Journal: The Lessons

kenzaputrilia tarafından

4.4K 1K 1.4K

[BOOK #3 OF THE JOURNAL SERIES] London dan Zevania adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Seolah ada bena... Daha Fazla

Journal
01 | Rendezvous
02 | Kensington
03 | Notting Hill
04 | Millennium Bridge
05 | Tate Modern
06 | Bankside
07 | City of London
08 | City Hall
09 | River Thames
11 | Brixton
12 | Islington
13 | Islington Pt. II
14 | Highbury
15 | Camden Market
16 | Highgate
17 | Primrose Hill
18 | Lambeth Bridge
19 | Covent Garden
20 | Eye To Eye Gallery
21 | West End
22 | West End Pt. II
23 | Soho
24 | Andrew's Journal, Pt. I
24 | Andrew's Journal, Pt. II
24 | Andrew's Journal, Pt. III
25 | Euston Station
26 | London - Manchester
27 | Manchester
28 | The Stanleys
29 | The Stanleys, Pt. II

10 | Greenwich

122 36 47
kenzaputrilia tarafından

"Green ... witch." Zevania berhenti sejenak di bawah papan bertuliskan Greenwich Pier, tempat berlabuhnya Uber boat yang membawa kami dari London Eye Waterloo Pier mengarungi Sungai Thames.

"No, it's Gren-idj," aku mengoreksinya. Tahu betul Zevania akan mengomel.

"Can't you read? Double E and double U! Green-witch." Dia menepuk pundakku dan menunjuk papan itu dengan kedua tangannya.

"The E and W are silent."

"I can't understand English. What's the point of adding a letter in a word and then ignoring it?"

"And what about you added T to wich? Wich not Witch."

Pelafalan dalam bahasa Inggris yang tidak konsisten menjadi topik utama yang dibahas oleh Zevania sepanjang perjalanan dari London Eye Waterloo Pier hingga berlabuh di Greenwich Pier. Memang salahku sendiri yang pertama mengungkit tentang pelafalan dalam bahasa Indonesia. Lalu, Zevania tidak terima dan malah menyerangku dengan fakta bahwa bahasa Inggris adalah bahasa paling tidak konsisten di dunia. Aku tidak marah dia dengan sengaja komplain tentang ketidakkonsistenan itu, justru merasa gemas sendiri karena ini pertama kalinya aku melihat ada hal yang tidak disukainya tentang Inggris. Selama ini dia selalu memuji negaraku ini.

Kursus bahasa Indonesia yang diberikan Zevania juga jadi terhambat karena perdebatan pelafalan ini. Aku tahu betul dia tidak menyangka bahwa aku akan memintanya mengajariku bahasa Indonesia. Sejujurnya ini juga berada di luar rencanaku. Aku tidak tahan ketika dia ditelpon Ravi tadi pagi, membicarakan sesuatu yang sepertinya penting, dan aku hanya berdiri di sana tidak memahami satu kata pun kecuali 'thanks' di akhir panggilan. Mengapa Zevania mengucapkan terima kasih? Apa yang mereka bicarakan?

Aku tahu kursus kilat ini tidak akan berdampak banyak padaku, membuatku langsung mengerti bahasa Indonesia—mengingat hanya tersisa delapan hari hingga guruku ini pulang ke negaranya. Aku benci mengingatnya tapi aku dapat menjadikan kursus ini sebagai alasan untuk terus berkomunikasi dengan Zevania. Itu yang terpenting. Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang kuperbuat sepuluh tahun lalu. Ikatan tak kasat mata yang telah bersambung kembali tidak boleh terputus lagi.

Apabila Zevania tidak bisa tinggal di London (karena merampok bank terdengar mustahil), aku bisa saja pindah ke Indonesia. Ke kotanya. Itu tidak masalah bagiku. Zevania sendiri yang bilang bahwa aku dapat membeli rumah yang dapat menampung seluruh skuad Arsenal di Indonesia.

Aku mulai bicara melantur. Dua hari bersama Zevania setelah berpisah selama sepuluh tahun membuatku tidak bisa berpikir jernih. Aku dan dia sudah berusia 26 tahun. Bukan waktunya main-main. Aku harus merencanakan semuanya dengan matang-matang. Menjual rumah peninggalan Dad di Islington bukanlah sebuah keputusan yang bijak. Mum dan Kate bisa-bisa jantungan mendengarnya karena aku bertindak gegabah. Rumah itu tidak akan dijual. Tabunganku mungkin cukup untuk membeli rumah biasa di Indonesia. Tidak perlu kolam renang, tidak perlu lapangan bola. Hanya ada aku dan Zevania.

Fokus, Andrew!

"Jadi kita di Green-witch." Zevania masih saja sengaja melafalkannya nama borough ini dengan salah—untuk membuatku kesal, aku tahu. "GMT, benar?" Aku mengangguk, dia melanjutkan, "Apa singkatan dari GMT? Aku lupa atau tidak tahu. Kau pemandu wisatanya."

Aku terkekeh kecil mendengarnya. Tidak masalah Zevania tahu atau tidak. "Greenwich Mean Time," jawabku, tentu dengan pelafalan yang benar, dilengkapi penekanan pada kata Greenwich. "Kau tahu City Hall dan The Shard terletak di borough apa?"

"Southwark." Kedua alias Zevania terangkat, tampak percaya diri dengan jawabannya. Sedikit angkuh. Dia menjawab South-wark.

Akan tetapi, sesuai dugaanku, dia masuk ke dalam perangkap. "Salah."

"Apakah ini berkaitan dengan pelafalan yang tidak konsisten itu?" Zevania tampak sangat muak dengan satu hal tentang Inggris ini.

Aku mengangguk mengiyakan. "The correct answer is Sou-thwark."

Zevania memutar bola matanya kesal. "Kita pernah ke sini kan? Gren-idj bukan Sou-thwark."

"Ya, saat ulang tahunmu," balasku. Senang Zevania mengingatnya. "Bukan di sini tepatnya, tapi di sana dekat The O2." Aku menunjuk ke arah pukul dua di sebelah kanan kami. Sebuah arena yang arsitekturnya dirancang berdasarkan hari, pekan, dan bulan dalam setahun.

Mulut gadis itu hendak terbuka untuk mengatakan sesuatu, tetapi dia mengurungkannya. Membuatku penasaran setengah mati. Dia malah mengarahkan telunjuknya ke belakangku. "Wah, kapal apa itu?"

Tidak perlu membalik badan untuk mengetahui kapal yang dimaksud. "Cutty Sark," jawabku. Zevania dan aku berjalan beriringan menghampiri kapal yang secara permanen berlabuh di sisi kota, menjadi museum dan tujuan wisata. "Kapal paling cepat pada masanya, sekitar tahun 1869. Kapal ini membawa teh dari Shanghai ke London." Kemudian, aku juga menjelaskan bahwa selain terkenal sebagai pusat waktu dunia, Greenwich juga merupakan area maritim di London.

"Kau tahu, Indonesia adalah negara maritim. Dikelilingi laut. Diapit dua samudra dan dua benua." Zevania tampaknya menangkap kebingungan pada wajahku. "Negara kepulauan. Bahkan ada lagu anak-anak populer yang bilang bahwa nenek moyang kami adalah pelaut. Tapi ironisnya, aku tinggal di kota tanpa laut, lebih ke pegunungan. Jadi aku tidak merasa lagu itu mewakiliku. Nenek moyangku seorang petani sepertinya." Dia terkekeh pelan mengakhiri cerita singkat tentang kampung halamannya.

Oh, aku paham maksudnya. Mendengar Zevania bercerita tentang dirinya, negaranya, membuatku senang tanpa sebab. Mungkinkah ini yang dirasakan Zevania juga ketika aku bercerita tentang London? Dia tahu tentang London, tapi aku tidak tahu apa pun tenang kota gadis itu. "Bogor, benar?" Dia menyebut nama kota itu kemarin.

"Bogor, kota kecil dekat Jakarta."

Bogor. Akan kuingat.

"Bogor and London. Double O." Zevania terkikik sendiri seolah-olah dia baru saja menggelontorkan candaan paling lucu di dunia. "I notice Bogor and London have some similarities."

Aku ikut tersenyum bersamanya. "And what are those?"

Zevania menggelengkan kepalanya. "Nanti aku beritahu setelah kau ke Bogor. Sekarang fokus pada Green-witch. Ada apalagi selain kapal ini?"

Sesuai permintaan turisku ini, kami beralih dari Cutty Sark, sedikit berjalan menuju sebuah taman yang berani bertaruh, akan membuat Zevania terpesona. Greenwich Park adalah tujuan kami selanjutnya. Aku memberitahu Zevania bahwa taman ini memiliki status royal seperti Hyde Park dan dia bilang bahwa dia baru tahu kalau taman memiliki status dari kerajaan. Di kotanya tidak ada hal semacam itu. Status royal park sendiri bararti bahwa taman tersebut merupakan milik kerajaan dan dirawat khusus oleh pihak kerajaan sebagai taman terbuka umum.

Ada banyak tempat bersejarah di Greenwich Park. Yang pertama kupilih adalah Royal Observatory Greenwich. Aku tahu ada satu titik yang akan membuatnya tercengang. Kuraih tangannya ketika kami memasuki halaman pelataran observatorium ini dan dia mengikutiku, matanya menjelajah ke bangunan di sekitar kami. Sedikit menanjak ke perdalaman taman, kami sampai di depan Old Royal Observatory, bangunan dengan sentuhan arsitektur klasik yang di dalamnya terdapat ruang-ruang seperti Observatorium Astronomi, Observatorium Meridian, dan Museum berisi berbagai artefak sejarah astronomi. Aku kembali teringat dengan Zevania yang bilang mengunjungi museum rasanya seperti sedang karya wisata sekolah.

"You're now on the east side of the world while I'm on the west side," kataku. Melepaskan tangannya dan berdiri berhadapan dengannya. Bergabung dengan pengunjung lainnya yang melakukan hal yang sama di depan Flamsteed House.

Sesaat dia tampak kebingungan mencerna perkataanku, lalu mulutnya terbuka dan matanya melebar. Ekspresi yang lucu hingga membuatku tidak tahan untuk memotretnya. Sebelum aku sempat mengeluarkan kamera, Zevania lebih dahulu berjongkok, tangannya memegangi rambut hitamnya yang menghalangi pandangannya. "Jakarta!" pekiknya melihat tulisan Jakarta dekat kakinya. Dia berdiri dan menyusuri garis di bawahnya yang menampilkan nama-nama kota di dunia dengan lintang bujurnya.

"This is the Prime Meridian Line, zero point of the world." Aku berlagak seperti seorang pemandu wisata. Zevania tidak pernah bertanya darimana aku mengetahui semua sejarahnya atau meragukan penjelasanku. Dia percaya padaku dan sungguh-sungguh menganggapku sebagai pemandu wisatanya. Seandainya dia tahu bahwa aku bergadang mencari tahu tentang semua ini.

Zevania bertanya mengapa zero point-nya ditetapkan di Greenwich padahal bumi itu bulat dan semua tempat bisa jadi zero point, termasuk Bogor, kota kelahirannya. Berbekal pengetahuan yang kudapat tadi malam, aku menjelaskan bahwa dulu memang semua orang di dunia berpikiran hal yang sama seperti Zevania. Namun, pada tahun 1800an ketika kereta mulai beroperasi, para orang penting zaman dahulu mulai kesulitan menentukan waktu hingga mereka berunding. Dikarenakan Inggris dulu yang menjadi terdepan dalam pelayaran, maka ditetapkan bahwa Greenwich-lah titik nol itu.

"Oke, tapi aku suka dengan gagasan bahwa Greenwich yang berada di London adalah pusat dunia," katanya. "Mungkin itu alasanku suka London dan kembali kemari padahal aku bisa ke kota lain. Ada magnet di kota ini."

Kuharap magnet itu adalah aku tapi yang dimaksud Zevania adalah kota London itu sendiri.

"What's 'time' in Indonesian?"

"You're serious about this learning Indonesian thing?" Zevania berkacak pinggang dari sisi timur dunia.

"When I want something, I take everything seriously," jawabku dari sisi barat dunia.

Zevania selalu bertindak bahwa dia muak acap kali aku bertanya beberapa kata dalam bahasa Indonesia. Namun, dia juga selalu menjawab sambil tersenyum geram padaku. Tanda bahwa dia tidak benar-benar muak. Hanya saja dia bingung tentang keefektifan cara memperkaya perbendaharaan kata yang kami lakukan.

Perlu dia tahu bahwa aku cepat mengingat kata baru dalam bahasa lain—itu yang diungkapkan guru bahasa Spanyol di sekolah. Aku tidak memberitahu Zevania hal ini karena ingin mengejutkannya. Dia benar, bahasa Indonesia memiliki pelafalan yang konsisten kecuali untuk satu huruf: E, yang menyebalkan. Beginikah rasanya orang-orang ketika belajar bahasa Inggris seperti yang Zevania katakan?

Setelah puas berkeliling Royal Observatory Greenwich termasuk menikmati pameran dan galeri yang mengeksplorasi sejarah astronomi, navigasi, dan penentuan waktu, aku akan mengajak Zevania melihat London dari sisi berbeda. Dia mungkin bosan mendengarnya, tetapi memang London tidak pernah gagal memberikan sisinya yang beda dari setiap sudut kota.

Kami tiba di ketinggian Greenwich Park, yang ramai oleh pengunjung yang sedang berpiknik. Beginilah konsekuensi mengunjungi London pada musim panas, terutama jika langit sedang bersahabat yang merupakan fenomena langka. Di London, hujan masih saja mengguyur kota selama musim panas. Entah keajaiban apa yang membuat matahari bersinar cerah selama tiga hari Zevania di kota ini. Mungkin London tidak ingin mengecewakan gadis itu, sama sepertiku.

Zevania duduk di atas rumput sambil menyelonjorkan kakinya. Napasnya masih tidak teratur. Aku duduk di sebelahnya dan melihat sekeliling, mencari-cari adanya keberadaan penjual minuman. Bisa saja aku membeli minuman dalam botol yang tergeletak di atas rumput milik sepasang kekasih yang duduk tidak jauh dari kami.

"Biar aku sebutkan." Awalnya aku bingung apa yang akan disebutkannya, hingga telunjuknya terulur ke udara. Mengarah pada pemandangan gedung-gedung pencakar langit di seberang sungai. "Canary Wharf. Kau pernah bilang itu kawasan bisnis, kan?"

Aku mengangguk, kagum pada ingatan Zevania yang kuat. "Sedikit bocoran, nanti kita akan ke sana." Aku ingin menunjukkan daerah gedung-gedung tinggi kepada Zevania selain The City.

"Aku pernah dengar katanya Canary Wharf seperti New York-nya London."

Senyumku yang tadi mengembang perlahan pudar mendengar Zevania menyebutkan bahwa Canary Wharf adalah New York-nya London. Aku paham dari mana sebutan itu berasal, memang mirip New York, tapi entah mengapa aku tidak suka mendengar Zevania menyamai London dengan New York. Bukannya aku tidak suka kota berjulukan The Big Apple itu, hanya saja aku ingin Zevania melihat London sebagai London.

"City of London. Kemarin kita ke sana. The Walkie Talkie, The Gherkin. Sisanya aku tidak tahu sebutannya." Zevania menggaruk tengkuknya. Kemudian, matanya tiba-tiba membelalak. "Oh, ada yang ingin kutanyakan padamu kemarin tapi lupa."

Aku terkesiap mendengarnya, membenarkan posisi duduk condong ke arahnya. "Apa itu?"

"The Cheesegrater." Dia menyebutkan salah satu gedung di The City yang bentuknya miring sebelah seperti parutan keju—sesuai julukannya. "Aku tahu alasan gedungnya diberi panggilan yang konyol itu, tapi kenapa bentuknya dirancang seperti itu? Bukannya akan lebih luas kalau bentuknya tidak miring sebagian?"

Pertanyaan tentang arsitektur yang Dad pernah ceritakan padaku. Kini cerita itu akan didengar oleh Zevania. "Kau tahu, pusat kota London dapat dilihat dari ketinggian seperti saat kita di sini? Atau bisa juga di Primrose Hill, Hampstead Heath, Crystal Palace Park, Alexandra Palace, dan yang paling jauh Richmond Park. The Cheesegrater dirancang dengan kemiringan 10 derajat pada salah satu sisinya agar tidak menghalangi pemandangan Katedral St. Paul Cathedral dan Istana Westminster. Terdapat peraturan agar pemandangan St. Paul Cathedral dapat dilihat dari segala sisi. London sangat memperhatikan detail kecil seperti itu."

"Oh, maaf aku tidak tahu." Zevania menutup mulutnya dengan tangan kirinya seakan-akan dia baru saja mengatakan hal yang tidak seharusnya dikatakan.

"Tidak perlu meminta maaf." Kini aku yang menunjuk sebuah bangunan bergaya arsitektur Palladian; campuran antara desain klasik Yunani dan Romawi. "Kau tahu bangunan itu? The Queen's House?" Satu gelengan dari Zevania, sedikit terkejut karena kupikir dia tahu. "Bangunan itu sering dipakai untuk keperluan syuting film atau serial tv. Salah satunya adalah The Crown." Kurasa dia sudah menonton The Crown.

Dan, aku benar. "Oh, pada musim ke berapa? Aku hanya menonton musim ke-5."

Kurasa dia tidak begitu suka menonton.

Setelah bersantai sejenak di Greenwich Park menikmati pemandangan gedung pencakar langit di London, aku mengajak Zevania untuk makan siang di Greenwich Market. Pilihan kami jatuh pada hidangan asal Spanyol. Karena tiket transportasi dan atraksi sudah dipesan olehku, jadinya Zevania bersikeras untuk bertanggung jawab dalam makanan dan minuman selama trip kami. Aku tidak ingin membuatnya merasa berhutang (terutama setelah mengetahui bahwa nilai tukar mata uangnya rendah) jadi kubiarkan Zevania meneraktirku.

Sesuai bocoran yang kuberikan di Greenwich Park, titik kami selanjutnya adalah Canary Wharf. Ada satu tempat yang ingin kukunjungi untuk membayar utang Sky Garden kepada Zevania meski kemarin sudah sedikit ditebus dengan Garden at the 120.

Crossrail Place Roof Garden.

Taman dalam ruangan yang dipenuhi tumbuhan dan pepohonan tropis. Itulah kesalahanku karena Zevania menyeletuk, "Rasanya seperti di Singapura." Pertama, dia menyamakan London dengan New York, sekarang Singapura. Aku jadi harus putar otak memilih tempat yang bisa memukau Zevania. Canary Wharf yang modern gagal total. Aku harus membawanya ke tempat-tempat yang hanya dimiliki London.

Menjelang petang, kami menyebrang lagi kembali ke selatan kota London menaiki Dangleway. Zevania yang duduk di depanku masih sama seperti Zevania sepuluh tahun lalu, ketika dia baru menginjak usia 16 tahun. Tatapan yang diberikannya kepada London tidak pernah berubah. Dia menatapku usai puas dengan pemandangan London dari ketinggian. Mulutnya terbuka lalu menutup. Tidak jadi mengatakan apa pun yang dipikirkannya dan itu membuatku cemas. Ada keraguan apa dalam benaknya? Aku siap mendengarkan apa pun.

Apa dia teringat sesuatu? Kalung berbentuk London Eye yang kuberikan padanya sebagai hadiah ulang tahun. Apakah dia sudah tahu bahwa kalung itu dariku? Seharusnya, iya. Aku menulisnya dalam jurnal yang kuharap juga sudah dibacanya. Namun, Zevania tidak pernah mengungkit kalung atau jurnal. Setelah kepergiannya, aku memang menarik diri dari dunia. Apakah Zevania sempat mencariku untuk bertanya tentang jurnal?

"What's dangleway in Indonesian?" Aku kembali pada kursusku agar Zevania bicara dan melupakan apa pun hal yang barangkali mengusik pikirannya.

Kening Zevania mengerut. "Dangleway?"

Aku menunjuk kursi yang kududuki, lalu menunjuk seluruh isi kabin. "Or cable car. This thing."

"Oh, kereta gantung."

"Kereta? Another different E in one word?"

Zevania mengangguk sambil tertawa. "Your listening skill amazes me."

"Kereta. Ke-re-ta. Is that from a Japanese word?" Aku tahu pertanyaanku terdengar bodoh atau lucu di telinga Zevania karena kini dia tertawa kencang. Zevania bilang negaranya dijajah Belanda dan Jepang jadi asumsiku bahasa Indonesia dipengaruhi oleh kedua bahasa itu.

"No." Dia coba menghentikan tawanya.

"What's the second word?"

"Gantung."

"Write them down for me." Aku menyerahkan ponselku, membiarkan Zevania yang menulis sendiri bahasa Indonesianya cable car karena kata itu terlalu sulit dan panjang. Zevania juga tidak mengejanya.

Dia menyerahkan kembali ponselku yang menampilkan aplikasi catatan. "In Indonesian, 'kereta' means 'train' and 'gantung' means 'hanging'. The grammatical structure in Indonesia is different from English so I'm competently sure it will confuse you like I did back then."

Struktur gramatikal. Lututku sudah lemas begitu mendengarnya. Aku memang cepat paham tentang kosakata tapi untuk yang satu itu, butuh usaha yang lebih ekstra untuk mengertinya. "So, cable car is hanging train?" Zevania mengangguk. "I get it, it is hanging, but it doesn't look like a train."

"Oh, tolong jangan debatkan hal ini." Biasanya Zevania yang paling semangat berdebat tentang perbedaan bahasa, tapi dia tampak kelelahan jadi aku menyudahinya.

"Selanjutnya kita mau ke mana?" Zevania bertanya kala kami menuruni dangleway. Dia tidak memprotes rute kami yang bolak-balik antara selatan ke utara lalu kembali ke selatan lagi. Selalu seperti itu.

Aku menunjuk kubah raksasa di sisi Sungai Thames.

"O2 Arena? Mau nonton konser?" Zevania menyebut konser yang mengingatkanku pada malam kemarin di City Hall ketika band jalanan membawakan lagu Wonderwall yang resmi menjadi lagu favoritku. Setelah mengantarkan Zevania ke hotel, aku memutar lagu itu sepanjang perjalanan dalam bus..

Langit London pada matahari terbit tidak bisa kuperlihatkan pada Zevania. Sebagai gantinya, langit London pada matahari terbenam adalah pilihan yang pas. Puncak The O2. "Bukan, kita akan memanjat ke atas sana," kataku.

Misiku berhasil. Dia kaget bukan main mendengarnya. Aku tahu dia tidak takut tinggi dan London selalu menyuguhkan keindahan dari ketinggian, hal ini harus dimanfaatkan olehku.

Kami berjalan beberapa meter menuju The O2, mengarah langsung ke tempat khusus memanjat. Ada beberapa turis lainnya yang juga sedang mengantre, sama-sama mengincar paket sunset climb yang diincar karena menyuguhkan pemandangan London yang luar biasa indah.

"Kau pernah naik?" tanya Zevania pada sela-sela penjelasan instruksi dari petugasnya.

Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban lalu dia memberiku tatapan masam. Dibandingkan Tower Bridge, memanjat atap The O2 memang terdengar lebih ekstrem terutama bagi pemula. Namun, wahana ini sudah dirancang seaman mungkin—setidaknya itu yang dikatakan oleh situs yang kubaca tadi malam, juga berdasarkan rekomendasi dari beberapa temanku yang pernah melakukan ini—aku tidak mungkin membawa Zevania ke mara bahaya.

Setelah pemberian arahan dari petugas yang didengar baik-baik oleh para pengunjung, kami mengenakan sabuk yang nantinya akan dikaitkan ke tali pegangan atau semacamnya. Selesai.

Setiap rombongan ada pemandunya sendiri, aku berdiri di belakang Zevania untuk ... menjaganya, khawatir dia tergelincir atau semacamnya. Dia menoleh padaku sebelum memanjat, posisinya kami berada di rombongan paling belakang. Durasi dari naik dan turun akan memakan waktu 90 menit. Seperti satu pertandingan sepak bola.

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

17M 754K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
617K 26.9K 42
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
1.5M 136K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
370K 20.2K 28
Mature Content ❗❗❗ Lima tahun seorang Kaia habiskan hidupnya sebagai pekerja malam di Las Vegas. Bukan tanpa alasan, ayahnya sendiri menjualnya kepad...