Forestesia | Pribumi dan Penj...

By Adel_Aidan

3.7K 696 159

🍁Teen-Lit - Fantasy - Minor Romance🍁 Aku manusia robot, kata Anna. Ucapannya salah, padahal yang manusia ro... More

🍁I : Tugas Prakerin (a)🍁
🍁I : Tugas Prakerin (b)🍁
🍁I : Tugas Prakerin (c)🍁
🍁II : Bumi Kedua dan Manusianya (a)🍁
🍁II : Bumi Kedua dan Manusianya (b)🍁
🍁II : Bumi Kedua dan Manusianya (c)🍁
🍁III : Apa Itu Ketakutan (a)🍁
🍁III : Apa Itu Ketakutan (b)🍁
🍁IV : Aduh, Sial (b)🍁
🍁IV : Aduh, Sial (c)🍁
🍁V : Apa Itu Bahaya?🍁
🍁VI : Aku Adalah 'Bahaya' (a)🍁
🍁VI : Aku Adalah 'Bahaya' (b)🍁
🍁VII : Wah, Tugas Bonus Bernilai Tinggi!🍁
🍁VIII : Ke Bumi Lagi (a)🍁
🍁 VIII : Ke Bumi Lagi (b)🍁
🍁VIII : Ke Bumi Lagi (c)🍁
🍁VIII : Ke Bumi Lagi (d)🍁
🍁IX : Mundur Dulu (a)🍁
🍁IX : Mundul Dulu (b)🍁
🍁X : Tak Kunjung Selesai (a)🍁

🍁IV : Aduh, Sial (a)🍁

101 31 15
By Adel_Aidan

•Anna•

Pohon sequoia yang kutempati tidak memiliki bangunan di tingkat tiga dan tingkat empatnya, sedangkan toko di tingkat satu sedang tutup. Jadi—untungnya—tidak ada korban jiwa. Pohon itu miring sedikit, sisi kanannya ditempeli bongkahan es yang datang dari sisi kiri toko es Kak Min di sebelah. Aku lega bukan main karena dia tidak bisa mengomeliku secara langsung karena sibuk berjualan. Semoga toko es itu ramai sampai seterusnya.

Seperti ini rentetan kejadiannya menurut warga yang menyaksikan dari luar; tanah di sekitar akar pohonku retak dan retakannya memanjang sampai ke sekitar akar dua pohon di sebelah kiri; pohon yang paling kiri longsor ke dalam bersama tanah, kemudian ambruk ke pohon di sebelah dan pohon yang ditabrak ambruk juga ke pohonku bersamaan dengan miringnya pohon di depan rumahku—pohon rumah Saga.

Air yang ditampung di puncak setiap pohon tumpah ke luar diduga karena tangan rambatnya patah dan runtuh karena guncangan serta tabrakan. Alhasil, beberapa toko, serta warga yang berjalan di jembatan tingkat satu dan di antara pepohonan jadi basah kuyup.

Beberapa warga yang melihatku sempat memberi lirikan sinis, mata yang membelalak dan ekspresi takut. Tentu saja. Aku orang jahat yang membuat getaran besar tadi muncul dan membuat kerusakan di sana-sini. Aku yang membuat keseharian mereka terganggu. Sebaik-baiknya warga Nascombe, mereka tidak akan tidak waspada terhadap sumber bahaya.

Dadaku nyeri membayangkan Amarah dan luapan benci dari masyarakat yang akan kualami tak lama lagi. Padahal aku berniat untuk membaur sedikit demi sedikit. Kalau sudah begini, tidak akan ada yang mau kenal denganku.

Uta juga ....

Kenapa aku selalu menyusahkan orang, sih?

Ngomong-ngomong, yang tinggal di rumah paling kiri adalah keluarga surai merah dari ras Ganjil, yang tidak lain adalah keluarga Taro. Ayah dan Ibunya sedang keluar rumah, jadi yang ada di sana di waktu kejadian adalah Om Jo dan Taro. Sementara rumah di sebelahku benar-benar kosong karena ditinggal kerja pemiliknya.

Om Jo tampak malas, kesal dan muak sembari melangkah mendekati kami. Dia menggendong Taro yang kini sedang menjabarkan pengalaman heboh tadi di pundaknya. Pria bersurai merah diikat rendah itu memakai pakaian ras daun tanpa lengan—terlihat mengintimidasi dengan otot lengan menggembung—dan celana longgar panjang berwarna cokelat latte. Taro memakai pakaian serupa dengan celana selutut, tapi dia terlihat menggemaskan.

Tangan anak laki-laki itu bergerak tak beraturan, berusaha mendeskripsikan juga. "Tadi tiba-tiba 'drrt! Drrrt!' lantainya! Terus, terus, rumahnya miring, atapnya jatuh! Rak kayu jatuh 'bum!'. Terus, Om Jo gendong aku ke luar sambil teriak-teriakan dan kami lari sampai ke halaman Kastel!" antusiasnya.

"G-gitu, ya?" ungkap Radit.

"Kali ini ada apa? kamu emosian dan kemampuanmu jadi lepas kendali?" tanya Om datar.

Aku hanya sanggup berkata dengan menyesal, "maafkan saya, Om ...."

"Kakak gak emosian. Kemampuannya benar-benar muncul sendiri tanpa ada pancingan apa-apa, Om," bela Radit.

Dia menggaruk malas surainya yang diikat asal dan berantakan. "Pasti ada. Kalian hanya belum tau itu apa."

Sebenarnya aku tau, tapi aku tak bisa mengatakannya.

Aku menatap ke atas, di mana Ayah dan tetangga ras Daun sedang membantunya mengeluarkan perabotan dan apa saja yang bisa diselamatkan.

Kerusakan seperti ini sangat berpotensi menimbulkan korban jiwa. Kalau kemampuan itu berulah lagi dan aku tidak bisa mengatasinya ....

"Anna!"

Belum sempat aku melihat siapa yang memanggil dengan begitu lantang dan emosi, orang itu sudah mendekapku erat. Tinggi badannya yang familier langsung memberitahuku.

"Ibu, aku minta maaf ...."

Ibu melepas pelukan dan kali ini dia menatapku langsung. "Kamu terluka, kah?"

Aku menggeleng singkat. Wanita yang sangat menyerupaiku itu menghempas napas lega sembari tersenyum dan mendaratkan kecupan ringan di keningku sebelum dia menyandarkan sisi kepalanya ke kepalaku. "Syukurlah ...," tuturnya dengan sangat sayang.

Kurasakan wajahku memanas. Aku malu pada diriku yang tidak memikirkan bagaimana perasaan Ibu melihat kerusakan ini. Hal pertama yang kutakutkan adalah orang lain. Padahal, sekarang dia sangat memikirkan diriku, mengkhawatirkanku.

"Tapi, aku sudah membuat kekacauan ...."

"Kamu tidak sengaja. Coba sekarang ceritakan, apa yang kamu alami tadi."

Tadi ....

"Aku ... tidak ingat."

Kurasakan Ibu menatapku dengan risau tapi juga dengan pengertian. "Kamu tidak ingat?"

Aku mengangguk. Maaf, Ibu. Saat ini, aku tidak sanggup mengatakannya pada siapa pun. Apalagi pada Ibu.

Aku takut Ibu akan menjauh dariku ketika hubungan kami sudah mengalami sedikit kemajuan. Aku takut Ayah, Ibu dan Radit takut padaku karena kemampuan ini.

"Ya sudah." Ibu mengelus sisi kepalaku dan tangannya berakhir di sisi wajahku. "Yang penting putri Ibu sudah tidak apa-apa."

"Anna!"

Aku menoleh. Kak Amma menghampiri bersama Letnan Kai di sebelahnya. Seperti biasa, Kakak memakai seragam prajurit putih, tanpa menutupi wajah dan surai. Letnan datang bersama Kakak lagi hari ini.

Kakak menyalami tangan Ibuku dan Om Jo lebih dulu dan berbincang sedikit dengan mereka. Setelah itu, Ibu dan Om Jo pergi untuk ikut gotong royong, menitipkan Taro ke Radit dan Saga. Kedua laki-laki itu kini menuju toko es Kak Min atas paksaan Taro.

Kak Amma menatap pohon yang ambruk sebelum melihat lagi ke arahku. "Kakak dengar peristiwa ini dari Nenek Mel. Kinetik kamu kumat lagi?"

"Kok, kesannya aku kayak punya penyakit langganan gitu?" ujarku dengan suara parau. Aku, Kakak, Saga, Lofi dan Radit sepakat untuk menamai kemampuan ini 'Kinetik' ketika berbicara di tempat yang banyak orang. Kakak bilang untuk menghindari orang seperti Karma di masa nanti.

Kak Amma menutup mulutnya. "Maaf, Kakak gak bermaksud begitu, Na." Kemudian dia memelukku singkat. Wah, hari ini aku dapat banyak pelukan—sarkasku.

"Munculnya karena apa?" tanyanya, terdengar lebih perhatian.

Tadi, ketika Radit, Uta dan Maza sedang mencuci piring sembari mengobrol ria, memori asing kembali muncul. Kali ini, memori itu berdurasi lebih lama dan lebih banyak kejadian yang kulihat, tapi aku tidak bisa mengingat semuanya sekarang.

Beberapa yang kuingat adalah pertikaian yang berakhir tragedi dan tubuh dingin manusia-manusia di bawah hujan. Aku merasakan kesedihan, amarah, ketakutan, kekecewaan ....

"Na?"

Bolehkah aku menceritakan ini pada Kak Amma? Tanpa membuatnya terbebani.

Tidak, jangan ke Kak Amma, Dia sudah pusing dengan misi ke bumi, ditambah dia masih patah hati.

"Sepertinya dia sendiri tidak tau penyebabnya." Letnan menjawab sambil menonton warga yang bergotong-royong untuk memperbaiki rumah Taro. "Bagaimana kalau kamu tanya saja ke Karma, Putri Athyana?" kata letnan.

Kakak langsung memasang wajah marah. "Letnan—"

"Di saat seperti ini, kesampingkan dulu emosi kalian kepadanya dan utamakan informasi penting yang bisa didapat," sela laki-laki itu dengan tegas. "Aku dengar hanya dia yang mengenal pendahulu adikmu, Putri Amara. Dan berkat dia juga, kemampuan adikmu lebih stabil semenjak dia diculik olehnya. Kalau begitu, tidak ada alasan untuk tidak menanyainya."

Aku juga sudah memikirkan itu kemarin. Namun, aku tidak siap bertemu dengan Karma.

"Hanya perasaanku aja atau kamu sengaja mengorek-ngorek informasi yang tidak ada kaitannya denganmu, Letnan?" ucap Kakak, terdengar dingin.

Wajahnya tertutup, tapi aku tau kalau laki-laki berkulit gelap itu menyunggingkan senyum. "Tentu ada. Karma adalah bos Falcon, target kita dalam misi. Sebagai prajurit putih yang diutus dalam misi, tentu aku harus tau banyak."

Ucapannya masuk akal, sih, tapi Kakak masih tidak melepas tatapan sinisnya ke Letnan.

"Mumpung sekarang kami ada waktu, bagaimana kalau kamu tanya Karma sekarang?" lanjut Kai. "Kalau tidak ada salah satu keluarga kerajaan, bakal sulit untuk menemui Karma di penjara."

"Sekarang juga?" lontarku. Akankah Ibu dan Ayah melarang kalau aku bilang aku ingin menemui Karma?

"Letnan, jangan paksa adikku. Jika dia tidak bisa, aku sendiri yang akan menanyakannya ke Karma," kata Kak Amma. Jemarinya menyisir rambutku. "Jangan pikir aku tidak peduli pada keluarganya Anna."

Letnan kembali bilang, "bukankah ada hal yang tidak bisa kamu katakan ke orang lain, tapi ingin kamu tanyakan langsung ke Karma?"

Letnan benar. Memang ada dan banyak sekali yang ingin aku dengar langsung dari orang yang terus bersama Niida itu.

Terutama soal pertikaian manusia biasa dan manusia berkemampuan, serta pengaruhnya ke Niida.

Tangan Kakak mendarat di pundakku. "Kamu masih syok, lebih baik lain hari aja."

" ... apa bisa aku bertanya pada Karma tanpa berhadapan padanya?" tanyaku setelah terdiam beberapa saat untuk memantapkan keputusan.

Kakak termangu sejenak. "Bisa."

"Kalau begitu ... aku minta izin dulu ke Ibu sama Ayah."

"Aku aja." Kak Amma melangkah lebih dulu. "Aku punya alasan bagus supaya orang tua kamu gak khawatir."

🍁🍁🍁

Pulau Belitung adalah tempat yang aku, Kak Amma dan Letnan Kai datangi untuk menemui Karma. Di Bumi kedua, pulau ini tak bernama dan dipegang oleh Iredale.

Letnan bilang pulau ini sudah lama dijadikan penjara. Letaknya yang terasing sendiri dan tidak ditempati masyarakat ras manapun menjadi sebuah keuntungan untuk menahan seorang kriminalis, baik orang itu dari Iredale, Aderida maupun Nascombe.

Tempatnya cukup indah dari yang kubayangkan. Tidak ada sisi suram atau gelap yang mencerminkan area itu adalah area penjara. Malah, aku bisa membayangkan tempat ini jadi tempat favorit untuk piknik keluarga.

Ada padang bunga di sekeliling bangunan penjara yang berbentuk kastel. Padang bunga yang terasering itu ditempati oleh bunga Campanula ungu pucat, bunga Phlox pink keunguan dan pink kental dari bunga Geranium. Tersusun dari warna cerah ke gelap bergantian, menghasilkan pemandangan indah yang mungkin bikin ketiduran saking enak dipandangnya.

Di tengah padang bunga itu, ada tangga dari batuan yang memanjang dari landasan pesawat kapsul Iredale di tepi pulau sampai ke depan bangunan. Kini kami sedang menapakinya.

Kastel itu sendiri diselimuti warna putih tanpa corak flora warna emas yang biasanya jadi simbol bangunan milik Iredale.

Alisku bertaut ketika sudah setengah jalan menuju kastel itu. "Bangunannya kecil?" Atau memang tingkat kejahatan di planet ini tidak setinggi itu sampai mesti membuat penjara besar.

"Penjaranya ada di bawah tanah. Bangunannya hanya untuk kantor dan rumah inap untuk pengawal yang bertugas," kata Letnan Kai yang berjalan di depanku, di belakang Kak Amma.

"Penjagaannya tidak pakai mesin-mesin canggih?" tanyaku.

"Sistem keamanannya memang menggunakan teknologi, tapi semua itu tidak lepas dari ikut campur tangan manusia. Di tambah, mesin bisa eror."

"Meskipun Iredale punya teknologi paling maju?"

Letnan menoleh padaku dari bahunya. "Kamu menggemaskan sekali kalau sedang penasaran begitu."

Aku langsung diam, melipat bibir ke dalam. Biasanya Kakak yang menjawab, kenapa sejak tadi dia tidak mendengar pertanyaanku?

Kakak bilang, "jangan goda adikku, Letnan. Dia mudah baper."

"Baper?" ulang Letnan yang tidak paham singkatan itu.

Wajahku mengerut malu. "Ih, Kakak!"

Kami bertiga masuk ke pintu lengkung di bawah benteng luar, melangkah di dalam lorong bak goa menuju pintu masuk kastel.

Lorong yang cukup panjang itu tidak gelap, diterangi oleh sinar yang memancar dari garis panjang di sisi kanan-kiri tembok—aku sama sekali tidak mengerti teknologi, tapi aku kagum. Meski tidak seram, aku merasa tidak nyaman ketika memasuki lorong itu dan ingin segera sampai di sisi seberang.

"Tidak ada pengawal di depan lorong. Kenapa?" tanya Kak Amma ke Letnan.

"Di sinilah kita diperiksa. Kalau dirimu merasa ditonton, memang ada beberapa kamera berukuran sangat mikro yang terpasang di tembok lorong, memeriksa siapa saja yang lewat sembari mengonfirmasi identitas mereka dalam data identitas warga dari tiga ras utama. Kalau ada orang yang tidak tercantum identitasnya—"

Sinar putih lorong mendadak menjadi merah. Ujung seberang lorong ditutup oleh jeruji besi yang turun dari atas dengan cepat dan berisik.

Aku mendekati Kak Amma, bersembunyi di belakangnya. "Kak! Ini kenapa?"

"Aku tebak pusat data tidak memiliki data identitas adikmu, Putri Amara," kata Letnan, tetap tenang dan rasional seolah dia pernah mengalami ini.

Kakak menghempas napas. "Aku lupa soal itu. Gak apa-apa, Na. Kakak jadi penjamin kamu."

Seorang prajurit putih perempuan yang wajahnya setengah tertutup memberi hormat ke Kak Amma dari balik jeruji. Letnan membalasnya, sementara Kakak tidak. "Ini adik tiriku yang pernah tinggal sementara di Istana Putih," tutur Kakak dengan kelugasan dan penekanan cara bicara yang mengingatkanku kepada Ratu Iredale.

"Tapi, Tuan Putri—"

Kakak mengulangi sembari merangkulku. "Selama dia bersamaku, kalian tidak perlu mengawasinya."

Si prajurit terdiam sejenak, lalu kembali memberi hormat dan menepi selagi jeruji kembali terangkat ke atas. Dia mengekori kami yang masuk ke kastel.

"Kami ingin bicara pada Karma. Tolong bawa dia ke ruang interogasi," kata Letnan.

"Baik," balas prajurit itu dan dia berpisah dari kami, masuk ke lorong sebelah kiri selagi kami terus lurus.

Putri Iredale bergumam. "Habis ini ingatkan aku untuk mencantumkan data identitas Athyana ke pusat, Letnan."

"Baik, Putri Amara."

Kuperhatikan punggung Kak Amma yang tegap dan tegas. Bahu kecilnya kokoh karena tanggung jawab.

Aku jadi iri menyadari betapa hebatnya Kakakku ini. Dia serba bisa. Kuat tapi juga lembut. Tegas sekaligus perhatian. Apa aku bisa jadi perempuan sepertinya?

Kemungkinan besar, tidak.

Resep makanan nasi bungkus daun terinspirasi dari ...

Continue Reading

You'll Also Like

569K 11.1K 6
Loyth adalah sebutan bagi sembilan belas anak yang telah dipilih untuk menemukan kembali sembilan gerbang menuju kota hilang, Erzsebet. Dengan bantua...
51K 6.5K 36
[15+] Jauh di masa depan, musim dingin panjang telah berakhir dan keadaan bumi sudah hampir kembali ke sedia kala. Namun, penyebab bencana itu masih...
87.3K 17.2K 46
Wattys winner 2021 πŸ† (4 Desember 2021) Daftar Pendek Wattys 2021 (1 November 2021) Elijah dan para tawanan perang Kerajaan Avery diasingkan menuju s...
26.5K 4.6K 30
A HARRY POTTER FANFICTION [Fantasy-Adventure-Minor Romance] Brianna harus menelan kenyataan pahit ketika mengetahui kalau dunia penyihir seperti di n...