Thank God, It's You

By Minaayaaa

4.8K 978 1.4K

Ada hari di mana aku bangun dan tak ingin melakukan semua pekerjaan menyebalkan itu, hingga melihat siapa yan... More

1. Yang Tersembunyi
2. Tutorial Jadian
3. Solo, Mungkin Berarti Sendiri
4. Metro Pop Scene
5. Pertemuan Keempat
6. Rencana - Rencana
8. Our Fears
9. Roman Picisan
10. Wild Night
11. Kekacauan
12. Outcast
13. Tinggal Bersama
14. Apa Apaan!
15. Kedatangan Glen
16. Ulang Tahun Mas Wafa
17. Thank God, it's Them
18. Berlatih Punya Anak
19. Masalah Asmara
20. Huru Hara Asmara
21. Bibit Bibit Tak Baik
22. Rintangan
23. Yang Paling Baik (Menurutku)
24. Tahapan Patah Hati
25. Lagu-Lagu Putus Cinta
26. Napak Tilas
27. Hate to Love You
28. Semesta Menikung
29. To Be or Not to Be
30. I Do

7. Terlalu Cepat

157 33 53
By Minaayaaa

Jakarta 08.30 WIB

Glen duduk di tengah sofa ruang tamu keluarganya yang cukup luas di rumah megah yang dari luar hanya kelihatan pagar besi besar tak menarik itu. Rumah ini sudah ditempatinya sejak SD kelas 5, di mana seluruh anggota keluarganya pindah ke Jakarta, sebab opanya membutuhkan bantuan papanya untuk mengurus perusahaan rokok yang semakin besar itu.

Sebenarnya yang paling kaya dari semua ini bukanlah papa Glen, melainkan opanya. Tidak hanya pabrik rokok, Hexagon yang sudah dirintis buyutnya sejak jaman penjajahan Jepang itu, di tangan opa nya bisa melebarkan sayap ke bisnis kuliner hingga perhotelan. Tentulah semua anak cucunya dikerahkan, sebab kata opa buat apa dia kerja keras kalau bukan untuk anak-cucu. Tapi karena keluarga mereka sudah empat generasi, maka tak jarang terjadi persaingan di antaranya. Hal ini juga yang membuat keluarga Glen, Klan Suwignyo yang merupakan penerus utama, lebih mementingkan anak-anaknya untuk bekerja dibanding memikirkan menikah dan keturunan.

Kembali ke anak muda beruasia 27 tahun yang sedang duduk di sofa besar. Tadinya dia santai, namun tidak ketika kakak pertamanya datang tergesa-gesa dengan tampang agak marah setelah mama mereka menginstruksikan semua agar berkumpul di rumah dan tak bekerja hari ini.

Pembicaraan sudah diawali oleh papa, bahwa Glen dimintai pertanggungjawaban oleh ayah Chalize, setelah kedapatan tidak berpakaian pantas dan terlalu pagi di apartemen anak mereka.

Glen sudah bilang kalau dia hanya numpang mandi dan mengantar sarapan, tapi kedua orang tuanya berpikir terlalu jauh seperti papa Chalize.

"Kalau Glen mau nikah, silakan aja, cece nggak mau nikah dulu, belum sreg juga sama Albert" Ujar gadis berwajah oriental tegas dengan kacamata itu. Gwen Rexatama Suwignyo, 32 tahun, sudah berpacaran 7 tahun sejak kuliah di UK dan hubungan mereka begitu-begitu saja, manager pemasaran Rokok Hexagon, sekaligus bos Glen di kantor itu.

"Koko bahkan nggak mikir mau nikah apa enggak, Glen, ya udah sih, toh Chalize juga baik anaknya, nggak rese!" Lain lagi dengan Given Andratama Suwignyo, putra kedua, 30 tahun, yang menanggapinya dengan santai, bahkan finance manager itu lebih suka berkantor di rumah dengan bathrobe versace nya seperti sekarang daripada seperti Gwen yang harus bangun pagi dan berdandan serius untuk ke gedung perkantoran mereka.

"Ya udah sih ya udah sih! Papa nggak masalah kamu nikah sama Chalize, atau ngelangkahin kakak-kakak kamu, tapi agak mikir juga donk, masak iya kamu kepergok indehoy di apartemen gitu, pinteran dikit kenapa sih Glen, kamu emang bukan lulusan luar negri, tapi paling nggak lulusan top tier!" Ujar ayahnya yang masih memakai piama sambil menyenderkan bahu dengan kesal ke sofa kulit itu.

"Glen nggak indehoy, pah, Cuma numpang mandi!" Ujar Glen frustrasi.

"Ya, apa bedanya sih? Kalau udah numpang mandi berarti kamu udah ngapa-ngapain donk!" Ujar ibu paruh baya namun rambutnya masih ombre nuansa hijau itu. Ramona Suwignyo, bahkan Chalize minder padanya. Wajahnya judes dan hobinya berolahraga, pekerjaannya setiap hari adalah jogging selain mengurus rumah tangga. Dialah aktor utama mengapa Glen berkuliah di Semarang. Sebab Mona sangat menyukai Kudus, kampung halamannya. Dia jadi punya alasan untuk pulang ke Kudus yang katanya menjenguk Glen. Tentu saja tidak, dia akan asyik dengan dunianya sendiri, marathon lah, sepedaan lah, ikut Triathlon lah, arisan sama teman-temannya lah apapun yang membuatnya senang dan memecahkan rekor.

"Huff ya udah lah kalau nggak ada yang percaya, terus nanti jam 10 gimana?" Tukas Glen sudah bingung mau bagaimana lagi menghadapi tuduhan keluarganya.

"Kita lamar Chalize" Ujar ayahnya, Glen yang manyun pun langsung sumpringah.

Ya dituduh tipis-tipis ga masalah sih, yang penting tercapai keinginannya.

"Emang ya, orang yang kerjaannya nggak banyak tu yang dipikir cuma kowan kawin kowan kawin!" Gwen menyilangkan tangannya dan menatap sinis ke arah Glen.

"Ya udah kalau gitu, cece aja yang nikah duluan!" Ujar Glen tak mau kalah.

"Dih ogah! Yaudah Cece mau kerja lagi! Sukses lamarannya!" Gwen kemudian berlalu, begitu juga dengan Given yang kembali ke ruang kerjanya lagi.

*****

"Lha kok bisa kamu begitu sama Glen, Lize, semodern-modern nya kamu, kamu itu perempuan Jawa, harus tahu sopan santun, harus bisa jaga diri! Bukan malu-maluin keluarga seperti ini, bisa-bisa keluarga Glen ngira kamu jebak anaknya!"

Sudah setengah jam Chalize mendengarkan omelan ibunya melalui video call. Anak perempuan itu belum berhenti menangis, kini air matanya bengkak. Dia malu sekaligus khawatir, bahkan dia tak berani menghubungi Glen.

"Lize, buka pintunya" Chalize menoleh ke arah pintu kamar yang dikuncinya. Itu Dae, orang yang sungguh paling ditakutinya, bahkan saat ini dia lebih takut kepada Dae ketimbang ayah ibunya sendiri atau orang tua Glen.

Chalize menutup obrolan dengan ibunya dan membukakan pintu untuk Dae.

"Masuk mas" Ujarnya lesu kemudian duduk di tepi ranjang, baju kerjanya sudah tak rapi lagi, demikian juga riasan di wajahnya.

"Maafin Chalize Mas Dae, maafin Chalize" Ujar gadis itu sambil menutup wajahnya sendiri kemudian menangis sesenggukan membuat Dae tak melepas pandangan dari adiknya. Kini pemuda 28 tahun itu duduk di samping Chalize, dia masih sedikit marah, tapi mencoba untuk bijaksana.

"Kamu udah diapain aja sama Glen?" Ujarnya sengit.

"Nggak diapa apain Mas, sumpah!" Ujar Chalize yang masih beringus dan menangis jelek itu.

"Atau kamu yang ngide buat ngapa-ngapain?" Kini Dae menajamkan tatapan dan ucapannya.

"Mas, aku sama Glen pacaran biasa aja Mas" Chalize rasanya mau gila menghadapi semua ini, ketahuan ciuman di depan Dae saja sudah cukup ketar ketir. Nha sekarang, ketahuan berdua duaan di apartemen sama semua anggota keluarga, malunya sampai ujung kulon.

"Pacaran biasa apa yang membuat kamu biasa ciuman di sembarangan tempat dan Glen biasa keluar masuk kamar pakai boxer? Huh!"

"Tapi sumpah kami nggak sampai begituan, Mas!" Ujar Chalize merengek

"Begituan gimana?"

"Ya begituan!" Chalize sedikit kesal

"Jelasin begituan yang mana yang belum kamu lakukan?" Dae mengatakan dengan nada yang tegas, membuat Chalize mau tak mau mempertegas ucapannya agar Dae tak salah paham.

"Em el" Ujarnya lirih pada akhirnya.

"Oh em el belum?" Tanyanya kali ini dengan nada yang lebih santai dan Chalize menggeleng.

"Yang lain udah donk!"

Refleks saja Chalize mengangguk.

"Ya Allah ya Rabbi, BRENGSEK!" Dae langsung berdiri dengan mengepalkan tinjunya.

Chalize menjadi sadar dan panik. Menyadari bahwa dia baru saja menggali kuburnya sendiri.

"Mas mas, mas, mau ngapain?"

"Mau nonjokin muka pacar kamu itu sampai babak bunyak!" Dae melangkah pergi, tapi Chalize menahannya sampai sedikit terseret.

"Mas jangan mas, jangan hix, gitu-gitu Chalize sayang banget sama Glen mas, Glen juga sayang banget sama Chalize!"

Dae menghentikan langkahnya, menatap Chalize yang masih bersimpuh memegangi kemejanya, lantas membantunya berdiri dan duduk di tepi ranjang lagi.

"Glen jaman kuliah dulu play boy, apa kamu tahu?"

"Tahu Mas"

"Kamu tahu siapa aja mantannya"

"Tahu, Glen juga pernah selingkuh waktu kami pacaran tahun pertama"

Dae meradang kembali,

"Kenapa nggak kamu putusin sih?"

"Mas pikir empat tahun pacaran kami nggak putus nyambung? Tapi nggak tau kenapa aku selalu balik sama dia, nggak bisa marah-marah lama, lagian setelah yang terakhir itu Glen nggak pernah macem-macem lagi!" Ujar Chalize membuat laki-laki yang sudah punya pacar lagi tapi kurang serius itu pin berpikir.

Kalau diperhatikan adiknya ini perempuan yang cukup sulit, dia tak mungkin mau dengan laki-laki yang punya kepribadian kentang. Chalize juga sangat pemilih jika berhubungan dengan orang termasuk memilih teman, apalagi pacar.

Dae juga kembali menelisik sahabatnya, Glen. Mengapa Glen menjadi sahabatnya? Ya tentu saja karena pemuda itu baik, loyal, lucu, dan juga setia kawan. Dae tahu semua sisi buruk Glen dan sisi buruknya itu tak pernah mengganggunya sedikitpun. Intinya Glen sebenarnya sebanding dengan Chalize.

Tapi tetap saja, melihat fakta bahwa adiknya sudah bertumbuh dewasa dan hatinya dimiliki lelaki lain pasti akan sulit, tak hanya untuknya. Papanya juga sedari tadi lupa mengurus hal yang seharusnya mereka urus di Jakarta. Beliau memutuskan untuk menunda meeting dengan calon customer dan sedari tadi hanya memilih merokok di balkon.

Semua orang stress pagi itu.

Hingga waktu menunjukkan hampir jam 10, Dae memaksa Chalize untuk bersih-bersih dan berdandan rapi. Mereka harus bertemu dengan keluarga Suwignyo dan entah siapa yang mengetahui hasilnya akan seperti apa.

"Kalau papa mamanya Glen jadi nggak sreg karena kejadian ini, kamu harus legowo, mereka juga berhak menentukan kualitas mantu yang seperti apa" Ujar papa Chalize kepada anaknya yang baru saja mengelap meja di depan sofa, ini pertama kalinya dia menerima tamu.

Selama ini hanya Glen tamunya.

Chalize hanya menunduk, membayangkan wajah judes Ramona Suwignyo , mama Glen yang dia takuti sejak lama. Tidak hanya karena body goals, perempuan itu juga punya watak yang keras serta tak segan-segan berkata judes.

Meskipun Chalize tak pernah merasakannya sendiri, sejauh ini Ramona selalu baik padanya, bahkan mengiriminya beberapa barang lewat Glen.

Sementara itu di tengah kemacetan ibu kota.

Di dalam Mercedes E Class warna hitam itu, Glen sudah diapit oleh kedua orang tuanya, sementara sopir mengemudikan mobil mereka ke apartemen Chalize.

Terakhir dia seperti ini adalah saat dia khitan beberapa bulan sebelum keluarga mereka hijrah ke Jakarta. Awalnya Glen tak berpikiran apapun, hingga ayahnya berkata

"Kamu harus terima apapun keputusan Pak Wara, mereka keluarga baik-baik, mereka pasti penuh pertimbangan untuk jodoh anak mereka. Kelakuan kamu sudah cukup bikin malu, ya jangan kaget kalau papa Chalize jadi tidak setuju nanti." Ujar pria dalam balutan jas hitam itu menatap anaknya yang mengenakan jas abu agar terkesan lebih muda dan santai.

"Ya kan Glen juga baik, papa bilang donk sama Om Wara!" Rengek Glen yang tak dapat menampik sifat manjanya.

"Glen, kamu ini mau menikah, artinya sudah berani punya tanggung jawab, bahkan Chalize akan jadi tanggung jawab kamu! Usaha lah ini baru titik awal, tunjukkan kalau kamu memang pantas untuk Chalize" Glen hanya diam mendengar perkataan ibunya yang memakai kaca mata hitam dior dan setelan coat mahal itu.

Tak lama mereka berhenti di basement apartemen itu.

Kedua orang tuanya turun dan sempat mengamati sekitar.

"Kamu sewain Chalize di sini?" Tanya ibunya

"Iya mah"

"Emang nggak ada yang lebih bagus?" Tanya Ramona lagi

"Chalize yang minta, katanya dia lebih nyaman di lingkungan begini" Ujar Glen menjelaskan mengapa Chalize memilih apartemen yang lebih sederhana dari yang bisa disewakannya.

Ramona mengangguk angguk. Lantas mereka masuk lift menuju lantai 12 di mana rumah Chalize berada.

***

Dae segera membukakan pintu ketika bell berbunyi. Pemuda itu tersenyum hangat menyambut papa Glen yang beberapa kali ditemuinya ketika mengadakan pameran. Papa Glen kadang datang sebab teman dekatnya sangat suka mebel lawasan dan Dae bisa mencarikannya.

"Dae, lama tidak bertemu" Ujar Haditama Suwignyo hangat.

"Ah Om saja yang tak pernah datang, masuk Om, Tante" Ujar Dae yang tak menganggap Glen sebab dia masih sedikit kesal.

Tak lama ayah Chalize bergabung, bajunya sudah rapi, untung dia dan Dae membawa batik, sehingga tak kalah pamor dengan mereka yang datang dengan setelan resmi.

"Chalize nya mana?" Tanya Mama Glen sambil menyapu pandangannya ke apartemen kecil namun rapi itu.

Sebelum pertanyaannya dijawab, Chalize sudah keluar dari kamar. Dia berdandan ulang, mengenakan terusan rok sepan lace berwarna navy blue elegan yang baru sekali dipakainya sewaktu menghadiri pernikahan anak pertama Om Prab setengah tahun lalu.

Glen melongo dan jika tak sadar kondisi, dia ingin segera saja menubruk Chalize dan mendorongnya untuk ke kamar lagi.

Glen segera menggelengkan kepalanya, kali ini dia serius, matanya tak lepas dari Chalize yang kini berjalan ke arah pantry untuk mengambil teh dan beberapa kue yang secara dadakan tadi dipesannya secara online.

Dengan halus Chalize membawa nampannya dan mempersilakan para tamu untuk minum. Glen meneguk ludahnya sendiri, gadis yang biasanya tampil simple dan lebih sering memakai rok mini atau hot pants dengan body ke mana-mana yang membuatnya senang atau dengan oversized t-shirt yang tentu saja malah membuat Chalize semakin terlihat sexy, hari ini tampil sangat lain.

Glen merasa Chalize memang cukup dewasa untuk menikah dengannya, mendadak Glen merasa sangat optimis bahwa pernikahan mudanya yang akan melewati kedua kakaknya dan Dae, kakak Chalize akan berhasil dengan baik.

Chalize kini sudah duduk di tengah, diapit oleh papa dan kakaknya, tepat di depan Glen, mereka hanya dibatasi dengan meja yang penuh dengan sajian.

Chalize dan Glen berpandangan, mereka berdua sama-sama tegang seperti pencuri yang ketahuan.

"Om, Tante, kami minta izin, mama saya kebetulan masih ada di Jepara, ingin ikut pertemuan ini juga melalui video call" Dae mengawali pembicaraan ini.

"Oh boleh kok" Ujar Ramona sambil tersenyum hangat.

Setelah semua basa basi dan saling sapa, akhirnya Pak Haditama Suwignyo menyampaikan maksud mereka.

"Jadi begini Pak Wara, kami selaku orang tua Glen ingin meminta maaf sebesar-besarnya dengan kejadian pagi ini, mohon maaf jika Glen, anak bungsu kami bertindak kurang ajar, sehingga melukai perasaan bapak, ibu, dan Mas Dae sebagai keluarga Chalize" Ujar bapak pimpinan perusahaan itu bijaksana.

"Kami juga selaku orang tua Chalize mohon maaf, jika anak kami selama ini berlaku kurang sopan dan pantas di depan bapak ibu serta keluarga Glen"

Glen dan Chalize sama -sama menunduk, pikiran mereka berkecamuk, dasar orang Jawa, ini pasti akan lama pembicaraan ngalor-ngidul tidak ada intinya, hingga ayah Glen berbicara lagi.

"Untuk selanjutnya, ada hal yang ingin kami bicarakan, tapi akan langsung dijelaskan oleh Glen" Tutur bapak itu sewaktu Glen dan Chalize masih sama sama melamun.

"Glen" Ujar Ibunya sekaligus menepuk paha anak bungsu manjanya.

"Hah? Aku" Ujar Glen panik

"Iya, katanya tadi kamu mau ngomong sesuatu" Ujar ayahnya sambil tersenyum tapi tatapannya penuh ancaman sebab kesal bungsunya tak juga tanggap.

"Ngomong apa, mah?" Glen malah berbisik pada mamanya.

"Kata kamu mau lamaran"

"Hah, sekarang!?" Glen panik sendiri

"Kapan lagi? Nunggu lebaran kudanya Om Prab?" Ujar Ibu rambut ijo itu sewot.

"Glen?" Kini Pak Wara yang agak bingung sebab Glen tak kunjung bersuara, malah ribut bisik-bisik dengan ibunya.

"Ah iya Om!"

Glen menegakkan badannya, kemudian melirik Dae yang menatapnya dengan tajam, juga mama Chalize di sambungan video, tak lupa Pak Wara, ah jangan lupa Chalize yang super sangat tegang itu.

"Jadi hari ini saya membawa mama papa saya ke sini, untuk berkenalan dengan Om, tante, juga Dae, eee..." Sejenak anak itu diam, suasana menjadi sangat sunyi, otak Glen buntu hingga mamanya yang mengenakan stilleto louboutine itu menginjak sepatu LV nya.

Dengan sedikit meringis Glen mau tak mau melanjutkannya.

"Om, tante, Dae, izinkan saya di sini untuk menunjukkan keseriusan hubungan saya dengan Chalize yang sudah tahun keempat, dengan ini juga saya memohon izin ... untuk ... meminang Chalize, anak Om, Tante, dan adik sahabat saya Dae, saya akan memperlakukan Chalize dengan baik, berusaha tak pernah menyakiti hatinya, saya akan melindungi Chalize sebagai bentuk tanggung jawab dan rasa sayang saya, saya berharap untuk diterima"

Mama -papa Glen terdiam,

Dae terdiam,

Mama Papa Chalize juga diam,

Chalize menatap Glen, keduanya terpaku sampai terdengar isakan tangis di sambungan video call.

Seorang ibu yang tiba-tiba menangis karena anak gadisnya dilamar orang. Pak Wara pun tiba-tiba gamang dengan perkataan Glen, tapi kini semua urusannya itu akan dia serahkan kepada Chalize.

"Gimana Lize, kamu mau jadi istrinya Glen, papa mama hanya nurut kamu saja"

Chalize tak tahu harus menjawab apa selain iya, toh mereka juga tidak akan menikah besok pagi kan?

Lagi pula kalau dia tolak nanti bagaimana nasib percintaan mereka selanjutnya.

"Kalau boleh sama Mama, Papa, Mas Dae, Chalize mau" Ujarnya sambil menoleh ke ayahnya yang mengangguk sambil tersenyum, kemudian menoleh ke arah Dae yang kini sudah mulai memperlihatkan rasa lega dan guratan senyum khas ramahnya.

Dae mengangguk setuju, Chalize menghadap ke depan lagi dan mengangguk ke arah Glen.

"Lamaranmu, kami terima" Ujar Pak Wara tersenyum lebar.

Ibu Ramona yang biasanya sekeras batu pun menitikkan air matanya dan memeluk Glen sambil berucap syukur.

Chalize jadi ikutan menangis melihatnya dan Dae mengulurkan selembar tissue dan mencium pucuk kepala adiknya.

"Selamat, Dhek, semoga diberi kelancaran"

Dan begitulah, hari Kamis pukul 10.30 pagi lamaran serba dadakan itu dilaksanakan.

***

Solo, 16.15 WIB

"Hah! Gila, terus dilamar? Nikah kapan Dae?" Wafa tergelak senang di dalam mobil yang diparkirnya tepat di depan sekolah tempat Yudha bekerja.

"Belum sih, masih mau tunangan dulu, mungkin pesta tunangannya 6 bulan lagi sebelum Glen ke Melbourne, mau lanjut S2 dia, ini mau siap siap dulu!" Ujar Dae di sambungan telepon, setelah seharian malah diajak golf dan wisata kuliner oleh Glen dan keluarganya.

"Wih gila gila, ya wes semoga sukses, salam buat Chalize sama Glen, sama Om juga!" Tutup pemuda yang masih menunggu calon pacarnya selesai lembur itu.

Wafa melirik ke arah luar dari kaca mobilnya, tampak beberapa orang keluar dari pintu kaca otomatis sekolah itu. Ditelisiknya satu per satu. Dari semalam Yudha sudah mengiakan ajakan Wafa untuk mengunjungi Festival Payung di Balaikota. Tapi tadi gadis itu bilang mungkin tak bisa hari ini sebab dia akan lembur sebab ada beberapa meeting dadakan yang Wafa tak tahu untuk apa. Tapi Wafa tak ingin kecewa, lagi pula dia baru pulang kerja pukul 4, menunggu setengah jam tentu bukan hal sulit, apalagi sambil mendengarkan cerita seru Dae soal Chalize dan Glen yang akhirnya bertunangan itu.

Atas permintaan Yudha semalam, Wafa pun sudah berganti baju. Dia tak lagi memakai seragam, hanya kaus hitam dan celana jins, dia juga bahkan mengganti sepatunya dengan sneakers agar lebih nyaman. Wafa mengerti, mungkin pertemuan dengan seragam tempo hari mempuat mereka mencolok, dan siapa sih yang suka jalan-jalan memakai atribut.

Tak berapa lama, Wafa melihat gadis itu, dia pun sudah berganti baju, mengenakan tshirt dan celana panjang yang lebih santai dengan sneakers yang memang diperbolehkan untuk dipakai bekerja setiap Kamis dan Jumat.

Yudha clingak-clinguk sebentar, bukan karena tak tahu di mana mobil Wafa, tapi lebih ke tidak ada orang yang melihatnya dijemput laki-laki.

Yudha berlari kecil, lantas membuka sendiri pintu mobil itu.

"Maaf ya nunggu lama" Ujarnya basa basi, Wafa tertegun sejenak, bahkan pulang kerja Yudha masih sewangi dan secantik ini.

"Ah nggak kok!" Ujar Wafa kemudian langsung tancap gas.

"Solo banyak berubah ya, Yud?" Wafa mulai memancing pembicaraan

"Ya lumayan sih akhir-akhir ini banyak event, banyak pembangunan, sering macet!" Balas gadis itu.

"Kamu pernah ke festival payung?" Tanya Wafa lagi

"Delapan tahun yang lalu, hahaha lama ya"

"Lho, aku juga datang tuh! Awal awal kuliah, aku sama dua orang temen deketku ke sananya"

"Kenapa kita nggak ketemu ya?" Sahut Yudha cekikikan

"Mungkin kamu sama pacar kamu"

"Hahahhaa nggak lah, aku nggak pernah punya pacar"

Wafa mencebik "Nggak masuk akal kamu nggak pernah punya pacar!"

"Serius!" Ujar Yudha menerawang, membuat Wafa merasa ini bukan bahan bercandaan lagi.

"Kenapa begitu?" Tanya pemuda itu

"Nggak ada yang mau!" Jawab Yudah sambil tersenyum

"Bohong! Kamu kali yang nggak mau!"

"Mungkin, mungkin juga karena nggak ada yang mau, to be honest, dulu aku nggak pernah cari pacar" Kata Yudha serius, tepat saat mereka sampai di kantung parkir yang mulai ramai itu.

Yudha turun kemudian merapikan diri, sementara Wafa sibuk mengemasi kameranya. Dia ingin memotret hal-hal yang menarik di festival payung tahunan yang juga mengundang beberapa perwakilan dari negara lain itu.

"Ramai juga jalannya" Ujar Yudha sedikit kebingungan untuk menyeberang, 28 tahun hidup menjomblo membuat dia terbiasa melakukan semuanya sendiri.

Wafa tak menyiakan kesempatan itu, digandengnya tangan gadis yang kini tenggelam dalam genggamannya itu. Yudha sedikit terheran, kemudian mendongak ke arah pemuda yang matanya konsentrasi menyeberang tapi hatinya begitu deg deg an ingin rasanya dipuji oleh gadis di sebelahnya.

"Makasih" Ujar Yudha ketika mereka sampai, sambil melepaskan tautan tangan mereka.

"Maaf ya, kalau lancang" Wafa merasa sedikit bersalah, tapi Yudha mengisyaratkan tak masalah.

Hari sudah semakin sore, tapi langit Solo masih terang saja. Mereka pun mulai memasuki arena aneka UMKM pameran berbagai macam produk, juga instalasi seni yang tentu saja mengangkat tema payung di dalamnya. Di panggung utama pun sedang digelar aneka tarian kontemporer dan peragaan busana dengan tema etnik.

Wafa dan Yudha sama sama menyukainya, mereka membicarakan banyak hal dari soal kelola sampah, sampai seni origami. Wafa mengambil beberapa gambar di spot menarik dan tentu saja meminta Yudha untuk menjadi modelnya. Awalnya gadis itu malu-malu, lama-lama senang juga, bahkan meminta Wafa mengambil beberapa foto menggunakan ponselnya agar mudah diupload di sosial media.

Langkah mereka terhenti karena beberapa gadis yang menawarkan bunga segar. Yudha tampak tertarik dan membeli beberapa tangkai, ternyata mereka juga menyediakan kursus merangkai buket, Wafa yang tanggap pun langsung mendaftarkan diri. Tapi dia sedikit curang sebab tak mau membeli bunga yang baru, melainkan menggunakan bunga yang sudah dipilih Yudha tadi, Yudha hanya pasrah dan terpingkal.

Kini giliran Yudha yang mengambil foto Wafa, gadis itu belajar dengan cepat bagaimana memotret dengan kamera analog itu. Dengan cekatan, Yudha mengubah saturasi, ISO, dan shutternya seperti yang beberapa menit lalu Wafa jelaskan.

Yudha senang melihat ekspresi Wafa menata bunga bunga itu, memilih kertas dan plastik pembungus yang senada juga menambahkan sedikit daun sebagai aksesoris, terakhir menalinya dengan simpul yang cantik seperti yang dijelaskan florist yang ramah itu.

"Sudah jadi! Untuk kamu!" Ujar Wafa menyerahkan buket bunga krisan putih dengan pita peach yang sederhana namun sangat cantik itu.

Yudha tersipu menerimanya, mungkin ini pertama kalinya dia mendapatkan bunga dari seorang laki-laki.

Yudha segera tersadar dan ingin melakukan pembayaran, tapi ternyata Wafa sudah membayarnya sejak dia memilih bunga tadi.

"Makasih ya"

"Makasih terus, traktir donk!" Ujar Wafa celelekan membuat gadis itu makin merasa nyaman.

"Hahaha mau apa?"

"Es the krampul, sumpah aku kangen banget minum itu cuma ada di Solo!" Wafa segera berlari ke arah stall bertuliskan ES Krampul Jumbo.

Berbeda dengan teh di tempat lain, the solo memiliki aroma dan rasa yang khas sebab terdiri dari beberapa merk yang diseduh dengan takaran tersendiri. Bahkan di Solo ada pekerjaan khusus bagi orang yang pandai meracik teh. Namanya Jayengan, selalu ada di pesta-pesta pernikahan tradisional.

Sedangkan teh krampul bukanlah sekadar lemon tea. Teh ini hasil percampuran gula, teh solo kental, dan jeruk yang hanya diiris tanpa diperas, kemudian diberikan es batu yang banyak. Aromanya sungguh menenangkan, jumlah irisan jeruk yang banyak juga memberikan rasa segar alih-alih asam. Teh ini juga bisa disajikan hangat, dengan irisan lemon dan gula batu rasanya akan semakin baik lagi.

Wafa sudah tersenyum sambil menyesap es teh jumbo itu sementara Yudha membayar lima ribu rupiah saja untuk kesegaran itu.

"Seseneng itu ya?"

Wafa hanya mengangguk mencoba meresapi rasa segarnya, sebab ibunya tak mengizinkannya minum es saat berada di rumah. Ibu benar-benar ingin menjaga kesehatan anaknya.

Mereka kembali berjalan, melewati kerumunan dan akhirnya mendapat tempat duduk di rumput hijau yang terawat itu untuk menyaksikan tari-tarian dari berbagai daerah dan negara di panggung utama.

Sore yang klise dan penuh tawa dengan langit yang cantik dan buket bunga. Wafa sesekali mengambil gambar dan banyak berbicara dengan Yudha mengenai ini itu.

"Langitnya bagus, nggak kamu foto?" Ujar Yudha ketika hari sudah senja dan langit mulai menunjukkan warna jingga.

Wafa menurut dan mengambil gambar. Sejenak dia tertegun, kemudian menunjukkan hasilnya kepada Yudha.

"Lihat ni, di kameraku jadi kelihatan ada semburat ungunya" Ujar Wafa sambil menyodorkan kamera pentax tuanya yang berbobot dua kilo itu.

"Cantik banget sih" Yudha mengezoom hasil foto requestnya itu.

"Kamu juga" Ujar Wafa tiba-tiba

"Ha?" Yudha mendongak takut salah dengar.

"Pernah ada yang bilang kamu cantik banget?" Wafa semakin nekat.

Yudha senang, tapi ada sesuatu di dalam hatinya yang berkata lain. Tak mungkin semua hal selancar ini, Wafa terlalu sempurna untuk dirinya, dan semua kesempatan ini terlalu gampang. Pasti ada yang salah. Bukannya hidupnya tak pernah mudah?

"Belum sih" Jawab Yudha kemudian menunduk dan menetralkan perasaannya. Wafa merasa sedikit bersalah mungkin ini semua terlalu cepat. Tapi dia memang susah menahan perasaannya untuk Yudha yang baru dua hari dikenalnya, dia sendiri tak paham.

Mereka berdua akhirnya hanya diam sambil memandang kosong, entah ke panggung utama atau ke arah langit jingga semburat ungu sore itu.

***

Jakarta 17.45

Tuan Muda Glen

Sayang, kamu lagi apa?

Cintaku

Glen, aku kangen banget

Glen yang sedang tiduran di kamarnya mendadak bangun lagi. Baru tiga jam yang lalu mereka berpisah setelah seharian jalan-jalan keluarga merayakan lamaran kecil-kecilan mereka. Tapi situasi menjadi sedikit pelik ketika Pak Wara, ayah Chalize meminta benar-benar agar Glen maupun Chalize untuk menjaga diri.

Mereka tidak lagi diizinkan berduaan di dalam kamar atau apartemen. Glen dan Chalize hanya diizinkan bertemu di ruangan terbuka sampai mereka benar-benar menikah nanti. Papa Chalize tak memberitahu apakah dia akan mengirim mata-mata, tapi Glen tahu ayahnya pasti menyanggupi permintaan itu dan selalu pasang mata tentang Glen dan Chalize.

Dia tak ingin nama keluarganya tercoreng atau kedua anak muda itu melakukan hal-hal di luar norma sebelum menikah, ini untuk kebaikan semuanya.

Glen pun menghubungi Chalize , dia ingin segera mendengar suara gadisnya.

"Lize, kamu lagi apa?" Tanya Glen sambil membuka gorden kamarnya yang luas itu.

"Lagi bikin teh, aku sendirian nih, Mas Dae sama Papah pergi lagi, kayaknya baru pulang jam 9 nanti"

"Aku ke sana ya?"

"Kamu nggak inget orang tua kita minta apa?"

"Gimana kalau kita nikah besok aja sih?Repot bener kayak begini"

"Huh ga tau nih! Kenapa jadi begini kita" Ujar Chalize sambil menyeduh chamomile tea nya.

"Lize, lihat ke balkon deh!" Ujar Glen ketika melihat langit, Chalize pun menurutinya, dia pun membuka balkon dan menemukan pemandangan indah di antara gedung-gedung.

"Langitnya bagus banget!" Ujar gadis itu

"Udah lama banget kita nggak pernah perhatiin langit" Kata Glen

Chalize terkekeh

"Iya kita Cuma sibuk kerja, makan, cuddling, aku sibuk ngelihatin kamu Glen soalnya"

"Dih, bisa gombal juga!" Glen tertawa

"Ya gimana ya, so far you are my horizon" Gadis itu berkata dengan nada mendalam.

Glen terdiam, ini bukan Chalize.

"Sayang, kamu kesurupan atau ..."

"Berchyandaaaaa..." Lalu terdengar gelak tawa di ujung sana, Glen ikut terkikik alih-alih merasa konyol.

"Aku tau sih sebenarnya kamu serius"

"Sok teu!" Ujar Chalize lalu kembali ke dalam untuk mengambil teh hangatnya kemudian kembali ke balkon dan duduk di kursi malas berwarna putuh yang dibawanya dari Jepara itu.

"Tapi serius Glen, sejak kapan sih langit Jakarta waktu sore bisa sebagus ini?" Kata Chalize lagi lalu menjeda pembicaraan untuk mengambil beberapa foto.

"Ya mungkin udah dari kemarin - kemarin, tapi kita nggak punya waktu buat perhatiin aja" Glen kini menyibakkan fitras dan keluar ke balkon kamarnya.

"Tapi setelah kita jadi punya kesempatan lihat langit lebih sering, kamu bakalan punya waktu buat aku kan, Glen?"

"Aneh banget pertanyaannya, tentu aja lah, apalagi kamu sekarang bener-bener calon istri aku!"

"Cie calon istri" Chalize malah meroasting dirinya sendiri.

"Kenapa kok kanyaknya nggak seneng gitu" Glen kenal betul Chalize, dia tahu perempuan itu tak sepenuhnya bahagia.

"Ini terlalu cepat ga sih, aku takut nggak siap"

"Tuh kan, aku nggak mau denger lagi yang gitu-gitu, udah ya aku mau mandi!" Glen segera menutup teleponnya dan bergegas mandi, mengusir segala rasa takutnya sendiri.

Sementara Chalize tetap memandang senja sandikala dengan gemuruh perasaan tak mengenakan.

Diliriknya sebuah buku yang dibawa Dae untuk mengisi perjalanannya, dalam sebuah halaman tertulis,

Masa depan, siapa tahu?

Bersambung

Voment nya kakak, jangan lupa ya

🌼🧡💙💙

Continue Reading

You'll Also Like

4.6M 134K 88
WARNING ⚠ (21+) 🔞 𝑩𝒆𝒓𝒄𝒆𝒓𝒊𝒕𝒂 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒘𝒂𝒏𝒊𝒕𝒂 𝒚𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒑𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒌𝒆 𝒕𝒖𝒃𝒖𝒉 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒂𝒊𝒏 𝒅𝒂𝒏 �...
1.4M 116K 37
"Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau berani mengajukan perceraian lagi. Kita akan mati bersama dan akan kekal di neraka bersama," bisik Lucifer...
50.7K 3K 7
Ini bukan kisah Romeo dan Juliet Bukan juga kisah Galih dan Ratna Ini hanya kisah Jack dan Julia Sepasang manusia yang lupa alasan mengapa mereka ber...
1.2K 257 15
Long Live Freedom!!! Arunika yang memiliki cita-cita hidup tenang tanpa gangguan nyatanya tidak bisa menahan diri untuk tidak mengkritik ketika melih...