Memories in the Making [END]

By dindaarula

91K 8.5K 1.4K

[Cerita Terpilih untuk Reading List @RomansaIndonesia - SPOTLIGHT ROMANCE OF NOVEMBER 2023] Menjadi lebih dek... More

โ€ Introduksi
โ€ 01 - Ketika Xenna Ditinggal Menikah
โ€ 02 - Problematika Hati dan Skripsi Xenna
โ€ 03 - Tentang Janu dan Pencarian Jodoh
โ€ 04 - Xenna Bukan Anak Kecil (Lagi)
โ€ 05 - Tindakan Langka Janu
โ€ 06 - Layaknya Kakak Ketiga Xenna
โ€ 07 - Xenna, Tumbuh Dewasa, dan Luka
โ€ 08 - Debaran Pertama untuk Janu
โ€ 09 - Dekapan Pertama untuk Xenna
โ€ 10 - Hal-Hal yang Patut Xenna Syukuri
โ€ 11 - Sisa Hari Bersama Janu
โ€ 12 - Hadirnya Teman-Teman Janu
โ€ 13 - Kekesalan dan Kecemburuan Xenna
โ€ 14 - Berlabuhnya Hati pada Janu
โ€ 15 - Xenna dan Sakit yang Tiada Habisnya
โ€ 16 - Janu dan Kucing Hitam
โ€ 17 - Naik Turunnya Perasaan Xenna
โ€ 18 - Ruang Pribadi dan Dunia Janu
โ€ 20 - Lebih Dekat dengan Janu
โ€ 21 - Harapan Perihal Kebahagiaan Xenna
โ€ 22 - Keinginan Tersembunyi Hati Janu
โ€ 23 - Xenna dan Bentuk Kepeduliannya
โ€ 24 - Janu dan Bentuk Kekhawatirannya
โ€ 25 - Ketika Xenna Menjadi yang Utama
โ€ 26 - Di Saat Janu Cemburu
โ€ 27 - Bimbingan, Obrolan Malam, dan Xenna
โ€ 28 - Perkara Ajakan "Kencan" Janu
โ€ 29 - Satu Lampu Hijau dari Tiga Pelindung Xenna
โ€ 30 - Perihal Pembuktian Perasaan Janu
โ€ 31 - Cukup Hanya dengan Xenna
โ€ 32 - Semua Akan Janu Usahakan
โ€ 33 - Rasa Kecewa yang Tak Xenna Duga
โ€ 34 - Keyakinan yang Menghampiri Janu
โ€ 35 - Sebuah Usaha untuk Membuat Xenna Pergi
โ€ 36 - Berada di Luar Kendali Janu
โ€ 37 - Amarah yang Melingkupi Xenna
โ€ 38 - "Kejahatan" yang Dapat Janu Maklumi
โ€ 39 - Xenna dan Ketenangan yang Enggan Hadir
โ€ 40 - Janu di Ambang Bimbang
โ€ 41 - Hadiah yang (Tak) Xenna Inginkan
โ€ 42 - Tatkala Dunia Janu Meruntuh
โ€ 43 - Derai Air Mata untuk Xenna
โ€ 44 - Janu dan Hukuman dari Si Pelindung Nomor Satu
โ€ 45 - Kembali Pulang pada Xenna
โ€ 46 - Terkait Usaha Janu Menjemput Restu
โ€ 47 - Xenna Bersama Para Pelindungnya
โ€ 48 - Tibalah Janu di Penghujung Badai
โ€ 49 - Rumah Xenna yang Ramai Kembali
โ€ 50 - Balasan yang Pantas Janu Dapatkan
โ€ 51 - Perubahan yang Ada Karena Xenna
โ€ 52 - Janu Mengaku Pada Akhirnya

โ€ 19 - Xenna dan Hati yang Terporak-poranda

1.4K 147 2
By dindaarula

"WAH, kebetulan banget, Xen, lo telepon gue. Pas banget ada yang lagi pengen gue omongin sama lo," ujar April yang kini tengah menjadi lawan bicara Xenna melalui sambungan telepon. Sejatinya Xenna memiliki tujuan lain alih-alih hanya hendak sekadar menanyakan kabar sebab mereka sudah lama tak berkomunikasi. Namun, tanpa disangka ternyata April pun punya sesuatu yang ingin dibicarakan pula. Kemudian, tarikan napas april pun terdengar, sebelum April berseru, "XEN, POKOKNYA, LO NGGAK BOLEH SUKA SAMA A IDAR, YA!"

Refleks Xenna--yang tengah berbaring di tempat tidur--pun menjauhkan ponsel dengan wajah mengernyit, akibat suara kencang yang mendadak menyerang rungunya. Pada saat itu Xenna pun lekas menyalakan mode loud speaker dan menaruh benda pipih tersebut secara asal. "Heh, maksud lo apa sih, Pril? Kok tiba-tiba banget lo bahas A Idar sama gue?" tanyanya heran seraya ia meraih guling untuk didekap.

"Gue tau ya, Xen, lo sempet main bareng sama temen-temennya Mas Janu. Dan gue juga tau banget gimana sifatnya A Idar. Makanya, jangan sampe lo kepincut karena sifatnya yang satu itu!" terang April dengan menggebu-gebu.

Kerutan dalam pun seketika terbentuk di dahi Xenna. Seraya menggaruk pelipis Xenna pun bertanya untuk memastikan, "Bentar, bentar ... lo suka sama A Idar, Pril?"

"Ya menurut lo, Xen? Ngapain gue ngomong begini kalau bukan karena gue suka sama dia?"

"Terus, menurut lo gue bakal ngerebut A Idar dari lo, gitu?"

"Siapa yang tau, 'kan? Itu kenapa gue ngasih tau lo dari awal biar lo cepet-cepet hapus perasaan lo seandainya lo beneran suka."

Xenna pun kontan tergeming. Dihelanya napas dengan berat, lalu ia embuskan secara perlahan. Dalam waktu singkat, dua orang perempuan berkata demikian padanya. Pertama Sheila, dan kali ini tanpa diduga malah April yang notabenenya tengah berada di kota berbeda. Apakah tampang Xenna terlihat seperti seorang perebut di mata mereka? "Pril, lo pikir gue yang punya riwayat diselingkuhin bakal tega ngelakuin itu, gitu? Lo pikir gue yang pernah dikhianatin sahabat sendiri bakal ngelakuin hal yang sama?" Jeda sesaat. "Lagian, gue nggak suka sama A Idar, ya. Dia emang baik banget, tapi bukan berarti langsung bisa bikin gue suka juga, 'kan?"

Kali ini giliran April yang terdiam selama beberapa saat, barangkali tengah merenungkan apa yang Xenna utarakan kepadanya. Namun, sebelum April sempat membalas, Xenna sudah kembali bersuara, "Udahlah, gue tutup aja teleponnya kalau lo cuma mau ngomongin itu."

"Lah, Xen, kan lo yang nelepon gue duluan," balas April, terdengar bingung. "Lo mau ngomongin apa sih, emangnya?"

"Nggak jadi," Xenna menyahut ketus, "keburu bete gue gara-gara lo."

"Aduh, iya iyaaa maafin gue, ya? Gue cuma takut aja cowok yang gue suka dari lama malah kepincut sama temen gue sendiri."

"Kalau tau gitu kenapa lo nggak confess aja, sih, sebelum dia keburu sama cewek lain?"

"Mana berani gue, Xen. Nanti kalau gue ditolak, yang ada gue bakal kehilangan dia selamanya. Lagian, Mas Janu bilang A Idar cuma anggap gue kayak adeknya sendiri. Peluangnya makin kecil berarti, 'kan?"

Xenna tak langsung membalas. Ia malah mendadak terpikirkan oleh suatu hal. Bukankah situasinya dengan April cukup miirip? Kendati Xenna belum lama menyadari perasaan yang ia miliki terhadap Janu, tetap saja dirinya tidak punya keberanian sedikit pun untuk mengungkapkannya. Selama beberapa waktu ke belakang Xenna memang selalu berkata jujur kepada Janu, tetapi untuk yang satu itu ... tidak, Xenna sungguh tak ingin mengambil risiko. Ia sangat tidak siap dengan segala kemungkinan terburuknya. Maka dari itu, diam adalah pilihan paling terbaik, bukan?

"Oke, cukup deh bahas soal A Idar, makin terdengar menyedihkan aja gue yang ada," ujar April sembari menahan getir di saat Xenna belum sempat memberikan balasan. "Sekarang, giliran lo. Adakah yang mau lo ceritain sama gue, makanya lo tumben-tumbenan nelepon gue begini?"

Xenna menghela napas dengan berat seriring dengan kedua tangannya yang memeluk guling kian erat. Lantas, dengan ragu tapi pasti, ia pun bertanya, "Pril ... Mas Janu pernah pacaran nggak, sih?"

Kemudian, hening. April hanya geming selama sepersekian detik. Barulah tak lama setelah itu, suaranya kembali menyapa rungu Xenna dengan membalas, "Hah? Nggak salah denger gue, Xen? Ngapain lo tiba-tiba nanyain tentang Mas Janu, deh?"

"Jawab aja dulu, sih," kata Xenna, berusaha berbicara dengan nada biasa agar April tak menarih curiga. "Gue pengen mastiin sesuatu soalnya."

"Dih, aneh banget lo," April mencibir, tetapi setelahnya ia tetap memberikan penjelasan terkait apa yang ingin Xenna ketahui. "Seinget gue pernah, sih. Pas SMA kayaknya. Itu juga cuma sekali. Tapi, hubungannya nggak bertahan lama. Mas Janu diputusin duluan, karena katanya mas gue itu kaku banget dan akhirnya bikin bosen si cewek." Jeda sejenak. "Haduh, gue kasian sebenernya, tapi pengen ketawa juga karena apa yang dibilang cewek itu emang bener. Dulu Mas Janu kan emang kaku banget orangnya. Untung aja sekarang udah mendingan. Tapi, sayangnya masih aja betah ngejomlo dia."

Diam-diam, Xenna tersenyum kecut saat mendengar itu. Agaknya April memang benar. Saat ini, Janu tidak lagi kaku, terlebih lagi jika berhadapan dengan lawan jenis. Sebab bagaimana mungkin lelaki yang disebut kaku itu bisa memberi sebuah pelukan yang nyaman serta melontarkan kata-kata yang sarat akan kepedulian sekaligus mampu menenangkan hati? Hanya saja, kekurangannya adalah Janu betul-betul tidak sadar bahwa seluruh tindakannya telah sukses memberikan efek yang besar kepada Xenna. Kemungkinan, Janu sendiri menganggapnya hanya sebagai hal yang biasa, atau apa-apa saja yang dikatakannya memang betulan tak memiliki maksud lain.

Sungguh, Janu tak tahu saja kalau Xenna sampai tidak bisa tidur semalaman cuma karena sebaris kalimat yang tak mau berhenti dalam kepalanya sejak pertama kali terucap. Laki-laki itu ... memang benar-benar menyebalkan.

"Terus," Xenna masih ingin memuaskan rasa penasarannya, "kalau sama Kak Amanda, gimana? Mereka nggak pernah pacaran sama sekali, emangnya?"

"Wait, wait, lo kok bisa tau soal Kak Amanda, Xen?" tanya April, heran. "Elo bukannya baru pertama ketemu di pamerannya doang?"

"Ya bisalah. Si bangsat Arka itu ternyata adeknya Kak Manda, Pril. Dan sebelumnya, gue emang udah pernah ketemu sama Kak Manda."

"Hah ... demi apa, Xen? Anjir, gila sih, sempit banget dunia!" seru April tak percaya. "Terus, terus, lo jadinya penasaran gitu, apa hubungan Kak Manda sama Mas Janu?"

"Ya ... gitu, deh." Xenna meloloskan napasnya sejenak. Sembari berguling hingga pandangannya tepat tertuju pada langit-langit kamar, gadis itu melanjutkan, "Habisnya, A Idar bilang mereka tuh deket banget, sampe orang-orang aja pada ngiranya pacaran. Kalau gitu, ya kenapa nggak pacaran beneran aja, coba?"

Hening sejenak, sebelum akhirnya April menjawab, "Karena mereka nggak bisa, Xen." Ada jeda sesaat. "Gue sebenernya baru tau belum lama ini, sih, karena baru kali ini Mas Janu mau ngejelasin semuanya. Dan, emang bener kok, dulu mereka saling suka. Cuma, Mas Janu agak lambat aja geraknya, makanya dia cuma bisa suka diem-diem. Tapi, giliran Mas Janu mau bertindak, malah ada hambatan besar yang bikin dia mundur saat itu juga." April terdengar menghela napasnya. "Dulu, Mas Janu tuh sempet ketemu orangtuanya Kak Manda, Xen, yang kebetulan emang lagi jengukin anaknya di sini. Terus, entah gimana awalnya, papanya Kak Manda kasih tau Mas Janu kalau Kak Manda mau mereka jodohin sama anak dari rekan bisnisnya. Kayaknya sih, ortunya Kak Manda nyadar kalau Mas Janu suka sama anaknya dan sebaliknya, makanya dia ngasih tau sejak awal sebelum mereka punya hubungan serius.

"Karena orangtuanya langsung yang ngomong, otomatis Mas Janu jadi nggak bisa ngelakuin apa pun," April masih melanjutkan penjelasannya. "Niatnya buat merjuangin Kak Manda juga makin luntur karena pas mereka masuk semester akhir, Kak Manda akhirnya ketemu cowok yang mau dijodohin sama dia, tanpa tau kalau itu ternyata pilihan orangtuanya. Terus, mereka PDKT aja secara alami sampe akhirnya saling nyaman, tanpa ada paksaan dan tekanan dari pihak mana pun. Karena itu, Mas Janu akhirnya bener-bener mutusin buat lepasin Kak Manda."

Seluruh penuturan April sukses membuat Xenna terpekur dalam posisinya. Entah mengapa hatinya turut merasakan pedih kendati yang ia dengar barusan adalah kisah percintaan orang lain. Xenna jadi tak bisa berhenti memikirkan bagaimana keadaan Janu pada saat itu. Pasti sakit sekali, bukan? "Pril ... kok gue malah jadi pengen nangis, ya, dengernya?" Xenna bereaksi sembari berkedip-kedip ketika selaput bening mulai melapisi kedua bola matanya.

"Bukan lo doang kok, Xen. Gue juga ikutan sedih dengernya pas tau mas gue pernah ngalamin hal kayak gitu," tukas April usai menarik napas dengan berat. "Gue yakin banget sih, Mas Janu pasti belum bisa move on walaupun dia ngakunya udah terus, makanya dia belum punya pacar sampe sekarang. Mas Janu tuh kadang pinter banget nyembunyiin perasaannya, Xen."

Kontan Xenna pun termenung usai berhasil mencerna seluruh informasi yang April sampaikan, sampai akhirnya ia tersadar, pedih yang ia rasakan bukan sekadar rasa simpati yang dimilikinya terhadap Janu.

Sebab rasanya Xenna seolah ditampar bolak-balik oleh kenyataan, bahwa kemungkinan terbesarnya kesempatan untuk mengisi ruang di hati Janu kian tak jelas terlihat.

Bang Wira
Xen
Tadi kamu bilang hari ini ke kampus kan??

Xenna yang baru saja meninggalkan ruangan Bu Tanti menghentikan langkah sesaat hanya untuk membalas pesan dari Wira yang masuk sejak sepuluh menit lalu.

Xenna Adhika
Iyaa bangg
Kenapa emangnya?

Bang Wira
Udah beres blm bimbingannya??
Klo udah tunggu aja di deket halte depan kampus kamu itu
15 menitan lagi abang sampe

Xenna Adhika
Hahhh
Abang mau jemput xennaa???

Bang Wira
Iyaa
Udh ga usah dibales lagi, abang susah ngetik sambil nyetir
Kamu tunggu aja pokoknya, jgn kmana mana

Usai membacanya, secara otomatis sudut-sudut bibir Xenna pun tertarik lebar. Rasanya sudah lama sekali ia tidak dijemput oleh Wira seperti ini sepulangnya dari kampus. Dan, kalau diingat-ingat kembali, momen ini akan menjadi pertemuan pertama mereka setelah kakak laki-lakinya itu resmi menikah dan meninggalkan rumah. Oleh karenanya, perasaan senang yang lekas memuncak membuat Xenna buru-buru beranjak meninggalkan area gedung fakultasnya menuju gerbang utama Universitas Bimantara, tak peduli ia masih harus menempuh waktu sekitar sepuluh menit dengan berjalan kaki.

Rupanya, Wira jauh lebih cepat sampai daripada Xenna. Sebab hanya dalam jarak beberapa meter saja dari titik tujuan, Xenna sudah dapat melihat sosok Wira yang berdiri persis di samping mobilnya. Senyum Xenna pun kontan merekah lebar. Lantas ia buru-buru melanjutkan langkah dengan cepat untuk menghampiri Wira. "Abaaang!" Xenna berseru seraya merentangkan tangan, siap mendekap sang kakak laki-laki yang begitu ia rindukan.

Wira hanya pasrah saja dan membiarkan Xenna merengkuhnya erat kendati mereka tengah berada di ruang terbuka. "Kayaknya Abang belum lama-lama amat deh, nikahnya. Kok kamu kayak udah ditinggal bertahun-tahun aja sama Abang, Xen?" tanya Wira heran seraya mengelus lembut punggung sang adik perempuan. "Udah ah, nggak usah lama-lama. Nggak enak diliatin orang," lanjutnya seraya menarik diri, dan mau tak mau Xenna pun turut melepaskan pelukannya.

"Nggak usah banyak komen deh, kalau nggak tau gimana rasanya jadi Xenna yang sekarang udah ditinggal dua abang sekaligus!" protes Xenna dengan wajah merengut sebal. "Mana pada susah dihubungi lagi. Xenna ngechat aja harus nunggu berjam-jam baru dibales!"

"Hadeh, kok masih aja dibahas, Xen? Kemaren katanya nggak marah. Gimana, sih?" sahut Wira seraya mengacak sekilas puncak kepala Xenna. Kemudian lelaki itu mengembuskan pelan, bersamaan dengan pandangannya yang tiba-tiba berkeliling menyapu sekitar. "Omong-omong mana mantan kamu itu? Mumpung Abang di sini, Abang mau kasih kejutan dulu buat dia sebelum kita pergi."

Xenna mendengkus pelan mendengar itu. Andai kata Wira tahu apa-apa saja yang telah menimpa Xenna di hari-hari kemarin, kemungkinan Wira pasti akan terlihat marah lebih dari ini. Maka dari itu, Xenna cepat-cepat mendorong tubuh Wira agar ia masuk ke dalam mobil daripada mereka harus menunggu kemunculan Arka di sana. "Udahlah, Bang, lebih baik nggak usah berurusan lagi sama dia. Xenna udah males banget. Ayo pulang aja!"

Wira tentu tak dapat melakukan apa-apa selain menurut. Lantas ia pun lekas membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Begitu pula dengan Xenna.

"Padahal ini kesempatan bagus, Xen. Abang pengen banget sekali aja kasih bogem mentah buat si brengsek itu," ujar Wira seraya mengenakan seat belt.

"Dibilangin Xenna nggak mau berurusan lagi sama dia ih, Bang. Lagian, orangnya juga nggak ada keliatan di kampus," balas Xenna yang tengah melakukan hal serupa seperti Wira setelah memindahkan ranselnya ke pangkuan. "Omong-omong nih, kok tumben banget Abang mau jemput Xenna hari ini?" tanya gadis itu, sengaja ingin mengalihkan pembicaraan.

Embusan napas panjang kemudian Wira loloskan. Pada akhirnya, ia terpaksa menyerah soal Wira. Lantas sembari menyalakan mesin mobil, ia menjawab, "Kakak ipar kamu lagi ada acara, kemungkinan selesai malam. Abang harus jemput dia, tapi Abang malas kalau harus pulang dulu. Ya udah, mending Abang nunggu di luar sambil jemput kamu." Lelaki itu menonaktifkan rem tangan, kemudian menginjak pedal gas perlahan dengan kedua mata yang terarah pada spion hingga mobil bergabung dengan kendaraan lainnya di jalan raya.

"Cih, kirain emang murni lagi mau jemput, taunya cuma biar ada temen dan ada kerjaan aja," gerutu Xenna dengan tangan bersedekap. "Dijadiin second choice tuh nggak enak tau, Bang."

Decakan pun langsung saja terdengar dari Wira. "Aduh, apa sih, Xen? Kok jadi ke mana-mana? Lebay amat. Kamu kira Abang cuma gabut aja, gitu? Padahal jemput kamu aja tuh butuh effort, Xen. Butuh waktu sejam Abang nyetir dari tempat kerja ke kampus kamu karena jauhnya minta ampun." Wira menjeda sesaat. "Lagian, kamu nggak pengen ketemu Abang emangnya? Atau kamu udah terlanjur nyaman sama Janu?"

Xenna nyaris tersedak ludahnya sendiri. Ia berkedip sebelum menoleh pada Wira dengan wajah sedikit tegang. Rasanya tidak mungkin, 'kan, kalau Wira tahu Xenna memiliki perasaan terhadap Janu? Xenna bahkan tidak pernah menceritakannya. "Kok tiba-tiba jadi Mas Janu, sih ...."

"Ya habisnya tiap Abang telepon atau tanya ke Papa, kamu selalu aja lagi sama Janu. Sampe bosen tau Abang dengernya, Janu lagi, Janu lagi. Terakhir kali aja kamu malah udah sampe nginep di rumah Janu." Belum puas dengan ocehannya, Wira menarik napas sebelum melanjutkan, "Kayaknya percuma aja kamu nangis-nangis karena Abang tinggal nikah waktu itu, Xen. Sekarang malah jadi ada penggantinya, tuh, dan kamu pasti jadi nggak ngerasa kesepian karena nggak ada Abang."

"Apa sih, Bang?" Xenna benar-benar tidak mengerti mengapa Wira berkata demikian. "Ini maksudnya Abang cemburu sama Mas Janu, gitu, karena sekarang aku lebih sering sama dia?"

"Hadeh, bukannya cemburu juga kali, Xen," aku Wira. Ia menengok sekilas pada Xenna sebelum kembali fokus pada jalanan di depan yang cukup lengang. "Abang tuh cuma heran aja, kok sekarang kamu bisa jadi seakrab itu sama Janu? Dulu kalian aja bahkan nggak pernah ngobrol sama sekali. Atau sekalinya mulai deket, yang ada kalian kayak musuhan karena Janu yang nyebelin di mata kamu."

Kali ini, Xenna geming sejenak sebab tak menduga bahwa itulah alasannya. "Emangnya seaneh itu ya Bang, kalau sekarang aku jadi deket sama Mas Janu?"

"Nggak bisa dibilang aneh juga, sih. Tapi, Abang rasa Abang paham. Abang kan emang udah beberapa kali bilang kalau Abang nitipin kamu ke Janu. Mungkin aja dia beneran anggap hal itu sebagai sesuatu yang serius dan dia cuma mau bertanggung jawab. Mengakrabkan diri sama kamu juga mungkin termasuk salah satu caranya."

Oh, ya ampun. Lagi-lagi, Xenna merasa seperti ditampar oleh kenyataan. Pernyataan Wira bisa jadi merupakan kenyataan yang sesungguhnya. Sebab tidak mustahil pula, bukan, jika semua yang telah Janu lakukan memang semata-mata atas dasar tanggung jawab yang Wira bebankan kepada lelaki itu?

Setelah selesai melakukan ritual bersih-bersih di kamar mandi, Xenna melangkah keluar dengan pakaian baru lengkap seraya menggosok-gosok rambut panjangnya yang basah dengan handuk. Tujuan utamanya bukanlah kamar, sehingga Xenna melewatinya begitu saja dan lanjut melangkah ke arah pintu utama. Sesampainya di sana, Xenna menyibak gorden untuk mengintip keluar, ingin memastikan apakah mobil Wira masih terparkir di depan pagar atau tidak. Namun, ternyata sama sekali tak Xenna temukan, membuatnya segera berpikir kalau Wira memang sudah pulang.

Saat tiba di rumah tadi, Wira hanya masuk sebentar, menumpang minum dan makan camilan seraya membahas beberapa hal yang ringan dengan Xenna. Kemudian lelaki itu berpamitan untuk pergi menjemput Renata, istrinya. Sebelum benar-benar pulang, Wira sempat berkata bahwa ia ingin mengunjungi rumah Janu sejenak untuk bertemu dengan lelaki itu dan Mami. Dan, tampaknya pertemuan singkat tersebut benar-benar telah usai.

Embusan napas panjang pun Xenna loloskan. Ia kemudian berbalik dan beranjak menuju kamarnya sebab tak ada lagi yang bisa dilakukan jika dirinya kembali sendirian seperti ini. Gadis yang mengenakan piyama serba panjang bermotif kucing itu lantas duduk di tepian tempat tidur sambil terus mengeringkan rambut dengan handuk lantaran terlalu malas memakai hair dryer. Di tengah-tengah kegiatannya, Xenna mendadak tertarik dengan ponsel yang tergeletak begitu saja di dekat bantal. Seingat Xenna, ia belum mengeceknya lagi setelah dirinya sampai di rumah tadi.

Menghentikan sejenak gosokan handuk pada rambut, Xenna pun akhirnya meraih benda tersebut dan menyalakan layar. Dan, notifikasi dari salah satu aplikasi yang terpampang di sana membuat Xenna membeku sesaat. Kendati perasaannya tengah tak keruan, Xenna sungguh tidak bisa menahan kedua sudut bibirnya yang secara otomatis terangkat. Cepat-cepat gadis itu pun membuka pesan yang diterimanya tersebut.

Mas Janu
[Sent a photo]
Bisa kamu ambil malam ini.
Atau bsk.
Saya akan titip ke mami kalau kamu mau ambil saat saya gak ada.

Foto yang Janu kirimkan adalah hasil lukisannya yang kini benar-benar sudah selesai. Namun, pesan-pesan yang mengiringnya membuat Xenna tak punya waktu untuk langsung mengaguminya.

Xenna Adhika
Hahhh
Maksudnya ambil tuh apa yaa mas?
Emang mas janu beneran mau kasih lukisan itu ke akuu?

Mas Janu
Sejak awal saya memang lukis itu utk kamu.

Dan, sekonyong-konyong Xenna pun tertegun dengan kedua mata membulat tak percaya. Xenna sadar betul bahwa memang keinginannya sendiri dibuatkan lukisan oleh Janu berdasarkan potret indah yang pernah ia ambil beberapa tahun lalu. Namun, hanya sekadar itu saja. Xenna cukup menikmati hasilnya tanpa berniat meminta hak milik lukisan tersebut demi menghargai usaha Janu. Akan tetapi ... apa yang telah dibacanya barusan?

Sungguh, Xenna betul-betul tak dapat mendeskripsikan perasaannya saat ini. Usai disadarkan dirinya memang tak boleh berharap lebih, justru Janu sendiri malah bersikap seakan-akan melarang Xenna untuk mundur. Lantas, Xenna jadi harus bagaimana?

Selama beberapa saat Xenna pun mengalami perang batin sebelum ia dapat mengambil keputusan. Namun, tetap saja semuanya berhasil dikalahkan oleh rasa untuk Janu yang perlahan-lahan kian membesar. Hingga tanpa sadar, Xenna sudah beranjak dari tempat tidur, berbenah diri sedikit dan meraih kardigan dari gantungan di belakang pintu. Dalam waktu singkat Xenna pun siap untuk pergi ke rumah Janu. Tanpa maksud apa pun, murni hanya ingin mengambil lukisan yang diberikan oleh Janu.

Dan, di sinilah gadis itu sekarang. Berdiri di depan pintu rumah Janu sembari mengetuknya walau ada sedikit keraguan yang bersarang dalam diri.

Tanpa menunggu lama, samar-samar Xenna sudah dapat menangkap derap langkah yang mendekat, hingga pada akhirnya pintu pun terbuka lebar, menampilkan sosok Janu sebagai satu-satunya pemandangan yang terekam oleh penglihatan Xenna saat ini.

Senyum kikuk lantas terbit di bibir Xenna, yang kemudian disusul oleh kalimat, "Mas, itu ... aku ke sini mau ambil lukisan." Ada jeda sesaat. "Tapi, Mas Janu beneran mau kasih itu buat aku? Aku kan sama sekali nggak minta, Mas ...."

Janu memandang Xenna tanpa ekspresi, lalu balasan yang datang darinya adalah, "Memang, tapi itu keinginan kamu. Sudah saya wujudkan."

"Ya ... tapi maksud aku tuh, lukisannya simpan aja buat koleksinya Mas Janu. Aku bisa nikmatin hasilnya aja udah cukup banget, kok, Mas."

"Keinginan kamu jadi lebih sempurna kalau lukisannya jadi milik kamu."

Mendadak Xenna pun kehilangan kata.

"Tapi saya bisa aja berubah pikiran sekarang. Jadi, kamu mau atau nggak?" lanjut Janu tanpa menunggu Xenna bersuara. Dan, lagi-lagi untuk yang ke sekian kali, lelaki itu memberi pilihan alih-alih sebuah penjelasan.

Menolak sudah jelas tidak ada di kepala Xenna dalam kesempatan seperti ini. Maka dari itu, Xenna cepat-cepat mengangguk bersamaan dengan lolosnya jawaban, "Mau."

Janu pun pada akhirnya meloloskan napas pelan. "Ya sudah. Masuk." Setelahnya, Janu pun membiarkan Xenna masuk ke dalam rumahnya, dan segera saja ia bawa sang gadis ke lantai dua, tepatnya ke ruang pribadi miliknya. Keadaan di dalam sana cukup sepi oleh karena Mami yang tengah mengunjungi rumah Ketua RT tak lama setelah Wira bertandang. Sehingga, sudah jelas di rumah itu hanya ada Janu dan Xenna sekarang.

Setibanya di ruangan, Xenna dapat langsung menangkap kanvas berisi lukisan Janu yang sudah rampung. Sepasang bola matanya pun membulat takjub seiring ia mengambil langkah kian dekat. Benar-benar indah. Xenna sungguh tak bisa menjelaskannya lewat kacamata seni sebab hal tersebut memang bukan bidang keahliannya. Walau demikian, Xenna sama sekali tidak bohong. Lukisan Janu sungguh-sungguh indah di matanya. Sesuai dugaan sebelumnya, hasil akhir lukisan itu memang tak sama persis dengan referensi yang ada. Namun, cukup hanya dengan melihatnya, Xenna seolah berhasil terbawa kembali pada momen di mana ia mengalami momen mengesankan tersebut. Setidaknya, begitulah yang Xenna rasakan saat ini.

"Mas, aku nggak boong, ini beneran bagus banget," Xenna akhirnya berkomentar sambil menengok pada Janu yang berdiri tepat di sampingnya. "Aku sampe pengen nangis jadinya ...."

Janu yang mendengar itu pun segera memiringkan kepala, menatap Xenna tak habis pikir. "Hal sesepele ini pun bisa bikin kamu nangis?" tanyanya keheranan.

"Ih, sepele apanya? Ini kan hasil kerja kerasnya Mas Janu, masa dibilang sepele?" gerutu Xenna dengan bibir yang mengerucut. Dan, kedua matanya benar-benar tampak telah dilapisi oleh cairan bening. "Aku tuh terharu tau, lukisan sebagus ini mau Mas Janu kasih ke aku secara cuma-cuma. Padahal, kalau disuruh beli pun, aku mau banget, Mas."

"Yang satu ini nggak dijual. Saya nggak butuh bayaran," ujar Janu dengan tegas, lalu setelahnya ia mendekat untuk mengambil lukisan tersebut usai melepaskannya dari spanram. Di saat itu Janu hendak langsung memberikannya pada Xenna. Namun, ketika secara tak sengaja Janu melihat perbandingan ukuran kanvas dengan tubuh Xenna, tampaknya ia benar-benar sudah salah memperkirakan. Sesaat lelaki itu pun tidak bergerak di tempatnya.

Kanvas yang kini berada di tangan Janu terbilang tidak begitu besar. Namun, tentu karena kebetulan Janu yang memegangnya dan ia adalah seorang laki-laki. Lantas, bagaimana Xenna akan membawa lukisan tersebut dengan tubuh sekecil itu?

Setelah memikirkannya selama beberapa detik--hingga membuat Xenna tampak kebingungan lantaran lelaki di hadapannya tak berkata apa pun, Janu pun akhirnya memutuskan untuk tidak menyerahkannya pada Xenna. Atau lebih tepatnya, Janu sendiri yang akan membawakannya ke rumah gadis itu. Lantas Janu segera beranjak dari tempatnya untuk meninggalkan ruangan.

Namun, sebelum itu, Xenna yang melihatnya segera mencegahnya dengan berkata, "Eh, kok Mas Janu yang bawa, sih?"

"Karena kamu nggak akan bisa," Janu menyahut enteng.

"Ih, belum juga dicoba, Mas, tau dari mana kalau nggak bisa?"

"Prakiraan saya nggak pernah meleset."

"Tapi kan--"

Sebelum Xenna sempat menyelesaikan ucapannya, secara tak terduga, penerangan tiba-tiba padam begitu saja. Ruangan itu benar-benar tertutup dan tanpa jendela, hingga yang dapat Xenna tangkap oleh penglihatannya hanyalah gelap pekat. Jantungnya mulai berdegup cepat dengan tubuh yang benar-benar membeku. Xenna tidak takut gelap, tetapi ia pun paling tak suka jika harus terjebak dalam kegelapan seperti ini. Terlebih lagi, ini bukanlah rumahnya sendiri.

"Mas ... Mas Janu di mana?" tanya Xenna dengan suara gemetar sembari meraba-raba sesuatu di depannya. Namun, ia tak berhasil menggapai apa pun. Mendadak dirinya pun panik, takut jika Janu benar-benar tidak ada bersamanya di sana.

"Sebentar, saya cari HP saya dulu." Pada akhirnya suara Janu terdengar, tetapi Xenna tak bisa menebak di mana keberadaan lelaki itu sekarang. Kendati demikian, Xenna merasa cukup lega sebab ia tidak sendirian. "Kamu diam di situ, jangan ke mana-mana," titah Janu setelahnya, tak terbantahkan.

Xenna pun cepat-cepat mengangguk walaupun tahu Janu takkan dapat melihatnya. Namun, entah apa yang Xenna pikirkan saat itu, ia malah mengambil dua langkah mundur hingga berhasil menyenggol spanram yang tanpa ia sadari berada persis di belakangnya. Sontak Xenna pun membalikkan badan, berniat untuk menahannya agar tidak jatuh. Sayangnya, akibat hanya gelap yang dapat Xenna lihat, ia tidak berhasil menyentuh apa pun hingga spanram tersebut akhirnya terjatuh dan menimpa kaki Xenna. Gadis itu pun refleks memekik. Entah bagian mana yang mengenai kakinya, tetapi rasanya nyeri bukan main.

Xenna lantas jatuh terduduk seraya memegangi bagian tubuhnya yang terluka. Kini ketakutan justru mengalahkan segalanya sebab Xenna sadar ia telah melakukan kesalahan besar, di dalam ruangan pribadi Janu. Dan, apa yang dirasakan Xenna pun langsung terbukti ketika ia mendapati cahaya terang yang menyorot ke arahnya, bersamaan dengan hadirnya Janu yang tahu-tahu sudah berlutut di hadapannya.

Cahaya tersebut kemudian menjauh hingga Xenna tak perlu lagi menyipit karena silau. Namun, di saat itu pula Xenna akhirnya dapat melihat jelas bagaimana ekspresi Janu saat ini. Kilat amarah di matanya itu ....

Xenna segera menelan saliva dengan susah payah. Ia benar-benar sial hari ini.

"Saya sudah suruh kamu diam, kenapa nggak kamu dengarkan?" tembak Janu langsung dengan suara yang meninggi, menandakan bahwa lelaki itu memang benar-benar tengah dikuasai oleh emosi yang masih berusaha ia tahan. "Coba lihat sekarang, apa yang sudah kamu perbuat. Memangnya sesusah itu cuma untuk menunggu saya sebentar, hm?"

Tidak bisa. Xenna sungguh tidak bisa menahannya. Ia betulan lemah kalau sudah berada dalam situasi seperti ini. Alhasil, Xenna tak bisa berbuat apa pun selain membiarkan air mata menuruni pipinya begitu saja. "M-mas, maafin aku ...," ujar Xenna dengan suara bergetar. Rasa bersalah serta ketakutan tampak jelas di wajahnya. "Aku salah nggak dengerin Mas Janu, aku ceroboh udah nggak hati-hati, aku nggak sadar di belakang aku ada--"

"Selalu aja begini," potong Janu dengan cepat. Tatapannya kian menajam hingga Xenna makin ciut lagi dibuatnya. "Selain minta maaf, yang bisa kamu lakukan cuma menyalahkan diri sendiri, memangnya?"

Selain tak mengerti dengan maksud perkataan Janu, Xenna pun merasa otaknya benar-benar kosong sehingga ia tak mampu bersuara lagi--selain isakan yang berusaha ia tahan setengah mati dengan menggigit bibir bagian dalam. Kemudian ia tertunduk, tak lagi sanggup melihat Janu yang sedang marah seperti ini.

Setelahnya, Xenna menangkap suara embusan napas kasar yang Janu loloskan. Sesaat Xenna sempat mengira ia akan kembali mendapatkan omelan atas kesalahannya. Namun, tanpa diduga, Xenna malah merasakan sentuhan di tubuhnya. Ketika menoleh, Xenna pun melihat bagaimana Janu tahu-tahu tengah berusaha membopongnya, hingga pada akhirnya tubuh ramping gadis itu berhasil terangkat sempurna. Napas Xenna seketika saja tertahan. Sepasang matanya pun membulat kaget.

Walaupun bingung dengan apa yang terjadi, tetapi Xenna betul-betul tak bisa berkata apa pun, bahkan sampai Janu menurunkannya di sofa panjang dengan hati-hati.

Yang Janu lakukan kemudian adalah memegang kedua bahu Xenna dengan tatapannya yang tampak serius. Lalu lelaki itu pun berkata, "Saya mau ke bawah sebentar. Tunggu di sini, jangan ke mana-mana. Kali ini, tolong dengarkan saya."

Lantas, tanpa menunggu Xenna merespons, Janu sudah beranjak pergi meninggalkan ruangan sambil membawa satu-satunya penerangan yang mereka miliki saat ini; meninggalkan Xenna dalam kegelapan nyata; pun meninggalkan Xenna dengan hatinya yang sudah tak keruan, terporak-poranda hanya karena seorang Adhyaksa Januar.

-ˋˏ ༻❁༺ ˎˊ-

bandung, 13 september 2023

Continue Reading

You'll Also Like

50.6K 8K 48
ACT 1 - BE YOUR ENEMY โSampai kapan permusuhan ini akan berakhir?โž Anora tidak terlahir dari keluarga kaya, ia hanyalah seorang anak sederhana dan me...
21.9K 1.8K 30
"Mengapa begitu sulit memintamu untuk tetap bertahan?" Seorang pria tengah berbicara kepada seseorang yang sudah terkubur jauh di dalam tanah. Tangan...
244K 57.6K 52
If there's bunch of reason people to leave me. I'll make you stay, for one reason.
4.7M 134K 88
WARNING โš  (21+) ๐Ÿ”ž ๐‘ฉ๐’†๐’“๐’„๐’†๐’“๐’Š๐’•๐’‚ ๐’•๐’†๐’๐’•๐’‚๐’๐’ˆ ๐’”๐’†๐’๐’“๐’‚๐’๐’ˆ ๐’˜๐’‚๐’๐’Š๐’•๐’‚ ๐’š๐’ˆ ๐’ƒ๐’†๐’“๐’‘๐’Š๐’๐’…๐’‚๐’‰ ๐’Œ๐’† ๐’•๐’–๐’ƒ๐’–๐’‰ ๐’๐’“๐’‚๐’๐’ˆ ๐’๐’‚๐’Š๐’ ๐’…๐’‚๐’ ๏ฟฝ...