VIA Bagian Pertama

由 dirgita

171 1 0

Terlahir dengan kemampuan telekinesis, membuat Via tak leluasa dalam bergaul. Bahkan akibat kemampuan itu, ia... 更多

01 - panas
02 - galau
03 - jengkel
04 - ragu
05 - pahit
06 - gundah
07 - cemas
08 - takut
09 - cukup
10 - usil
11 - bodoh
12 - konyol
13 - gemas
15 - risih
16 - curiga
17 - palsu
18 - licik
VIA Bagian Kedua

14 - aneh

5 0 0
由 dirgita

Via sesekali menoleh ke belakang. Wiwid ternyata mengekor. Ia lalu mendesah.

"Kamu kenapa ngikutin?" tegurnya.

"Eh, copot!" Wiwid mengkaget. Nyaris ia menabrak punggung Via andai tak cepat-cepat mengerem langkah kaki.

"Aku mau ke perpus. Kau tidak ada kelas?" tanya Via lagi.

Wiwid terlihat ragu. "Aku ikut Kakak saja, deh."

"Loh?" Via mengernyit. Ia sebenarnya ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Namun, dirinya sendiri tidak tahu harus mulai dari mana, bertanya apa, dan harus bereaksi bagaimana jika dijawab. Akhirnya, "Ya, sudah," ucapnya kemudian. Via kembali melanjutkan langkah. Wiwid menyusul.

Akan tetapi, Via masih belum bisa membuang rasa yang mengganjal. Gadis yang kini berjalan beriring dengannya itu sebelumnya tampil iseng seperti biasa. Tetapi sekarang, ia malah seperti menghindari sesuatu. Wiwid bahkan sempat ia pergoki tolah-toleh dengan wajah gusar. Sadar gerak-geriknya tengah diperhatikan, Wiwid membalas senyum cengengesan.

Akibat senyuman itu, Via akhirnya berucap penuh prasangka, "Kau bukan mau menjahiliku, kan?"

Wiwid kemudian mendesah. "Jadi, Kakak belum tahu kejadian kemarin? Kak Danti tidak cerita?"

Via lagi-lagi mengerutkan kening. "Ada apa memangnya kemarin?"

Kalau diingat-ingat, tidak ada kejadian spektakuler. Kalaupun ada, Via mungkin tidak sadar karena masih dirundung perasaan tak begitu enak usai mengeluarkan kemampuan anehnya dan melukai banyak orang. Andai pun dikaitkan dengan kejadian malam berdarah yang disebabkan oleh dirinya itu, kejadiannya sendiri sudah lewat dua hari yang lalu. Tidak mungkin baru diungkit-ungkit oleh Wiwid hari ini.

Akan tetapi, jika diingat-ingat lagi, Danti memang pernah cerita tentang bibi barunya yang ternyata juga dosen di kampus ini. Mereka baru pertama kali bertemu kemarin. Dan di pertemuan pertama itu, bibinya sudah ditembak oleh mahasiswa yang tak tahu diri. Tepat di depan matanya, di depan orang-orang. Sayangnya, Danti tidak kenal mahasiswa sok ganteng itu. Ia hanya merasa sering bertemu si pemuda di beberapa kegiatan ekstrakurikuler kampus.

Apakah itu yang dimaksud oleh Wiwid? Kejadian yang remeh begitu?

"Kakak kenal Alwi, kan?" Wiwid malah balik bertanya.

"Alwi? Alwi yang mana, ya?"

"Kakak pasti kenal. Itu, loh, tetanggaku. Yang diam-diam suka sama Kak Danti."

"Oh, yang itu." Via akhirnya mengangguk-angguk. Bagaimana mungkin ia tak kenal dengan orang yang selama ini menjadikan dirinya biro konsultasi. Orang yang sama yang telah mengenalkan dirinya dengan Wiwid. "Terus?"

"Kemarin, dia nembak Kak Danti."

Via mendelik. "Beneran? Alwi? Nembak Danti?" Ini Alwi, loh. Pemuda cengengesan yang selama ini cuma bisa sembunyi. Pemuda yang kadang suka lupa bayar minum di kafe.

Wiwid mengangguk-angguk. "Aku ikut bantu soalnya." Lalu, ia terkekeh.

"Bagaimana? Diterima?" Meski belum dijawab, Via sudah dapat bocoran. Sampai sekarang, Danti tidak pernah menyinggung perihal Alwi. Maka dapat disimpulkan, cinta si pengagum rahasia telah kandas.

Sesuai dugaan, Wiwid pun menggeleng. "Gagal total, Kak. Dia yang nembak, aku yang malu."

"Aduh, kasihan," ucap Via pula berpura-pura iba. "Mau permen?" Via merogoh saku lalu menyodorkan tiga butir permen kopi. Dirinya sedang cari cara untuk membungkam mulut Wiwid. Kalau tak dibuat diam, bisa-bisa ceritanya berlanjut sampai perpustakaan.

"Kasihan sama siapa, Kak? Sama aku atau sama Alwi?" Wiwid menjeling tiga butir permen yang tersodor. Ia ambil satu, tetapi Via memberi isyarat untuk ambil semua.

"Kasihan dengan kalian berdua."

"Makasih, makasih...!" Dua permen Wiwid simpan di saku, sedangkan satu yang lain ia genggam. Mau ia buka, jari-jarinya licin.

"Sama-sama, sama-sama...!" balas Via.

"Tapi, Kak," lanjut Wiwid. "Walau gagal, Alwi tetap berhasil."

"Eh?" Via terkesima. "Gagal tetapi berhasil itu bagaimana ceritanya?"

Wiwid berpikir sejenak. "Gimana ceritanya, ya? Yang pasti begini. Alwi gagal dapat cintanya Kak Danti, tapi berhasil dapat hatinya Bu Mita. Gara-gara salah tembak."

"Salah tembak? Kok, bisa?"

"Ng..., nggak tahu. Jangan tanya. Pokoknya, Alwi rencananya mau nembak Kak Danti, tapi yang kena malah Bu Mita. Bu Mita malah terima."

Via mencoba mengingat-ingat. "Bu Mita ini maksudnya Bu Mita dosen baru? Bibi tirinya Dan...?"

Belum selesai ia bicara, Wiwid tiba-tiba melejit menarik tangannya. "Ayo, Kak! Cepat-cepat jalannya! Perpus nanti tutup!"

"Ada apa, sih? Perpus buka sampai sore!" Via kebingungan. Bukannya ikut diseret Wiwid, ia malah mengerem langkah.

"Aduuuh!" Wiwid terlihat gusar. Ia lalu mendekati Via dan berbisik, "Ada Alwi!" Ia lalu memberi tanda arah dengan memajukan bibirnya.

"Sama Alwi, kok, takut?" Dengan kening berkerut, Via berputar mengikuti telunjuk bibir Wiwid. Dilihatnya seorang pemuda berjalan lesu di lorong dengan kening bertempel plester. Pemuda itu bahkan sempat berhenti beberapa saat untuk menghela napas.

"Sudah berapa lama dia begitu? Dari semenjak ditolak Danti?" tanya Via kemudian.

"Tadi pagi masih bagus, Kak. Nggak parah-parah amat. Jadi begitu setelah masuk kuliah."

"Belum move on mungkin?" tebak Via.

Wiwid menggeleng. Penyebab Alwi seperti itu bukanlah Danti, melainkan dosen baru bernama Mita. Dari desas-desus yang ia dengar, dosen baru itu diincar oleh beberapa dosen lajang maupun yang sudah beristri. Gara-gara kejadian kemarin, mereka menganggap Alwi sebagai saingan.

"Teman-temanku bilang, dia sempat dikerjai di kelas."

"Ya, ampun...."

Dari jauh, tampak Alwi tiba-tiba menunduk. Kedua tangannya menutup wajah. Ia sepertinya bersin. Dan ketika wajahnya kembali mengangkat, ujung matanya tak sengaja menemukan Wiwid.

"Astagfirullah! Dia melihatku!" Wiwid seketika panik. Dirangkul dan ditariknya lengan Via. "Ayo, Kak! Kita kabur!"

Via terpaksa kembali mengayunkan langkah meski terkesan enggan. "Kok, kabur? Seperti ketemu hantu saja!"

"Aku tak mau kelihatan dekat-dekat dengannya selama di kampus, Kak. Aku masih ada kelas. Aku takut nanti ikut dikerjai juga. Dikira sekongkol."

***

"Siapa sekongkol?"

Wiwid terperanjat. Matanya baru meleng sedikit, tiba-tiba sudah ada orang yang berdiri menghadang jalan. Nyaris ia tabrak andai tak cepat mengerem langkah.

"Alwi...?" Ia pun gemetar. Kebingungan. Orang yang ia sangka masih jauh di belakang, sekarang sudah berdiri hadapannya sembari melipat tangan.

"Cepatnya...," gumam Via.

Orang yang menghadang jalan mereka itu, yang tak lain adalah Alwi, kemudian berucap, "Boleh saya tahu Anda hendak ke mana, Saudari Wiwid?"

Wiwid salah tingkah. Bukannya menjawab, ia malah melepas tangan Via dan memutar badan. "Maaf, Kak Via. Aku kebelet!" Ia pun bersiap untuk kabur. Namun baru kakinya hendak diayun, tangan kirinya sudah ditangkap oleh Alwi.

"Toilet bukan ke situ, Mbak."

Wiwid berbalik. "Alwi, kumohon!" Lebainya Wiwid pun keluar. Semua mahasiswa menoleh. "Kumohon, lepaskan aku! Aku tidak ingin terlibat dalam masalah ini lebih jauh!" Drama kolosal penuh darah dan air mata tersaji gratis di lorong kampus.

"Tidak bisa...!" Tatapan kedua mata Alwi bagai dua bilah pisau yang baru diasah. Sangat tajam menembus hingga sumsum tulang belakang. Seketika itu, Wiwid merasa dengkulnya lemas. Ia belum pernah setakut ini, terlebih di hadapan pemuda yang selama ini ia anggap tolol.

"Walau langit runtuh, bumi terbelah, aku tidak akan melepaskanmu!" sambung Alwi. Lebai Wiwid ternyata sejenis penyakit menular. "Bagaimana pun juga, kau ikut bertanggung jawab dalam masalah ini. Kita akan selesaikan masalah ini sekarang juga!"

"Ya, Tuhan.... Tak kusangka akan dipanggil begitu cepat!"

"Bicara apa kau? Ayo, ikut!" Alwi pun menyeretnya.

"Tidaaak! Dosaku masih banyak!"

Via yang ditinggal hanya menggeleng kecil. Senyum halus pun melintas setelah sekian lama sulit untuk bersinggah di bibirnya. Wiwid hari ini aneh, begitu pula Alwi.

Ingat akan Alwi, senyum itu perlahan bubar. Via menoleh ke arah Alwi datang, lalu menoleh lagi ke arah di mana pemuda itu tiba-tiba sudah di depan Wiwid. Jaraknya begitu lebar. Jika tak salah terka, kurang lebih lima puluh meter. Sempat ia berpikir keahlian berpindah tempat secepat itu adalah hasil menguntit Danti.

"Luar biasa...!" Via pun beranjak.

繼續閱讀

You'll Also Like

1K 155 44
Kumpulan tugas cerita pendek Mi Casa
1.1M 3.6K 15
Ingin cerita lebih lengkapnya lagi, Silahkan klik Link di profil saya... 🙏🙏😊
462K 4.5K 6
"Aku menyukai bintang... Kemerlap cahayanya yang indah membuatku jatuh cinta padanya. Namun aku tidak akan bisa untuk memilikinya meski aku berusaha...
1.2M 58.5K 47
Reanka adalah gadis pendiam dengan sejuta rahasia, yang hidup di keluarga broken home. Di sekolahnya ia sering ditindas oleh Darion Xaverius. Reanka...