IBUKU DUKUN

By Ramdan_Nahdi

38.4K 3.7K 216

Aidan merupakan ketua gank motor di sebuah SMA di Jakarta, yang memiliki ibu seorang dukun. Keduanya bergelut... More

Jimat
Kesurupan
Sarapan Bubur
Pingsan
Syarat Melepas Jimat
Gendong Genderuwo
Markas SMA 11
Hukuman
Diskusi
Ibu Datang ke Sekolah
Jin Yang Menempel
Pesan Ayah
Salat Magrib
Kuntilanak
Kaki Menempel Tanah
Ibu Datang ke Mimpiku
Rukiyah
Jin Nasab
Jin Kiriman
Pulang
Perdebatan
Puasa Terakhir

Pak RT

1.6K 187 25
By Ramdan_Nahdi

Aku berlari ke luar kamar dengan memasang wajah panik. Berpapasan dengan Tante Ina yang sedang membawa dua gelas air, "Ada apa, Dan?" tanyanya, bingung.

"Bimo kesurupan lagi, Tan."

"Ya Allah. Cepet panggil Pak Ustadnya!"

Aku berlari ke luar rumah. Beruntung Pak Ustad belum pergi terlalu jauh. "Pak Ustad!" panggilku, membuat beberapa warga yang masih ada di depan rumah menatapku. Aku berlari menyusulnya, "Pak Ustad!"

Pak Ustad menoleh dan menghentikan langkah, "Ada apa lagi?"

"Bimo kesurupan lagi! Sekarang ngamuk-ngamuk gitu."

"Kan udah saya bilang jangan suka pakai begituan," balasnya, lalu kami berjalan cepat ke rumah Bimo.

"Kayanya si Setan ngamuk gara-gara Pak Ustad mau bakar jimatnya," ucapku.

"Begitulah setan, hobinya mengancam orang-orang yang lemah iman."

Tante Ina menghampiri saat kami melangkah ke teras, "Kesurupannya semakin parah, Pak Ustad," ucapnya, panik.

Kami masuk ke kamar. Terlihat Bimo sedang berguling-guling di lantai sembari menggeram. Ia menatap Pak Ustad sambil melotot. Aku hanya bisa tersenyum melihat aktingnya yang begitu meyakinkan. Pak Ustad mulai merapal doa.

"HAHAHAHA!" Bimo tertawa, kemudian meraih tas pink di dekatnya dan melemparnya ke arah Pak Ustad. "Berisik!" hardiknya.

Aku tercengang melihat aksi Bimo. Berharap ia tidak benar-benar kesurupan. "Jangan berdiri di sana aja, coba pegangin temennya!" ucap Pak Ustad.

Kudekap tubuh Bimo dengan erat. Eh ... ia malah menyikut wajahku. "Aw, sakit, Bim!" Spontan aku membalas dengan sebuah cubitan kencang di perutnya.

Bimo menjerit kesakitan, "Kok lu nyubit gua?" bisiknya.

"Lu duluan!" balasku dengan suara pelan.

"Dia bilang apa?" tanya Pak Ustad.

"Katanya minta jimatnya dibalikin," sahutku.

"Saya gak bakal balikin."

Bimo mengamuk. "Tuhkan, jadi ngamuk lagi," ucapku.

"Cepet ambil jimatnya! Gua capek!" bisik Bimo.

"Pak Ustad, coba diusap mukanya pake aer. Biasanya saya liat di yutup sih begitu," ucapku sembari menahan tubuh Bimo yang bergerak tak beraturan. "Ayo, Pak Ustad! Saya udah gak kuat nahannya."

Pak Ustad ke luar kamar, lalu kembali dengan membawa segelas air. Kemudian ia merapal doa dan ditiupkan ke permukaan air. Air tersebut diusapkan ke wajah Bimo.

"Teriak panas," bisikku, tepat di samping telinganya.

"Panas! Panas!" Bimo berteriak.

"Coba disiram aja, Pak Ustad," pintaku, yang disambut dengan sikutan maut Bimo ke arah perutku.

Byur!

Pak Ustad menyiram wajah Bimo lalu mememang kepalanya sambil membaca doa. "Argh! Panas!" teriak Bimo.

Ini kesempatan emas! Aku bergerak, duduk di samping Pak Ustad. Dengan cepat tangan ini merogoh kantung baju kokonya. Berhasil! Jimat itu berhasil kudapatkan. Aku langsung memberi kode pada Bimo untuk menghentikan aktingnya.

Bimo berpura-pura lemas. "Nyebut, Bim," ucap Pak Ustad.

"But ... but," ucap Bimo dengan napas terengah-engah.

"Bukan itu! Istighfar!"

"Astaghfirullah."

"Alhamdulillah. Besok-besok, jangan pernah pake jimat lagi, ya," pesan Pak Ustad.

"Iya, Pak Ustad," balas Bimo seraya melirikku.

"Sekarang bapak mau musnahin ini jimat dulu." Pak Ustad merogoh saku bajunya. "Loh kok jimatnya gak ada?" Ia tampak kebingungan.

"Jatoh kali Pak Ustad," ucapku seraya berpura-pura mencarinya.

"Enggak ah, tadi ada kok." Pak Ustad memindai setiap inci lantai kamar.

"Tadi saya liat jimatnya dibawa si setan," ucap Bimo.

"Yah, gagal dibakar dong," ucapku, menahan ketawa.

"Yaudah lah, yang penting kalian jangan pakai jimat-jimatan lagi! Liat sendiri kan akibatnya?" ucap Pak Ustad.

"Siap, Pak Ustad."

"Jangan sekali-kali minta pertolongan sama setan. Minta pertolongan itu sama Allah."

"Tuh dengerin, Bim," ucapku.

"Lu!" sahut Bimo.

"Sekarang kalian ambil wudhu terus sholat magrib, abis itu lanjut sholat taubat."

"Iya, Pak Ustad," sahutku dan Bimo.

"Bapak pamit dulu, mau sholat magrib."

"Makasih, Pak Ustad," ucap Bimo.

Pak Ustad pergi ke luar kamar. Bimo mengembangkan senyum, "Giman akting gua? Keren, kan?" ucapnya.

"Beuh! Keren banget! Cocok banget maen sinetron azab!"

"Film Horor di bioskop kali, masa sinetron azab."

"Abisnya, kesurupan lu terlalu berlebihan."

"Mungkin terlalu mendalami karakter."

"Pelajaran buat lu, jangan suka ambil punya orang sembarangan."

"Kan udah lu buang. Jadi gua pungut aja."

"Yaudah deh, Bim. Gua cabut dulu."

"Gak mau makan dulu, Dan?"

"Gak usah deh. Ntar makan di rumah aja."

"Oke. Hati-hati, Dan."

"Sip!" Aku melangkah ke luar kamar. Kemudian berpamitan dengan Tante Ina.

___________

Kriet!

Kubuka pintu sembari memanggil ibu. Tak ada jawaban, seperti ia sedang berada di kamar.

Tok! Tok!

"Bu," panggilku, berdiri di depan kamarnya.

"Bentar," sahutnya.

Pintu terbuka, asap berbau kemenyan mengepul ke luar. "Nih jimatnya," ucapku seraya menyerahkan jimat.

Ibu melirik jimat di tanganku, "Buang aja, Ai. Tadi ibu udah bikin baru."

"Lah kok gitu? Katanya gak bisa bikin baru. Gimana sih?" protesku, kesal.

"Tadi si Otong udah pulang ke rumah. Jadi ibu tinggal masukin aja ke jimat baru."

"Kenapa ibu gak bilang?"

"Bukannya kamu yang nyuruh si Otong pulang?"

"Iya, sih."

"Yaudah, berarti masalah selesai. Jimat itu sebenernya cuman benda biasa kalau gak ada isinya. Jadi yang paling penting itu nyari isinya. Masa gitu aja gak ngerti."

"Yaudah deh." Aku melempar jimat ke lantai lalu pergi ke kamar. Perjuanganku dan Bimo jadi sia-sia.

Kuambil ponsel di dalam tas, melihat sudah banyak notifikasi pesan di grup WhatsApp. Bimo sudah menceritakan semua, menciptakan gelombang protes dari teman yang lain.

[parah gua makan iler Pocong!] @handeka

[Gua udah curiga! Biasanya sambelnya emang gak enak] @reno

[Emang parah si Idan] @bimo terus mengompori.

[Berisik lu pada!] Aku pun kesal dengan masalah per-jimat-an ini. Kulempar ponsel ke kasur, lalu mengambil handuk dan pergi mandi.

"Ai!" panggil Ibu.

"Apa, Bu?" sahutku sambil membasuh tubuh.

"Ibu mau ke luar sebentar, nanti kalau ada tamu, jimatnya ada di atas meja."

"Oke, Bu!"

"Jangan sampe salah lagi!"

"Aman."

Aku melanjutkan mandi. Setelah itu kembali ke kamar. Ponsel masih terus berbunyi, obrolan di grup WhatsApp masih belum selesai juga. Aku bisukan notifikasi WhatsApp, lalu bermain game di ponsel.

Tok! Tok!

Ada yang mengetuk pintu kamar. "Bu?" teriakku, dengan mata masih fokus ke layar ponsel.

Kriet!

Pintu terbuka, sontak aku menoleh. Tak ada siapapun di sana. "Jangan jail deh! Ntar gua laporin ibu!" Kejadian seperti ini sudah sangat biasa di rumahku. Paling sebentar lagi jendela yang diketuk.

Tuk! Tuk!

Bunyi jendela diketuk. Tuhkan! Sudah pasti ini ulah si Bobi alias Botak Biadab alias tuyul peliharan ibu. Ia memang lumayan jahil. "Pergi, Bob. Jangan ganggu gua!" ucapku. Sosok anak kecil berkepala botak dengan pakaian compang-camping muncul dari balik jendela. Ia berdiri menghadapku lalu tersenyum. Aku meliriknya, "Lu tuh jelek! Kagak usah senyum-senyum."

"Aidan jahat!" Bobi berlari ke arah pintu lalu menghilang.

Tok! Tok!

"Dibilang jangan ganggu!" omelku.

"Bukan saya!" sahut suara entah dari mana.

Tok! Tok!

Aku bangkit lalu mengintip ke luar. "Siapa?" teriakku.

"Pak RT!" sahut suara dari luar.

Bergegas aku membuka pintu. "Ada apa Pak RT?"

"Ibu ada?" tanyanya.

"Gak ada, lagi ke luar."

"Oh, dia nitip sesuatu, gak?"

"Nitip apaan?"

"Jimat," ucapnya dengan suara pelan.

"Oh itu pesenan Pak RT!" Aku sengaja meninggikan suara. Ia malah mendorong tubuhku ke dalam rumah.

"Jangan kenceng-kenceng ngomongnya!" omelnya.

"Siap, Pak RT! Bentar saya ambil JIMAT-nya dulu." Aku pergi ke kamar ibu, lalu mengambil jimat yang tergeletak di atas meja. "Ini, Pak. Jimat penglarisnya."

Pak RT terlihat cemberut mendengar perkataanku yang penuh penekanan. "Ini uanganya." Ia menyerahkan sejumlah uang.

"Berapa ini, Pak?" tanyaku.

"Itung aja sendiri. Bilang ke ibu, makasih." Ia langsung pergi ke luar rumah dengan langkah terburu-buru. Kuhitung uang pemberiannya, total lima juta rupiah. Ternyata enak juga jadi dukun. Hanya jualan pocong bisa dapat uang sebanyak ini.

"Tong. Tong. Ternyata harga diri lu mahal juga," batinku.

BERSAMBUNG

Continue Reading

You'll Also Like

65.4K 1.4K 12
Adult sence တေ‌ွ ၊ age 21+🚨မို့ အသက်္မပြည့်သေးသူများမဖတ်ပါနဲ့ Horror , rape တဲ့အခန်းတွေပါရှိမှာမို့ ဇာတ်လမ်းက အချိုတွေသိပ်ပေးနိုင်မှာမဟုတ်လို့ပါ 🦋�...
18.9K 536 12
Y/N loved her boyfriend, she loves everything about him but the only problem she had with was his terrible and creepy friends. They were clingy, touc...
68.9K 1.4K 18
Maybe you shouldn't keep ignoring those love letters and bloodstains in your mailbox anymore, who knows when the person who keeps putting them there...
38.9K 2.9K 23
البيت أظلم وبس گلوب واحد مشتغل وضعيف وگوة اشوف عبرت الدرج صعدت جبت القفل أفتح باب الغرفة خليت المفتاح بالباب حسيت واحد واگف وراي ! التفتت ماشفت شيء...