Strawberry Cloud [End]

بواسطة PinkCappuccino

2.2M 339K 327K

(SUDAH TERBIT) TERSEDIA DI SELURUH GRAMEDIA "Kita nggak pacaran, tapi Kak Caka punya aku!" Alana tersenyum le... المزيد

Prolog
01 - Caka Elvano
02 - Alana Gioni
03 - Rebels
04 - Pity
05 - 6/9
06 - Tulus
07 - The Other Side
08 - Pinch
09 - Hidden Enemy
10 - Movie
11 - She's On Cloud Nine
12 - Enchanted
13 - Yang Akan Retak
14 - Yang Retak
15 - I Hate You Caka Elvano
16 - Menghilang
17 - Your Leaving
18 - Strawberry Cloud
19 - Kisah Yang Belum Dimulai
20 - (?)
21 - Pretty Cloud
22 - Kembali
23 - Dia Alana
24 - 12.12
25 - Mine
26 - My Pretty Alana
27 - Be a Good Girl
28 - Wreak
29 - Secret Date
30 - She's My Home
31 - I'm Yours
32 - My Strawberry
33 - My Little Alana
34 - Dinner
35 - Strawberry Mark
36 - Heats Up
37 - Strange
38 - Danger
39 - Campus Romance Begins?
40 - Private But Not Secret
41 - Now, Babe!
42 - Serba Salah
43 - Mencekam
44 - Pindahan
45 - Pindahan 2
46 - Not Your Fault
47 - Pertandingan
48 - Revealed
49 - Holiday Date Planning
50 - Nusa Penida
51 - Kissing in The Pool
52 - Get Drunk
53 - Fact
54 - Last Holiday
55 - Titik Lemah
56 - Aneh
58 - Stubborn
59 - Bertengkar
60 - Saran
61 - Terkuak
62 - Terkuak 2
63 - Obat
64 - Terbongkar
65 - Hancur
66 - Tersiksa
67 - Tersiksa 2
68 - Syarat
69 - End

57 - He's Crazy

20.5K 3.6K 5.1K
بواسطة PinkCappuccino

Vote dulu ya sebelum baca 💗 komen di setiap paragraf biar gemes 🌷💗 happy reading 🌹

❤︎❤︎❤︎

Alana turun dari atas motor Caka. Lelaki itu membantu melepas helm yang melekat di atas kepala Alana. Sedari pagi Alana tampak antusias, senyumnya mengembang bak adonan donat. Kebahagiaan Alana menular kepada Caka.

"Senang banget?" tanya Caka.

"Aku nggak sabar ketemu papi, mami, sama Alano. Tahun kemarin mereka nggak pulang, sekarang mereka menetap di sini. Aku bahagia banget, Kak. Nggak sendirian lagi di rumah," ungkap Alana ceriwis.

Caka mengacak-acak rambut Alana gemas. Alana mendahului langkah Caka, meninggalkan Caka di tempat parkir Bandara yang sore itu padat sekali. "Alana, wait!" seru Caka berjalan keluar dari area parkir.

"Cepat, Kak!"

"Masih lima belas menit lagi. Kamu jangan lari, nanti capek."

Alana tidak mendengarkan, dia tetap berlari meninggalkan Caka di belakang. Menyaksikan punggungnya yang mulai menjauh. Caka memasukkan kedua tangannya pada saku Celana, ia bergeming. "Aku nggak suka lihat punggung kamu dari jauh gini."

Setelah menunggu lebih dari lima belas menit, akhirnya keluarga Alana keluar dengan membawa troli berisi tumpukan koper besar. Mata suntuk Alana melebar melihat keluarganya. Ia yang awalnya anteng duduk di samping Caka segera berdiri dan berlari untuk menghampiri Ando, Olivia, dan Alano.

Orang pertama yang dipeluk Alana adalah Olivia—maminya. Tak kuasa menahan kerinduan kepada putri semata wayangnya, Ando ikut berhambur memeluk Alana. Mereka berpelukan layaknya Teletubies.

"Mami, Papi, Alana kangen banget!" seru Alana.

Air mata mereka bertiga luruh. Terutama Ando yang begitu merindukan putrinya. Olivia yang merasa sesak pun memutuskan untuk keluar dari dekapan Ando. Memberikan Ando waktu untuk memeluk Alana seorang diri.

Olivia tersenyum begitu manis. Ia baru sadar akan kehadiran pemuda yang tampak kikuk tidak jauh dari mereka berada. Olivia lekas mengenali pemuda itu. Dia Caka, kekasih putrinya.

Caka berjalan menghampiri Olivia, kemudian menunduk untuk mencium punggung tangannya sopan, "Saya Caka, Tante," ucapnya mersik.

"Wah kamu kelihatan lebih tinggi dan ganteng aslinya, ya?" puji Olivia membuat Caka malu mendengarnya. "Alana banyak cerita tentang kamu. Akhirnya sekarang bisa ketemu langsung."

Ando dan Alana selesai melepas rindu. Alana minta dilepaskan karena sesak dipeluk begitu erat oleh papinya. Ando beralih menatap Caka, memperhatikan pemuda yang lebih tinggi darinya. Pemuda tampan berbadan atletis. Sejujurnya Ando cemburu karena putrinya sudah bisa mencintai laki-laki lain.

Diperhatikannya Caka dari bawah sampai atas. Caka yang merasa kikuk pun maju dan mengambil tangan Ando untuk dia cium punggung tangannya. Ando tersenyum menerimanya. Sopan, batinnya.

"Jadi ini pangeran princess Papi?" goda Ando mengerling ke arah Alana.

"Ih! Apa, sih, Pi!" Alana malu-malu kucing.

Alano yang sibuk dengan ponselnya pun mendekati Caka. Menyapanya dengan ramah. Ia berbisik di telinga Caka, "Kak, kok mau sama Kak Alana? Dia, kan, kuda lepas?"

Caka tergelak, dia balas berbisik. "Alana kuda lepas penurut."

"Kalian ngomongin apa!" Kepo Alana.

Tak menjawab, Alano menjulurkan lidahnya mengejek. Meski menyebalkan, tidak bisa dipungkiri Alana merindukan adiknya. Dia mendekat ke arah Alano dan memeluk lelaki itu erat-erat. "Kakak kangen banget!"

Awalnya Alano berontak karena gengsi, sebelum akhirnya dia melunak dan membalas pelukan Alana tak kalah erat.

Ando gemas melihat tingkah kedua anaknya. Gantian dia mengusap puncak kepala Alana dan Alano.

Tuntas melepas rindu, Ando dibantu Caka memasukkan barang-barang yang ada di koper ke dalam bagasi mobil yang menjemput mereka. Sempat Caka melarang Ando untuk mengangkat koper-koper tersebut agar tidak kelelahan, tapi Ando menolak karena tidak mungkin membuat Caka kecapekan.

Olivia tidak berhenti memperhatikan Caka. Ia berbisik di telinga putrinya, "Pantas kamu suka dia."

"Ganteng, ya, Mi? Pacar aku itu," bangga Alana.

"Nggak hanya ganteng. Sopan, baik, juga kelihatan sayang kamu. Mami suka sama Caka. Setuju kamu sama dia."

Bunga-bunga seolah bermekaran di hati Alana mendengar Olivia melontarkan pujian tersebut. "Kak Caka yang jagain Alana, Mi. Kalau pulang malam karena ada kuliah nggak ngerepotin Kak Alvarez lagi. Kak Caka juga baik banget mau bantuin Alana dalam hal apa pun," papar Alana mengunggulkan Caka agar maminya semakin suka pada lelaki itu.

Sibuk membicarakan Caka, tak terasa Ando dan Caka selesai memindahkan koper dari troli ke bagasi. Caka menutup bagasi rapat-rapat.

"Caka, kita mau makan bareng. Kamu ikut, ya?" ajak Ando.

Caka tersenyum ramah dan menolak dengan sopan, "Maaf, Om. Tapi saya ada latihan fisik setengah jam lagi. Sepertinya tidak bisa."

"Iya, Pi. Kak Caka cuma antar Alana aja. Dia ada latihan fisik. Soalnya bentar lagi ikut pertandingan besar. Kak Caka nggak boleh lewatin satu latihan pun," tambah Alana mewakili.

Ando mengerti, dia menepuk pundak Caka berterima kasih karena sudah meluangkan waktunya. Padahal lelaki itu sedang sibuk.

Keluarga Alana masuk ke dalam mobil, mereka bersiap pergi dari sana mencari makan sebelum pulang ke rumah untuk istirahat.

Alana berdiri di depan Caka, senyumnya tidak luntur. Ketara bahwa sedang sangat bahagia. "Maaf, aku tinggal kamu sendiri."

"No, Babe. Spend your time with your family today."

"Kamu langsung ke tempat gym buat latihan fisik?"

Caka menganggut. Dia mengambil bulu mata Alana yang jatuh di pipi. "Udah sana masuk."

"Kamu hati-hati di jalan, jangan ngebut!"

"Iya."

"Kabari kalau udah sampai tempat gym, ya?"

Sekali lagi Caka menjawab, "Iya."

❤︎❤︎❤︎

Caka berkeringat begitu banyak setelah dia mengangkat beberapa beban. Ia menuju lokernya untuk minum dan mengambil ponsel. Caka lanjut melakukan pendinginan dengan jalan santai di atas treadmill yang terletak di pojok.

Pesan dari Alana berlomba masuk setelah ia menghidupkan data. Kekasihnya mengirim banyak sekali pap. Dari makanan yang dia foto, hingga foto selfie bareng keluarganya. "Cantik banget," puji Caka mencubit layar ponsel guna melakukan zoom pada wajah Alana.

Caka :
Maaf, aku lupa kabari. Baru sempat pegang HP.

Alana :
Kak, kamu bisa angkat telepon?

Caka :
Bisa, why?

Alana :
Papi mau ngomong. Mau?
Kalau nggak mau nggak apa-apa, nanti aku alasan aja ke papi.

Caka berpikir sebentar sebelum jarinya mengetik untuk membalas.

Caka :
Boleh, telepon aja.

Tak lama setelah itu Alana menelepon. Sebelum menggeser tombol hijau, Caka berdeham melatih suaranya. Gugup sekali berbicara dengan Ando—papi Alana. "Halo, Om?" sapa Caka lebih dulu.

"Halo, Caka. Om mengganggu, ya?"

"Tidak, Om."

"Saya hanya ingin bicara singkat."

"Ada apa, Om?"

"Besok malam kamu free? Rencananya saya mau adakan dinner kecil-kecilan sekaligus reuni. Bersama keluarga Alvarez dan Dhaziell. Saya berniat mau mengundang kamu juga," ajak Ando.

Mendengar nama Dhaziell membuat Caka tidak berpikir dua kali untuk menolak. Kehadiran Dhaziell tentu bukan pertanda baik. Besok jadwal Caka hanya sampai sore, namun sepertinya Caka harus mencari kegiatan lain untuk alibi ia menolak tawaran ayah kekasihnya. "Maaf, Om. Saya sebenarnya ingin memenuhi undangan Om. Tapi besok malam saya harus mengurus sesuatu untuk pertandingan pekan depan."

"Sayang sekali," nada kecewa terselip. Caka merasa bersalah, namun hal ini adalah pilihan terbaik menurut Caka. "Semoga lain kali kita bisa dinner bareng sekeluarga, ya?"

"Pasti, Om. Sekali lagi saya minta maaf karena tidak bisa memenuhi undangan."

"Tidak apa-apa. Om paham. Ponselnya Om kasih lagi ke Alana."

Tak lama ponsel tersebut berpindah tangan. Kini suara Alana menyapa lebih dulu, "Kamu beneran nggak bisa, Kak? Besok pasti bosen nggak ada kamu."

"Nggak bisa, Babe. Maaf."

"Kamu sibuk banget, jangan sampai lupa jaga kesehatan. Aku nggak mau kamu sakit."

"Tentu."

Sambungan terputus begitu saja. Rasa bersalah menggerogoti hati Caka. Dia tidak biasa berbohong, namun kali ini terpaksa ia lakukan. Karena datang dan bertemu Dhaziell bukan pilihan bagus terlebih di depan keluarga Alana. Sama saja bunuh diri.

❤︎❤︎❤︎

Meja makan rumah Alana yang biasanya sepi, kini diisi oleh banyak orang. Hari itu keluarga Alana, Alvarez, serta Dhaziell berkumpul setelah lama tidak bertemu.

Sedari tadi Ando berbincang dengan Alvero. Kedua lelaki paruh baya tersebut bernostalgia masa muda mereka. Waktu cepat sekali berlalu, tidak terasa kini rambut keduanya sudah beruban.

Para orang tua sibuk dengan cerita mereka, Alvarez sibuk memperhatikan Dhaziell dan Alana yang belum berdamai semenjak kejadian di Nusa Penida. Terjadi perang dingin di sana. Dhaziell maupun Alana sama-sama tidak mau membuka percakapan. Jelas sekali mereka menghindar bahkan untuk saling tatap. Terutama Alana.

"Sayang tidak ada Alex di sini," ucap Ando.

"Alex yang paling jarang pulang ke Indonesia. Tapi sekarang dia mengirimkan putranya makan malam bersama kita," komentar Alvero.

Ando memperhatikan Dhaziell yang sibuk menyantap makanannya. "Kalau dilihat-lihat, Dhaziell mirip sekali dengan Alex semasa muda."

Mata Alvero, Chrisa, dan Olivia kompak memperhatikan Dhaziell yang sibuk memotong steak dan tidak sadar tengah diperhatikan. Olivia memperhatikan dengan detail, "Tapi ada yang beda," ucap Olivia. "Alex lebih pendiam dan kaku, dan Dhaziell tidak. Dia ekspresif."

"Dhaziell, steak-nya enak?" tanya Olivia.

Dhaziell tetap melamun menatap piringnya, membuat Alvarez yang duduk di samping Dhaziell terpaksa menyikut lengannya. "Kak, diajak Tante Oliv ngomong."

Mendengar ucapan Alvarez, Dhaziell terkesiap. Dia langsung menoleh ke arah Olivia. "Ya, Tante?"

Olivia tergelak karena Dhaziell tampak lucu, "Steak-nya enak?" ulang Olivia.

"Oh! Enak banget, Tante. Dhaziell suka."

"Kalian bertiga cukup pendiam, ya? Biasanya kalau berkumpul selalu berisik," komentar Chrisa. Alvarez, Dhaziell, dan Alana pun hanya bisa tersenyum menanggapi. Tidak mungkin mereka mengaku bahwa Alana dan Dhaziell tengah mengadakan perang dingin.

Alvarez tidak tahan lagi. Sebelum semuanya curiga, alhasil Alvarez meletakkan garpu dan pisaunya di atas piring. Kakinya menyikut Alana di bawah karena kebetulan mereka berhadapan. Alana yang terusik pun mendongak dan bertanya melalui tatapan.

"Lan, mau bicara. Ke taman belakang," ucap Alvarez. Ia berdiri dan pamit untuk pergi sebentar kepada Ando selaku penyelenggara dinner malam itu.

Alana memutar bola matanya, karena tahu pasti Alvarez akan berceloteh untuk mengguruinya. Alana pun menyusul setelah pamit. Para orang tua di meja makan awalnya bertanya-tanya, sebelum memutuskan untuk tidak ikut campur masalah anak muda. Mereka kembali berbincang.

Di taman belakang, Alana berdiri di samping Alvarez. "Apa, Kak?"

"Serius lo mau musuhan sama Kak Ziell? Mau sampai kapan?" tanya Alvarez langsung pada intinya.

Alana bungkam tak mau menjawab. Melirik ke arah lain tanpa mau menatap Alvarez. "Lan! Jawab!" gertak Alvarez.

"Nggak tahu, Kak. Lagian Kak Iell sendiri yang nggak mau sapa duluan. Ya udah gue ladenin."

"Gue nggak mau bela lo atau Kak Ziell. Tapi di sini jelas-jelas lo yang salah."

Alana menunjuk dirinya sendiri, "Gue salah? Coba lo jadi gue gimana, Kak? Kak Iell berniat pacarin Kak Nadir. Tahu, kan, tabiatnya Kak Nadir yang berusaha rusak hubungan gue sama Kak Caka? Mustahil Kak Nadir beneran sayang sama Kak Iell. Mana tulus dia? Kak Iell pantas dapat yang lebih baik. Tapi bukan Kak Nadir."

Alvarez membuang napasnya, "Emangnya lo ada hak atur perasaan Kak Ziell? Kak Ziell nggak suka sama Caka, dia larang lo buat pacaran sama Caka. Tapi lo nggak peduli, kan? Karena lo merasa Kak Ziell nggak ada hak untuk itu. Dan sekarang lo justru merasa punya hak atur perasaan Kak Ziell? Itu namanya egois Alana," omel Alvarez.

Ucapan Alvarez membuat Alana tertampar. Ia mendongak menatap Alvarez, kemudian kembali menunduk karena tidak tahu harus bicara apa.

"Kita bertiga tumbuh bareng dari kecil. Udah lah jangan buat semuanya runyam hanya karena perasaan pribadi. Lo juga udah tolak Kak Ziell, kan? Grow up, Alana. Kita ini bukan anak kecil yang lagi rebutan mainan kayak dulu."

"Gue anggap Kak Ziell sama kayak lo, Kak. Nggak lebih dari itu."

"Dan nggak mudah buat Kak Ziell ubah perasaannya buat lo. Apa salahnya dia coba buka hati buat Nadir? Lagian Nadir juga bukan cewek nggak benar."

Mereka berdua terdiam. Alvarez memberi Alana waktu untuk intropeksi diri apa kesalahannya. Dan tidak lama untuk membuat Alana menyadari itu. Matanya berkaca-kaca menahan tangis, "Iya, Kak."

"Apa?" tanya Alvarez menagih pengakuan Alana.

"Gue udah egois ke Kak Iell."

Alvarez tersenyum. Ini yang dia suka dari Alana. Dia tidak begitu keras kepala dan cepat mengakui kesalahan jika dirinya memang salah. Alvarez bangga untuk itu karena Alana tidak pernah berubah. Ia mengusap puncak kepala Alana lembut. "Gue panggil Kak Ziell ke sini, ya? Kalian selesaikan masalah kalian."

Alana mengangguk.

Alvarez masuk ke dalam rumah. Berniat untuk memanggil Dhaziell. Dan tak lama Dhaziell keluar, berdiri di samping Alana yang menatap kosong kolam renang taman belakang.

"Udah nggak marah sama Kak Iell?" tanya Dhaziell membuka obrolan.

"Aku minta maaf, udah egois ke Kak Iell," balas Alana.

"Kita impas, jadi nggak perlu minta maaf."

Alana menoleh, "Maksud Kak Iell?"

"Kak Iell nggak suka kamu bareng Caka, dan kamu nggak suka Kak Iell bareng Nadir. Jadi kita impas."

Alana tak bergeming. Dia menolak untuk merespon karena nanti akan menimbulkan perdebatan baru mengingat keduanya tengah berbeda pendapat. Meski Alana sudah berusaha untuk memberi tahu Dhaziell jika Caka adalah orang baik, Ziell tidak akan percaya. Begitu sebaliknya. Alana memilih membiarkan Dhaziell pada pendapatnya.

"Kak Iell masih memprioritaskan kamu. Jadi Kak Iell nggak akan tinggal diam kalau Caka gagal jaga kamu."

"Kak Caka selalu jagain aku dengan baik, Kak."

Dhaziell menarik pundak Alana untuk menghadap ke arahnya. Dia menatap lekat kedua mata Alana. "Kak Iell mungkin sama kayak Caka, sama-sama berengsek. Tapi Kak Iell bisa bedakan mana cinta dan mana obsesi. Kamu tanya sama diri kamu, Caka beneran cinta atau cuma terobsesi sama kamu. Karena dari yang Kak Iell lihat, Caka cuma terobsesi buat tahan kamu bareng dia. Cinta? Bullshit, Lan."

"Caka lebih dari kata gila."

- To be continued -

Next 5K komen 🫶🏻

Persepsi kalian tentang Dhaziell dong.
Aku pengen tahu ‼️✨🩷

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

6.2M 319K 73
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
485 154 12
"Dasar red flag. " sambungnya, "Cowok kayak lo gapantes dijadiin pasangan. " Dirga menyilangkan lengan, kemudian tersenyum. "Dan lo yang bakal jadi...
23.6M 1M 23
(SUDAH TERBIT) TERSEDIA DI SELURUH GRAMEDIA "Mau enggak mau, lo harus jadi pacar gue." "Pacar?" tanya Chrisa mengulang ucapan Alvero. "Iya. Pangkat l...
6.7M 698K 59
Sudah di terbitkan oleh penerbit Bukune (FOLLOW SEBELUM BACA!) untuk saat ini kamu bisa membeli bukunya di toko buku online (FOLLOW SEBELUM BACA!) Mi...