Bismillah
Pocong Itu Bapakku
#part 37
#R.D.Lestari.
"Indah ...,"
Sontak Aku menoleh saat namaku di panggil. Seperti dugaanku, Ibu sudah berdiri diambang pintu kamar.
Aku menggeser tubuh dan mendekati Ibu. Ibu nampak kelelahan. Peluh pun mengucur dari keningnya.
"Bu?"
"Ibu mau istirahat, In. Maaf Ibu agak lama dan makasih sudah jagain Adek," ujar Ibunya dengan senyum yang sulit diartikan.
Aku hanya menatap sendu Ibu dan mengangguk. Tanpa bertanya sedikitpun, melangkah ke kamarku.
Aku pun lelah dan besok harus bekerja di toko milik Sudiro. Sebenarnya, sudah jengah.Tak lagi mau bekerja di sana.
Namun, Ibu dan kedua adikku butuh makan. Aku tak ingin egois, meski merasa tertekan berada di sana.
Di mana Sudiro sering membentakku dan mengancam agar Aku tak mendekati anaknya, Jodi.
Aku tau diri. Tanpa diancampun Aku tau posisi. Siapa Jodi dan siapa diriku.
Walau dalam lubuk hatiku, tak menampik perasaan suka padanya.
Jodi yang baik, perhatian dan selalu membantuku. Hanya saja, orang tuanya tak suka padaku. Aku harus apa dan bagaimana? ini sulit untukku.
Hmmmh!
Aku menghela napas dalam. Menatap langit-langit kamarnya yang penuh sawang diantara kayu-kayu yang terlihat mulai lapuk.
"Padahal Aku sangat mengantuk, tapi kenapa malah memikirkan Dia?" Aku berbicara sendiri dan kemudian menggeleng kuat.
"Lupakan! lupakan, Indah! sadarlah!"
"Ha-ha-ha, shutt, jangan buat Aku ketawa, Pak. Nanti anak-anak bangun,"
Aku terkesiap. Suara itu ... suara Ibu. Dengan siapa Ibu berbicara? Ibu tampaknya begitu senang.
Aku beringsut ke ujung ranjang dan mendekatkan diri ke dinding. Penasaran dengan siapa ibunya mengobrol.
Apa mungkin Ibu sudah punya pacar baru?
Aku bergeser menuju pintu kamar, membuka pintunya sedikit, kepalaku menyembul dan mengamati sekitar.
Pintu kamar Ibu tertutup rapat. Di dera rasa penasaran yang teramat sangat, Aku melangkah ke arah kamar Kartini, ibunya.
Aku mendekatkan telinganya pada pintu dan memasang telinganya rapat-rapat.
Suara ibu seperti berbicara pada seseorang. Aku semakin yakin ada seseorang yang Ibu sembunyikan, tapi siapa?
Tok-tok-tok!
Aku mengetuk pintu kamar dengan sangat hati-hati. Berhubung kamar itu hanya ada jendela kecil pastilah orang yang keluar masuk akan kesusahan.
Ibu pasti butuh waktu lama untuk membuka pintu, tapi ...
Krekk!
Pintu kayu itu bergeser, dan wajah Ibu yang kuyu menyembul dari balik pintu.
"Ha ... kenapa, In? Kamu belum tidur?"
Aku begitu saja beringsek masuk dan sedikit mendorong tubuh Ibu. Yakin jika ada seseorang di kamar Ibu, ternyata ...
Kosong!
Mataku mengedar ke segala arah. Menelisik setiap jengkal ruangan agar tak ada satupun yang terlewat.
Kamar berukuran 3x3 meter itu hanya ada ranjang dan lemari kayu kecil. Tak ada tempat sedikitpun untuk menyembunyikan orang dewasa.
Meski temaram, Aku amat yakin jika di dalam kamar itu tak ada sesiapa pun selain Ibu dan Adik.
Pluk!
Satu tepukan mendarat di bahu, membuatku terjingkat dan pandangan melesat ke arah Ibu.
"Ada apa?" kening Ibu mengernyit dan menatap dalam kepadaku.
Aku terdiam dan membeku. Membayangkan hal buruk yang dilakukan Ibu. Ibu ... apa ada sesuatu yang Ia sembunyikan dariku?
"Indah?" lagi, suara Ibu penuh penekanan dan nada menuntut. Seperti tau apa yang kini ada di dalam pikiranku.
"Ibu ... barusan bicara sama siapa?" tanyaku. Wajah Ibu terlihat datar tanpa ekspresi apa pun.
"Ga bicara sama siapa-siapa. Ibu tadi udah tidur, lalu denger suara ketukan pintu. Apa Ibu ngelindur?"
Aku terpaku. Apa iya begitu? tapi, yang kudengar tadi ...
Aku mengulas senyum getir. "Maafin Indah, Bu," ujarku selembut mungkin dan berlalu.
***
Kartini tersenyum puas saat mendaratkan tubuhnya di atas ranjang beralas kasur kapuk dan seprei lapuk andalannya.
Ia menatap langit-langit kamarnya dan mengingat kembali saat Ia tadi beraksi.
Bagaimana orang-orang itu lari tunggang-langgang karena ketakutan.
Tiba-tiba dari ventilasi kamarnya masuk asap putih yang semula tipis menjadi gumpalan dan membentuk sosok berpakaian putih.
Sosok mirip suaminya itu berdiri di pojokan dengan senyum yang terkembang.
"Pak!"
Kartini yang saat itu sedang melamun seketika terjaga dan berlarian menuju sosok yang serupa dengan suaminya.
Tap!
Ia memeluk sosok itu. Meski baunya tak enak, serupa bau bangkai yang menyengat. Kartini tetap bahagia bisa menyentuh orang yang amat ia rindui.
Walaupun dalam lubuk hatinya Ia tau suaminya sudah meninggal, Ia tepis semua. Kartini terlalu merindu.
"Jangan peluk, Bapak bau, Bu," sosok itu melepas pelukan Kartini dan mengurai jarak diantara mereka.
"Biarin, Pak. Ibu ga perduli. Yang penting Bapak disini,"
"Tapi, Bu ... Bapak ... kan sudah ...,"
"Sudah, Pak. Pokoknya Ibu senang Bapak di sini,"
"Pak ... tadi seru, ya. Biar kapok tu orang-orang, Pak," ujar Kartini umringah.
"Ya, apalagi tadi ada yang jungkir balik gitu ketakutan,"
"Ha-ha-ha, shutt, jangan buat Aku ketawa, Pak . Nanti anak-anak bangun,"
Krett!
"Bu, Bapak pergi dulu, tu Indah kayaknya bangun,"
"Tapi, Pak ...,"
"Inget kata Bapak. Jangan sampai seorang pun tau,"
Kartini mengangguk setuju. Ia melepas suaminya yang saat itu perlahan berubah jadi asap dan keluar melalui ventilasi jendela.
Mengacak rambutnya seolah-olah baru saja terjaga.
Tok-tok-tok!
Tak lama pintunya diketuk. Kartini segera membuka pintu dan melihat wajah anaknya yang menatapnya curiga.
"Ha ... kenapa, In? Kamu belum tidur?" tanya Kartini.
Indah begitu saja beringsek masuk dan sedikit mendorong tubuh Ibunya. Yakin jika ada seseorang di kamar Ibu, ternyata ...
Kosong!
"Indah?" lagi, suara Kartini penuh penekanan dan nada menuntut. Seperti tau apa yang kini ada di dalam pikiran Indah
"Ibu ... barusan bicara sama siapa?" tanya gadis itu. Wajah Kartini terlihat datar tanpa ekspresi apa pun.
"Ga bicara sama siapa-siapa. Ibu tadi udah tidur, lalu denger suara ketukan pintu. Apa Ibu ngelindur?"
Indah terpaku. Apa iya begitu? tapi, yang didengar tadi ...
Indah mengulas senyum getir. "Maafin Indah, Bu," ujarnya selembut mungkin.
Kartini hanya mengangguk pelan, tanpa senyum dan tatapan kosong ke arah luar.
Indah kemudian berbalik dan kembali ke kamarnya. Sedang Kartini menutup pintu kamarnya pelan.
Di dalam kamar, Kartini menatap nanar jendela berukuran 30x30 centimeter yang tertutup itu.
Mengelus dadanya yang tiba-tiba didera sesak dan sulit bernapas, karena semenjak kepergian suaminya, Kartini harus berjuang bersama anak gadisnya.
Ia pun kesepian dan didera rindu yang mendalam. Cintanya pada suami tak lekang meski ia tau suaminya sudah tiada.
Ia pun menyadari, sosok yang datang hanya arwah, tapi tetap saja Kartini tak perduli.
Dendam yang merajai hatinya menutup semua pikiran. Yang terpenting kini Ia bisa bertemu suaminya. Ia tak perduli, apakah itu setan, jin, atau arwah penasaran.
Dimatanya sosok itu tetap Mulyono, suaminya tercinta.
****