Hari ini, Melisa menjemur Xania seperti biasanya, lalu dilanjut mandi dan minum susu. Setelah anak itu tidur, barulah Melisa mengisi perutnya dengan oatmeal campur pisang dan segelas susu. Karena Candra masih terbang, Melisa tidak perlu memasak nasi. Terkait makanan untuk Sarina, Melisa belum membuatnya lagi.
Sementara itu, Ambar baru saja selesai mencuci peralatan makan. "Mbak Mel, habis cuci baju, saya pamit belanja dulu, ya."
"Iya, Mbak, silakan. Sama Mas Agus, ya, biar Mbak Ambar nggak repot."
"Iya, Mbak."
Saat Ambar pergi, ponsel Melisa berdering. Melihat nama kontak di layar, Melisa meletakkan sendok di mangkuk dan menerima telepon dari Mbak Lala.
"Mbak Mel ... alhamdulillah akhirnya ada yang angkat telepon saya. Dari tadi saya telepon Mas Candra nggak diangkat-angkat!"
Melisa mengernyit. Suara Mbak Lala terdengar terbata-bata. Seperti sedang ketakutan. "Mas Candra lagi terbang, Mbak. Ada apa emangnya?"
"Anu, Mbak ... ibu masuk rumah sakit. Kemarin ... ibu sakit lagi. Ngeluh pusing, muntah-muntah, terus tadi tiba-tiba pingsan, Mbak."
"Hah?" Melisa spontan berdiri. "Terus sekarang ibu di mana, Mbak?"
"Udah masuk IGD, Mbak, tapi kata dokter mau ketemu sama keluarganya."
"Ya udah, habis ini Mbak Lala kirim alamat rumah sakitnya, ya. Mel langsung ke sana."
Setelah telepon terputus, Melisa bergegas keluar, siapa tahu Ambar belum pergi jauh. Namun, mobil sudah tidak ada di tempatnya. Artinya Ambar dan Agus sudah pergi belanja. Melisa memilih menghubungi Ambar.
"Mbak kalau masih di jalan, putar balik sekarang!"
Akhirnya, Melisa pergi ke rumah sakit. Xania terpaksa ikut, tapi nanti dipegang oleh Mbak Ambar. Semua keperluan anak itu sudah tersedia di mobil. Sewaktu-waktu diperlukan, Melisa tidak kerepotan lagi. Yang penting Melisa tidak meninggalkan Xania berdua dengan Ambar.
Setibanya di ruang IGD, Melisa bertemu dengan Mbak Lala yang wajahnya sembap. Tampak jelas Mbak Lala kaget dengan kejadian ini. Sebelum interogasi, Melisa menenangkan perempuan itu terlebih dahulu.
Dirasa sudah tenang, Melisa mengajak Mbak Lala duduk di kursi.
"Mbak, kok, bisa ibu kayak gini?" tanya Melisa. "Udah lama ibu sakitnya?"
"Sebenarnya dari sakit pertama itu, ibu udah sering ngeluh sakit kepala terus, Mbak. Tapi, setiap kali saya ajak ke dokter, ibu nggak mau. Terus lima hari yang lalu, ibu demam, panas banget, Mbak, tapi tetep nggak mau dibawa ke dokter."
Melisa merasakan ada yang janggal dari perkataan Mbak Lala. "Lima hari yang lalu? Bukannya waktu itu aku sama Mas Candra ke sana? Kata Mbak Lala, ibu keluar. Jadi, itu bohong?"
Mbak Lala menunduk, mengangguk pelan-pelan. "Iya, Mbak."
Tentu saja Melisa terperangah mendengar pengakuan itu. "Mbak kenapa nggak bilang?"
"Saya disuruh sama ibu, Mbak. Saya minta maaf."
"Ya, tetep aja. Ibu ngomong gitu, mendingan nggak usah didengerin!" Melisa menutup wajahnya, kemudian mengacak rambutnya sendiri. Mau marah pun percuma. Sarina telanjur pingsan dan sekarang tidak tahu bagaimana kondisinya.
"Mbak Lala tadi nggak ngirim pesan ke Mas Candra, kan?"
"Nggak, Mbak. Saya cuma telepon."
"Nah, bagus. Pokoknya kalau Mas Candra balik telepon, nggak usah diangkat. Nanti biar aku aja yang ngomong."
"Sekali lagi maafin saya, Mbak. Saya malah jadi ngerepotin Mbak."
Melisa memeluk tubuh kurus Mbak Lala. Menepuk punggungnya pelan-pelan. Siapa yang mengira kalau akan kejadian seperti ini. Mbak Lala hanya menjalankan perintah, padahal Melisa yakin, Mbak Lala pasti ingin mengabarkan kondisi ini dari kemarin.
Seorang dokter laki-laki keluar dari ruangan itu. Mengurai pelukan Melisa dan Mbak Lala.
"Keluarga pasien atas nama Sarina?"
Melisa lantas berdiri. "Saya menantunya, Dok."
"Perkenalkan, saya Arman, Dokter spesialis penyakit dalam. Kalau begitu silakan ikut saya ke ruangan. Tadi kami sudah melakukan pemeriksaan lanjutan dengan dokter spesialis saraf. Hasilnya sudah keluar."
"Memangnya ibu sakit apa, ya, Dok?"
"Nanti kami jelaskan di dalam, Bu. Silakan."
Melisa lantas mengikuti langkah dokter menuju ruangannya. Jujur, dia deg-degan sekarang. Takut kalau dokter memberitahu penyakit yang parah. Selama setahun ini tidak bisa memantau apa yang dimakan dan dilakukan oleh Sarina.
"Jadi, ibu saya sakit apa, Dok?" Melisa mengulang pertanyaannya.
"Waktu pasien datang ke sini dan kami melakukan pemeriksaan fisik, kami menemukan gejala khas meningitis, yaitu leher kaku. Saya mau tanya apa pasien sering mengeluh sakit kepala?"
"Iya, sih, Dok. Ibu pernah ngeluh sakit kepala."
"Berarti tepat, ya, Bu, karena hasil pemeriksaan darah, pungsi lumbal, dan CT-scan, pasien memang terkena penyakit meningitis bakteri. Ibu bisa lihat sendiri hasilnya."
Dokter menyerahkan amplop berisi hasil pemeriksaan Sarina. Melisa membacanya satu per satu, tapi sebagai orang awam, dia tidak paham. "Dok, bisa dijelaskan secara sederhana apa penyakit ibu saya sudah parah?"
"Meningitis yang disebabkan oleh bakteri merupakan salah satu peradangan otak yang cukup serius dan berisiko tinggi. Jika terlambat mendapatkan pertolongan, pasien bisa meninggal saat itu juga."
Melisa tergagap. Kini, tangan dan kakinya mengeluarkan keringat dingin. Ini kali pertamanya ia mendengar penjelasan yang menyeramkan. "Apa ada gejala spesifik, Dok? Soalnya ibu saya cuma mengeluh sakit kepala."
"Memang orang yang terkena meningitis tidak akan sadar dengan kondisinya karena gejalanya persis seperti penyakit flu, demam, dan pusing. Leher kaku juga belum bisa dikatakan sakit meningitis. Jadi memang harus dilakukan pemeriksaan lanjutan."
"Terus sekarang kondisi ibu saya bagaimana?"
"Karena pasien mengalami penurunan kesadaran, kemungkinan besar pasien akan mengalami penurunan refleks jalan napas sehingga memerlukan alat bantu pernapasan. Pasien juga mengalami kelumpuhan pada tulang belakang."
Kali ini, Melisa kehilangan kata-kata. Rasanya ingin sekali menghubungi Candra sekarang. Dia butuh seseorang untuk menyangga tubuhnya. Vonis dari dokter membuatnya kehilangan tenaga.
Mungkin orang lain akan senang mendengar ini setelah tahu apa yang pernah dilakukan Sarina, tapi Melisa tidak. Sekali lagi nuraninya tidak mati. Biar bagaimanapun Sarina merupakan orang tuanya. Sekarang bagaimana menjelaskan semua ini ke Candra?
Keluar dari ruangan dokter, kaki Melisa benar-benar lemas. Rasanya tidak sanggup melangkah sampai di tempat semula. Pikirannya berkecamuk. Memikirkan bagaimana caranya mengurus Sarina tanpa meninggalkan Xania selama Candra belum pulang. Melisa harus meminta bantuan siapa?
Sintia ... apa Melisa harus memberi tahu ayah mertuanya? Tapi, mereka, kan, sudah tidak ada urusan lagi. Apa pantas Melisa meminta pertolongan Hutama?
Kalau bukan Hutama, siapa lagi? Tidak mungkin Melisa menyuruh Ratna datang sekarang juga.
"Mbak, kata dokter ibu sakit apa?" tanya Mbak Lala yang sejak tadi menanti kedatangan Melisa.
Melisa menatap wajah Mbak Lala. Kalau Melisa bilang Sarina sakit parah, pasti Mbak Lala makin merasa bersalah. Namun, selain dirinya, Mbak Lala juga harus tahu karena dia yang akan selalu berkaitan dengan Sarina. "Ibu sakit meningitis, Mbak. Kata dokter udah lumayan parah."
"Ya Allah, Mbak, ibu ...."
Benar saja, Mbak Lala shock sampai menangis. Melisa buru-buru menenangkan lagi.
"Udah, Mbak. Nggak usah merasa bersalah. Sekarang yang penting gimana caranya ngurus ibu selama Mas Candra belum pulang," kata Melisa seraya mengelus punggung Mbak Lala yang naik-turun. "Aku titip Xania dulu ke rumah ayah, biar bisa jagain ibu."
"Lho, bukannya masih minum ASI, ya?"
"Udah, gampang. Xania udah punya stok ASI perah sampai nanti malam. Udah, Mbak Lala jangan nangis lagi. Kalau nangis terus nanti aku ikutan nangis."
Ya, tekat Melisa sudah bulat. Dia akan meminta bantuan Sintia.
Gimana reaksi Candra setelah tahu Mbak Lala ternyata bohong?
Walaupun target tidak mencukupi semua, aku tetep memenuhi janji update pagi. Baik, kan, aku?
Apa libur dulu aja ya? Atau langsung tamatin aja? Kayaknya udah pada bosan wkwkwk.