Arga ; Pusaran Sesal (Tamat)...

By RefiaAndriana

3.5K 242 275

Hanya kisah kakak beradik Arga pulang ke rumah setelah sepuluh tahun pergi. Tak ada sambutan atau tegur sapa... More

prolog
1.Pulang
2. Kakak?
3. Menyusahkan
4. Egois
5. kemarahan
6. satu langkah maju
7. satu tanya
8. secuil kekecewaan
9. rumor yang baru didengar
10. terus mencoba memperbaiki
11. lembaran masa lalu
12. menggulung jarak
13. segenggam kebersamaan
14. mengambil hati
15. perbincangan hangat
16. kembali ke tim
17. beban
18. kotakmu harus sama denganku
19.melawan
20. di mana dirimu?
22. Terurai
23. Berakhir
24. bayang-bayang
25. Ulang tahun dan permintaan
26. kemenangan semu
27. kenyataan yang disembunyikan
28. berperang dengan waktu
29. Mengabulkan permintaan
30. Masih ingin bersama
31. Terima kasih, Kak
32. menemanimu
33. Aku menyayangimu
epilog.

21. maaf

84 6 6
By RefiaAndriana

Arga segera melajukan mobil menuju daerah perbatasan Sleman-Magelang. Tentu saja kali ini tujuannya adalah ke pemakaman ibunya. Dia yakin Aksa di sana dan harus segera membuktikan.

Saking tak sabar, dia mengemudikan mobil terlalu cepat. Ketika sudah di gang desa, wajahnya semakin tegang. Tak sampai lima menit sudah sampai di tujuan. Gegas dia keluar dan berjalan menuju makam ibunya.

Langkahnya melambat, melihat sosok yang dicarinya sedang duduk memeluk lutut.

"Aku akan menemanimu, Bu."

Suara serak Aksa menyapa indra pendengaran Arga. Dia mendekat perlahan.

"Sa."

Aksa diam, tak menjawab panggilan. Masih berbalut kaos jersey, dia memeluk nisan ibunya dan menenggelamkan wajah.

Arga mendekat. "Kenapa tidak pulang?"

"Beban sepertiku hanya akan menyusahkanmu."

Arga menghela napas panjang. "Sa, kamu salah paham."

Aksa memutar kepala, menatap kakaknya. Senyum sinis terukir di wajah. Dia berusaha bangkit dengan susah payah. "Apa yang salah? Sudah jelas kamu mengatakannya."

"Tidak baik kita berdebat. Ibu pasti sedih jika melihat kita seperti ini." Arga paham, Aksa begitu menghormati ibunya. Dan cara seperti ini dinilai akan cukup efektif. Sayang caranya tak mengubah keadaan.

"Ibu sudah mati. Tak akan mendengar apapun dari sini. Aku saja yang bodoh berbicara seolah menganggap Ibu masih ada dan mendengarkan."

Arga mendekat dan memegang lengan Aksa untuk bangun. "Aku tahu kamu masih belum bisa menerima kehilangan, tapi Ibu tak menginginkan kamu seperti ini, Sa."

Aksa yang awalnya menurut untuk bangkit, seketika mendorong tubuh kakaknya menjauh ketika mendengar nasihat. "Itu karena Kakak tidak merasakan apa itu kehilangan!"

Tubuh Arga terdorong beberapa langkah.

"Itu karena hatimu sudah mati, Kak." Tubuh Aksa kembali merosot dan jatuh bersimpuh. Sudah pasti dia kelelahan juga kelaparan.

Arga menatap adiknya. Dia harus menjelaskan kesalahpahaman kali ini. "Kupikir Ibu sudah tidak membutuhkanku ... apalagi selama di luar negeri, hanya kamu yang selalu dibicarakan."

Giliran Aksa yang terkejut. Dia mendongak, menatap kakaknya meminta penjelasan.

"Sama seperti yang Ibu lakukan padamu. Dia juga yang melakukannya padaku. Awalnya aku biasa, lalu entah mengapa semakin muak. Itu mengapa aku berpikir untuk tidak pulang."

Aksa masih bungkam.

"Kupikir setelah perceraian Ibu akan sadar dan mulai membenahi diri. Aku sadar menginginkan Ibu seperti yang kulakukan padamu." Arga menjeda ucapannya. "Dan saat pulang, aku mengetahui kebenarannya. Akan kuberitahu padamu. Ayo kita kembali ke rumah."

Aksa tertawa getir. "Buat apa Kakak harus repot-repot membujukku pulang? Tanpaku hidupmu akan damai dan berjalan sesuai keinginan bukan?"

Arga melihat wajah Aksa yang memerah. Kemungkinan demam mengingat semalam hanya tidur dengan memakai kaos jersey. "Ya, Kakak akui. Aku pernah menganggapmu seperti beban. Merepotkan. Menyusahkan. Kamu membuat hari-hariku dipenuhi amarah."

Pandangan Aksa mengabur mendengar Arga mengatakan kebenarannya.

"Aku meninggalkan pekerjaan dan pulang karena terpaksa. Tapi aku sadar, kamu adalah adikku. Ini bukan lagi tentang kewajiban, melainkan kasih sayang."

Aksa tertawa getir. "Kasih sayang? Apa itu? Kamu bahkan tak pernah membalas pesanku atau sekedar berbasa-basi dan sekarang mengatakan kasih sayang."

Arga menghela napas panjang. Kenyataan memang demikian. Sepuluh tahun dan sejak Aksa mengenal ponsel, tak sekalipun dirinya menanyakan kabar atau membalas pesan. Hari-hari disibukkan dengan bekerja atau pergi ke manapun yang bisa mengalihkan pikiran dari ibu juga adiknya.

"Itu dulu, Sa. Tapi apa sekarang kamu tak bisa melihatnya? Apa aku mengabaikanmu?"

Aksa terdiam.

"Aku berusaha memperbaikinya, Sa. Maaf jika yang kulakukan justru membuatmu merasa tak nyaman."

Aksa menutup telinganya.

"Omong kosong!"

"Kakak sudah mengakui kesalahan dan meminta maaf. Tak masalah jika kamu tak mau memaafkan."

Aksa menenggelamkan wajah dalam lututnya dan menggigit bibir. Arga mendekat dan duduk di sebelahnya. "Ibu begitu bangga padamu. Dia selalu menceritakan betapa hebatnya dirimu yang berusaha melampauiku."

"Aku tak akan pernah melampauimu dan hanya menggantikanmu."

"Tidak! Kamu jauh melebihi diriku. Kenapa?"

Aksa mendongak, memperlihatkan wajahnya yang berantakan.

"Karena start kita beda. Kamu hebat, di tengah badai masih sanggup bertahan hingga sekarang. Aku tahu sekarang kamu sudah begitu lelah, jadi biarkan aku melindungimu sebentar sebelum melanjutkan perjalanan." Arga tak tahu apakah ucapannya akan tersampaikan atau tidak. "Istirahatlah sebentar jika memang lelah. Katakan apa yang memang tidak kamu suka dan aku akan membenahi diriku. Tidak usah kamu pendam dan berakting lagi. Kamu bebas."

Arga sadar, adiknya terlalu lama memendam segala beban sendirian. Pengkhianatan yang pernah diterima, dari ayah, sahabat juga sang ibu menjadikannya pribadi yang tertutup. Jiwanya ingin lepas tapi otak telah terdoktrin untuk bungkam.

Dia mengusap punggung adiknya dan menenangkan tanpa kata-kata. Perlahan Aksa tersadar dengan tindakannya yang mirip anak kecil merajuk. Dengan segera dia tertawa getir. "Jadi aku hebat hanya karena bisa bertahan, padahal akhirnya tumbang."

"Belum tumbang, baru 'doyong'."

Aksa tertawa kecil.

Arga segera memegang lengan adiknya untuk bangkit. "Ayo pulang."

Aksa menurut seperti anak kecil. Berjalan dengan gontai dan sempoyongan. Berulang kali hampir tumbang. Beruntung Arga di belakang menjaga walau tindakannya lebih sering mendapat penolakan.

Begitu masuk mobil, Arga menyodorkan air putih yang diterima oleh Aksa. "Lupakan apa yang sudah kukatakan hari ini. Aku hanya ... terkadang tidak tahu apa yang diinginkan oleh diriku."

Arga menepuk bahu Aksa. "Tak apa sesekali menunjukkan kerapuhan, Sa. Itu lebih baik daripada harus berpura-pura tegar. Kamu bukan aktor yang sedang berakting. Lagipula tidak ada yang menggajimu untuk melakukannya."

Aksa mengalihkan pandangan dan mobil bergerak pelan.

"Apa kamu masih sanggup bertahan sampai nanti malam?"

"Sampai besok juga tidak masalah. Aku sudah biasa."

Arga tertawa getir, satu sisi adiknya sudah kembali seperti sedia kala. Sisi lain karena selama ini Aksa sudah mirip anak terlantar.

Berulang kali dia melambatkan mobil ketika melewati warung makan. Niatnya ingin mengajak sarapan dengan sesuatu yang hangat mengingat adiknya pasti kedinginan semalaman tidur di pemakaman.

Sampai di Mlati, Arga menepikan kendaraan menuju warung makan Mbok Berek. Saking antusiasnya, dia memesan banyak menu yang berbeda dan terus memperhatikan adiknya yang makan.

"Kenapa terus melihatku?" Aksa heran sedari tadi kakaknya memperhatikannya. "Meski tidak mandi, aku tetap ganteng juga tidak bau badan."

Arga tertawa kecil. Ah, rasanya menyenangkan. "Tidak. Kakak senang. Makanlah yang banyak." Arga menyodorkan tempe mendoan, ayam kremes juga teh hangat pada Aksa. "Jangan sampai sakit. Bpjsmu belum aktif."

Aksa sadar apa yang dikatakan kakaknya memang benar adanya dan dia yang membesar-besarkan masalah. Namun, entah mengapa dia tak mau meminta maaf.

Mereka menikmati sarapan yang juga menjadi makan siang mereka.

"Kamu tak marah?" tanya Aksa ketika telah selesai. Sekarang mereka sedang berada di mobil.

"Untuk apa?"

"Sikapku yang menyebalkan."

"Yang penting kamu bahagia sekarang, hanya itu yang kupikirkan." Arga melajukan kendaraan pulang. "Mulai hari ini, jadilah dirimu sendiri. Kita tidak berkompetisi, membuktikan siapa yang lebih unggul dan hebat. Aku tak akan memaksa dirimu seperti keinginanku, tapi jika sifatku yang satu itu kumat kamu bisa menegurku.."

Aksa diam sepanjang perjalanan pulang. Begitu sampai dia segera menaiki tangga. Langkahnya melambat, kata-kata yang sedari tadi tertahan akhirnya keluar. "Maaf, jika aku selalu membuat masalah."

Arga yang baru saja melangkah menuju dapur, seketika berhenti. Dia memutar kepala dan tersenyum. "Masalah membuat kita menjadi dekat. Jadi tak usah meminta maaf."

Aksa terdiam beberapa saat sebelum ucapan terima kasih keluar dari mulutnya.

"Istirahat! Nanti malam, aku ingin ... lupakan!" Arga mengibaskan tangan.

Aksa tersenyum tipis dan masuk ke kamar. Beristirahat setelah membersihkan diri. Sedang Arga memilih duduk di kursi yang berada di dekat kolam.

"Ternyata tak sesusah yang kubayangkan."

Arga menutup wajahnya dan menghabiskan setengah hari untuk memikirkan apa yang terjadi pada Aksa, dirinya juga ibu mereka. Sebuah kesalahpahaman yang terjadi hanya karena ego dan buruknya komunikasi.

Menjelang malam, Aksa keluar dan mereka menikmati makan malam bersama. Hanya menu sederhana mengingat Arga belum sempat berbelanja lagi. Nasi goreng.

"Duduklah!"

Aksa menuruti permintaan kakaknya. Duduk dan berbincang. Namun, entah mengapa Arga justru masuk ke kamar ibu mereka dan membawa sebuah buku.

"Ini buku diary Ibu. Aku menemukannya di bawah kasur. Bacalah." Arga menyodorkan pada Aksa. Mereka saling bersitatap sebelum sebuah senyum hadir di bibir sang kakak. "Maafkan Ibu, Sa."










Continue Reading

You'll Also Like

124K 9.5K 120
[Bl Terjemahan] ________________________________________ "Itu kanker. Dengan tingkat metastasis seperti ini... pada dasarnya tidak ada perawatan yang...
276K 27.7K 66
Kehidupan itu seperti roda yang berputar. Tidak bisa selalu bertahan di tempat yang sama. Mungkin, Sam belum menyadarinya. Waktu akan terus bergulir...
52.9K 5.9K 21
Randi memandangi adik-adiknya malas. Seorang berada di atas kasur memegang konsol game. Seorang lagi berada di atas adiknya yang sedang bermain itu. ...
25.7K 181 2
selama 17 tahun langit hidup di dunia, ingatannya selalu samar-samar tentang saudara kembarnya. kala menginjak umur 17 tahun langit benar-benar lupa...