I Hate You, But I Love You |...

Oleh meinuniverse

266 44 3

Kau dan Jimin telah lama berpacaran. Kau bahagia pada awalnya, namun Jimin berpaling darimu. Kau terlalu menc... Lebih Banyak

EP. 01
EP. 02
Ep 04.
Ep 05
Ep 06

Ep 03

35 8 0
Oleh meinuniverse

Matamu terbuka, kau melirik space di sampingmu. Kosong, tidak ada Jungkook. Kau berjalan ke kamar mandi, dia tidak ada di sana. Kau memilih mencuci mukamu di westafel dan berharap kuliah hari ini libur. Matamu agak sembab, Jungkook pasti mengira kau dan Irene berkelahi serius sampai kau menangis meninggalkan bekas sembab begini. Kau tidak ambil pusing lalu mengosok gigi dan mandi dengan malas.

Setelah mandi dan berpakaian, kau mencium sesuatu yang manis. Kau berjalan ke dapur dan menemukan Jungkook sedang membuat pancake. Jungkook belum mandi, tapi dia sudah rapih dan membulak balikkan pancake.
"Hei babe," kau menyentuh lengannya, Jungkook menatapmu tanpa ekspresi.

"Hei, tidurmu pulas?" Dia bertanya dan kau mengangguk.

"Terimakasih sudah menginap." Ucapmu.

Jungkook mematikan kompor, "Welcome, babe." dia menunduk padamu dan kau menciumnya di bibir.
"Kau habis gosok gigi?"

Kau tertawa, "Aku sudah mandi."

"Aku belum." Katanya. Tapi kau tidak jijik padanya, malah kau tidak mempermasalahkannya.

"Kita makan dulu saja." Katamu.

"Aku mau mandi dulu,"

Kau memeluknya "Kita makan dulu ya? Ayolah..," dan bertingkah manja yang menyebalkan.

"okey." Jungkook selalu luluh ketika kau dalam moody manja. Padahal kau tidak pernah begini pada siapapun kecuali pada Jimin.

Kalian makan pancake, Jungkook menghabiskannya dengan cepat dan pergi ke kamar mandi tanpa menunggumu selesai makan. Kau melihat ada yang aneh dari Jungkook, dia tidak banyak bicara dan tidak menanggapi obrolanmu. Jungkook hanya mendengarkan dan mengangguk ketika kau bercerita mengenai pekerjaan sampinganmu.

Kau mencuci piring dan menonton vlog oranglain di youtube sambil menunggu Jungkook selesai. Di lemarimu ada beberapa pakaian Jungkook. Dia sering menginap dan mandi di sini, jadi dia punya spasinya sendiri di lemari pakaianmu yang dulu terisi pakaian Jimin. Sekarang semua pakaian itu sudah kau buang, tapi kau menyimpan satu jaket miliknya yang tidak diketahui oleh sahabat-sahabatmu. Jaket hodie Jimin yang sering kau pakai hingga mereka mengira itu jaketmu dan kau entah kenapa tidak membuang jaket itu.

Jungkook keluar dari kamarmu dan dia telah seratus persen tampan dengan kacamata minusnya. Kau berdiri dan menyimpan handphonemu ke dalam tasmu. Namun ketika kau hendak merangkul lengannya Jungkook menolak.

"Sebentar, biar aku pakai sepatuku." Katanya, tapi setelah pakai sepatu dia tidak merangkulmu dan ada kerutan di keningnya sepanjang perjalanan kalian ke kampus.

"Jungkook, apa kau ada masalah?" Kau bertanya padanya ketika dia menepikan mobilnya di parkiran kampus kalian.

Jungkook melirikmu dan dia tersenyum, "Tidak ada."

"Benarkah? Kau terlihat banyak pikiran." Ucapmu.

"Aku tidak apa, yang bermasalah bukankah kau dan Irene?" Dia mengingatkanmu akan kebohonganmu. "Lekaslah berbaikan dengannya, apapun masalahnya kalian harus kembali bicara baik-baik." Katanya.

"Dia sedikit mengecewakanku. Nanti aku akan bicara lagi dengannya." Katamu. Kau berusaha untuk menjadi pembohong andal.

"Bagus, lebih cepat lebih baik karena kau akan bertemu dengannya setiap hari di cafe." Kata Jungkook.

"Yah, benar."

Kau tidak tahu saja kalau Jungkook sedang memikirkanmu. Igauanmu memanggil nama Jimin. Dia mendengarnya dan kau bahkan tidak tahu.

*****

Di kelas kedua Jimin duduk di dekatmu. Dulu kau punya satu kelas yang sama dengannya. Sejak putus denganmu dia tidak lagi masuk kelas yang sama denganmu, tapi dia hadir untuk hari ini di kelas yang bahkan tidak dia ikuti.

"Kenapa kau di sini?" Kau bertanya padanya.

"Aku perlu bicara lagi denganmu." Dia mengabaikan orang lain yang tengah menatap pada kalian. Well, beberapa dari mereka tahu kalian dulu pacaran.

"Tidak Jimin, tidak di sini." Kau masih kesal, dia berhasil membuatmu menangis dan sekarang dia muncul lagi di hadapanmu, di tempat ramai.

"Bukankah kita teman? Kita bisa bicara dimana saja." Jimin melirikmu dengan wajah tengil. Sedikitnya itu membuatmu sakit hati.

"Tidakah kau berpikir mengenai Seulgi?" Katamu.

"Tidak apa." Katanya, "toh kita hanya teman sekarang."

Kau mengeleng, menatap pada dosen yang baru masuk. "Aku tidak setuju kita berteman. Kau bukan temanku."

"Ayolah, kita bukan anak sma yang telah putus langsung jadi musuh."
Cibiran dari Jimin amat sangat menyakitimu.
Mahasiswi yang ada di sebelahmu melirik kalian antusias.

"Kita bicara di tempat lain." Katamu, kau bahkan tidak repot-repot meliriknya.

"Oke, aku akan datang ke tempatmu bekerja. Jangan suruh sepupumu mengusirku lagi." Kata Jimin.

Kau menutup matamu, menahan segala emosi. Kau menghela napas, membuka mata dan menatap Jimin.
"Jangan ajak aku bicara sampai kita bertemu di cafe."

Jimin menyinggungkan sebelah bibirnya, "Fine."

*

Perkuliahan selesai dan kau beranjak dengan cepat, meninggalkan Jimin di kelas. Kau berjalan cepat untuk masuk ke toilet perempuan, berdiri di depan westafel dengan tangan bergetar. Kau panik, sangat panik sepanjang kelas tadi. Tak ada materi yang masuk ke otakmu, saat dosen berbicara menjelaskan materi pikiranmu penuh dengan tanda tanya dan segala macam sumpah serapah yang hendak kau layangkan pada Jimin saat kalian berbicara nanti. Kau mencuci tanganmu dan mengeringkannya dengan tisue. Setelah kau agaknya tenang kau mengambil handphonemu untuk menanyakan di mana Chaeyoung.

"Kau di mana?" Tanyamu.

"Maaf, aku sedang pergi dengan teman-temanku. Kita mau ke cafe, kau mau ikut?" Ada suara perempuan lain, kau tebak itu suara teman-teman Chaeyoung.

"Apa kau bersama dengan Jiso?" Tanyamu lagi, kau butuh sahabatmu tapi kau tidak mau menganggu mereka.

"Tidak. Dia entah pergi kemana." Katanya.

"Oke, thanks Chae,"

"Apa kau tidak apa?" Chaeyoung tahu suaramu agak bergetar.

"Aku tidak apa, sudah dulu ya, aku akan telphone Jiso." Katamu.

"Oh, oke."

Kau menutup panggilan dan kau tidak berniat menelphone Jiso karena kau tahu kalau dia selalu sibuk dengan kegiatan club kampus. Jadi, kau lebih memilih mendatangi gedung pacarmu. Jungkook. Akan tetapi ketika kau keluar dari toilet, ada Jimin di depan toilet laki-laki. Dia sengaja menunggumu di situ.

"Kau oke?" Dia bertanya. Mungkin dia melihatmu panik. Atau serangan panikmu terlihat olehnya, ini tidak boleh terjadi.

"Jangan ajak aku bicara sampai di cafe nanti." Katamu, kau masih bisa berbicara ketus padanya dan kau bersyukur atas club teater yang kau ikuti bersama Jiso ketika di SMA sedikitnya sangat membantumu berpura-pura.

Kau berlalu dan mengabaikan eksistensi Jimin. Kau pergi berjalan mengarah ke gedung fakultas Jungkook masuk ke dalamnya dan mencari Jungkook di kelas terakhirnya. Ini pertama kalinya kau menginjakkan kakimu di gedung ini jadi kau agaknya sedikit tersesat. Kau tidak memeriksa setiap nomor pintu ruangan, tetapi menunggunya di sebuah lorong di lantai satu dan menelphonenya.

"Hei, aku di gedung fakultasmu, di lantai dua, di lorong dekat ruangan 101." Kau memberitahu Jungkook di mana kau menunggunya, berdiri menyandar di dekat ruangan 101.

"Aku sedang menuju ke gedung fakultasmu." Jungkook terdengar terkejut kau ada di gedung fakultasnya, "Tunggu di lantai satu di salah satu kursi di lobi, aku akan kembali ke sana."

"Oke." Kau turun kembali ke lantai satu dan berharap semua orang tidak memerdulikan kehadiranmu. Nyatanya tidak ada yang peduli kau di sana walaupun kau bukan anak fakultas itu.

Kau duduk di salah satu kursi di lobi. Berpura-pura sibuk dengan handphonemu sebelum Jungkook datang.

"Hei, kenapa repot-repot ke sini. Padahal aku akan mendatangimu." Kata Jungkook begitu dia tiba.

Kau mendongkak dan berpikir kalian harus bicara di suatu tempat terkait perubahan sikapnya. "Kejutan." Ucapmu singkat yang membuat Jungkook terkekeh.

Kekehannya aneh, seperti tidak percaya atas ucapanmu.
"Ada apa denganmu, kenapa kau bertingkah aneh?" Kau bertanya langsung padanya karena kau merasa diremehkan dengan kekehannya barusan.

"Apa? Aku tidak bertingkah aneh." Katanya, "Kau yang bertingkah aneh, datang ke sini tanpa memberitahuku."

Kau mengerutkan keningmu, Jungkook bertingkah menyebalkan. "Aku.., oke, seharusnya aku tidak datang ke sini." Kau berdiri dan pergi dari hadapan Jungkook dengan langkah cepat. Kau sedang kesal dengan Jimin, dengan sahabatmu, dan sekarang tingkah Jungkook membuatmu semakin kesal.

Jungkook menghadangmu, membuatmu menghentikan langkahmu dan memandangmu dengan kerutan di keningmu. "Tunggu, maaf, aku tidak bermaksud mengusirmu." Katanya. Jelas sekali Jungkook merasa bersalah. Dia menatapmu dengan wajah bersalah.
"Maafkan aku."

"Aku hanya tidak mengerti dengan sikapmu, kenapa kau tiba-tiba dingin padaku? Ada apa?" Kau menanyai apa yang terjadi dengannya yang aneh.

Jungkook menggeleng, "Tidak apa-apa, aku hanya sedang memikirkan banyak hal. Itu membuatku kesal." Katanya. "Maaf melampiaskannya padamu."

Kau mengangkat bahumu. "Kenapa kau tidak cerita padaku? Apa yang membuatmu kepikiran?"

Jungkook hanya menatapmu,

"Jungkook?"

"Tugas. Hanya itu." Jawab Jungkook. "Ayo, kau mau aku belikan apa? Kare?"
Jungkook menggengam tanganmu, kalian berjalan menuju kantin. Sebenarnya hanya kau yang mengikut arah jalan Jungkook.

"Aku mau roti sandwich." Katamu.

"Oke, aku traktir."

Kalian pergi ke kantin, di sana tidak ada sandwith jadi kau memesan yang lain. Bibimguksu bersama Jungkook di kantin fakultas Jungkook.

*****

Setelah selesai kelas, kau pergi ke cafe, tidak diantar Jungkook karena dia masih ada kelas. Kau masuk ke ruangan pegawai, menganti baju dan mengantikan part time orang lain. Irene kebetulan muncul begitu kau sudah melayani lima pelanggan.

Setelah cafe kosong, kalian beristirahat, duduk dan mengobrol. Namun tidak lama Jimin muncul.

"Kenapa dia kemari lagi?" Keluh Irene, kau menahan Irene yang hendak berdiri.

"Aku yang menyuruhnya kemari, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padanya." Katamu, Irene mengeleng tidak menyetujuinya.

"Itu ide buruk. Kau tahu, kau tidak boleh roboh lagi gara-gara dia. Kau tahu, aku tidak mau menyaksikanmu menangis lagi." Bisik Irene.

"Tidak akan ada apa-apa, aku janji."

Kau menghampiri Jimin, menyuruhnya duduk di meja paling belakang. "Tunggu di sana. Aku akan bawakan kopi." Katamu.

"Thanks." Jimin tersenyum remeh pada Irene yang berjalan kembali ke dapur.

Kau membuatkan satu americano dingin, hanya untuk Jimin, kau tidak buat apapun untuk dirimu karena pembicaraanmu dengannya akan kau buat sesingkat mungkin. Setelah selesai kau menghampiri Jimin dan menyimpan kopi di meja di depan Jimin. Kau duduk di kursi di hadapan Jimin tanpa memperlihatkan ekspresi apapun, walau nyatanya jantungmu hampir meledak.

"Kau hendak bicara apa? Akan aku dengarkan." Katamu, kau tidak merasa perlu basa-basi.

Jimin menyinggungkan bibirnya, "Kenapa kau jadi dingin padaku?"

"Aku patut membencimu setelah apa yang kau perbuat padaku."
Perkataanmu membuat Jimin berhenti tersenyum.

"Kau, kau belum menyadari apa kesalahanmu hingga aku bisa berpaling darimu?" Kata-kata Jimin kembali membuatmu marah.

Kau memutar bola matamu, "Tak ada yang salah denganku."

"Menurutmu begitu?" Tanya Jimin, kening di wajahnya berkerut, dia juga terlihat kesal dengan ketidak pedulianmu.

Kau menatap Jimin dengan risih, "Jimin, kau masih berpacaran dengan Seulgi?"

Raut muka Jimin berubah, dia dia beberapa detik sebelum menjawab, "Iya."

Brengsek.
Jimin memang brengsek, dia masih berpacaran dengan Seulgi enam bulan ini? Tidak ada perkelahian seperti halnya yang kau dan Jimin lakukan ketika kalian masih bersama.
Yang lebih parahnya lagi, Jimin kembali mendekatimu seperti ini, terang-terangan, walau dia masih berpacaran dengan Seulgi.

"Apa kalian sedang bertengkar atau bagaimana? Kenapa kau repot-repot kemari dan menanyakan kesalahanku apa hingga kau berselingkuh dengannya?" Tanyamu, kau bertekad tidak akan tinggal diam, kau tidak mau roboh lagi gara-gara Jimin jadi kau bersikap tegas padanya.

"Tidak- aku, kami tidak bertengkar." Kata Jimin, dia berkedip melihatmu berkata tegas untuk pertama kalinya sejak dia melihatmu lagi.

"Kalau begitu, kembalilah pada pacarmu. Jangan repot-repot berteman dengan mantanmu." Katamu.
Kau berdiri, "Aku tidak memusuhimu, hanya, aku tidak mau berteman denganmu." Katamu sebelum kau beranjak pergi, namun, lagi, Jimin menarik lenganmu. Kau tidak bisa kemana-mana.

"Kau masih menyukaiku?" Tanya Jimin.

"Tidak." Jawabmu. Sudah pasti kau memang tidak suka dengan Jimin karena dia telah menyelingkuhimu.

"Kalau begitu kenapa tidak mau berteman?"

"Aku merasa kasihan pada pacarmu." Katamu.

"Jangan. Dia tidak menganggapmu, dia tidak keberatan." Katanya.

Kau mengerutkan keningmu, "Kau meminta izin padanya untuk berteman denganku?"

"Iya, tentu saja. Dan dia tidak menganggapmu saingannya. Jadi, alasan apalagi yang akan kau pakai untuk menolak ajakan pertemananku?" Jimin merubah wajahnya menjadi wajah menyebalkan sekali. "Selain, kau memang masih menyukaiku."

Kau sungguh lelah, pembicaraanmu dengannya selalu berujung begini dan terasa seperti berputar-putar.
Kau juga agaknya malu, karena ternyata Seulgi tidak menjadikanmu sebagai ancaman. Dalam arti lain, Seulgi percaya diri kalau Jimin tidak akan menyelingkuhinya.

Tiba-tiba kau punya ide bagus untuk mungkin semacam balas dendam pada Seulgi karena telah merebut Jimin darimu dulu.

"Benar, kalau pacarmu memang tidak keberatan. Mari kita berteman." Kau menyodorkan tanganmu untuk bersalaman dengan Jimin. Awalnya Jimin hanya menatap tanganmu, tapi ketika dia menatap wajahmu yang tersenyum, dia mengapai tanganmu untuk bersalaman. Sedetik ketika tangan kalian bertautan, kau merasakan dersiran rindu. Kau menahan diri untuk tidak gemetaran.

"Bagus, sampai jumpa besok kawan. Jangan terkejut jika aku sering-sering berkunjung ke sini." Katanya sebelum dia pergi ke kasir dimana ada Irene berdiri di sana.

"Tidak perlu, aku yang traktir." Katamu, begitu Jimin hendak membayar kopi yang dia bawa.

Jimin menatapmu, "Thanks, nanti aku ganti dengan traktiran lain." Dia pergi ke luar cafe.

Kau memperhatikan Jimin hingga dia masuk ke dalam mobil dan pergi menjauh, mencoba untuk menghindari tatapan Irene yang menusuk.
"Jadi, apa kalian sekarang berteman?" Tanya Irene.

"Iya."

"Ya ampun. Kau ini mau saja dia tipu! Mana ada orang yang mau berteman dengan mantannya." Kau sudah menduga kalau Irene akan memarahimu dan tidak menyetujuinya.

*****
Tbc.

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

YES, DADDY! Oleh

Fiksi Penggemar

317K 2K 10
Tentang Ola dan Daddy Leon. Tentang hubungan mereka yang di luar batas wajar
55K 7.3K 32
tidak ada kehidupan sejak balita berusia 3,5 tahun tersebut terkurung dalam sebuah bangunan terbengkalai di belakang mension mewah yang jauh dari pus...
165K 2.6K 15
Disini berisikan oneshoot/twoshoot Jeno sub, atau pihak bawah. and related to sex.
80.7K 8.8K 89
Sang rival yang selama ini ia kejar, untuk ia bawa pulang ke desa, kini benar-benar kembali.. Tapi dengan keadaan yang menyedihkan. Terkena kegagalan...