Hi, Little Captain! [END]

By pesulapcinta

869K 100K 4.7K

Ibu Negara season 2. Disarankan membaca Ibu Negara terlebih dahulu. *** Hadirnya keluarga baru, ternyata cuk... More

01 - Kehangatan Seorang Mertua
02 - Susah Tidur
03 - Rancangan Tempat Tidur
04 - Jalan Pagi
05 - Calon Nenek Kakek
06 - Ternyata Begini
07 - Pilihan
08 - Resmi Bertiga
09 - Orang Tua Baru
10 - Kabar
11 - Kangen Ribut
12 - Tidak Sempurna
13 - ASI Booster
14 - Sarapan Bertiga
15 - Tidak Mungkin
16 - Gantung
17 - Informasi Baru
18 - Paket Terakhir
19 - Keajaiban
20 - Berkabung
21 - Imunisasi
22 - Pertemuan
23 - Demam
24 - 40 Hari
25 - Rencana Masa Depan
26 - Panggilan Baru
27 - Apa Aku Salah?
28 - Tinggal Seatap
29 - Pacaran Lagi
30 - Ke Rumah Nenek
31 - Pilih yang Mana?
32 - Vonis
33 - Tangguh
34 - Menguji Kesabaran
35 - Ribut Kecil
36 - Utuh Sejenak
37 - Pelepasan
38 - Bubur Melisa
39 - Beri Kesempatan
40 - Rencana
41 - Ketemu Cucu
42 - Ibu Zaman Sekarang
43 - Minta Warisan
44 - Menantu Baik
45 - MPASI Pertama
46 - Ikut Ayah Kerja
47 - Liburan Bertiga
48 - Pulang Kampung
49 - Kabar Mencengangkan
50 - Polosnya Anak Kecil
51 - Disusul Ayah
52 - Makan Bersama
53 - Jawaban Tidak Terduga
54 - Pertama Kali Rewel
55 - Makin Pintar
56 - Kembali Ceria
57 - Berkunjung ke Yukata Books
58 - Main Sama Ayah
59 - Tedhak Siten
60 - Kebersamaan
61 - Lalai
62 - Pagi Kelabu
63 - Di Luar Perkiraan
64 - Komunikasi Adalah Kunci
65 - Kesundulan
66 - Kebingungan
67 - Menyapih Dini
68 - Belajar Menerima
69 - Melepaskan Rindu
70 - Seandainya Bisa
71 - Dua Wanita Kuat
72 - Susah Makan
73 - Pengasuh Baru
74 - Pengen Megang Burung
75 - Lihat Adik
76 - Terpaksa LDR
77 - Terpisah Sementara
78 - Potong Rambut
79 - Kejadian Tidak Terduga
80 - Menyembunyikan Fakta
82 - Yang Sebenarnya
83 - Jangan Kayak Gitu
84 - Sebuah Keputusan
85 - Langkah Kecil
86 - Berangkat ke Jakarta
87 - Panggilan Pertama
88 - Obat Meriang
89 - Si Paling Usil
90 - Pesta Ulang Tahun Pertama
91 - Babymoon Lagi
92 - Kejadian di Pesawat
93 - Di Rumah Nenek
94 - Pertama Kali Ditinggal
95 - Temu Kangen
96 - Umbul Sidomukti
97 - Pergi ke Kandang
98 - Menjalin Hubungan Baik
99 - Nurutin Bumil
100 - Bukan Sempurna, Melainkan Terbaik [END]
Buka Aja
Mas Ahsan Sudah Beraksi
Season 3

81 - Ganjil

6.6K 1K 170
By pesulapcinta

Di Jakarta, Candra menyewa sebuah rumah minimalis berlantai dua. Terdapat garasi, ruang tamu yang sudah menyatu dengan ruang keluarga, dapur dan ruang makan, lima buah kamar, dua di lantai satu, tiga di lantai dua dan sudah termasuk kamar utama, dan halaman belakang untuk menjemur pakaian.

Di sana, Candra tidak langsung bekerja. Dia masih harus mengikuti berbagai macam pelatihan. Beda maskapai, beda pula prosedur dan pelayanan. Selain itu, Candra juga diberi kesempatan berkenalan dengan para kru.

Untuk suasana di sini, Candra tidak begitu kaget karena selama menjadi pilot selalu mendapatkan rute penerbangan ke Jakarta. Berbeda dengan Sarina dan Mbak Lala yang mengalami culture shock. Sarina terus merasa heran kenapa di Jakarta banyak sekali gedung menjulang tinggi, sedangkan Mbak Lala kaget orang-orang di Jakarta tidak sabaran saat terjebak kemacetan hingga selalu terdengar klakson saling bersahutan. Tidak seperti di Jogja yang selalu mengalah dan sopan meskipun ada kesempatan untuk menyalip lebih dulu.

Hari ini, Candra selesai lebih awal. Sebelum pulang, dia berhenti di sebuah rumah makan, membeli makanan untuk santapan di rumah. Sebelumnya, dia sudah menyuruh Mbak Lala untuk tidak memasak. Candra ingin sedikit meringankan beban perempuan itu yang rela jauh dari keluarga demi menuruti ikut serta bersama Sarina. Candra belum sempat mencarikan suster untuk mengurus ibunya.

Mobil dari bandara berhasil mengantarkan Candra sampai tempat tujuan. Mobil miliknya masih di Jogja. Sengaja dia tinggalkan karena di sana masih dibutuhkan. Jadi, begitu tinggal di sini, Candra selalu memesan transportasi online saat bepergian.

Begitu pintu dibuka, Candra menemukan Sarina sedang duduk menghadap ke layar televisi. Candra membelinya sendiri lantaran rumah ini tidak diberi barang-barang elektronik. Hanya terdapat kursi, meja, dan lampu penerangan. Secara bertahap, dia membeli barang-barang yang dibutuhkan, seperti televisi untuk Sarina dan mesin cuci untuk Mbak Lala.

Usai meletakkan makanan yang dibeli tadi di dapur, Candra naik ke lantai dua, masuk ke kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian. Setelah itu, dia turun lagi dan makanan sudah tersaji di meja makan. Namun, Candra tidak langsung duduk di sana. Dia malah menghampiri Sarina yang masih asyik menonton acara masak-masak.

"Ibu, besok pagi aku antar Ibu ke rumah sakit. Ibu bakal ketemu sama dokter dan lanjutin terapinya." Candra membuka pembicaraan lebih dulu. Suaranya sukses mengalihkan perhatian Sarina dari layar.

"Ibu nggak betah di sini. Ibu mau pulang aja."

Tidak. Bukan sekali ini Sarina bilang begitu, tetapi sejak pertama kali menginjakkan kaki di kota ini.

"Kan, baru beberapa hari, Bu. Siapa tahu di sini Ibu bisa sembuh. Aku nggak bisa kalau kita pisah tempat."

"Bukannya harusnya kamu senang? Kamu nggak perlu repot-repot ngurus ibu. Kamu senang, kan, ibu begini?"

Mungkin benar jika tidak memiliki empati, Candra akan dengan senang hati meninggalkan Sarina, tidak peduli dengan kondisi ibunya dan bisa saja berharap Sarina cepat mati. Namun, Sarina tetaplah ibunya. Sarina masih membutuhkannya. Candra merasa tidak perlu membalas semua yang telah terjadi dengan kejahatan yang sama.

"Dulu, aku emang merasa nggak adil. Ibu selalu bilang semuanya demi kebaikan aku, tapi aku nggak pernah merasakan itu. Aku bisa aja kirim Ibu ke panti jompo atau nggak ajak Ibu ke sini dan nggak perlu repot-repot cari dokter buat sembuhin Ibu. Aku nggak memilih itu, Bu. Aku tetap menganggap Ibu keluarga aku. Ibu bisa simpulkan sendiri apa aku senang dengan keadaan Ibu sekarang."

Candra menghela napas. Memori perlakuan Sarina padanya kembali terputar. Memang tidak ada yang menyenangkan, cenderung membuatnya sesak. "Aku selalu mencari sisi positif dari apa yang Ibu kasih ke aku. Ternyata ada, Bu. Sekarang dengan keadaan Ibu yang seperti ini, aku bisa cari dokter terbaik, aku bisa bayar fisioterapi Ibu, aku bisa semudah itu beli makanan sehat buat Ibu, Melisa, sama Xania. Kalau nggak jadi pilot, aku mungkin bakal kesulitan. Mungkin kalau aku jadi penulis seperti yang selalu aku harapkan, aku nggak akan bisa ngelakuin seperti yang aku lakukan sekarang."

Sarina kembali menatap televisi, tetapi pikirannya tidak fokus pada tontonan. Nuraninya tidak sanggup melawan kata demi kata yang terucap dari bibir anaknya. Sarina baru menyadari dirinya tidak pernah sedekat ini dengan Candra. Dulu, Candra selalu menghindar setiap kali Sarina mengajaknya bicara. Mereka berdua jarang selembut ini jika sedang duduk bersama.

Pekerjaan yang semula untuk ajang pamer, sekarang justru berhasil menyelamatkannya dari maut. Sarina memang memiliki harta, tetapi tidak cukup untuk membayar semua biaya pengobatannya yang mahal itu.

"Jadi Ibu mau, kan, besok ke rumah sakit?"

Giliran Sarina yang membuang napas. "Terserah kamu, lah."

Bukan iya atau tidak, tetapi Sarina selalu mengeluarkan kata terserah setiap kali dirinya merasa kalah.

Saat Candra ingin bicara lagi, tiba-tiba ponsel di dalam saku celananya berdering. Setelah benda itu keluar, Candra mengerutkan keningnya. Ada telepon masuk dari nomor asing.

"Kalau nggak mau diangkat, matikan saja! Suara HP kamu itu berisik!" ucap Sarina dengan nada ketus.

Karena penasaran, Candra memilih menerima telepon itu. Akan tetapi, suara di seberang membuatnya kembali terkejut.

"Ini dengan siapa?"

"Saya ... Desi, Pak."

Seingat Candra, dia tidak pernah memberikan nomor ponselnya ke pengasuh Xania. Namun, kenapa Desi bisa menghubunginya? Apa mungkin Melisa yang memberikan?

Candra menurunkan ponselnya, memilih tanda loudspeaker. Entah kenapa dia ingin Sarina mendengar pembicaraan ini. "Mbak Desi tahu nomor saya dari mana?"

"Saya dikasih sama Mbak Mel, Pak."

"Nggak mungkin Melisa sukarela kasih nomor anakku ke kamu yang orang asing. Kalaupun benar, pasti sebentar lagi dunia kiamat," sahut Sarina tiba-tiba.

"Lho, Pak Candra lagi sama ibunya, ya?"

"Iya. Nggak masalah, kan, kalau ibu saya dengar?"

"Eng-enggak, Pak."

"Ya udah, sekarang ada apa kamu telepon saya? Kenapa Melisa bisa sampai kasih nomor saya ke kamu?"

"Anu, Pak, saya mau ambil gaji saya."

Candra mengernyit dan memberi isyarat pada ibunya untuk diam dulu. "Mbak Desi bisa minta ke Melisa karena urusan itu dipegang sama istri saya."

"Saya udah minta, Pak, tapi sama Mbak Mel nggak dikasih. Padahal uang itu mau buat biaya pengobatan ibu saya. Mbak Mel juga tega ninggalin Xania sendirian di kamar bekas Mbak Lala. Xania sampai nangis, Pak. Mbak Mel-nya malah tiduran terus."

Siapa yang tidak kaget mendengar itu? Bohong kalau Candra tidak terkejut. Oke, Melisa pernah tidak sengaja meninggalkan Xania di tempat tidur sampai anak itu terjatuh. Namun, setelah itu, Melisa tidak mengulanginya lagi. Kalau Desi bisa sampai berani bilang begitu, berarti ada sebabnya, kan?

Candra ingin bicara, tetapi ponselnya direbut Sarina. Wajah ibunya berubah, sorot matanya tajam.

"Heh, kamu kalau mau minta uang ya minta uang saja, nggak usah bilang mantuku yang macam-macam. Melisa nggak mungkin ninggalin anaknya di kamar kosong, wong makan sambil duduk aja diurusin sama dia! Terus masalah tiduran terus, lha Melisa lagi hamil, Mbak! Hamilnya anak kembar, yo wajar kalau dia tiduran terus! Wis, kamu jangan berani macam-macam sama mantu dan cucuku! Urusannya bakal panjang kalau kamu berani ngelakuin itu!"

Sarina mematikan telepon setelah itu dan Candra cukup terkejut dengan sebutan 'mantuku' dari ibunya untuk Melisa. Selama pernikahannya, ini kali pertama Sarina menyebut Melisa seperti itu. Terlebih barusan Sarina tidak percaya dengan Desi. Wanita itu membela Melisa. Benar-benar sebuah keajaiban dunia.

"Nggak usah kasih dia uang. Ibu yakin Melisa itu udah ngasih, pengasuh ini mau jadi tikus di rumah kamu!" Masih dengan dada naik turun, Sarina berkata seperti itu. "Telepon Ambar. Dia pasti tahu kejadian yang sebenarnya."

Belum selesai, Sarina kembali membuat Candra terperangah. Tangannya bergerak mencari nomor Ambar. Setelah menunggu hampir semenit, Ambar menerima teleponnya. Kali ini Candra tidak mengeraskan suara, bahkan menjauh dari ibunya.

"Mbak, rumah nggak ada apa-apa, kan?" tanya Candra langsung.

"Aman, Mas. Semuanya baik-baik aja."

"Beneran, Mbak? Beneran nggak ada sesuatu, kan?"

Ada jeda setelah Candra bertanya seperti itu. Samar-samar terdengar Ambar sedang berbisik dengan seseorang, sepertinya Mas Agus.

"Mbak? Kalau misalnya ada sesuatu, bilang aja. Saya nggak akan marah sama kalian kalau jujur."

Masih ada jeda lagi, sampai akhirnya Ambar berkata, "Jadi gini, Mas, sebenarnya ...."

Mbah kayaknya salah makan nih 😂😂😂

Yang tidak sabar menunggu, boleh baca bab 82, 83, 84, 85, 86, 87, dan 88 di Karyakarsa. Aku belum nulis lagi sih hehehe.

Kayaknya cerita ini masih lama tamatnya. Ini mau 90 bab aja belum ada tanda-tanda berakhir, malah kepikiran never ending segala wkwkwk.

Jujur banget ini sekuel terpanjang dan paling ramai yang pernah aku tulis. Dulu aku sering bikin sekuel tapi nggak seramai buku pertama. Jadi pas ini mau aku unggah, aku tuh sempet takut seperti yang udah2. Ternyata masih banyak yang antusias meskipun ini partnya udah banyak sekali 😭😭😭 makasih banyak pokoknya 😭😭😭

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 109K 47
⚠️ Jangan menormalisasi kekerasan di kehidupan nyata. _______ Luna Nanda Bintang. Gadis itu harus mendapatkan tekanan dari seniornya di kampus. Xavie...
3.5M 254K 30
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...
97.5K 12K 22
Season 3 ✨✨✨ Punya tiga anak kecil dengan karakter yang berbeda tentu saja membuat hidup Melisa dan Candra lebih berwarna. Ada saja tingkah laku mere...
6.7K 221 63
Berat jika ditanya pasti apakah Sarah memiliki perasaan lebih dari teman untuk Vino, begitu juga sebaliknya. Hingga tiba di usia dewasa, diusia yang...