IBUKU DUKUN

By Ramdan_Nahdi

38.4K 3.7K 216

Aidan merupakan ketua gank motor di sebuah SMA di Jakarta, yang memiliki ibu seorang dukun. Keduanya bergelut... More

Jimat
Pak RT
Sarapan Bubur
Pingsan
Syarat Melepas Jimat
Gendong Genderuwo
Markas SMA 11
Hukuman
Diskusi
Ibu Datang ke Sekolah
Jin Yang Menempel
Pesan Ayah
Salat Magrib
Kuntilanak
Kaki Menempel Tanah
Ibu Datang ke Mimpiku
Rukiyah
Jin Nasab
Jin Kiriman
Pulang
Perdebatan
Puasa Terakhir

Kesurupan

1.7K 175 11
By Ramdan_Nahdi

Aku tak bisa berhenti tertawa saat memikirkan teman-temanku yang tadi mukbang ludah pocong. Seandainya mereka tau, mungkin bakal muntah berjamaah.

Bim! Bim!

Bunyi klakson angkot memekakan telinga. "MAJU WOY!" teriaknya.

"SABAR!" sahutku dengan nada yang sama. Perasaan saat tadi pulang jalan ini masih lancar jaya. Kenapa sekarang tiba-tiba macet total begini?

"Pak, kenapa macet gini, ya?" Aku bertanya pada orang yang sedang berjalan kaki.

"Ada tabrakan di depan," balasnya, berlalu ke arah gang sempit di pinggir jalan. Tanpa berpikir panjang, aku mengikutinya. Tak mau terlalu lama terjebak macet.

"Pak, ini bisa tembus ke jalan Taruna, gak?" tanyaku.

"Bisa," balasnya.

"Makasih, Pak." Aku melewati gang sempit ini. Meski harus beberapa kali menerima makian warga karena suasa knalpot yang cempreng.

Setibanya di jalan Taruna, bergegas menuju Warung Mak Iroh. Berharap jimat itu masih ada di sana. Warungnya sudah tutup, Mak Iroh pun tidak terlihat.

Aku menekan klakson beberapa kali, tapi tak ada jawaban dari dalam rumah. Terpaksa langsung mencarinya saja tanpa meminta izin terlebih dulu.

Aku turun dari motor lalu masuk ke warungnya, melihat ke kolong meja. Bersih! Jimat itu sudah tidak ada. Gawat, ibu pasti akan marah besar. Bisa-bisa ia memberi hukuman tidur di kuburan.

"NGAPAIN LU!" Suara cempreng khas Mak Iroh terdengar meggelegar.

Duk!

Kepala ini terbentuk ujung meja karena kaget. "Nyari lele," balasku sekenanya.

"Mana ada lele di bawah meja! Hayo lu mau maling, ya!"

"Ini Idan, Mak." Aku berdiri sembari menunjukan wajah tampan.

"Oh, ELU! Lagian magrib gini nungging di bawah meja. Untung gak emak teriakin Babi Nyepet."

"Ya kali, Mak. Muka seganteng ini dikira Babi Nyepet."

"Terus lu ngapain ngejogrok di situ?"

"Nyari bungkusan, Mak."

"Bungkusan apaan?"

"Bungkusan kecil warna item."

"Plastik?"

"Bukan, Mak. Tapi dari kain item."

"Oh yang entuuu ...."

"Ada, Mak?"

"Kagak ada!"

"Lah terus yang entu maskudnya apa?"

"Tadi temen lu balik lagi ke sini, terus ambil entu bungkusan."

"Siapa namanya, Mak?"

"Duh, emak kagak inget namanya."

"Ciri-cirinya gimana?"

"Rambutnya cepak."

"Semuanya temen saya cepak, Mak! Ciri-ciri lain gimana?"

"Tinggi, agak gemuk, pake tas emping."

"Tas Emping?"

"Merah jambu."

"Oh itu pasti si Bimo." Bimo satu-satu anak gank yang menggunakan tas berwarna merah muda.

"Nah bener, si Bemo."

"Yaudah, Mak. Saya pulang dulu."

"Langsung pulang! Magrib gini gak baek keluyuran, ntar digondol Kuntilanak."

"Ntar saya paku kepalanya, Mak. Terus jadiin pacar."

"Sompral amat tuh mulut!" Mak Iroh masuk ke dalam rumah.

Aku meraba kantung celana, mencari ponsel. Argh! Sial! Ponselnya tertinggal di dalam tas. Terpaksa harus pergi ke rumah Bimo.

Setelah menembus kemacetan Jakarta di jam pulang kantor, akhirnya aku sampai di dekat rumah Bimo. Dari kejauhan terlihat banyak orang berkumpul di depan rumahnya.

"Ada apa, Bu?" tanyaku pada salah satu warga yang berdiri di depan pagar.

"Si Bimo kesurupan," balasnya.

Tak salah lagi, ini pasti gara-gara jimat itu. Makanya, Bim! Jangan sembarang mengambil jimat orang. "Permisi." Aku menerobos masuk ke dalam.

"Idan! Kebetulan banget datang ke sini!" Tante Ina - ibunya Bimo menyambutku dengan wajah panik.

"Emang bener Bimo kesurupan, Tan?" tanyaku.

"Iya."

"Sekarang dia di mana, Tan?"

"Ada di kamar bareng Pak Ustad."

"Saya boleh liat gak, Tan."

"Boleh, masuk aja."

Aku melangkah ke kamar Bimo, kemudian membuka pintu. Terlihat Bimo sedang melompat-lompat tak jelas sembari tertawa cekikikan.

Duk! Duk!

Ia membenturkan kepalanya ke lemari. Mata ini melirik Pak Ustad yang sibuk merapal doa sembari menggenggam tasbih. "Tong!" panggilku, membuat Pak Ustad dan Bimo menoleh bersamaan.

"Jangan ke sini!" Pak Ustad melarangku untuk mendekat.

"Saya bisa bantu, Pak Ustad!" balasku dengan percaya diri. "Tong! Sini, Tong!" Aku memanggil si Otong yang merasuki tubuh Bimo. Ia melompat ke arahku. Bergegas aku memeluknya, "Cepet pulang! Lu dicariin ibu," bisikku.

"Saya mau di sini," balasnya dengan suara lirih.

"Apa dia bilang?" tanya Pak Ustad.

"Enak katanya. Ini emang pocong genit Pak Ustad, jadi suka dipeluk."

"Masa ada Pocong yang begitu?"

"Ada, Pak Ustad!" Aku mendekatkan mulut ke telinga Bimo. "Tempat lu bukan di sini, Tong!" bisikku.

"Kamu sudah membuang saya." Suaranya lirih sekali kaya boneka kehabisan baterai. "Saya tidak mau pulang."

"Gua bilangin sama ibu nih. Biar lu diiket kaya kambing," ancamku.

"Jangan! Iya, saya akan pulang."

"Cepet keluar dari badan temen gua!" Aku sengaja meninggikan suara. Sesaat kemudian, tubuh Bimo mendadak lunglai. Buru-buru aku menahannya agar tidak terjatuh ke lantai. "Bim! Bim!" Kutepuk pipinya berkali-kali.

"Aw! Sakit, Dan!" omelnya seraya membuka mata. "Pake dipeluk segala!" Ia protes dan mendorong tubuhku.

"Bah! Udah gua tolongin malah ngelunjak!" Aku jadi kesal. "Lagian pake kesurupan segala!"

"Gara-gara jimat lu tuh!" sahutnya.

"Jimat apa?" tanya Pak Ustad.

Sontak aku melirik Pak Ustad. Lupa kalau ia masih ada di sini. "Maksudnya maenan jimat-jimatan. Biasa anak sekolah," elakku.

"Mau maenan atau asli, jangan sekali-kali maen begituan. Itu perbuatan syirik! Dosa besar."

"Iya, Pak Ustad." Aku menyikut tubuh Bimo. "Lu sih."

Pak Ustad bangkit, "Mana jimatnya?"

Aku melirik tajam, berharap Bimo tidak menyerahkan jimat itu. "Ini, Pak Ustad." Dengan polosnya ia malah melakukan itu.

"Jangan, Bim!" cegahku.

Namun, Pak Ustad sudah terlebih dulu mengambil jimat itu. "Ya Allah generasi muda zaman sekarang masih maen beginian," ucapnya seraya mengamati jimat itu.

"Apa kalian gak belajar di sekolah kalau ini perbuatan syirik. Kalian mau masuk neraka?" sambungnya.

"Enggak, Pak Ustad," sahutku dan Bimo bersamaan.

"Benda kaya gini harus dibakar!" Pak Ustad melangkah ke luar kamar.

Spontan aku memukul kepala Bimo. "Lu kenapa sih, Dan?" omelnya, sembari memegang kepala.

"Gua dateng jauh-jauh ke sini buat ambil itu jimat. Eh lu malah ngasihin ke Pak Ustad. Sekarang gua musti ngomong apa ke nyokap."

"Bilang ke nyokap lu, ikhlasin aja. Lagian itu jimat kagak guna. Bikin anaknya babak belur."

"Bukan kagak guna, Bim. Tapi gua salah ngambil jimat. Yang gua ambil itu jimat penglaris."

"Argh! Pantesan ininya pocong! Gak bisa buat berantem. Eh ... jangan bilang sambel Mak Iroh jadi enak gara-gara dia?"

Aku melebarkan senyum, "Iya, itu efek ludahnya."

"Huek! Jijik banget gua makan ludah Pocong."

"Bahas itu nanti aja, Bim. Sekarang pikirin gimana cara ambil jimat itu dari tangan Pak Ustad."

"Susah, Dan. Mending lu bilang aja jimatnya ilang."

"Lu tau sendiri nyokap gua dukun. Susah dibohongin! Kalau dia ampe tau jimatnya lu kasih ke Pak Ustad terus dibakar, beuh abis dah lu. Bisa-bisa besok muntah paku," ucapku membuat Bimo tampak gelisah. Semoga saja aku berhasil menakut-nakutinya.

"Jangan gitu dong, Dan." Bimo memohon dengan wajah memelas.

"Makanya lu pikirin, gimana cara ambil jimat itu."

"Bentar-bentar." Bimo terdiam sebentar, "Gua ada ide!" serunya.

"Apa?"

Bimo berdiri di sampingku, lalu membisikan rencananya. "Gimana?"

"Kenapa harus bisik-bisik segala," balasku, bingung. Soalnya tak ada orang lain di kamar.

"Biar gak ada yang denger. Dah buruan! Ntar Pak Ustad keburu pergi."

"Oke!"

BERSAMBUNG.

Continue Reading

You'll Also Like

30.1M 660K 33
For months Summer is trapped in a cellar with the man who took her - and three other girls: Rose, Poppy, and Violet. His perfect, pure flowers. His f...
7.5K 1.6K 28
بۆ یەکەمین جا ویستم تامی خۆشەویستی بکەم کاتێک چاوم بە ژنی برا مردووەکەم کەوت ئەقڵو خەیاڵمی کۆنتڕۆڵ کرد .... /بردنی بیرۆکەکەی نیشانەی کەمی خۆتو بێئەق...
69K 1.4K 18
Maybe you shouldn't keep ignoring those love letters and bloodstains in your mailbox anymore, who knows when the person who keeps putting them there...
18.3K 477 29
Lilian Warren Thomas is the Daughter of the famous paranormal investigators Lorraine and Ed Warren. And the Wife of Drew Thomas. Lilian have the same...