G A R A

By darkmyyy

356K 24.2K 565

Rumitnya takdir membuat Gara bingung, dari yang di buang oleh keluarga ayahnya. Sampai mereka mengemis bahkan... More

1.
2.
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42

32

6.3K 361 5
By darkmyyy


Sudah tiga hari berlalu dan selama itu juga Gara tak mengatakan apapun mengenai Heksa yang menjenguknya. Bukannya tak berani hanya saja menurutnya cukup dirinya saja yang tahu.

Gara menatap langit yang berwarna jingga. Tak banyak pasien yang berada di taman rumah sakit ini karena matahari akan segera terbenam. Tak ada satupun yang menemaninya, Daddy dan abangnya ia larang untuk mengikutinya. Dengan alasan ia ingin sendiri untuk sementara waktu. Beruntungnya mereka menuruti keinginannya.

Gara tak bergeming, bahkan saat seseorang duduk di sampingnya dengan pelan. Senyuman tipis terukir di wajah tampan orang itu, melihat remaja laki-laki di sampingnya sibuk melamun. Matahari kian turun hingga warna jingga nampak begitu jelas dan indah. Itu lebih menarik perhatian Gara dari pada orang yang duduk di sampingnya.

"Sudah lama sekali, tapi kebiasaan mu masih sama" ucap orang itu.

Gara berkedip, ia sedikit terkejut mendengar suara yang tak pernah ingin didengarnya lagi. Raut wajahnya berubah menjadi datar, seolah-olah pemandangan matahari terbenam di depannya begitu membosankan.

"De Javu?" Tanya Gara.

"Haha... Ya tentu saja" jawab orang itu.

Gara berdiri hendak pergi namun tangannya di genggam. Dengan refleks ia menyentak tangan yang dengan lancangnya menggenggam tangannya.

"Sebentar saja, ku mohon" ujar orang itu.

Gara kembali duduk tetapi memberikan jarak yang cukup jauh. Sedangkan orang itu terkekeh pelan.

"Ayah tahu ayah salah, tapi tak bisakah kita memperbaikinya sekali lagi? Ayah mohon Gara, kembalilah. Berikan ayah kesempatan untuk memperbaiki semuanya, berikan ayah kesempatan untuk mendapatkan maaf darimu" ujar Gabriel.

Ya, Gabriel.

Pria paruh baya itu khawatir setengah mati mendengar putra bungsunya di serang oleh seseorang. Beberapa hari sebelumnya ia menahan diri untuk tidak menemui Gara dan memperburuk keadaan Gara. Tetapi sayangnya ia tidak tahan lagi, jadi dengan tekad yang kuat ia menemui Gara. Beruntungnya lagi, Gara tengah sendirian.

Gara diam tak menjawab apapun, sedangkan Gabriel ia berdiri dari duduknya. Berlutut dihadapan Gara yang bahkan tak melihatnya sedikitpun. Gara memilih menatap ke arah langit yang kian menggelap.

"Ayah mohon Gar, berikan ayah kesempatan untuk mendapatkan maaf darimu. Ayah mohon, katakan pada ayah apa yang harus ayah lakukan untuk mendapatkan maaf darimu?" Ujar Gabriel.

"Kamu ingin ayah menangis darah? Akan ayah lakukan, atau kamu ingin ayah bersujud di hadapan mu? Akan ayah lakukan, asalkan kamu mau memberikan kesempatan untuk ayah"

"Bicaralah nak, katakan sesuatu" lanjut Gabriel.

Suaranya terdengar begitu putus asa, melihat Gara yang bahkan tidak mendengarkannya. Mata anak itu terpejam seiring dengan suara langkah kaki yang kian mendekat.

"Tuan Gabriel, saya yakin anda masih ingat dengan apa yang saya katakan di taman mansion pada hari itu" ucap Gara.

Gabriel tertunduk dengan menggigit bibir bawahnya, menahan tangis yang hampir lolos. Ia menarik nafas panjang kemudian mendongak lagi. Matanya bertatapan dengan mata milik Arshavin yang baru saja datang. Dua pasang mata itu sama-sama menunjukkan tatapan permusuhan.

Sedangkan Gara masih terpejam, namun ia dapat merasakan dengan jelas perubahan atmosfer di sekelilingnya.

Rasa benci seketika menyeruak kembali kedalam hati dan pikiran Gara. Bayangan dimana ia hampir mati di tangan ayah dan kakaknya kembali menyelimuti ingatannya. Nafasnya sedikit tak beraturan sekarang, bahkan tangannya pun mulai terkepal erat. Sial, rasa sakit yang sama kembali tanpa di pintanya. Rasa sakit yang bahkan tak ingin diingatnya lagi.

Arshavin memutuskan kontak mata yang sangat tak berguna dengan Gabriel. Ia menepuk-nepuk puncak kepala Gara. Gara membuka kelopak matanya dan menatap langit yang sudah gelap. Udara di sekitar perlahan berubah menjadi dingin.


Angin yang semula berhembus dengan pelan ternyata membawa awan mendung yang kini menurunkan sedikit demi sedikit air yang di tampung nya. Bahkan cuaca pun bisa berubah secepat itu, apalagi manusia.

"Ayo masuk, nanti keburu hujan" ujar Arshavin.

Gara menatap daddy-nya dan tersenyum simpul, sebelum lagi-lagi tangannya di tahan oleh Gabriel.

"Anda ingin putra saya semakin sakit?" Tanya Arshavin sedikit sarkas.

"Biarkan saya berbicara sebentar dengan putra saya" jawab Gabriel tak ingin kalah.

"Daddy, tolong" ucap Gara, meminta Arshavin agar membantunya melepaskan tangannya dari genggaman Gabriel.

Sungguh ia benar-benar muak melihat wajah Gabriel. Rasanya ingin sekali ia menghilangkan sosok Gabriel dari dunia ini. Tapi apalah dayanya, ia bukan tuhan yang bisa berkehendak. Ia hanya manusia biasa yang bisanya meminta pada tuhan agar Gabriel cepat disadarkan bahwa dirinya tak membutuhkan sosok ayah seperti Gabriel.

Gabriel melepaskan genggaman tangannya dan menatap Gara yang bahkan tak menatapnya barang sedetik pun sedari tadi. Dulu ia selalu mengabaikan setiap hal kecil dari Gara, seperti senyumannya yang selalu merekah saat bertemu dengannya. Tapi sekarang ia justru merindukan senyuman Gara padanya.

Tak apa meskipun hanya senyuman setipis tissue, asalkan Gara tersenyum padanya itu sudah cukup baginya. Rasa bencinya pada Gara seketika memudar ketika ia menyadari bahwa Gara merupakan bagian penting dalam hidupnya. Entah sejak kapan ia menyadarinya, namun ia tahu betul bahwa ia tak membenci Gara sedari dulu.

Hati kecilnya selalu memintanya untuk memeluk putranya, namun egonya lah yang menutupi semua permintaan hati kecilnya itu. Beruntungnya Gara masih hidup walaupun tak bersamanya lagi.

Gabriel menatap punggung Gara yang semakin menjauh dari pandangannya. Seiring dengan rintik gerimis yang kian menderas, dua punggung ayah dan anak itu hilang di balik tembok. Air matanya tumpah bersamaan dengan rintik gerimis yang berubah menjadi hujan deras.

Dinginnya air hujan tak sebanding dengan dinginnya kehidupan Gabriel saat ini. Ia kembali dengan menundukkan kepalanya, membiarkan air matanya tumpah bersamaan dengan hujan yang membasahi tubuhnya.

Sedangkan Gara hanya terdiam sepanjang perjalanan kembali ke ruangan rawatnya. Arshavin mengelus punggung Gara berusaha untuk menenangkan pikiran putranya. Dia tidak bodoh untuk mengetahui kondisi putranya sendiri.

"Mau ice cream?" Tanya Arshavin.

Namun sungguh ajaib, Gara menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan Arshavin. Padahal biasanya tanpa di tanya pun, ia akan membelinya sendiri di saat suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja. Arshavin diam, ia berpikir mungkin Gara masih belum bisa mencoba untuk berdamai dengan rasa sakit yang pernah ia rasakan selama ini.

"Daddy, Lamborghini dengan Pajero lebih bagus yang mana?" Tanya Gara secara tiba-tiba.

"Dua-duanya juga bagus" jawab Arshavin tanpa berpikir panjang.

Gara berhenti di depan pintu masuk ruang rawatnya kemudian berbalik menatap Arshavin.

"Kalo gitu emang harus di beli dua-duanya sih, soalnya dari tadi Gara lagi mikirin mana yang bagus. Eh Daddy malah bilang dua-duanya juga bagus, kalo gitu beliin dua-duanya ya dad" ujar Gara yang membuat Arshavin terdiam dan hampir saja mengira bahwa putranya ini kerasukan jin dari taman rumah sakit ini.

Karena memang sungguh di luar dugaannya. Diamnya Gara selalu saja membawa kejutan baginya. Tapi tak apalah yang terpenting suasana hati putranya itu baik-baik saja.

"Ada tambahan lagi?" Tanya Arshavin, siapa tau saja putranya itu ingin lebih dari dua mobil. Ia sih tak keberatan sama sekali. Kecuali jika Gara memintanya menguras air laut, ia tak akan sanggup.

"Enggak, dua aja dulu. Sisanya nanti minta sama Abang" ujar Gara.

"Untuk apa meminta pada Abang mu, mintalah pada Daddy. Daddy masih mampu membelikan mu lebih dari dua. Ayo minta apapun itu pada Daddy" balas Arshavin.

"Apa sih dad, orang Gara maunya minta sama Abang. Kenapa malah Daddy maksa Gara buat minta sama Daddy?" Tanya Gara bingung.

Arshavin bungkam, sebenarnya ia tak ingin dua putranya itu mendapat perhatian dari Gara. Tapi mana mungkin ia mengatakan hal itu pada Gara, ia takut kalau Gara justru akan berpikiran yang macam-macam. Jadi ya sudahlah, demi menjaga image nya di hadapan Gara ia harus rela Gara membagi perhatiannya.

Arshavin ini lebay sekali.

"Tidak ada, minta saja pada Abang mu. Tapi cukup pada Abang mu saja ya, tak usah minta pada yang lain. Daddy masih mampu menuruti semua permintaan mu" ujar Arshavin.

"Kalo gitu, Gara minta mommy baru bisa?" Tanya Gara.

Arshavin bungkam, ia terjebak dalam ucapannya sendiri ternyata.

***

Everybody how do you feel?
Setelah baca part ini.














Ini kan yang kalean mau, awas kalo gak vote😏

Bersyandyaa gess.

Hatur nuhun 🖤✨

Continue Reading

You'll Also Like

65.3K 4.9K 52
Alanka dicintai semua orang lantas bagaimana jadinya ketika ia menjadi target pembunuhan atas nama dendam? . . Bersambung ke Alanka|3 ⚠️Baca sesuai u...
73.9K 6.7K 36
disarankan buat baca 'kean' dulu supaya faham sama jalur cerita nya...
585K 43.8K 41
#NotRomance {RAMPUNG}~{LAGI DIREVISI} Bukan hal mudah bagi Arrasya bisa sampai di titik ini. Begitu banyak hal yang Tuhan uji kepadanya di usia yang...
1.4K 74 5
Once A Family, Always A Family.