Andanan Coffee (Terbit!)

tin_lovatin

5.1K 1.3K 688

🏅Reading list WattpadRomanceID bulan Juni 2023 kategori Dangerous Love 🏅Pemenang Kategori Best Branding top... Еще

☕ ☕
01. ☕Secangkir Kopi☕
02. ☕Lima Cangkir Kopi ☕
03. ☕ Senyum di Secangkir Kopi ☕
04. ☕ Perjalanan Kopi ☕
05. ☕ Tanyakan Pada Kopi ☕
06. ☕ Janji Pada Dua Cangkir Kopi ☕
07. ☕ Sunrise dan Kopi Pesagi ☕
08. ☕ Ada Apa Dengan Secangkir Kopi? ☕
09. ☕ Dari Mata Turun ke Secangkir Kopi ☕
11. ☕ Kembali Ke Pelukan Secangkir Kopi ☕
12.☕ Aku, Kamu, dan Kopi Vietnam drip ☕
13. ☕ Kulacino ☕
14. ☕ Jangan Sebut Aku Barista ☕
15. ☕ Jatuh Cinta Pada Secangkir Kopi ☕
16. ☕ Stori Kopi dan Hujan ☕
17. ☕ Secangkir Kopi Bercerita ☕
18.☕ Empat Biji Kopi ☕
19. ☕ Cangkir Kopi yang Retak ☕
20. ☕ Di Balik Segelas Kopi dan Buku Catatan ☕
21. ☕ Pemilik Sepasang Kopi Hitam ☕
22. ☕ Perjuangan Kopi Bersatu Dengan Gula ☕
23. ☕ Andanan Coffee ☕
24. ☕ Para Penikmat Kopi dan Kisahnya☕
25. ☕ I'm Barista, Barista Spesial Hati ☕
☕Best Branding Top 15☕
☕Terbit!☕
Pre Order Novel Andanan Coffee

10. ☕ Air Mata Pada Secangkir Kopi ☕

128 48 12
tin_lovatin

"Bagaimana rasanya mendaki gunung?" tanya perempuan itu pada lelaki di depannya.

"Rasanya itu ngeri-ngeri sedap. Mirip-mirip kayak gebetan, lah," jawab si lelaki.

"Maksudnya?" Si perempuan bertanya lagi.

Mendengar percakapan itu, aku hanya diam saja. Kusuguhkan dua gelas kopi Vietnam drip di atas meja, lalu tersenyum tipis sebelum berlalu dari kedua pengunjung itu.

Obrolan kedua orang itu mengingatkanku pada Andaru dan teman-temannya. Apa kabar mereka berlima? Ah, ya, baru saja beberapa hari yang lalu mereka kembali ke Palembang. Beberapa hari yang lalu juga, aku mengomentari status WhatsApp Aciel. Bukannya mengabulkan permintaanku agar dia menghapus statusnya itu, tetapi malah membalas "Percuma saja dihapus, sudah dilihat oleh 25 orang. Termasuk calon mempelai laki-laki".

"Sal, lihat jalan. Entar nabrak." Suara Nana membuyarkan lamunanku.

Aku mengembalikan nampan ke atas meja.

"Mikirin siapa? Andaru?" Nana menggodaiku.

"Tidak," jawabku cepat, walaupun "iya" juga, sih. "Soal buku itu," lanjutku. Pandangan mataku berpindah pada etalase kecil di meja paling ujung, yang berisi bermacam kue buatan Ghea dan ibunya.

Tiba-tiba saja Nana bernyanyi. "Buku oh buku, kenapa kau tak tampak? Macem mane aku nak tampak, aku dipeluk Itzan ...."

Kutatap Nana, yang baru saja selesai membuat kopi V60 di sebelahku, dengan pandangan jengkel. Apalagi dengan lagu yang baru saja didendangkannya itu. Apa katanya? Buku catatanku dipeluk Bang Itzan? Oh Tuhan, semoga saja tidak. Aku geli membayangkannya, eh, maksudku membayangkan dipeluk Bang Itzan. Jikalau benar Bang Itzan yang menemukan buku itu, pasti sudah dikembalikan dari kemarin, kan?

"Sal, aku sarankan, kamu buat sayembara saja," usul Nana.

Aku, yang baru menatap ke meja-meja berwarna cokelat tua di pelataran booth, lantas berpaling ke arahnya.

"Siapa yang menemukan buku itu, maka dia akan menjadi suamimu," lanjut Nana.

"Kayak di film-film saja," gerutuku.

Nana tertawa pelan. Lalu, dia lekas membawa pesanan kopi V60 ke sebuah meja paling kiri dari booth. Ada seorang lelaki bersama istri dan anaknya yang masih balita di sana.

Saat Nana kembali ke dalam booth, aku pun bicara, "Kalau mau pulang, pulanglah," kataku pada Nana. "Sekarang sudah jam lima lewat."

"Iya. Sebentar lagi," sahut Nana. Perempuan yang sekarang mengenakan atasan kemeja putih dengan garis-garis biru itu meraih tas bahu miliknya. "Sal," katanya, menarik kursi ke sisiku dan duduk di sana. "Coba tebak, siapa cewek yang duduk di meja sebelah kiri itu?"

Perkataan Nana jelas menyebabkan keningku berkerut. Aku kembali menatap lelaki yang sedang bersama perempuan dan anak balita itu.

"Istrinya ... mungkin?" jawabku ragu. Kenapa Nana bertanya demikian?

"Betul," ucap Nana.

"Terus ... masalahnya apa, Nana?" Aku bertambah bingung. Suami, istri, dan satu anak. Kan, biasa saja.

"Masalahnya itu, dia adalah istri muda."

Alisku yang tadi menyatu malah terangkat.

"Kamu kenal?" tanyaku.

Nana menggeleng.

Alisku yang terangkat, sekarang menyatu lagi. "Dari mana kamu tahu kalau dia istri muda?"

"Sewaktu aku menyuguhkan kopi tadi, ponsel yang ada di atas meja mereka berdering. Aku tidak sengaja lihat ke layarnya. Dan ... tulisannya di sana 'istri tua'. Dua kali istri tuanya telepon, lho. Tapi, tidak diangkat-angkat."

Aku menghela napas panjang. Semenjak kerja di Rain Coffee, Nana memang sering menemukan hal yang aneh-aneh. Waktu itu, dia pernah cerita kalau ada kejadian yang persis seperti ini. Seorang lelaki usia 30-an tahun sedang bersama perempuan dan seorang anak balita. Nana pikir, yah, mereka sepasang suami istri. Eh, setelah ponsel si perempuan berdering di atas meja, lelaki yang duduk satu meja dengan si perempuan tersebut bilang "Suami kamu telepon, tuh. Diangkat. Bilang saja kamu lagi di mana, gitu. Di minimarket apa, kek". Artinya ... si lelaki itu ... mungkinkah selingkuhannya? Iya, kan?

Aku sendiri belum pernah menemukan kejadian-kejadian yang aneh begitu. Cuma yang aneh, ya itu ... sikap Bang Itzan yang akhir-akhir ini berbeda terhadapku. Ibarat batu es yang mencair. Aku sendiri belum menemukan apa penyebabnya.

"Kamu belum mau pulang?" tanyaku setelah Nana merogoh ponsel dari dalam tas bahunya dan sibuk mengetik sesuatu.

"Ngusir, ya?" Nana berpaling dari layar ponselnya sesaat.

"Bukan, gitu," bantahku. "Kamu pasti capek. Pulanglah. Istirahat."

"Ya, ya." Nana bangkit dari kursinya, merapikan rambut kucir kudanya sejenak. "Sebentar lagi Bang Iztan pasti ke sini. Tadi dia menjaga si Geffie."

"Hati-hati, Na. Lihat jalan. Entar nabrak," kataku, mengulangi perkataan Nana tadi.

Nana pun tersenyum, lalu mengayunkan langkahnya menuju pintu booth. Senyum rekan kerjaku itu benar-benar bisa menggantikan gula. Kalau kehabisan stok gula, bisa menikmati secangkir kopi pahit sembari memandang senyumnya itu. Apaan, sih?

Belum sampai setengah jam Nana berlalu dari Rain Coffee, ketika aku sedang membuat satu gelas plastik alpokat kocok topping keju—pesanan seorang pengunjung yang baru tiba—Bang Itzan muncul. Lelaki itu melangkah buru-buru sekali. Yang membuatku mengerutkan kening, wajah Bang Itzan tampak begitu cemas. Ada apa lagi ini?

Bukan hanya itu, Ghea juga menyusul di belakangnya. Perasaanku yang tak nyaman sedari berangkat tadi, bertambah tak nyaman melihat ekspresi wajah Bang Itzan dan adik perempuannya.

"Sal," panggil Bang Itzan sembari menghampiriku.

Aku menunda untuk memasukkan 45 cc susu kental ke dalam wadah yang sudah berisi alpokat. Sebelum aku sempat bertanya, Bang Itzan bicara lagi.

"Sekarang juga, kamu ikut aku."

"Ada apa, Bang?" Akhirnya pertanyaan itu keluar juga.

"Nanti aku jelaskan," jawab Bang Itzan, lalu lelaki itu melirik adiknya. "Biar Ghea yang lanjutin." Pandangan mata Bang Itzan berpindah pada gelas pengukur dan botol susu kental di tanganku.

Tanpa berkata atau bertanya apa pun lagi, aku menaruh kedua benda yang kupegang di atas meja. Kemudian, aku menarik tas selempangku dan kuraih ponsel dari atas kursi yang tadi kutempati.

Perasaan takut dan cemas bercampur dalam diriku. Lebih-lebih saat melihat ke layar ponsel. Sudah lima kali nomor Emak menghubungiku. Ada apa ini? Tumben-tumbennya Emak menelepon saat masih sore begini. Ah, ya, sedari tadi ponselku dalam mode hening. Pantas saja aku tak dengar.

Kuikuti langkah Bang Itzan menuju mobil pikapnya yang sudah terparkir di tepi jalan. Mengingat ekspresi wajah Ghea yang tak seperti biasa, membuatku juga bertanya-tanya.

"Masuk," pinta Bang Itzan setelah membuka pintu mobil yang sekarang berada di sebelah kananku.

Aku mengambil tempat di jok sebelah kemudi. Begitu mobil melaju, aku kembali bertanya, "Bang, ada apa?"

Bang Itzan sangat fokus mengendarai mobil. Lelaki itu tak menjawab pertanyaanku, yang membuatku memegang tas selempangku dengan erat. Awalnya kukira Bang Itzan akan membawa mobil menuju ke kediamanku. Namun, mobil melaju ke arah rumah sakit. Pikiranku mulai ke mana-mana dan perasaan cemas begitu mendominasi.

"Bang," panggilku, melirik lelaki di sebelahku yang baru saja memarkirkan mobil dan melepas sabuk pengaman. "Kenapa kita ke rumah sakit? Ada apa?" Suaraku tersekat.

Bang Itzan bersandar di jok mobil, pandangannya lurus ke depan. Dia terdiam hampir semenit. Hingga akhirnya, Bang Itzan membenarkan posisi duduknya dengan kedua tangan berada di setir.

"Sal," katanya dengan suara pelan sembari menoleh. "Kamu harus kuat."

Harus kuat? Memang seharusnya begitu, kan? Seorang Nahla Sallum selalu berusaha kuat agar adik dan ibunya bahagia.

Sembari menunggu Bang Itzan melanjutkan ucapannya, aku mengatur ritme jantungku. Namun, aku tak mampu.

"Ibumu," Bang Itzan menatapku dengan tatapan yang tak pernah kulihat sebelumnya, "ditabrak mobil dan—"

Ya Tuhan!

"Emak?" Alisku langsung naik. Jantungku ini seperti ingin berhenti berdetak. Katanya, Emak kecelakaan? Apakah itu benar?

Bang Itzan mengangguk pelan. "Apa pun yang terjadi, aku ada di sini, di sampingmu. Kamu—"

"Bang." Aku memutuskan ucapannya. "E-Emak, Emak kecelakaan? I-ini, ini ...." Buliran bening mulai membasahi kedua mataku.

Apakah Bang Itzan sedang bercanda? Beberapa menit yang lalu, Emak menghubungiku, kan? Bahkan, sejam yang lalu, aku masih melihat Emak baik-baik saja, aku masih mendengarnya menyebut namaku, dan aku masih merasakan sentuhan tangannya yang menenangkan.

Bagaimana mungkin sekarang Emak berada di rumah sakit? Bagaimana ceritanya?

Tubuhku bergetar hebat bersamaan dengan air mataku yang mengalir ke pipi. Kuharap ini hanya mimpi buruk yang akan kulupakan ketika terbangun.

Tanpa berkata apa pun lagi, aku langsung turun dari mobil dan mengayunkan langkah cepat menuju UGD. Kedua tanganku masih memegang erat tali tas selempang. Seakan hanya tas ini yang mampu menopang tubuhku.

Kutahan suara isak tangisku, menahan sesak dalam dada. Masih saja aku berkata dalam hati bahwa ini tidaklah nyata, Emak pasti baik-baik saja, dan aku akan tetap melihatnya esok pagi.

Sebuah ruangan besar dengan deretan tempat tidur dorong yang dipisah sekat kain putih, tempatku berdiri sekarang. Aku hendak bertanya pada petugas rumah sakit di balik meja itu, tetapi suaraku menghilang entah ke mana, yang tersisa hanyalah air mata. Walau aku terus menyekanya, tetap saja air mata ini turun dan turun lagi.

Aku terkejut melihat ibu Nana keluar dari balik salah satu tirai putih itu. Perempuan paruh baya itu tampak cemas. Sekarang, selain memikirkan Emak, aku tiba-tiba juga memikirkan Nana. Mengapa ibu Nana juga berada di sini?

"Sallu?" Ibu Nana, yang bernama Wina, menyebut namaku.

Wanita paruh baya itu langsung menghampiriku. Bukan hanya itu, dia memelukku dan menangis.

Perasaanku semakin tak keruan.

"Kamu harus kuat, 'Nak. Semua pasti akan baik-baik saja," ucapnya.

Aku ingin bertanya, tetapi leherku seperti tercekik. Aku sulit bicara. Seseorang meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Aku melihat Bang Itzan telah berdiri di sampingku. Dia membawaku menghampiri petugas rumah sakit. Aku mendengarnya menyebut nama ibuku. Kemudian, petugas rumah sakit tersebut membawa kami ke sebuah lorong dan berhenti di depan sebuah ruangan. Tulisan 'Unit Kamar Jenazah' di atas pintu benar-benar membuat tubuhku ingin merosot ke lantai. Suaru-suara di sekelilingku seolah menghilang, berganti dengan isak tangisku yang akhirnya tak dapat terbendung lagi.

Bang itzan tetap menggengam tanganku ketika kami berdua memasuki ruangan itu. Begitu si petugas menarik kain putih yang menutupi tubuh seseorang di atas brankar itu, kedua kakiku tak dapat lagi menopang tubuh. Aku benar-benar merosot ke lantai.

"Emak ... Emak ...." Hanya itu kata yang keluar dari bibirku yang ikut bergetar. Aku ingin menggapai tangan Emak, ingin kusentuh wajahnya yang pucat, ingin kupeluk erat tubuhnya, tetapi diriku tetap di lantai yang dingin ini.

Bang Itzan yang tetap menggenggam tanganku lantas mengambil posisi di depanku dan menatapku. "Sal," panggilnya. Sangat lembut di telingaku.

"Emak ... Emak, Bang ...." Hanya kata itu yang bisa kuucapkan.

"Sal," panggil Bang Itzan lagi, sekarang kedua tangannya menyentuh pipiku yang penuh dengan air mata.

Tak ada lagi yang kupikirkan, kecuali Emak. Tak ada yang kuinginkan, kecuali Emak. Untuk apa aku bekerja? Untuk apa aku menggapai impianku? Sosok yang kusayangi sudah tidak bernyawa lagi, bukan?

Ya Tuhan, mengapa ini terjadi padaku? Mengapa Kau ambil Emak? Aku sangat menyayanginya, Tuhan. Aku belum membahagiakannya. Aku belum membalas jasa-jasanya yang besar. Aku belum menjadi Sallu yang bisa Emak banggakan. Aku belum menjadi seorang barista profesional.

"Sal."

Masih kudengar Bang Itzan menyebut namaku. Kurasakan pelukannya yang hangat.


Продолжить чтение

Вам также понравится

Quinna (Completed)✔ Tika R. Dewi

Любовные романы

37.1K 6.1K 21
Menjadi seorang Pradipta merupakan satu beban tersendiri bagi seorang Quinna. Tak jarang, orang lain memanfaatkan apa yang Quinna miliki entah itu k...
XAVERIUS piscesyyy

Любовные романы

1.4M 12.9K 23
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
Berpijak Rasa i'm a

Подростковая литература

17.6K 12.8K 35
Berpijak di tempat yang sama, belum tentu akan bersama selamanya. Ada sebuah rasa yang tersisip, tapi terpaksa direlakan hanya karena sebuah prinsip...
Jejak Langkah (Terbit) Marronad

Любовные романы

126K 14.8K 29
Skenario Tuhan itu begitu rumit, meninggalkan jejak langkah yang membuatnya saling merindukan, saling memperjuangkan.