Memories in the Making [END]

By dindaarula

91K 8.5K 1.4K

[Cerita Terpilih untuk Reading List @RomansaIndonesia - SPOTLIGHT ROMANCE OF NOVEMBER 2023] Menjadi lebih dek... More

ā€ Introduksi
ā€ 01 - Ketika Xenna Ditinggal Menikah
ā€ 02 - Problematika Hati dan Skripsi Xenna
ā€ 03 - Tentang Janu dan Pencarian Jodoh
ā€ 04 - Xenna Bukan Anak Kecil (Lagi)
ā€ 05 - Tindakan Langka Janu
ā€ 06 - Layaknya Kakak Ketiga Xenna
ā€ 07 - Xenna, Tumbuh Dewasa, dan Luka
ā€ 08 - Debaran Pertama untuk Janu
ā€ 09 - Dekapan Pertama untuk Xenna
ā€ 11 - Sisa Hari Bersama Janu
ā€ 12 - Hadirnya Teman-Teman Janu
ā€ 13 - Kekesalan dan Kecemburuan Xenna
ā€ 14 - Berlabuhnya Hati pada Janu
ā€ 15 - Xenna dan Sakit yang Tiada Habisnya
ā€ 16 - Janu dan Kucing Hitam
ā€ 17 - Naik Turunnya Perasaan Xenna
ā€ 18 - Ruang Pribadi dan Dunia Janu
ā€ 19 - Xenna dan Hati yang Terporak-poranda
ā€ 20 - Lebih Dekat dengan Janu
ā€ 21 - Harapan Perihal Kebahagiaan Xenna
ā€ 22 - Keinginan Tersembunyi Hati Janu
ā€ 23 - Xenna dan Bentuk Kepeduliannya
ā€ 24 - Janu dan Bentuk Kekhawatirannya
ā€ 25 - Ketika Xenna Menjadi yang Utama
ā€ 26 - Di Saat Janu Cemburu
ā€ 27 - Bimbingan, Obrolan Malam, dan Xenna
ā€ 28 - Perkara Ajakan "Kencan" Janu
ā€ 29 - Satu Lampu Hijau dari Tiga Pelindung Xenna
ā€ 30 - Perihal Pembuktian Perasaan Janu
ā€ 31 - Cukup Hanya dengan Xenna
ā€ 32 - Semua Akan Janu Usahakan
ā€ 33 - Rasa Kecewa yang Tak Xenna Duga
ā€ 34 - Keyakinan yang Menghampiri Janu
ā€ 35 - Sebuah Usaha untuk Membuat Xenna Pergi
ā€ 36 - Berada di Luar Kendali Janu
ā€ 37 - Amarah yang Melingkupi Xenna
ā€ 38 - "Kejahatan" yang Dapat Janu Maklumi
ā€ 39 - Xenna dan Ketenangan yang Enggan Hadir
ā€ 40 - Janu di Ambang Bimbang
ā€ 41 - Hadiah yang (Tak) Xenna Inginkan
ā€ 42 - Tatkala Dunia Janu Meruntuh
ā€ 43 - Derai Air Mata untuk Xenna
ā€ 44 - Janu dan Hukuman dari Si Pelindung Nomor Satu
ā€ 45 - Kembali Pulang pada Xenna
ā€ 46 - Terkait Usaha Janu Menjemput Restu
ā€ 47 - Xenna Bersama Para Pelindungnya
ā€ 48 - Tibalah Janu di Penghujung Badai
ā€ 49 - Rumah Xenna yang Ramai Kembali
ā€ 50 - Balasan yang Pantas Janu Dapatkan
ā€ 51 - Perubahan yang Ada Karena Xenna
ā€ 52 - Janu Mengaku Pada Akhirnya

ā€ 10 - Hal-Hal yang Patut Xenna Syukuri

1.8K 201 3
By dindaarula

"MAS."

"Kenapa?"

"Itu ...."

"Apa? Kamu mau minta saya untuk nggak ngomong apa pun ke abang-abangmu lagi?"

Xenna menggigit bibir. Janu ternyata dapat menebaknya dengan mudah. Lantas gadis itu pun mengangguk-angguk pelan tanpa menatap sang lawan bicara. Namun, sepersekian detik kemudian, pandangannya naik dengan ragu hanya untuk melihat bagaimana reaksi Janu. Lelaki itu kini tampak heran, tetapi entah mengapa Xenna dapat menemukan pula secuil amarah dalam rautnya, barangkali karena Janu tak setuju dengan permintaan Xenna.

Janu kemudian menghela napas berat. Kedua matanya yang kecil menyorot lekat pada Xenna. "Saya nggak ngerti kenapa kamu malah ingin menutupi semuanya dari mereka. Kenapa? Takut mereka marah? Takut mereka khawatir? Takut mereka sedih?" Lelaki itu mempertanyakan kebingungannya terhadap sikap Xenna.

Sejenak Xenna hanya tergeming seraya memegangi sisi daun pintu dengan erat. Sebetulnya Xenna sudah siap masuk ke dalam rumah, dan Janu bahkan sudah sempat berpamitan untuk pulang--sebelum akhirnya dicegah oleh Xenna sebab ingin menyampaikan sesuatu. "Aku udah cukup membebani mereka dengan cerita kalau aku diselingkuhin, aku nggak mau nambah-nambahin lagi dengan kejadian tadi." Ada jeda sesaat. "Mas Janu kan tau sendiri mereka udah punya kehidupan masing-masing. Apalagi Bang Wira yang baru banget nikah. Masa ke depannya dia harus mikirin aku terus-terusan ...."

Usai mendengarnya, Janu tidak langsung membalas. Ia mengerti, tetapi tidak dapat memahami sepenuhnya mengapa Xenna berpikiran demikian. Mungkin Janu baru benar-benar bisa jika ia berpijak pada sepatu yang sama dengan Xenna. Dan, pada akhirnya Janu pun memutuskan untuk tidak banyak berkomentar. "Kenapa kamu bisa-bisanya sempat bertahan dengan seseorang yang ringan tangan seperti dia?" tanya Janu mengalihkan pembicaraan, tetapi masih dalam satu kepala masalah yang sama.

Xenna tertegun sebentar. Sungguh pertanyaan yang tak terduga. "Aku nggak tau, Mas, dia nggak pernah semarah ini sama aku sebelumnya," jawab Xenna sembari berusaha mengingat-ingat yang sudah lalu kendati mampu kembali mengundang pedih. "Tapi ... aku baru sadar kalau beberapa kali dia pernah berlagak mau mukul kalau dia lagi cukup kesel sama aku. Aku pikir dia cuma bercanda aja, tapi ternyata ...." Xenna tak sanggup untuk melanjutkan kalimatnya.

"Kalau gitu, harusnya kamu bersyukur karena sudah dijauhkan dari laki-laki seperti itu."

"Iya, Mas Janu bener. Tapi tetep aja rasanya sakit banget kalau caranya kayak begini, Mas ...."

Janu berkedip dua kali sebelum ia sejenak memalingkan wajah, lalu kembali lagi pada Xenna seraya membuang napas berat. "Kalau ada apa-apa, kamu bisa hubungi saya."

Xenna kontan mengerjap polos. "Mas bilang apa?"

"Kalau kamu memang mau menutupi semuanya dari Vandi dan Wira atau bahkan papa kamu juga, setidaknya kamu masih bisa kasih tahu saya kalau terjadi hal-hal seperti tadi lagi," sahut Janu dengan tenang.

Xenna betul-betul tak percaya dengan apa yang didengarnya. Seluruh tindakan Janu padanya hari ini memang sungguh di luar dugaan.

Entah apa yang sebenarnya ada dalam pikiran laki-laki itu. Apakah semuanya Janu lakukan atas dasar rasa kepedulian, atau hanya sebatas bentuk tanggung jawab karena Wira pernah berpesan untuk menitipkan Xenna padanya? Dua hal itulah yang paling masuk akal bagi Xenna. Namun, mau yang mana pun alasannya, tak bisa dipungkiri bahwa sesuatu di balik dada Xenna kembali berdentum tak beraturan. Lalu mengingat Janu yang sempat memeluknya tadi ... oh, ya ampun. Seketika panas menjalari wajah sementara perutnya serara tergelitik.

"Saya pulang dulu," Janu kembali bersuara untuk pamit. "Kalau kamu nggak akan ke mana-mana lagi, kunci pintunya sampai papa kamu pulang."

Xenna mengangguk perlahan. Tatapnya lekat pada laki-laki yang menjulang di hadapannya itu. "Makasih banyak, Mas," tuturnya dengan tulus. "Umm ... maaf juga karena bajunya Mas Janu jadi basah kena air mata sama ingus aku." Sesungguhnya Xenna cukup malu mengatakan itu.

Janu mengangkat sedikit satu sudut bibirnya. "Nggak papa. Ini jadi bukti nyata betapa cengengnya kamu."

Kontan saja kedua mata Xenna melebar lantaran sebal. Dengkusan pun ia loloskan. "Aah, tuh kan, ujung-ujungnya Mas Janu ngatain aku cengeng lagi!"

"Atas nama siapa, Kak?"

"Xenna ya, Mbak. Pake X, terus double N."

"Ah ... iya baik, Kak."

Radian yang berdiri di samping Xenna kontan mengernyit mendengar itu. "Siapa sih yang ngasih nama lo, Xen? Ribet banget, anying," komentarnya. Saat ini mereka tengah berada di kafe paling terdekat dengan kampus. Sebetulnya Radian berniat untuk mengerjakan skripsi di kosnya saja, sebelum Xenna tiba-tiba menghubunginya dan mengajak keluar. Gadis itu bilang, mood-nya terhadap skripsi kembali kacau, dan mungkin akan kembali membaik jika ia bertemu serta mengobrol dengan kawan seperjuangannya.

"Ya ortu guelah, menurut lo siapa lagi?" sahut Xenna dengan raut heran sembari ia mengeluarkan sejumlah uang dari dalam dompet. Di hari ini kebetulan ia pun berkeinginan untuk mentraiktir Radian. "Babeh gue obses banget namain anak-anaknya dengan abjad berurutan, lanjutan dari inisial namanya sendiri dan nama mak gue. Sialnya gue si anak terakhir kebagian huruf X. Tapi beruntungnya mereka nemu aja lagi nama buat gue."

Usai membayar, mereka pun lekas mencari meja kosong dan menunggu sampai pesanan selesai dibuat. Tempat ternyaman bagi keduanya berhasil ditemukan di pojok yang persis bersebelahan dengan kaca. Xenna memilih kursi yang membelakangi kaca tersebut sementara Radian di seberangnya.

"Kreatif juga bapak lo," kata Radian, masih melanjutkan percakapan sebelumnya. "Di kartu keluarga lo keren dong jadinya, berurutan sesuai abjad."

Xenna mendengkus pelan. Senyumnya terbentuk kecut. "Sekarang udah nggak keren lagi, Yan. Emak minggat, abang pertama udah nikah, terus nanti bakal pecah KK lagi karena abang kedua juga baru nikah."

Mendadak Radian pun menyesal sudah berkata demikian. Sejujurnya ia baru dekat dengan Xenna dimulai sejak menginjak semester delapan ini sehingga ia belum tahu banyak soal latar belakang gadis itu. "Oh ... maaf, gue nggak tau," balas Radian dengan hati-hati. Dan untuk sedikit mengusir canggung, ia mulai mengeluarkan laptop serta beberapa buku yang dijadikannya sebagai sumber rujukan.

"Santuy aja sama gue mah," Xenna menyahut, dan ia memang terdengar begitu santai. "Eh, btw skripsi lo udah nyampe mana sih, Yan?"

"Udah nyampe Bali dia."

"Ha, lucu lo."

"Ketawa dong kalau lucu."

"Males," Xenna menyahut ketus. "Gue nanya serius, Yan, dijawab dulu sabi kali."

Sejenak Radian memandang Xenna malas sebelum ia membuka laptop dan mengaktifkannya. "Masih di bab tiga. Kalem, lo nggak ketinggalan sejauh itu, kok. Gue udah hampir tiga mingguan stuck di bab tiga karena gue baru sadar kalau gue segoblok itu buat nyusun kata-kata ilmiah. Jujur aja gue agak nyesel udah ambil penelitian kuali." Radian menarik napas dalam seraya menyugar poni hitamnya yang sedikit panjang. "Tapi kalau gue ambil penelitian kuanti kayaknya bakal tetep bernasib sama, sih, karena gue bego hitung-hitungan dan nggak bisa teliti orangnya." Laki-laki berjaket putih itu lantas mendesah frustasi. "Ah, anjirlah, manusia mana sih yang udah ngide buat nyiptain skripsi? Pengen gue ajak makan mie ayam bareng aja rasanya."

Satu alis Xenna terangkat sementara dirinya menatap Radian aneh. "Masa cuma lo ajak makan mie ayam doang? Nggak seru amat."

"Itu aslinya rencana pembunuhan, Xen. Kan entar mie ayamnya gue kasih sianida."

Pada detik itu juga, tawa nyaris menyembur dari mulut Xenna walaupun pada akhirnya ia lepaskan juga. "Anjir," gadis itu memukul ringan meja seiring tubuhnya yang bergerak ke belakang, lalu kembali lagi pada posisi semula, "emang di luar nurul isi otak lo." Setelah tawanya mereda, Xenna pun menambahkan, "Tapi bagus, bagus juga ide lo. Sekarang lo cari dulu deh tuh sampe dapat orangnya."

Radian tersenyum tipis. Kedua matanya menatap Xenna lurus-lurus selama beberapa milisekon sebelum akhirnya kembali lagi pada layar laptop. "Ketawa juga lo akhirnya," gumam lelaki itu pelan, tetapi Xenna tidak mendengarnya. Kemudian dengan volume yang kembali normal ia secara asal membalas, "Gampang itu, entar gue atur." Ada jeda sejenak. Pandangannya kembali mengarah pada Xenna. "Sekarang gue mau tanya deh, sama lo. Kali ini lo nggak bisa fokus karena apa lagi?"

Xenna kontan tergeming, tak begitu lama. Sudut-sudut bibirnya tertarik membentuk senyum masam, kemudian ia menarik napas dalam. "Masih masalah yang sama," jawab Xenna sekenanya. "Gue boleh cerita dulu sama lo nggak, sih?"

"Cerita aja," tanggap Radian tanpa pikir panjang. "Sambil nyicil bab tiga gue sambil dengerin lo juga."

"Hmm ...." Sejenak Xenna berpikir bagaimana harus memulainya. "Dua hari lalu Arka datang ke rumah gue. Dia pengen ngomong baik-baik dan minta maaf supaya bisa balik lagi sama gue, karena bagi dia kami cuma putus secara sepihak."

Fokus Radian dengan cepat teralihkan. Ia lantas menegakkan badan dan bertopang dagu di atas meja. Namun, ada interupsi sejenak di mana sang pegawai kedai kopi memanggil nama Xenna, yang berarti pesanan mereka sudah siap. Radian berinisiatif untuk mengambilnya, dan ia pun kembali ke meja dengan cepat. Lelaki itu menyerahkan iced americano untuk Xenna, lalu sejenak ia menikmati affogato-nya terlebih dahulu. "Terus, gimana?" tanya Radian, kembali menyimak cerita Xenna dengan serius.

Seraya mengaduk minumannya dengan sedotan, Xenna menjawab, "Ya udah jelas gue nggak mau, lah." Xenna menyesap kopinya sejenak. "Gue berkali-kali tolak dia dan suruh dia pulang. Sampe akhirnya gue kepikiran satu hal yang bikin gue langsung sampein apa yang ada dalam kepala gue saat itu juga. Dan itu ... yang gue maksud itu soal Gia."

Radian tampak sedikit terkejut, tetapi ia hanya diam, memberi isyarat agar Xenna terus melanjutkan.

"Lo inget 'kan, informasi apa yang gue dapat di hari gue tau soal perselingkuhan itu?"

"Gia ada di kamar kosnya Arka?"

Xenna mengangguk kecil. "Gue mendadak jadi kepikiran, Yan. Masalahnya Arka nggak pernah ngebolehin gue main ke kosnya, karena katanya takut gue digangguin sama temen-temennya. Tapi kok ini Gia boleh, malah udah sampe masuk-masuk ke kamarnya? Gue kan jadinya kepikiran ... gue jadi takut kalau Gia beneran udah diapa-apain sama Arka." Ada jeda. "Pas gue tanyain itu sama Arka, dia malah marah karena dituduh macam-macam. Padahal gue cuma nanya aja loh buat mastiin, tapi tetep aja dia marah. Dia semarah itu sama gue, sampe-sampe dia ... hampir aja mukul gue, Yan."

Sontak Radian pun terperangah. Gadis di hadapannya ini nyaris dipukul oleh seorang lawan jenis yang seharusnya melindungi? Yang benar saja! "Lo serius, Xen? Dia berani mukul lo?"

Xenna mengedikkan bahu acuh tak acuh. "Entah dia cuma refleks atau itu emang beneran sifat aslinya yang nggak pernah gue tau selama ini. Yang jelas gue bersyukur karena dia akhirnya nyadar dan masih bisa berhenti, walaupun gue kaget setengah mati gara-gara itu."

"Oke ...." Radian mencoba mengontrol emosinya dengan menarik napas dalam-dalam. "Jadi, karena lo kepikiran soal Gia, lo bikin Arka marah dan dia hampir mukul lo?" Lelaki itu memberi jeda seraya ia memiringkan kepala, memandang Xenna penuh heran. "Gue boleh ngatain lo goblok nggak, sih?"

Seketika Xenna pun memasang raut tak terima. "Heh, kok lo malah ngatain gue, sih?"

"Ya habisnya emang gitu nyatanya, Xen. Gue nggak habis pikir, lo kenapa masih bisa-bisanya mikirin si pengkhianat, hah?" tembak Radian dengan tampang begitu serius. "Mau dia udah ngapain aja sama si Arka, itu jadi urusan mereka masing-masing, Xen. Kalau emang ada consent dari kedua belah pihak ya nggak ada gunanya juga lo khawatirin si Gia. Mereka sama-sama mau. Gia datang ke kosan si Arka juga atas kemauannya sendiri. Kalau dia dipaksa, udah pasti info yang sampe ke lo bakalan beda. Sekarang pun keliatannya nggak ada masalah apa pun sama Gia, 'kan? Gue juga sempet liat mereka berdua happy-happy aja, tuh.

"Ngapain lo mikirin Gia, Xen, kalau kenyataannya aja dia nggak ada mikirin lo sama sekali waktu berbuat hal itu di belakang lo?" lanjut Radian. Sejenak ia meloloskan napas berat. Kedua tatapnya masih lekat pada Xenna. "Udahlah, sekarang lo fokus sama hidup lo sendiri aja. Kalau lo sibuk mikirin hal nggak guna, yang ada nasib skripsi lo ujung-ujungnya kayak anak nggak keurus. Nanti lo gue tinggal lulus duluan, nih. Mau lo?"

Xenna mengerucutkan bibir kendati ia tetap memikirkan baik-baik apa yang Radian tuturkan. "Emangnya lo udah seyakin itu bakalan lulus sidang, Yan?" tanya Xenna tanpa keseriusan sama sekali.

Namun tetap saja, Radian berhasil dibuat termangu sejenak karenanya. "Si anying," umpat lelaki itu, "ini balasan lo terhadap kepedulian gue, Xen?" Lantas seraya memasang raut pura-pura kecewa, ia menambahkan, "Okelah, kalau gitu urus aja hidup lo sendiri sana. Pulang aja lo, nggak usah lo temuin gue lagi."

Kontan saja Xenna pun tergelak. "Lebay amat. Ceritanya lo pundung, nih?" Gadis yang rambut panjang hitamnya dikucir kuda itu lalu menarik napas dan diembuskannya dengan panjang. Masing-masing sudut bibirnya tertarik membentuk senyum simpul. "Gue bercanda kali, Yan. Sebenernya gue seneng karena seenggaknya gue nggak sendirian banget sekarang."

Sejenak Radian terdiam sebelum lengkungan tipis terbit di bibirnya. "Lo bisa anggap gue sebagai pengganti dua sahabat lo itu, kalau lo mau," tutur laki-laki itu. "Lo boleh cerita apa pun ke gue kayak tadi dan sebelumnya, lo juga boleh ngeluh ke gue soal apa pun. Lo butuh support system? Gue juga bersedia. Asalkan lo nggak bakal nyerah gitu aja buat ngejar masa depan lo sendiri. Jangan sampe lo ngebiarin masalah yang lo hadapi sekarang ngehalangin jalan lo gitu aja, Xen."

Perkataan Radian lekas mengundang rasa hangat mengalir sampai ke hati Xenna, membuat ia ingin menangis haru saja rasanya.

Tidak Janu, tidak Radian, keduanya sama-sama berusaha meyakinkan bahwa mereka ada bersama Xenna--di samping keluarga gadis itu sendiri.

Hal-hal sederhana bermakna besar tersebut agaknya memang patut Xenna syukuri. Sebab dengan demikian, kehilangan pacar dan dua orang sahabat bukan lagi sebuah perkara besar baginya.

Oleh sebab tak kunjung mendapat driver ojek online, pada akhirnya Xenna putuskan untuk menggunakan angkutan umum ketimbang harus menunggu lebih lama lagi, mengingat matahari sudah hampir tenggelam sementara gemuruh di langit sana sudah mulai bersahut-sahutan. Sebetulnya Radian sempat menawarkan tumpangan, tetapi Xenna menolaknya. Xenna merasa tak enak karena jarak yang jauh, sehingga ia terpaksa sedikit berbohong bahwa dirinya akan dijemput. Radian pun percaya-percaya saja saat itu.

Setelah menaiki angkot berwarna putih dengan rute Riung Bandung-Dago, Xenna turun tepat di depan Museum Geologi untuk menunggu angkot dengan jurusan berbeda yang akan membawanya ke daerah Ciwastra. Namun, sudah hampir lima belas menit, Xenna mulai berdiri dengan gelisah sebab mobil angkutan cokelat yang ditunggunya belum juga terlihat. Sekalinya muncul, penumpang di dalamnya begitu penuh. Rintik-rintik air pun mulai berjatuhan, dan Xenna menjadi kian tak tenang lagi karenanya.

Xenna beranjak sedikit ke belakang, hendak berteduh di bawah pohon. Lambat laun, air-air yang jatuh mulai berubah deras. Xenna kian panik. Ia lalu melepas ransel kecilnya untuk digunakan sebagai pelindung kepala dari percikan-percikan hujan yang jatuh melalui dedaunan. Angkutan umum belum juga tampak sementara langit perlahan-lahan menggelap. Dan Xenna pun tak tahu bagaimana caranya ia dapat pulang dengan cepat dalam situasi seperti ini.

Namun, di tengah-tengah kebingungan Xenna, tiba-tiba saja sebuah Vios silver menepi di trotoar tak jauh dari tempat gadis itu berada. Xenna pun seketika mematung sebab ia tahu pasti siapa yang berada di balik kemudinya.

Pintu mobil terbuka, menampilkan sebuah payung hitam yang dibuka sebelum Adhyaksa Januar memijakkan kaki pada aspal kering. Usai menutup kembali pintu, lelaki berkacamata itu lantas berlari kecil menerjang hujan hanya untuk menghampiri Xenna. Pemandangan tersebut bagaikan adegan film yang diperlambat bagi Xenna hingga ia terpaku di tempatnya tanpa berkedip.

"Sudah tahu hujan, harusnya kamu cari tempat teduh. Kenapa malah berdiri di bawah pohon?"

Vokal berat Janu berhasil menarik kembali Xenna pada kenyataan. Gadis itu pun mengerjap-ngerjap sejenak dengan mulut sedikit terbuka. "M-mas Janu kok bisa ada di sini?" tanya Xenna.

Bodohnya, ia melupakan fakta bahwa kantor Janu dengan kampusnya nyatanya memang satu arah, sehingga mungkin kebetulan saja Janu pun baru pulang bekerja dan melewati jalur yang sama.

"Nanti aja tanyanya, sekarang kamu masuk dulu ke mobil saya," balas Janu tak terbantahkan. Lantas lelaki yang mengenakan kaos hitam berlengan panjang itu mendorong pelan bahu Xenna agar ia mendekat padanya dan dapat terlindungi oleh payung, membuat Xenna refleks menurunkan kedua tangannya yang semula memegang tas.

Xenna menahan napas. Kendati jarak menuju mobil Janu begitu dekat, rasanya waktu berjalan lambat. Di momen itu Xenna gunakan kesempatan untuk merekam sosok Janu yang kali ini datang bak malaikat penolong utusan Tuhan. Berlebihan memang, tetapi Xenna ingin menganggapnya demikian. Xenna tak tahu bagaimana nasibnya sekarang jika Janu tidak ada.

Tipisnya jarak dengan Janu membuat jantung Xenna kembali berulah. Namun, kali ini gadis itu ingin menikmatinya dengan perasaan senang.

Haruskah Xenna turut bersyukur pula atas turunnya hujan? Sebab karenanya, berhasil tercipta kembali momen baru antara dirinya dengan Janu, yang mungkin, akan tersimpan begitu lama dalam memori sang gadis.

-ˋˏ ༻❁༺ ˎˊ-

bandung, 1 agustus 2023

Continue Reading

You'll Also Like

1.4K 106 12
NOVEL TERJEMAHAN ęœ«äø–之ē”·å¾ŒåØę­¦ Pengarang: Ning Meng Cat Jenis: Tanmei doujin Status: Selesai Pembaruan terakhir: 15 Mei 2021 Bab Terbaru: Bab 107 pengantar...
3.5M 254K 30
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...
1.4M 86.1K 37
"Di tempat ini, anggap kita bukan siapa-siapa. Jangan banyak tingkah." -Hilario Jarvis Zachary Jika Bumi ini adalah planet Mars, maka seluruh kepelik...
2K 249 8
"Dunia rasanya berantakan banget, ya, Dar? Tapi aku bahagia karena bisa nemuin kamu di dunia yang berantakan ini." -Jina- "Kalau dunia kamu berantaka...