Deep Talk Before Married [TAM...

De LalunaKia

102K 11.6K 707

Setelah kegagalan hubungannya dengan laki-laki yang tidak ingin menikah, Alma punya prinsip untuk tidak membu... Mais

1. Alma dan Bara
2. Perkenalan
3. Tentang Pernikahan & Perceraian
4. Masa Lalu & Love Language
5. Cinta atau Obsesi?
7. Mau Tinggal di mana Setelah Menikah?
8. First Date
9. Cara Mengelola Emosi
10. Finansial
11. R for Radit?
12. I'm Terribly Sorry
13. Privasi
14. Ingin Pasangan Seperti Apa?
15. Mengelola Keuangan
16. Bagaimana Menangani Perbedaan Pendapat
17. Break
18. Ayra Renata
19. Tulips
20. Seks
21. Mau Punya Anak atau Childfree?
22. Sebab-Akibat
23. Melepaskan
24. Jealous
25. Frustrasi
26. You're Rude
27. I Wanna Fix it
28. Break Someone's Heart
29. PTSD
30. Menyederhanakan Masalah
31. Parenting Style
32. Perjanjian Pranikah
33. Marriage Rules (END)

6. Masa Lalu 2

2.7K 343 7
De LalunaKia

Alma menatap keluar jendela. Berbanding terbalik dengan Bara yang tampak tenang di belakang setir, Alma mati-matian berusaha tenang. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Alunan musik terdengar dari radio. Mereka dalam perjalanan ke kediaman Bara. Ia bermaksud memenuhi ajakan malam malam keluarga mereka.

"Mau ke tempat lain aja?" Bara bertanya saat menghentikan mobilnya di perempatan. Tangannya terulur untuk mengambil tangan Alma dan meremasnya pelan. Ia menatap Alma yang menoleh ke arahnya.

Alma menggeleng pelan. "aku cuma, deg-degan aja."

Bara kembali melajukan mobilnya hingga akhirnya sampai di rumahnya. Mobil Mahesa sudah terlihat. Ia memarkirkan mobilnya di belakang mobil itu.

"Yuk." ajaknya. Ia menoleh dan melihat Alma tampak khawatir.

"Pakaian aku gimana? Makeup? Berlebihan nggak?" Alma tiba-tiba saja mengkhawatirkan banyak hal.

Bara tersenyum, "nggak, Alma." Ia mengatakan itu dengan pelan dan lembut. "kamu cantik." tambahnya.

"Serius, Bar." Ia menatap Bara yang terkikik geli.

Bara memiringkan tubuhnya hingga menatap Alma sepenuhnya, "coba aku lihat dulu." Ujung telunjuk Bara menyentuh ujung dagu Alma. Ia meneliti wajah di depannya, "mata cantik, hidung cantik, bibir apalagi." katanya dengan nada menggoda.

"Bara!" Alma mencubit pinggang Bara yang langsung mengaduh.

"Udah ayo. Kamu mau ketemu Papa aja udah kayak mau ketemu presiden." Bara keluar dari mobil, berjalan memutar dan membuka pintu sebelahnya.

Alma mengikuti genggaman Bara mendekati pintu. Ia memindai bagian depan rumah dua lantai itu saat Bara mengucapkan salam dan membuka pintu.

Alma mengekori Bara yang masuk ke dalam rumah lebih dulu. Sahutan salam terdengar dari dalam. Mereka terus melangkah hingga sampai di ruang makan. Ruangan itu ramai. Semuanya ada di sana dan masih sibuk dengan isi meja makan.

"Alma..." Ciara menyapa dengan ramah, "sini-sini..."

Alma tersenyum. Setelah menjabat tangan Irawan dan Ciara, Bara mengenalkannya pada Mahesa dan ibu Ciara yang juga ada di sana.

Mereka duduk di meja makan setelah semua makanan tersaji di atas meja.

"Alma temannya Iras, ya?" Mahesa bertanya saat ayahnya mulai mengambil nasi.

"Iya, Kak."

"Jangan panggil Kak. Kan kamu lebih tua." kata Bara, "harusnya Mahesa yang manggil kamu Kakak."

Alma menggeleng, "jangan. Nggak usah." katanya, lalu melirik Bara dengan sebal sementara yang lain mengulum senyum. Bara benar. Ia bahkan lebih tua dari kakaknya.

Suasana ruang makan itu ramai. Mereka membicarakan banyak hal. Dari satu topik ke topik lainnya. Dewi, Ibu Ciara banyak bertanya tentangnya. Ciara, Irawan dan Bara juga lebih banyak berbicara dan tertawa. Kecanggungannya perlahan mencair.

Untaian kalimat demi kalimat. Tawa demi tawa memenuhi ruangan. Dalam sekejap, Alma merasa bukan orang asing di antara mereka. Ia berbaur dengan sangat mudah, hingga isi piringnya habis dan isi gelasnya tinggal setengah.

"Ra, Mahesa ngajakin naik gunung lagi tuh, akhir bulan." Bara memberitahu.

Ciara menoleh ke samping dan melihat suaminya tersenyum. Semenjak menikah, Ciara tak hanya harus menerima suaminya, tapi juga kecintaan pria itu terhadap kegiatan pendakian. Ia mulai terbiasa ditinggal berhari-hari tanpa kabar.

"Boleh, ya?" Mahesa bertanya sambil mengerling.

"Ke mana lagi?"

"Gunung Sumbing." jawab Mahesa, "kalau kamu libur, ikut aja, yuk." ajaknya.

"Ih, aku mending berjam-jam di kamar operasi, deh, daripada ikut naik gunung." kata Ciara.

"Coba dulu. Kamu nggak akan tahu rasanya kalau belum coba."

"Nggak usah-nggak usah. Ciara di rumah aja." kata-kata Irawan membuat Mahesa langsung mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Ia tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada menantunya. Cukup ia yang mengalami tragedi itu. Jangan sampai Mahesa merasakannya juga. Suasana mendadak hening.

Suara ponsel yang tiba-tiba memecah membuat Irawan berdiri dari duduknya. Ia meninggalkan ruangan itu untuk mengangkat panggilan. Dewi ikut berdiri untuk membereskan meja makan.

Ciara melotot pada Bara yang justru menunjuk Mahesa dengan dagunya. Alma mulai tidak mengerti dengan perubahan suasana yang terjadi.

"Ke atas, yuk." ajak Bara. Alma belum sempat menjawab karena Bara langsung menarik tangannya. Ia hanya sempat tersenyum kecil pada orang yang tersisa di ruangan itu.

Ia mengikuti langkah kaki Bara yang lebar-lebar hingga mereka menaiki tangga. Tautan tangan itu terlepas saat mereka berdiri di depan sebuah pintu. Bara menekan handle pintu dan masuk ke dalam sebuah kamar.

"Ayo masuk." kata Bara saat melihat Alma masih bergeming.

"Ini kamar siapa?" Alma bertanya.

"Kamar aku."

Alma melangkah dan memindai ruangan dengan cat dominan warna abu-abu dan putih itu. Sementara Bara membuka jendela balkon, ia berhenti di depan sebuah meja dan menatap beberapa bingkai yang ada di sana.

Ia tersenyum melihat potret keluarga kecil itu. Di saat yang lainnya tersenyum, Bara menunjukkan raut wajah dingin. Laki-laki itu cemberut dan tampak menggemaskan di matanya.

"Kamu mirip banget sama Mama kamu. Mahesa mirip dr. Irawan." kata Alma. Ia mengambil foto itu untuk melihat lebih jelas. "bisa gitu, ya. Pas banget."

Bara mendekat dan ikut menatap objek yang sama, "bisa dong. Aku sama Mahesa kan memang bukan saudara kandung."

Alma terdiam. Ia menoleh dan melihat Bara tersenyum, "aku anak tirinya dr. Irawan." Bara melanjutnya.

"Oh." Hanya kata itu yang bisa keluar dari mulut Alma. Ia bingung bagaimana harus bereaksi. Informasi itu tidak pernah ia dengar sebelumnya.

Bara mengambil foto itu lalu menggandeng tangan Alma menuju balkon. Mereka duduk berhadapan, dipisahkan meja bundar berbahan kayu mahoni.

"Di semua foto keluarga, raut wajah aku selalu kayak gini. Kamu mau tahu alasannya?" Bara menatap Alma yang mengangguk samar.

"Karena saat itu... aku benci sama mereka. Aku benci sama Mahesa, juga dr. Irawan."

Bara menjeda kalimatnya. Ia menarik napas panjang sebelum kembali berkata, "aku dulu mengira kalau dr. Irawan adalah orang ketiga dalam rumah tangga orangtuaku. Kebencianku makin parah saat Mama meninggal. Bertahun-tahun aku hidup memupuk dendam. Aku tumbuh jadi anak yang egois, kasar, bahkan jahat."

"Padahal waktu itu, mereka berdua nerima aku dengan sangat baik." Bara mengambil napas panjang saat dadanya tiba-tiba sesak.

Alma mengusap tangan Bara di atas meja saat menyadari mata laki-laki itu berkaca-kaca.

"Satu waktu, aku terlibat perkelahian sama Mahesa. Karena kejadian itu, kondisi Mahesa bisa fatal kalau aja Ciara nggak buru-buru bawa dia ke rumah sakit."

Bara meremas tangan Alma kuat-kuat. Berusaha memberitahu bagaimana perasaannya saat ini.

"Setelah kejadian itu, aku baru kalau ternyata perceraian orangtuaku bukan karena dr. Irawan. Tapi karena Ayahku selingkuh. Aku tahu dari surat yang ditinggalin Mama sebelum meninggal."

"Tapi, aku bahkan nggak bisa langsung minta maaf sama Mahesa. Papa bawa dia berobat ke luar negeri dan Papa menolak memberitahu keberadaan Mahesa. Selama tiga tahun, aku larut dalam penyesalan dan mimpi buruk. Aku selalu takut kalau apa yang aku perbuat bikin Mahesa cacat atau hal buruk lainnya."

Melihat bagaimana suasana di meja makan tadi, Alma tidak pernah menyangka bahwa keluarga itu pernah melewati masa-masa sulit seperti itu.

"Saat itu, cuma Ciara yang ada di samping aku. Dia yang nemenin aku di saat-saat terburuk."

Napas Bara terdengar berat, "sebaik apapun hubungan kita sekarang, aku bahkan nggak bisa lupa saat Mahesa muntah darah karena aku pukul dia sekuat tenaga."

Alma melihat tangan Bara sedikit bergetar. Laki-laki itu menunduk dalam-dalam. Ia berdiri, mendekat lalu memeluk Bara yang langsung menyerukkan wajah ke perutnya. Ia mengusap punggung laki-laki itu. Berharap sentuhannya bisa membuatnya tenang.

"Aku hampir bikin Mahesa meninggal. Dulu, aku juga nyaris buat adik kelas aku lumpuh karena salah sasaran. Aku pernah jadi orang yang jahat banget, Al." lirihnya.

Sentuhan Alma beralih ke kepala Bara. Ia tidak mengatakan apapun. Meski punya banyak pertanyaan, semuanya tertelan di tenggorokan. Ia tahu menceritakan semuanya kembali pasti tidak mudah.

Setelah agak tenang, Bara menengadah dan menatap tepat ke manik mata Alma, "Al..."

"Ya. I'm all ears." Alma mengusap pipi Bara dengan ibu jarinya.

"Setelah kamu dengar semuanya, kamu masih tetap mau sama aku?" Bara bertanya dengan nada lirih.

Alma menangkup wajah Bara dengan kedua tangannya, "Bar, kamu yang dulu terbentuk karena keadaan." Ibu jarinya mengusap pipi laki-laki itu lagi. "Yang penting kamu yang sekarang. Kamu lebih baik, keluarga kamu baik." Ia tersenyum, "aku tahu nggak mudah menceritakan semuanya. Makasih kamu udah percaya sama aku."

Bara menarik pinggang Alma hingga gadis itu jatuh ke pangkuannya. Ia mendekap lagi gadis itu hingga tidak ada yang bisa menyelinap. Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat.

Alma yang pertama kali mengurai pelukan. Ia menyugar rambut Bara dan mengusap dahi laki-laki itu yang sedikit berkeringat. "Mama kamu pasti bangga lihat kamu sekarang." Tangan Alma turun ke pipi, lalu melingkar ke leher Bara. Ia memindai seluruh sisi wajahnya.

Semua orang punya masa lalu. Semua orang punya trauma. Baik Radit, ataupun Bara. Hubungannya dengan Radit membuatnya sadar bahwa bukan hal mudah untuk menyembuhkan luka masa lalu. Ia tidak tahu bagaimana Bara akan menyikapi semua trauma masa lalunya. Tapi saat ini, ia memilih untuk percaya pada laki-laki itu.

"Kalau Mama nikah bukan sama Papa, aku nggak bisa bayangin gimana hidup aku sekarang." ujar Bara. "aku benar-benar nggak punya siapa-siapa setelah Mama pergi." tambahnya, "dan bahkan setelah semua kelakukan buruk aku, Papa dan Mahesa masih tetap nerima aku."

"Tuhan titipin kamu sama orang yang tepat." katanya, "ada lagi yang mau kamu ceritain?" Alma bertanya. Memberi tahu Bara bahwa ia siap mendengar semua ceritanya. Bahwa ia bisa dipercaya. Bahwa ia tidak akan menjudge apapun yang keluar dari mulutnya.

Bara menggeleng. Ia melihat Alma turun dari pangkuannya dan mengambil bingkai foto di atas meja, "turun, yuk. Nggak enak sama yang lain." Ia mengekori gadis itu masuk ke kamarnya dan berhenti di depan mejanya.

Alma meneliti lebih jelas beberapa foto yang ada di bawah kaca yang melapisi meja. Ada foto Ciara, Mahesa, dr. Irawan juga potret Bara dan teman-temannya di puncak gunung.

"Aku boleh taruh fotoku di sini nggak?" Alma menunjuk space kosong yang masih banyak karena foto-foto itu hanya memuat dua baris.

"Boleh. Cetak aja foto kamu sebanyak apapun. Aku akan taruh di semua space yang tersisa."

Alma bercanda, tapi ia tersenyum melihat respon laki-laki itu. "Bar, aku tahu kamu udah lebih bahagia dibanding dulu. Tapi mudah-mudahan saat sama aku, kamu lebih bahagia lagi, ya."

Bara tahu terlalu cepat menyebut Alma kepingan puzzle yang selama ini ia cari-cari. Terlalu cepat menyebut gadis itu jawaban atas segala pertanyaan. Terlalu cepat berpikir bahwa Alma adalah sosok yang tepat. Yang bisa ia pastikan saat ini adalah, pelukan gadis itu menenangkan. Terasa seperti rumah.

Continue lendo

Você também vai gostar

6.6M 340K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
39.8K 3.1K 23
ini kisah cinta haruto junkyu di roleplayer dan berujung bablas ke real life. start:: 17, agustus, 2023. end:: 1, oktober, 2023.
14.2K 918 30
Menikah dengan seorang musisi? Its my dream, Mas! Not her! • Sumber Cover : Canva💙
17M 756K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...