masih mengobrol dengan Hansel.

Ishtar menepuk bahu Bening. "Aku ngobrol sama tamu lain dulu, ya. Mau ikut?"

"Eh, enggak. Aku mau ke kamar mandi. Di mana ya kamar mandinya?"

"Oh, kamar mandinya ada arah ujung situ. Tapi kalau penuh, kamu bisa ke kamar mandi di lantai dua. Dari tangga, nanti belok kiri aja."

Bening berterima kasih, lalu segera meninggalkan keramaian menuju lantai dua, membiarkan Ishtar mengurus tamunya yang lain. Dia segera melangkah mengikuti Ismael, menjaga jarak agar langkahnya tetap pada jarak aman.

Ismael memasuki sebuah ruangan di ujung koridor. Pria itu menutup pintu, tetapi tidak rapat. Bening bisa melihat isi dalam ruangan dari celah yang terbuka. Di saat Bening sedang memindai isinya, napasnya tercekat melihat sosok pria yang berdiri di samping Ismael.

Pria itu adalah salah satu orang yang dicari oleh Balwana: Owl.

Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir Bening melihatnya di rumah Nicholas.

Pertanyaannya, kenapa pria itu ada di sini? Apa hubungannya dengan Ismael dan Nicholas?

Bening segera menekan tombol di gelangnya tiga kali. Sembari menunggu Tama, dia mendengar para pria di dalam ruangan mengobrol, dan dia menangkap sebuah nama dari obrolan itu: Sigit. Nama asli dari alias Owl adalah Sigit.

Sigit bertubuh kurus dengan rambut gondrong sepanjang rahang dan mengenakan kacamata. Terdapat tato di jemari tangannya. Namun, keseluruhan penampilan Sigit terlihat seperti kutu buku dewasa. Tak terlihat seperti pria yang berbahaya sama sekali.

Sentuhan di bahunya membuat Bening berjengit. Sebuah tangan langsung menutup mulutnya dan sosok Tama menunjukkan diri. Bening pun tak lagi tegang. Kehadiran pria itu sama sekali tak terdeteksi, barangkali karena Bening terlalu fokus dengan Ismael dan kawan-kawannya, atau karena Tama pandai dalam menyembunyikan keberedaaannya. Tama menurunkan tangan, melihat Bening menunjuk ke arah celah pintu yang terbuka.

Bening mengajak Tama agak menjauh dari pintu ruangan itu, lalu dia berbisik, "Aku ngelihat Owl."

"Salah satu bos Nicholas?" balas Tama dengan bisikan. Wajahnya langsung waspada. "Di dalam?"

"Iya, yang kacamata, kurus, rambut gondrong." Bening mendekat lagi ke arah pintu. "Aku sempat dengar, nama asli dia Sigit."

"Kamu yakin itu bos Nicholas?"

"Yakin. Tato di tangannya sama kayak yang pernah kulihat." Bening menatap Tama dengan khawatir. "Aku takut dia tahu wajahku, makanya aku menghindar."

"Keputusan bagus," ujar Tama, tak mungkin mengambil risiko dengan adanya Bening. Dia pun juga tak tahu apakah Sigit tahu tentang dirinya dan Balwana. Selama ini sebagian orang awam hanya tahu bahwa Tama adalah pengacara kotor, belum tentu tahu apa afiliasinya dengan Balwana. Jika Tama memunculkan diri di depan Sigit, apa Sigit akan mengenalinya?

Ismael dan yang lain pun berkata ingin kembali ke pesta, seketika membuat Bening sadar dia harus segera pergi dari sini. Jalan menuju dan keluar dari lokasi ini adalah jalan satu arah, sebab ruangan yang ditempati Ismael dan kawan-kawannya ini berada di ujung koridor.

Namun saat Bening ingin pergi bersama Tama, dia melihat sosok Dhyan dari kejauhan. Tama sepertinya juga menyadari situasi mereka yang terjebak. Jika mereka pergi ke arah Dhyan, Ismael pasti akan menyusul dan mencurigai keberadaan mereka di tempat ini.

Dalam dua detik kebingungan, Tama segera bertindak. Dia membalikkan badan dan berbisik, "Bening, acak rambutku."

Bening belum sempat memproses apa yang dimaksud Tama ketika pria itu melumat bibirnya dengan kasar, pinggangnya dipeluk erat, dan dadanya sesak oleh himpitan tubuh mereka.

Setelah sepersekian detik, Bening baru menyadari apa yang terjadi, dan otaknya mengingatkannya untuk mengacak rambut Tama. Dia melakukan persis seperti yang Tama butuhkan. Dia merangkul leher pria itu dan menjengut rambutnya. Tama menurunkan kerah baju Bening hingga menuruni pundak. Tangan pria itu terasa panas saat bergesekan dengan kulitnya. Tubuh mereka merapat. Kemudian Bening mendengar suara umpatan.

"Oh! Shit... sorry."

Tama tak segera melepas ciuman. Dia membiarkan dirinya menikmati ciuman ini dua detik lebih lama sebelum berbalik badan, lalu menyembunyikan Bening di belakang tubuhnya. Matanya menyalak. Wajahnya begitu meyakinkan saat berkata, "Sejak kapan kalian ada di situ?"

"Eh, uhm, baru aja kok. Sori, sori...." Ismael mengangkat tangan dan mundur, lalu tersadar, "Eh, kok malah gue yang minta maaf sih? Kan ini rumah gue."

Teman-teman Ismael di belakangnya tertawa. Ismael pun melanjutkan, "Have some room, lovebirds. Kalian bisa izin pulang duluan kalau memang udah nggak tahan."

"Saya minta maaf." Tama menundukkan kepala sejenak. Bening membuka mulut melihat penampilan pria itu; rambut agak berantakan, kemeja belum rapi, bibir yang mendapat bekas kemerahan dari lipstik Bening. Penampilan ini sangat jauh dari tampilan Tama sehari-hari. "Kalau begitu, saya dan Bening mau pamit pulang."

"Pengantin baru masih hangat-hangatnya ya." Ismael menyeringai, lalu mengedikkan bahu. "Well, enjoy the rest of your evening."

Ismael dan yang lain pun pergi. Tama merapikan rambut dan pakaian. Wajahnya kembali pada mode profesional. Setelah Ismael dan yang lain menghilang di koridor, Tama berkata, "Bening, ayo pergi."

"S-sebentar," Bening menahannya. Dia baru sadar bahwa pemulas bibirnya hari ini kurang smudge-proof. "Tama, bibir kamu merah kena lipstik."

Tama berbalik, lalu dia mengeluarkan sapu tangan. "Bisa tolong kamu lap?"

Bening mengambilnya dan segera menyeka bekas kemerahan di bibir Tama. Dia tak percaya Tama membiarkan dirinya berpenampilan seperti ini di depan para orang-orang lain.

Suara langkah mendekati mereka. Dhyan datang dengan mata membeliak. "Kalian berdua ternyata malah make out di sini?" tanyanya disusul tawa. "Nggak bisa nunggu sampai pulang dulu apa?"

"Maaf," ujar Tama. "Saya kurang sabaran."

Dhyan tertawa lagi, lalu mereka kembali ke lantai dansa. Bening pun bertanya, "Dhyan, kamu ngapain ke lantai dua?"

"Nyariin kamu. Dari tadi kita belum ngobrol. Tapi kamu udah mau pulang, ya?"

Bening tersenyum untuk menutupi kegugupan. Apa dia akan pulang cepat untuk narasi 'suami tidak tahan bercinta dengan istrinya'? Dan Tama lebih dulu menjawab, "Iya, kamu mau pulang duluan. Kamu masih mau ngobrol dulu sama Bening?"

Dhyan membeliak, lalu tersenyum menggoda. "Nggak kok. Aku masih bisa ngobrol sama Bening besok. Haduh ... yang masih jadi pengantin baru."

Bening hanya tersenyum malu-malu. Mereka berjalan hingga kembali bertemu dengan Ishtar dan Ismael. Ismael terlihat sedang berbisik kepada Ishtar. Namun Ishtar melambai saat matanya dan mata Bening bertatapan. Lambaiannya terlihat antusias.

Bening ingin ke sana, tapi dia terpaku. Di dalam rombongan Ishtar itu ada Sigit, dan kini Sigit ikut memandanginya. Dia bisa melihatnya dengan cahaya ruangan yang terang benderang, tanpa Tama yang melindungi wajah Bening seperti tadi. Bening berusaha mengontrol ekspresi, tapi dia jelas sudah tak bisa kabur dalam situasi seperti ini.

Tangan hangat di pinggangnya mengingatkan Bening bahwa dia tak sendirian. Tama terlihat tenang, dan itu turut menurunkan rasa panik Bening. "Kita ke sana," ujar Tama. "Kalau ditanya sesuatu yang nggak ada di narasi kita, jawab pendek, lalu tanya balik ke mereka."

Instruksi itu membuat fokus Bening lebih jelas. Dia pun berjalan bersama Tama dengan senyum di wajah. Mereka bergabung dengan Ishtar, Ismael, dan Sigit yang tengah mengenggam gelas anggur.

Sigit memindainya dari ujung kepala ke ujung kaki. Namun, tatapan pria itu terlihat seolah tak pernah melihat Bening sebelumnya. Perilakunya juga terlihat natural. Dia hanya mengangguk pada Bening saat Benig memperkenalkan diri, lalu kembali berbicara santai dengan temannya.

Tama lebih banyak menginisiasi obrolan dibanding Bening, seperti penyelamat di kala Bening sedang kalut. Ismael dan yang lain mengangkat kejadian ketika mereka memergoki Tama dan Bening yang sedang berciuman di pojokan. Tama hanya tersenyum dan berkata, "Ini salah saya karena ... terlalu bersemangat, jadi lupa bahwa ini rumah orang."

"Oh, get a room!" seru Ishtar. "Jangan-jangan, kalian mau pulang sekarang buat melanjutkan yang tadi?"

"Iya, kalau diizinkan," ujar Tama tanpa malu-malu, yang justru membuat Bening merona disusul dengan koor sorakan dari Ismael dan yang lain. Meski Bening tahu Tama berbohong, tetap saja melihat Tama menjawab sesantai itu membuatnya tersipu membayangkan jika mereka sungguhan suami-istri dan Tama menjadi suami yang bersemangat bermesra-mesraan dengan istrinya.

"Iya, iya, diizinkan," ujar Ishtar, lalu mengibas tangannya. "Have fun, lovebirds."

"Terima kasih atas jamuannya," ujar Bening. "Aku nggak sabar cobain makanan di restoranmu."

"Kasih tahu aja kapan kamu luang. Bakal aku temenin lunch bareng di sana."

"Nanti kukabari," Bening berjanji.

"Kami pamit, ya," ujar Tama, melingkari pinggang Bening untuk bersiap meninggalkan lokasi. "See you next time."

Bening pun berpamitan kepada Dhyan dan Leoni sebelum keluar dari rumah itu. Dia menunggu hingga dirinya dan Tama sudah masuk ke dalam mobil sebelum mengatakan apa pun.

Begitu mereka masuk dan pintu mobil tertutup, justru Tama duluan yang memecah keheningan. "Bening, kamu nggak apa-apa?"

"Eh, kenapa? Samaran kita terbongkar?"

"Bukan itu. Kamu ... kamu nggak apa-apa? Tadi kamu habis ketemu Sigit, dan kamu bilang dia bos Nicholas."

"Oh. Aku ... aku baik-baik aja. Yang bikin aku panik justru kalau samaran kita terbongkar." Bening segera menghela napas yang tertahan. Dia tak merasakan serangan panik atau ketakutan mendalam saat melihat Sigit tadi. Terkejut, iya. Takut, iya, tapi itu karena takut samaran terbongkar, alasannya karena pekerjaan. Mungkin pekerjaan ini mampu mengalihkan fokusnya hingga dia tak hanya fokus pada ketakutan personalnya saja.

Tama menatap Soma dari kaca spion, lalu mengeluarkan ponselnya dengan earbuds. "Saya belum bisa memastikan apa samaran kita terbongkar atau enggak. Tapi dari reaksi Sigit, dia terlihat nggak tertarik sama kamu. Reaksinya kelihatan natural."

"Aku juga menangkapnya begitu." Bening melihat Tama membuka ponsel dan menonton area-area ruangan dari kamera pengawas. Matanya membeliak melihat ruang yang tadi ditempati Ismael dan Sigit. "Eh? Kapan kamu taruh kamera dan penyadapnya?"

"Tadi pas kita lagi mengintip Ismael dan Sigit di lantai atas. Omar bikin kamera sekaligus penyadap kecil yang mudah menempel di permukaan."

"Wah..." Bening benar-benar takjub. "Balwana canggih ya."

Tama langsung tersenyum geli, menatap Bening dengan mata berbinar gemas. "Mau ikut dengerin?"

"Mau!"

Tama memberikan satu earbud kepada Bening. Lalu mereka sama-sama menonton dan menyimak apa yang sedang terjadi setelah mereka meninggalkan pesta.

Bening merasa lelah sekali malam ini. Situasinya yang menatapi layar ponsel terus menerus pun membuatnya mengantuk hingga menguap. Dia berusaha mentupi rasa kantuknya, tetapi Tama sadar bahwa Bening sudah lelah. Sehingga ketika mereka tiba di rumahnya, Tama menunda rapat bersama hingga esok pagi. Dia meminta Bening istirahat, sedangkan dirinya masuk ke dalam ruang kerja.

Bening tak sempat komplain. Dia pun masuk dulu ke dalam dalam kamar untuk menghapus riasan dan berganti baju dengan gaun tidur yang nyaman. Sepanjang itu, bayangan Sigit menganggunya. Dia pun segera mengenakan jubah tidur lalu melangkah ke ruang kerja Tama.

Usai mengetuk pintu, Tama mempersilakannya masuk. Bening membuka pintu dan matanya pun menangkap sosok Tama sedang duduk. Kemeja Tama sudah lepas dari dasi, lengan kemeja digulung ke siku, dan kancing kerahnya dilepas dua, memperlihatkan sekilas garis otot dada. Bening mengerjap-ngerjap dan menahan napas. Tama mungkin agak lelah, tetapi tetap terlihat menawan.

"Ah, Bening?" Tama mendongak, beberapa detik termangu menatap wanita itu. Lalu dia berdeham sebelum mengalihkan wajah ke arah layar komputer. "Ada apa?"

Bening menarik napas. "Tama, kamu yakin mau mengundur rapat besok pagi? Aku masih bisa rapat malam ini kok, nggak secapek itu."

"Pertimbangan saya buat rapat besok bukan cuma dari kamu," ujar Tama, masih tak menatap Bening. "Mia belum pulang, sepertinya masih mengobrol dengan Suniarsih. Soma lagi mencari informasi tentang Ismael dan tim penelitinya. Lebih baik menunggu besok pagi untuk laporan lengkap."

"Ah, oke." Bening mengangguk. "Maaf ganggu waktumu. Apa ada yang bisa kubantu?"

"Tolong tulis laporanmu dengan lengkap, biar besok pagi kamu nggak lupa. Jangan lupa untuk deketin Ishtar. Segera kasih dia tanggal kapan kamu bisa makan siang sama dia."

"Baik. Ada lagi?"

"Itu aja."

Bening mengagguk, lalu dia permisi untuk pergi. Namun sebelum dia melangkah, Tama memanggilnya lagi.

"Oh, Bening?" panggil Tama. "Saya mungkin belum bilang. Penampilanmu cantik sekali malam ini. Kelihatan anggun."

Bening spontan tersenyum dan merona. "K-kamu juga, Tama—kelihatan gagah, maksudku. Bukan kelihatan cantik."

Tama tertawa. "Terima kasih."

Bening pun menutup pintu ruang kerja Tama dan kembali ke kamarnya. Dia akan menulis laporannya malam ini untuk rapat besok pagi.

Namun saat dia melewati cermin yang terpasang di dinding koridor menuju kamarnya, Bening terkesiap. Dia tadi memang terburu-buru menuju ruang kerja Tama, sehingga lupa untuk mematut diri di kaca untuk memastikan menampilannya layak sebelum bertemu pria itu. Tapi, ternyata jubah tidurnya agak tersingkap hingga menunjukkan belahan dadanya. Apa dia lupa mengikat tali di pinggang jubahnya dengan erat? Mungkin juga tersingkap karena dia berjalan terburu? Astaga. Jadi dari tadi Tama melihatnya dalam keadaan seperti ini? Pantas saja pria itu seperti enggan menatapnya.

Bening pun memasuki kamar dan menulis laporan, berusaha mengalihkan pikirannya ke pekerjaan lain agar tidak senantiasa merasa malu.

[ ].

4,8k words

02/11/2023



A/N

Maaf banget, gue baru balikin naskah Sarhad ke editor hari ini, dan tanggal 31 Oktober lupa update Tergenggam dalam Nyaris. Tapi update chapter hari ini lumayan panjang jadi okelah ya. Gue inget gue suka pas nulis chapter ini. Akhirnya TamaBening ciuman lagi setelah sekian lama.

Update chapter 21 di Wattpad tanggal 13 November.

Kalau di KaryaKarsa udah sampai chapter 28. TamaBening udah lebih dari sekadar disenggol lah pokoknya.

Продолжить чтение

Вам также понравится

2.2K 150 42
[ Part of a trilogy; of you | 1 ] Saya hanya tidak mengerti, bagaimana buku ini harus diselesaikan. Lalu, di sebuah ujung jalan saya tidak tahu harus...
Di ujung nanti, mari jatuh hati Calamummeum

Любовные романы

672K 118K 51
Mereka bagai bintang yang terang. Gemerlap dan menyilaukan. Namanya di elu-elukan sedemikian besar, popularitasnya meledak hingga sampai pada tahap d...
9K 343 1
[BACA SAAT ON GOING. INTERMEZZO PART DIHAPUS 1X24 JAM SETELAH PUBLISHED] May contain some mature convos and scenes. Leah memerlukan uang agar cita-c...
6.7K 1.1K 11
2095, Taeyong bertanya. 2022, Jaehyun menjawab.