Married with my idol

By fourteenjae

159K 15.1K 1.7K

"Kalau menikah, sudah pasti berjodoh 'kan?" - [SEQUEL OF STORY "MY BOYFRIEND, JEONG JAEHYUN"] fourteenjae-202... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
chapter 12
chapter 13
chapter 14
chapter 15
chapter 16
chapter 17
chapter 18
chapter 19
chapter 20
Announcement
chapter 21
chapter 22
chapter 23
chapter 24
chapter 25
chapter 26
chapter 27
chapter 28
chapter 29
chapter 30
chapter 31
chapter 32
chapter 33
chapter 34
chapter 35
chapter 36
chapter 37
chapter 38
chapter 39
chapter 40
chapter 41
chapter 42
chapter 43
chapter 44
chapter 45
chapter 46
chapter 47
chapter 48
chapter 49
chapter 50
chapter 51
chapter 52
chapter 53
chapter 54
chapter 55
chapter 56
chapter 57
chapter 58
chapter 59
chapter 60
chapter 61
chapter 62
chapter 63
chapter 64
chapter 65
chapter 66
chapter 67
chapter 68
chapter 69
chapter 70
chapter 71
chapter 72
chapter 73
chapter 74
chapter 75
chapter 76
chapter 77a
chapter 77b
chapter 78
chapter 79a
chapter 79b
chapter 80
chapter 81
chapter 82
chapter 83
chapter 84
chapter 85
chapter 86
chapter 87
chapter 88
chapter 89
chapter 90
chapter 92
chapter 93
chapter 94
chapter 95

chapter 91

977 120 14
By fourteenjae

kangen ga? janlup vote ya!

"I have loved you for a thousand years. I'll love you for a thousand more." -  Christina Perri

-

"Nona?"

Bahu Kim Sae Ron terguncang pelan dengan suara kasak-kusuk yang mengganggu. Namun matanya enggan terbuka sambil menelungkupkan wajah di atas lengannya yang terlipat.

"Nona, bangun!" panggil seorang laki-laki itu lagi, kian berusaha membangunkan. "Anda tidak bisa tidur di sini. Kami sudah mau tutup."

Kim Sae Ron menggeliat pelan. Menampakkan sebagian wajahnya ketika menghadap lawan bicaranya. Masih setengah pening dan mual, satu matanya berusaha mencari tau sosok tersebut di antara silaunya sinar cahaya lampu ruangan.

"Kenapa?" tanya Kim Sae Ron serak.

"Anda harus segera pergi." ujar lelaki itu. Ia tampak keberatan dengan kehadiran Kim Sae Ron sejak awal kedatangan semalam namun tidak memiliki wewenang untuk mengusir.

"Kenapa?" tanya Kim Sae Ron setengah sendu.

Penampilan Kim Sae Ron jauh dari kata baik-baik saja. Kantong matanya menghitam gelap, rambut semrawut, pakaian berantakan, tatapan kosong tak berarah hingga lebih mirip seperti tak memiliki semangat hidup. Semuanya berbanding terbalik saat dirinya masih berada di masa kesuksesan.

"Kami sudah tutup." jawab lelaki itu.

Kim Sae Ron menatap jam dipergelangan tangan kirinya, menampakkan pukul empat pagi hari. "Tutup? Bukankah seharusnya jam enam pagi?"

"Kami sudah tutup." ulang pegawai tersebut. "Anda memiliki waktu 15 menit untuk membereskan diri sebelum pergi." lanjutnya lalu membungkuk sekilas.

Sepeninggal lelaki itu, Kim Sae Ron menegakkan punggung menatap sekitar. Hanya ada beberapa pengunjung yang juga sedang dalam tahap mengumpulkan kesadaran seperti dirinya. Tetapi bedanya adalah mereka memiliki seseorang yang mendampingi sementara Kim Sae Ron tidak.

Menyadari hal itu membuat perut Kim Sae Ron bergejolak mual. Teringat bahwa kini ia sendirian tanpa siapapun yang menemani. Tidak ada yang mencari atau mencemaskan dirinya.

Bahkan pada detik pertama saat ponselnya kembali diaktifkan, puluhan panggilan tak terjawab dan belasan pesan singkat serta mailbox hanya mempertanyakan keberadaan untuk mempertanggung jawabkan masalah dan makian akibat tak dapat dihubungi.

Kim Sae Ron muak. Dunia seakan sedang mempermainkan harga dirinya. Kenapa pula harus dirinya yang menderita?

Alunan musik bar mendadak berhenti. Sebagian lampu mulai padam dan orang-orang mulai beringsut pergi. Termasuk Kim Sae Ron yang kemudian beranjak tak seimbang.

"Anda harus memanggil supir pengganti jika membawa kendaraan pribadi, Nona." ujar pegawai bar yang kembali datang mendekat. "Setiap pagi selalu sibuk dengan rutinitas padat, jangan sampai—"

"Berisik." sungut Kim Sae Ron sinis.

Sementara lelaki lawan bicaranya hanya termangu tanpa mencoba untuk kembali memperingati. Dan Kim Sae Ron kian berjalan menjauh sambil menjelajah isi ponsel hendak menghubungi seseorang.

"Jemput," pintanya dengan susah payah agar tetap sadar.

"KAU KEMANA—"

Bipp!

"Aaah, berisik!" keluh Kim Sae Ron memutus panggilan. Ia berjelajah menghubungi pihak lain lagi. Namun sambungan telepon tersebut tidak kunjung mendapat jawaban hingga panggilan ke empat.

"Kenapa lama sekali?!"

"Nona, ini masih pagi sekali—"

"Antar mobilku sekarang!"

"Tunggu. Bagaimana jika jam sembilan—"

"Sekarang!"

"Nona, saya baru pula—"

"Antar sekarang! Kuncinya ada di pos keamanan apartemen. Lokasinya akan kukirim melalui chat!" sergah Kim Sae Ron menitah sambil memijat pelipisnya yang kian berdenyut. Lalu memutus panggilan tanpa memberi kesempatan kepada lawan bicara untuk membalas.

"Orang-orang tidak berguna." gumamnya. Lantas berbelok ke area lobby dan kembali menempatkan salah satu kursi untuk menunggu kedatangan mobilnya. "Menyusahkan! Aku bisa pulang sendiri!"

Kim Sae Ron menarik nafas panjang dan menghembuskan secara perlahan. Kepalanya semakin pening memikirkan sikap orang-orang yang tidak kunjung mengerti. Ada perasaan sesak hingga rasa-rasanya tertikam dalam.

Ia merebahkan kepalanya pada punggung sofa. Tengkuk lehernya terasa berat untuk memulai aktifitas sepagi ini. Mata sendunya pun perlahan terpejam karena ia masih ingin tidur dan menghindari orang-orang. Tidak ada yang bisa dia andalkan dan dipercaya selain dirinya sendiri.

"Nona!"

Kim Sae Ron terkejut dan membelalakan mata ketika seseorang memanggil dengan kencang. Sklera nya memerah akibat kantuk yang tak bisa dikendalikan. Dan ia baru menyadari bahwa langit yang sebelumnya menggelap sudah tampak terang. Apakah tadi dia tertidur? Dalam keadaan penat dan dipenuhi berbagai macam pikiran, ia terlelap?

Kim Sae Ron menyerngit pada sosok lelaki yang dikenalinya sedang berdiri tegap di depan meja. "Dimana mobilku? Kenapa baru datang?!"

Tak!

Lelaki itu mencampak kunci mobil ke atas meja kaca hingga benturan keras antara logam dan beling tak terhindarkan. Lalu berkacak pinggang, "Nona, saya tidak bekerja untukmu tapi pada perusahaan. Berhentilah menyuruh dan bereskan masalahmu."

"Ap—"

"Permisi!" telak lelaki itu berbalik tanpa menunggu balasan Kim Sae Ron. Ia tau wanita itu akan menyalang marah. Maka dari itu, dia bergegas pergi dan mengabari manajer Kim Sae Ron untuk menginformasikan lokasi terbarunya.

Pagi tadi, setelah Kim Sae Ron berkali-kali menghubunginya, ia merasa tidak akan bisa beristirahat jika panggilan itu tidak kunjung diangkat.

Sementara Kim Sae Ron mengatupkan mulutnya setelah mendengar ucapan lawan bicaranya barusan. Nafasnya memburu kebal. Letupan emosinya seperti mendidih dalam suhuh paling panas. Seakan amarah telah menjadi sebuah rutinitas harian.

Bahkan seorang supir perusahaan pun tidak lagi menghormatinya. Lantas harus semarah apalagi dirinya agar dapat didengar?

Kim Sae Ron mengambil kunci mobil dengan kasar dan bergegas pergi. Kepalanya terus berdenyut seakan menusuk tiap inti saraf. Pikirannya ramai dipenuhi tanya dan makian. Tersudut dalam bayang rasa bersalah namun dengan keegoisan tinggi pula. Mencari celah untuk bersembunyi dan berusaha kabur.

Pintu tertutup rapat dalam sekali hentak. Terbanting keras namun Kim Sae Ron tidak merasa pengang sekalipun. Helaan nafas berhembus panjang sambil menutup wajah di atas setir kemudi.

"Sial." maki Kim Sae Ron. Wajahnya meringis kesakitan saat dengung kepala kembali menguasai. "Brengsek! Alkohol sialan!"

Walau begitu, stater mobil tetap dinyalakan. Derungnya terdengar mulus saat Kim Sae Ron menekan pedal gas hingga kendaraan tersebut mulai berjalan.

Namun entah mengapa, air matanya tiba-tiba berderai tanpa izin. Kim Sae Ron tak mengelak, sengaja dibiarkan pipinya membasah.

Bugh! Bugh! Bugh!

Kim Sae Ron memukul setir kemudi berulang kali. Tak puas dengan hal tersebut, sambil menyetir, satu tangannya beralih memukul kepala dan meraung marah. Dengan harapan rasa pusing, mual dan kesesakan yang dideritanya segera hilang. Tak perlu menyatu dan larut dalam siksaan batin yang kian meradang menyakiti diri.

"Aaaakk!!" pekik Kim Sae Ron sambil memukul setir kemudi. "Kenapa?! Kenapa?! Kenapaaaa?!"

Nafasnya tersengal lelah. Sama seperti fisiknya yang sudah tak sanggup menjalani hari. Mentalnya kian terkikis habis. Sekarang dia harus apa? Pulang kemana? Berlindung pada siapa? Kim Sae Ron tidak menemukan jawabannya.

Padahal pagi ini, langit tampak cerah tetapi tidak dengan kodisi Kim Sae Ron.

"Aku tidak bersalah." ucapnya mengafirmasi. Kepalanya menggeleng kuat dengan isak tangis. "Jika ternyata mereka berdua terluka pun, bukan salahku. Aku tidak sengaja."

Dengan kesadaran yang terombang-ambing oleh emosi dan alkohol, pedal gas semakin diinjak hingga laju mobil pun semakin kencang. "Dia yang memicuku untuk membencinya. Jika mereka tidak bersama, aku tidak akan sampai seperti ini!"

Kim Sae Ron kembali memukul kepalanya. "Akkhh! Sialan!" cercanya menahan sakit.

Semuanya tampak berputar dan memberatkan. Penglihatan semakin blur tidak jelas namun kecepatan laju kendaraan sama sekali tidak berkurang. Beberapa mobil mulai membunyikan klakson memprotes. Sebagian lainnya berusaha menghindar dengan makian yang mencuat keluar.

"Berisik! Berisik!" Kim Sae Ron masih tak menggubris. Ia berusaha tetap fokus tanpa peduli dengan keselamatannya. "Minggir!"

Tiiinn!!!

Mobil Kim Sae Ron mendadak berbelok. Namun bukannya mengurangi kecepatan, ia justru semakin menginjak pedal gas hingga ban mobil berdecit panjang. Kedua tangan Kim Sae Ron memegang kendali. Tubuhnya terpelanting sesuai kelok mobil yang sembrono.

Tiiiinnnn!!! Tiiinnn!!!

Braakkk!

Badan Kim Sae Ron tersentak kencang ke depan saat mobil yang dikendarainya menabrak sebuah benda besar di sisi kanan. Bahkan keningnya membentur setir hingga membuatnya kian meringis.

"Sialan!" umpatnya.

Tak selesai sampai di sana, bukannya menepi dan mengecek situasi. Kim Sae Ron memilih memundurkan mobil lalu memutar setir untuk kembali berjalan memasuki jalan raya. Namun nahas, tabrakan yang baru saja terjadi membuat sisi kanan mobilnya rusak hingga terseok kala berjalan.

Kim Sae Ron menggigit bibirnya saat mobil semakin melambat. Tubuhnya bergetar panik dan tak dapat berkutik saat dua orang petugas lalu lintas datang mengetuk jendela mobilnya.


🍑🍑


Shin Yoo Jin memasuki ruang inap tanpa mengetuk pintu terlebih dulu hingga harus berbalik badan saat menemukan Jaehyun dan Han GoEun sedang bercumbu mesra.

"Haissh!" keluh Shin Yoo Jin. Menyesali tindakan sembrononya yang memasuki ruang inap tanpa permisi.

Bughh!

"Kenapa masuk tanpa mengetuk pintu?!" protes Jaehyun melempar bantal hingga mengenai punggung sang manajer. Sementara Han GoEun menutup wajahnya yang memerah di bahu suami.

Shin Yoo Jin kembali menghadap Jaehyun dan mendekat. "Siapa juga yang akan mengira kalau sepagi ini kalian akan berciuman seperti tadi, hah?!"

"Setidaknya ketuk pintu!" balas Jaehyun memprotes. "Jika tadi aku sedang melakukan lebih dari sekedar ciuman, bagaimana?"

"Sekedar a—pa?!" Shin Yoo Jin mendengus. "Memangnya apa yang ingin kalian lakukan di tempat steril ini?!" lanjutnya sambil memukul kening Jaehyun hingga sang empunya nyaris terjerembab.

"Shin Yoo Jinnim!" seru Han GoEun memelotot. "Apa yang kamu lakukan?!"

Han GoEun segera mengusap kening sang suami yang memelas rengek. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya pada Jaehyun yang mengangguk. Lalu melirik Shin Yoo Jin. "Anda lupa kalau suami saya sedang masa pemulihan?"

Iris mata Shin Yoo Jin merotasi malas. "Tidak ada benturan keras yang mengenai kepala suamimu. Dia baik-baik saja."

"Tapi bukan berarti Anda bisa memukulnya seperti tadi!" hardik Han GoEun tak terima.

Shin Yoo Jin mendengus jengkel. Matanya merotasi malas sambil mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Oke, maaf."

Sang manajer mengalah walau setengah mati menahan dongkol pada Jaehyun yang kini sedang tersenyum ejek. Seharusnya Jaehyun tau, jika bukan karena keberadaan Han GoEun di sini, mungkin sekarang dia sudah mendapat banyak amukan dari dirinya.

"Jadi, apa yang membuatmu datang terburu-buru sampai mengganggu?" sambung Jaehyun mengembalikan topik utama.

"Ah, benar!" Shin Yoo Jin meraih remot dan mulai memilih channel tv yang dicarinya. "Ada berita tak terduga."

"Tentang?" tanya Jaehyun penasaran.

"Pagi tadi, di daerah Gangnam sebuah trafo listrik rusak tertabrak sampai membuat sebagian distrik bisnis padam," ujar Shin Yoo Jin masih mencari saluran televisi yang tepat.

Kening Han GoEun berkerut heran. "Lalu hubungannya dengan kami?"

Tepat setelah pertanyaan itu terlontar, saluran televisi yang dimaksud pun muncul. Menyiarkan rekaman situasi jalan raya hingga mendadak sebuah mobil melaju kencang dan menabrak sebuah benda besar yang diyakini sebagai trafo listrik.

Lalu narasi seorang pembawa berita pun terdengar. "Tabrakan yang terjadi terekam jelas melalui CCTV lalu lintas. Saat kejadian, pelaku mencoba untuk melarikan diri. Namun petugas lalu lintas Gangnam berhasil memberhentikan kendaraannya."

"Siapa yang dia maksud?" tanya Jaehyun penasaran.

"Dengarkan saja." jawab Shin Yoo Jin bersedekap dada.

"Kerusakan pembatas jalan dan trafo listrik hingga menyebabkan lampu lalu lintas padam, berhasil menyita perhatian publik. Kepolisian akan memeriksa lebih lanjut mengenai kondisi Kim Sae Ron yang diduga mengemudi dalam keadaan mabuk."

"Kim Sae Ron?!" seru Han GoEun menoleh pada Shin Yoo Jin yang mengangguk.

"Alih-alih mengikuti tes kadar alkohol, Kim Sae Ron lebih memilih untuk menjalani tes darah di sebuah rumah sakit." lanjut pembawa berita.

"Tenang saja, bukan di rumah sakit ini." imbuh Shin Yoo Jin memberitahu. "Dia sudah berada dalam pengawasan kepolisian. Sulit baginya untuk berkeliaran."

"Pihak kepolisian pun menerangkan bahwa setibanya Kim Sae Ron di kantor polisi, ia tidak dapat banyak bicara karena dalam keadaan sangat mabuk. Dia mengakui telah membuat kerusakan dan menyesali perbuatannya. Menurut laporan investigasi, imbasnya, banyak toko dan tempat bisnis di lokasi kejadian mengalami kerugian secara materi." papar pembawa berita melanjutkan. "Pihak agensi pun membenarkan dan menyatakan bahwa Kim Sae Ron akan mengikuti penyelidikan sesuai prosedur kepolisian."

Usai pembawa berita beralih ke topik selanjutnya, Shin Yoo Jin mematikan kembali televisi tersebut hingga gelap pekat memenuhi layar.

"Tamat." ungkap Shin Yoo Jin.

Jaehyun tertawa. Bahkan Han GoEun yang melihatnya pun merasa heran. "Kenapa tertawa?"

Kepala Jaehyun memiring. Ia pun tak segan mengelus penuh sayang wajah sang istri. "Karena kamu terbebas dari jeratan dia."

"Dia tidak pernah menjeratku, Jaehyun. Selalu ada kamu yang membantu."

"Kamu benar." papar Jaehyun berbangga diri. Bahkan dadanya sedikit membusung saat mengiyakan afirmasi tersebut. Tampak angkuh pada kepiawannya dalam mempertaruhkan keamanan sang istri. "But the fact that she harmed many people including you, me and our baby it's the truth, babe."

"Paling tidak akibat insiden pagi ini, pergerakan Kim Sae Ron kian mengecil karena berada dalam pengawasan kepolisian dan juga pengadilan." sambung Shin Yoo Jin. "Kalian bisa bernafas lega karena semua netizen juga semakin memperhatikan sikapnya."

Han GoEun memanggutkan kepala tanda mengerti. Berpuas hati pada situasi yang menguntungkan sehingga dirinya tidak perlu lagi merasa cemas jika berjauhan dengan sang suami.

Penayangan berita tadi cukup menenangkan walau menyayangkan adanya kerugian yang diderita beberapa pihak atas insiden tersebut. Termasuk cedera yang dialami Jaehyun saat ini.

Namun dibalik perasaan tenangnya, Han GoEun sama sekali tidak mengerti pada isi pikiran dan hati Kim Sae Ron selama menjalankan aksi tidak terpuji itu. Hal apa yang lebih mendominasinya sampai berani melakukan semuanya sendirian? Mengambil keputusan beresiko tinggi tanpa takut ataupun memikirkan dampak yang akan terjadi pada dirinya sendiri.

Karena menurut Han GoEun, setiap perbuatan yang dilakukan, baik atau buruk, akan selalu berbalik sesuai porsinya. Karma selalu ada untuk siapapun tanpa memandang usia, visual ataupun kasta sosial. Harusnya Kim Sae Ron lebih peka pada hal itu.

Tetapi entahlah, mungkin memang pada dasarnya tabiat manusia selalu ingin melakukan penyimpangan. Persis seperti yang Kim Sae Ron lakukan belakangan ini.

Lama melamun, Han GoEun sampai tak sadar bahwa Shin Yoo Jin sudah pamit keluar. Sibuk mengurus agenda yang terhambat dan berkas administrasi rumah sakit. Sementara Jaehyun sudah sejak tadi menatapnya serius. Diam dengan dahi mengerut memperhatikan sang istri.

"Memikirkan apa?" tanyanya sambil menyolek pipi tembam Han GoEun. "Apa yang membuatmu begitu serius berpikir saat aku ada di hadapamu?"

Bahu Han GoEun merosot, hela nafasnya mengudara panjang. "Dia perlu konsultasi dengan psikolog juga, kan?"

Mata Jaehyun berkedip singkat. Begitu terang-terangan menyelami iris gelap Han GoEun yang tampak resah. "Kamu mencemaskannya?"

"Sayang,"

"Aku mengerti." imbuh Jaehyun. Jemarinya membelai lembut surai rambut Han GoEun. Tak sekalipun nadanya berubah tinggi selagi bicara berdua.

"Mungkin faktor kehamilan membuat empatimu meningkat. Tapi ketahuilah bahwa seseorang yang sedang kamu kasihani pernah mencelakaimu." lanjut Jaehyun mengingatkan.

"Jaehyun,"

Dengan tanggap, Jaehyun menangkup wajah Han GoEun kala wanitanya melengoskan tatap. "Babe, listen to me."

"No, you should have listened to me, babe." potong Han GoEun. Menghentikan ucap sang suami yang kemudian mengangguk mempersilahkan bicara.

"Kamu lihat, kan, rautnya saat diamankan petugas kepolisian di televisi tadi?" ungkit Han GoEun. "Dia tidak lebih seperti seseorang yang kehilangan arah tujuan hidup."

"I know." balas Jaehyun. "Tapi, sayang,"

Mata Han GoEun berkaca-kaca hingga membuat Jaehyun mendadak menghentikan kalimat. Bibirnya melengkung rendah seiring dengan kegelisahan yang melingkupi.

Jaehyun menghela nafas panjang. Sulit sekali melawan empati wanita, istrinya terlalu baik sampai memikirkan nasib pembencinya. Terlalu perasa sampai Jaehyun tidak berani untuk menolak secara langsung.

Maka dari itu, Jaehyun pun mendaratkan satu tangannya di lengan sang istri. Lantas menyejajarkan tatap menilik keinginan wanitanya.

"You are my priority, Han GoEun." imbuh Jaehyun. "And our baby too. I don't want to let her hurt you again. Sudah sewajarnya juga dia mendapat hukuman atas hal yang dia perbuat."

"Setidaknya beri dia perawatan psikolog, sayang. Aku yakin ada yang salah dengan mentalnya." pinta Han GoEun. Ia maju beberapa inci agar kian dekat dengan sang suami.

"Hm?" Kepala Han GoEun memiring sambil menggamit lengan Jaehyun. "Ya? Boleh begitu saja, ya?"

Melihat Jaehyun tidak kunjung merespon, Han GoEun pun melayangkan kecupan berulang di pipi sang suami.

"Babe," erang Jaehyun. Ia pasti kalah jika diperlakukan seperti ini oleh Han GoEun.

"Cmon, babe. Can you agree for me?"

Jaehyun menghela nafas panjang. "Dia tetap harus menjalani hukumannya, babe."

Kening Han GoEun mengerut risau. Alisnya bertaut nyatu mendengar jawaban sang suami. "Aku tau, hanya perlu menambahkan perawatan psikolog saja."

"Walau kamu memberinya perawatan psikolog pun, bukan berarti hukumannya akan berkurang." ucap Jaehyun mengingatkan. "Tidak ada yang berubah."

"Paling tidak kita sudah berusaha untuk membuatnya menjadi lebih baik, Jaehyun. Dia perlu mendapat perawatan." tekan Han GoEun berbalik mengingatkan.

Lama Jaehyun tak bersua walau Han GoEun kian melayangkan aksi rengek manjanya.

"Oke," Jaehyun menelan salivanya perlahan sambil tetap menatap lurus sang istri. "Dia tetap menjalani hukuman sesuai prosedur pengadilan dan juga akan mendapat perawatan psikolog sesuai kebutuhan. Boleh begitu?"

"Agree." jawab Han GoEun berpuas hati. Lalu memeluk lembut bahu Jaehyun. "Thank you so much, babe."

"It's my pleasure." ucapnya sembari mengecup kening Han GoEun. "Anything for you, my love."

"Tapi, Jaehyun," panggil Han GoEun menegakkan punggung. "Kamu serius mau pulang hari ini?"

Jaehyun terkekeh. "Iya, kenapa?"

"Sekarang?" tanya Han GoEun kian memastikan.

"Iya, sayang. Sekarang, setelah menunggu Yoo Jin hyung kembali ke sini. Kenapa? Kamu tidak senang, aku sudah bisa pulang?"

Han GoEun memincing tak terima. "No way, tentu saja aku senang!"

Jaehyun menarik punggung Han GoEun agar kembali mendekat. "Lalu?"

"Kamu pulang bukan karena paksaan manajermu, kan?" tuduh Han GoEun menyipitkan mata.

Jaehyun mengerjap mendengar penuduhan itu, mengelakkan tatap dari pandangan Han GoEun yang mengintai.

"Bukan karena mengejar jadwal comeback, kan?" tanya Han GoEun menyudutkan.

"Babe, the schedule is getting closer. You know it, right?" papar Jaehyun menjelaskan. Meminta pengertian sang istri yang kini kembali terlihat tak setuju.

"Kamu masih cedera, sayang."

"Cedera ringan." koreksi Jaehyun. "Aku pasti akan berhati-hati saat latihan. I promise." lanjutnya lalu mengecup punggung tangan Han GoEun sebagai bentuk cap janji.

"Aku akan langsung pulang kalau merasa kesakitan. Akan langsung menghubungimu jika aku butuh bantuan. Juga mengajukan cuti beberapa hari untuk beristirahat di rumah." Jaehyun mengajukan banding agar kehidupan rumah tangga dan pekerjaannya seimbang. "Bagaimana? Kamu mau mengizinkan?"

"Aku ikut kamu, ya." balas Han GoEun cepat.

"Boleh," angguk Jaehyun. "Tapi tetap harus melihat kondisi kesehatanmu. Aku juga tidak mau kamu kelelahan karena mengikuti agendaku."

Mata Han GoEun merotasi malas yang membuat Jaehyun tersenyum lebar. Ia tau, lelakinya tidak mungkin akan mengizinkan begitu saja tanpa embel-embel persyaratan.

"Fine." ucap Han GoEun.

Tok tok!

Sepasang suami-istri itu menoleh serentak ke arah sumber suara. Menampakkan Shin Yoo Jin sedang bersedekap dada sambil bersandar pada bilah pintu yang sudah terbuka. "Aku mengganggu?" tanyanya.

"Tidak. Kenapa?" balas Jaehyun.

"Administrasi kepulanganmu sudah selesai diurus. Untuk check up harus dilakukan setiap hari kamis." papar Shin Yoo Jin menjelaskan. "Mau pulang sekarang?"

Jaehyun melirik pada Han GoEun yang kini juga sedang menatapnya. Melihat Han GoEun mengangguk menyetujui, senyum Jaehyun pun terukir manis. "Oke, pulang sekarang."

Mendengar jawaban itu, Shin Yoo Jin baru sadar bahwa sejak tadi dirinya teramat cemas sampai menahan nafas. Ternyata alam bawah sadarnya juga merasa takut pada jawaban Han GoEun selaku istri anak didiknya. Tidak disangka, bahwa the power of wife akan menjadikannya memiliki perasaan seperti ini.

Sama seperti Han GoEun yang beranjak turun dari ranjang perawatan untuk membereskan perlengkapannya. Shin Yoo Jin pun turut membantu dengan memanggilkan perawat untuk melepas selang infus yang masih melekat di pergelangan tangan Jaehyun. Termasuk membantu Jaehyun berganti baju selagi Han GoEun berkemas diri.

"Mobilnya sudah datang?" tanya Han GoEun memastikan.

"Sudah standby sejak satu jam lalu." jawab Shin Yoo Jin menjinjing satu tas besar.

Melihat Jaehyun melingkarkan tangannya di pinggang Han GoEun selagi duduk di pinggir ranjang membuat Shin Yoo Jin kembali bertanya. "Kamu mau memapahnya? Ada kruk yang diberikan pihak rumah sakit. Atau perlu pakai kursi roda?"

"Berikan satu kruk padaku." pinta Jaehyun. Dengan segera pula diberikan oleh perawat rumah sakit yang juga hadir di ruangan itu.

Satu tongkat tersebut berada di sisi kanan Jaehyun. Sementara tangan kiri Jaehyun sudah memakai arm sling sebagai perlindungan cedera ringan yang dialaminya. Walau begitu, Han GoEun tetap sigap menyusupkan tangannya di belakang punggung Jaehyun selagi lelakinya berdiri.

"Bisa?" tanya Han GoEun mendongak.

Jaehyun tersenyum sambil mengangguk. Lantas menoleh pada Shin Yoo Jin yang memperhatikan. "Ayo."

Shin Yoo Jin berjalan lebih dulu dengan sesekali menoleh memastikan kedua orang yang saling bahu-membahu itu tidak tertinggal ataupun terjatuh lagi.

"Sepertinya akan sedikit ramai di bawah. Tapi sudah ada pengawalmu dan pengawal perusahaan yang berjaga." himbau Shin Yoo Jin saat berada di dalam lift.

Jaehyun sedikit bersandar pada dinding alumunium tersebut. Tak ingin menumpu seluruh tubuhnya pada tongkat penyanggah atau pada sang istri yang lebih mungil dibanding dirinya.

"Mereka tau?" tanya Jaehyun.

Shin Yoo Jin mendelikkan alis. "Agensi memberi kabar pada penggemarmu."

"Termasuk alasan aku terjatuh?!"

Shin Yoo Jin mengangguk. "Sengaja untuk membuat wanita itu semakin—" Kalimatnya terhenti saat Jaehyun melebarkan mata sambil melirik Han GoEun yang menunduk.

Melihat Han GoEun mendadak muram, Shin Yoo Jin segera merapatkan bibirnya tanpa berani mengeluarkan suara lagi.

Setibanya di pelataran rumah sakit, Han GoEun sama sekali tidak menjauh ataupun memprotes walau berada di keramaian. Pada saat pintu kaca terbuka, ia memang tampak terkejut saat semua orang mendadak berkerumun. Jaehyun dapat merasakannya dari pergerakan Han GoEun yang mendadak semakin rapat dengan tubuhnya. Juga dengan cengkraman sang istri di pinggangnya.

Tetapi dengan cepat pula, Han GoEun mengangguk sopan kala beberapa reporter menyapa. Juga menjawab singkat saat beberapa penggemar menanyakan kondisinya ataupun kondisi Jaehyun.

Kemunculan Jaehyun menggunakan tongkat berjalan (kruk) dan serta menggunakan arm sling di bagian tangannya membuat para penggemar yang berada di situasi menjerit histeris. Bukan mengenai kegilaannya pada visual Jaehyun, melainkan betapa jahatnya insiden yang menimpa idolanya.

Saat Jaehyun dan Han GoEun sudah masuk ke dalam mobil, Shin Yoo Jin berdiri diambang pintu yang sedikit terbuka. "Aku akan ikut dengan mobil lain. Setibanya di rumah, tolong segera istirahat."

"Aku mengerti." imbuh Jaehyun patuh.

Sebelum pintu tertutup, Shin Yoo Jin menepuk bahu Ha Min Jun sekilas dan bergegas menghampiri mobil pribadinya.


🍑🍑


"Sayanggg,"

Suara Jaehyun terdengar menembus ke kamar saat Han GoEun sedang berganti baju.

"Sayanggg?!" panggil Jaehyun lagi kian keras.

"Astaga, sabar, sayang!" keluh Han GoEun buru-buru memakai baju kebesaran tanpa celana dan bergegas menemui sang suami.

"Apa?!" tanya Han GoEun galak.

Sementara yang ditanyai hanya terkekeh lebar sambil merentangkan satu tangannya. "Mau peluk."

Han GoEun menarik nafas dan menghembusnya perlahan. "Kamu teriak-teriak panggil aku hanya untuk minta peluk?" keluhnya sambil menggapai uluran tangan sang suami.

Jaehyun mengangguk berulang kali sambil terkekeh lucu. "Duduk sini," pintanya melirik sebagian sofa di antara selangka kedua kakinya yang terbuka lebar.

Han GoEun menurut. Seluruh tubuhnya seperti tenggelam di kukungan tubuh Jaehyun. Mengedarkan aroma harum yang menguar dari seluruh tubuh Han GoEun pada Jaehyun yang kesenangan.

Sudah tiga hari sejak Jaehyun pulang dari rumah sakit. Dan selama itu pula aktifitas pekerjaan mereka berdua lebih sedikit dibanding biasanya. Setiap rutinitas di luar pekerjaan sudah selesai, Jaehyun kerap sekali lebih manja. Seakan yang sedang hamil itu adalah Jaehyun, bukan Han GoEun.

Jaehyun mengecup bahu Han GoEun. "Wangi,"

"Tentu saja, aku baru selesai mandi dan kamu langsung teriak memanggil." ujar Han GoEun memprotes. Ia menoleh ke sisi kanan. "Kenapa? Mau makan lagi? Atau mau ke kamar mandi?"

Jaehyun menggeleng. "Aku hanya ingin berdekatan seperti ini."

"Aku tidak kaget kalau kamu manja. Tapi aku heran melihatmu tidak sabaran saat memanggilku. Ada apa?" terka Han GoEun.

Jaehyun tidak langsung menjawab, ia justru mengeratkan rangkulannya sembari mengecup singkat sudut kening Han GoEun. Dengan tangannya yang turut mengelus lembut perut buncit sang istri serta remasan halusnya di payudara kiri sang istri.

Sementara Han GoEun sedang menebak perihal alasan sikap Jaehyun saat ini. Apakah karena dirinya membantu para staf bekerja tadi? Atau cemburu karena bicara dengan Taeyong? Sepertinya bukan itu, walau pencemburu, Jaehyun tidak masalah jika bicara bersama sang leader. Lantas?

Mata Han GoEun membesar. Apa karena makan malam tadi?

"Sayang," panggil Han GoEun nyaris mencicit. "Karena makan malam tadi, ya?"

Jaehyun tak menjawab. Ia hanya menyusupkan wajahnya di leher Han GoEun yang masih menebak-nebak.

"Karena aku membawakan piring makanan Yuta, kan?" tanya Han GoEun merisau. "Aku tidak bermaksud apapun. Hanya membantunya saja."

Beberapa jam yang lalu, saat NCT 127 memilih restoran Thailand sebagai menu makan malam. Han GoEun yang sedang merefil air minumnya melihat Yuta yang kebingungan karena menu makan malamnya belum juga datang.

Tak terlalu pandai berbahasa inggris, Yuta pun meminta tolong pada Han GoEun untuk menerjemahkan kalimat saat bicara bersama pelayan. Hingga untuk sekian menit, Han GoEun berdiri bersama Yuta menunggu pesanan.

Tetapi saat pelayan tiba, kedua tangan Yuta sibuk membawa gelas dan piring camilan. Alhasil, Han GoEun bersedia membawakan piring tersebut ke tempat duduk sang lelaki sebelum kemudian kembali duduk bersama Jaehyun.

Lelakinya hanya memandang sambil tersenyum simpul menyambut kedatangan sang istri. Ia hanya tidak tau bahwa sejak dirinya beranjak merefil minuman, Jaehyun yang sedang asik berbincang bersama rekan grupnya tak pernah melepas tatapan untuk sedetik pun. Hingga lelakinya pun tau mengenai interaksi sang istri bersama Yuta tadi.

Dan kini, bayi besarnya ini tidak kunjung bicara.

"Jaehyun," panggil Han GoEun mengelus punggung tangan sang suami yang melingkari perutnya.

"Aku benci diriku sendiri yang cemburuan." papar Jaehyun mengaku. Masih dengan menyembunyikan wajahnya di leher sang istri. "Aku tau, kamu hanya membantu. Tapi sebagian hatiku tidak rela."

"Kamu sedang menahan diri untuk tidak marah, ya?" tebak Han GoEun mengulum senyum. "It's okay, babe. Aku paham. Asal jangan diam padaku."

Jaehyun menggeleng pelan di leher Han GoEun. "Aku tidak mungkin bisa diam padamu. Kamu 'kan suka menyentuhmu. Aku hanya sedang berusaha meredam rasa cemburuku sambil memelukmu."

Han GoEun mengangguk. "Kamu bisa memelukku sepuasnya."

Mendengar itu, Jaehyun beralih menciumi leher Han GoEun berulang kali hingga membuat sang wanita terkekeh geli.

"Tadi dia menunjukkan padaku hasil pemotretan beberapa hari kemarin. Harus kuakui, penampilannya sangat bagus." puji Jaehyun mengingat kembali betapa memukaunya foto tersebut.

"Kakakmu memang berbakat, kan?"

Jaehyun mengangguk pelan. "Justru itu, aku takut kamu berpaling."

Han GoEun tak sanggup menahan tawanya saat mendengar kalimat barusan. Tak disangka bahwa Jaehyun akan merasa minder seperti ini. "Pemikiran apa itu?! Jika aku berpaling, mana mungkin aku mau memiliki anak denganmu."

Jaehyun sontak mengangkat wajah menatap Han GoEun.

"Apa?" papar Han GoEun heran.

"Kamu benar."

"Tentu saja, kamu ini ada-ada saja." Han GoEun mendengus sambil menatap layar televisi yang sejak tadi menyala.

"Anak kita."

"Benar, anak kita." angguk Han GoEun memvalidasi ucapan sang suami.

"Anak Jaehyun dan GoEun."

Han GoEun tersenyum lebar tanpa menoleh. "Betul."

"Kita orang tuanya."

"Tepat sekali."

Han GoEun pikir percapakan ini sudah selesai. Rupanya Jaehyun sedang tersenyum lebar dengan pemikirannya sendiri mengenai menjadi orang tua dan memiliki anak. Lantas menangkup wajah Han GoEun dari belakang dan mencium lama pipi sang istri.

"Kamu mau dipanggil apa sama baby?" tanya Jaehyun semangat.

Merasa tertarik dengan isi percakapan, Han GoEun merubah posisi duduknya dengan cara menyamping dan merebahkan kakinya di atas paha Jaehyun.

"Eomma, mungkin. Seperti biasanya saja, eomma appa." Jawab Han GoEun. "Memangnya kamu ada keinginan dipanggil apa?"

Dengan wajah sumringah dan penuh percaya diri, Jaehyun pun sontak menjawab. "Baginda Raja."

Senyum Han GoEun sirna hingga satu pukulan melayang mengenai dada bidang sang suami yang meringis. "Kamu pikir kita hidup di era Joseon?!"

"Namanya juga keinginan," cicit Jaehyun mengelus dadanya. "Lucu, sayang, baby memanggilku Jeonha dan memanggilmu Jungjeon Mama."

"Berarti baby calon Raja yang akan menggantikan posisimu." sambung Han GoEun mengikuti permainan sang suami.

Jaehyun tertawa puas. "Harta kita berlimpah. Baby akan punya segalanya dan menjadi penguasa yang paling dihormati."

Senyum yang sempat terpatri manis di wajah Han GoEun pun mendadak berubah kesal. "Jika kamu baginda raja, apakah berarti kamu sedang mencari selir?"

"Apa?"

"Percakapan ini hanya akal-akalanmu saja untuk membahas selir, kan?"

"Astaga, bukan— aw!"

Han GoEun memukul Jaehyun lagi saat tiba-tiba pemikiran mengenai kehidupan kerajaan melingkupinya. "Kamu mau punya berapa selir, hah?!"

"Sayang, dengarkan—" Jaehyun mulai panik. Niat bercandanya berakhir amukan Han GoEun yang salah paham. "Aku tidak mencari—"

"Terserah." sela Han GoEun segera beranjak. Sudah malas membahas perihal kerajaan yang membuat suasana hatinya mendadak buruk. "Urus saja sendiri jumlah selirmu itu." ucapnya ketus.

Jaehyun ikut berdiri. Dan segera menangkap lengan Han GoEun hingga keduanya kembali terduduk dengan posisi persis seperti tadi.

"Tidak ada selir." ucap Jaehyun di telinga Han GoEun yang mendadak diam.

Wanitanya sedikit terkejut dengan kenekatan Jaehyun yang berdiri tanpa tongkat hingga menghempaskan tubuh demi membawa Han GoEun tetap didekatnya.

"Katanya mau dipanggil Baginda Raja," ledek Han GoEun. "Berarti punya sel—"

"Hanya kamu." sela Jaehyun.

Perlahan, nafas Han GoEun kembali teratur. Namun rangkulan Jaehyun tak kunjung merenggang. Hingga keheningan sempat melingkupi keduanya yang sama-sama diam.

"Kakimu baik-baik saja?"

"Ya," jawab Jaehyun cepat. "Aku lebih takut kamu marah."

"Aku sudah tidak marah."

"Bercandaku bukan perihal selir, sayang. Hanya sebuah panggilan, bukan berarti harus ada bagian selir juga." papar Jaehyun menguraikan maksud. "Aku tidak mau kamu salah paham dan marah. Kamu mengerti maksudku, kan?"

Han GoEun mengangguk. Ia juga merasa tak enak hati karena langsung merasa kesal walau tau bahwa pembahasan yang dimaksud hanyalah perihal panggilan.

Wanitanya kembali duduk menyamping agar keduanya dapat berhadapan. Sambil memberanikan diri membalas tatap sang suami, Han GoEun pun berujar pelan. "Sorry," ucapnya dan segera membenamkan diri dalam pelukan Jaehyun.

Sudut bibir Jaehyun menukik samar. "It's okay, babe." balasnya sambil membelai pelan punggung sang istri. Mengelusnya penuh sayang tanpa menyudutkan. Kali ini, walau masih tersendat, setidaknya komunikasi mereka tidak lagi buruk.


🍑🍑🍑

karena belum ada yang berhasil jawab yg bener tentang 'tanda-tanda' yg dimaksud, mau aku kasih tau jawabannya aja ga? atau masih mau nebak? wkwkwk

Ayo follow akun wattpad authornya!
Instagram: @1497_tjae
Twitter: @fourteenjae
Tiktok: @fourteenjae
Karyakarsa: @fourteenjae

2020 - fourteenjae

Continue Reading

You'll Also Like

57.5K 10.1K 29
kisah seorang jenderal yg di permalukan setelah kekalahan yg di alaminya. seorang jenderal agung pemimpin 300.000 pasukan di khianati hingga menyebab...
29.2K 4.8K 17
Allura Christy Gadis remaja polos nan lugu yang kerap kali mendapat bullyan dari semua siswa siswi di sekolahnya. Bagaimana tidak, sekolahnya saja s...
90.6K 8.5K 33
Supaporn Faye Malisorn adalah CEO dan pendiri dari Malisorn Corporation yang memiliki Istri bernama Yoko Apasra Lertprasert seorang Aktris ternama di...
54.7K 7.3K 32
tidak ada kehidupan sejak balita berusia 3,5 tahun tersebut terkurung dalam sebuah bangunan terbengkalai di belakang mension mewah yang jauh dari pus...