[✔] Klub 513 | Long Journey |...

By Wiki_Dwiki

44.2K 14.3K 1.1K

"Keep an eyes on the Horizon. We will touch that Utopia." 1914 (Kala setiap insan dihadapkan oleh pilihan sul... More

Prologue : "Di Atas Pasir Putih, Sebuah Janji Terikat"
1. Puisi Pelik di Tengah Keramaian
2. Menimbun Kebencian Dalam Hatinya
3. Memikul Pedih, Mengemis Asih
5. Mengangkat Kaki, Membela Harga Diri
6. Dan Tulang Hatinya Patah
7. Mengukir Luka Kekal Dalam Jiwanya
8. Meninggalkan Tanah Terkutuk
9. Berbagai Hal Yang Tidak Biasa
10. Penjara Dibalik Tenda Sirkus
11. Semburat Dunia Abu-Abu
12. Kepedihan Atas Ketidaksempurnaan
13. Kasta Tertinggi Ialah Wanita
14. Menoreh Serpihan Kaca
15. Bara Api Kebebasan
16. Daratan Komunis
17. Yang Tidak Sejarah Catat
18. Dibalik Tembok Tahanan
19. Usaha Untuk Melarikan Diri
20. Di Sisi Lain Panggung Konflik
21. Pertunjukan Inti Akhir Musim Panas
22. Nama Tanda Penghormatan
23. Takdir Di Atas Air Asin

4. Percikan Pertama Api Perang Dunia I

1.8K 647 42
By Wiki_Dwiki

.
.
.

    Ketika air dingin laut itu menyentuh kulitnya, Hongjoong sedikit meringis. Dia mulai mengusap tubuhnya yang dikotori darah dan mencuci pula atasannya sebelum kembali memakainya. Dia menatap lurus ke arah cakrawala di ujung sana. Owen bercerita jika dia berasal dari barat, terapung apung di dalam sebuah kotak kayu dengan keadaan lapar.

    Sedari kecil, semesta seakan telah mengatakan pada Hongjoong jika dia tak pernah diterima di daratan manapun, dia seharusnya tak pernah berpijak di atas tanah dan mati tenggelam di dasar laut. Tapi Tuhan merencanakan kisah lain untuknya, dia diberikan kesempatan untuk hidup, melihat bahwa dunia ini telah menyerupai dystopia yang mengerikan.

    Setelah selesai membersihkan diri, Hongjoong pulang. Ketika memasuki rumah, Owen telah tidur lelap di atas kasurnya, Hongjoong menghela nafas lega karena dia tak harus menjelaskan apapun malam ini. Dia mengambil posisi berbaring di atas alas tipis di lantai, kemudian terlelap tak lama setelah dia memikirkan sebuah dunia tanpa kejahatan—konsep dunia yang membuatnya terobsesi, yaitu Utopia.
 
 
  
28 Juni 1914

    Hongjoong terbangun dari tidurnya ketika dia menyadari bahwa diluar sedang hujan deras, pagi yang luar biasa, pertanda buruk apa ini—batin Hongjoong. Dia bangkit lalu menghampiri Owen yang ternyata sudah duduk di atas kasurnya, melihat keluar jendela tanpa kaca itu.

    Tak ingin kasur Owen basah karena air hujan yang mungkin masuk terbawa angin, Hongjoong menggeser kasur Owen sedikit menjauh dari jendela, Owen tak berkomentar apapun dan membiarkan anak angkatnya itu melakukan apa yang menurutnya benar.

  "Kau tak ingin menanyaiku apapun?" Tanya Hongjoong yang merasa risih dengan perasaannya soal kejadian kemarin.

  "Menanyai apa? Soal kau yang membunuh seorang penjaga?" Tanya Owen balik.

  "Kau harus bertanya soal itu, bukan?" Tanya Hongjoong sambil menumpu dagu.

  "Apakah kau menyiksa penjaga itu sebelum dia mati di tanganmu?" Tanya Owen.

  "Tidak." Jawab Hongjoong jujur.

  "Kalau begitu tak apa. Aku tak pernah mengajarimu untuk menyiksa seseorang sebelum menemui ajalnya." Balas Owen. "Tapi sebisanya, jangan mengulanginya kecuali dia membahayakan nyawamu. Aku mengajarimu untuk mengasihani sesama makhluk hidup."

  "Jikapun dia membunuh seorang wanita hamil?" Tanya Hongjoong.

  "Sekalipun jika dia adalah penyebab dari kematianku." Balas Owen. "Lakukan apa yang menurutmu benar, aku akan mendukungmu, jikapun di akhir kau diinjak, kau harus tetap mengangkat tinggi dagumu. Tak apa sesekali diinjak, karena setiap orang baik pastilah mengalaminya."

  "Owen.. apa pendapatmu tentang dunia penuh kesetaraan?" Tanya Hongjoong. Dia meluruskan punggungnya di kursi yang dia duduki, seperti begitu serius menunggu jawaban dari pria tua yang telah hidup lebih dari setengah abad itu.

    Owen tertawa, namun dalam tawa itu, Hongjoong seakan dapat mendengar sebuah harapan yang amat besar. "Jika dunia itu benar benar ada, Hongjoong.. betapa mulia mereka yang cukup muda untuk merasakannya."

  "Bagaimana dengan orang orang sepertimu?" Tanya Hongjoong lagi.

  "Untuk orang tua sepertiku, kebahagiaan adalah hal yang sangat sederhana.. melihat generasi muda bahagia, tak tertindas seperti generasi kami adalah kebahagiaan tiada tara. Dan untukku sendiri, ketika seseorang mengatakan Aku Pulang’, dia akan pergi menuju laut." Jelas Owen.

.

   Di rumah keluarga Elsworth, sang putra tunggal mereka sedang duduk di meja kerjanya membaca beberapa buku literatur Prancis yang baru saja dia dapatkan minggu lalu. Yunho rasa baru sebentar dia membaca buku itu ketikan pelayan mansion nya mengetuk pintu. Dengan tata krama yang baik, Yunho mengucap 'masuk' sembari meletakkan buku bacaannya.

  "Selamat pagi, Tuan Muda.. Saya harap saya tak mengganggu." Katanya sambil masuk membawa troli makanan.

  "Tidak sama sekali, Marie." Ucap Yunho.

    Marie memindahkan nampan berisi sarapan Yunho dari troli ke atas meja. Kemudian meletakkan sebuah koran disana.

  "Apa berita hari ini, Marie?" Tanya Yunho.

  "Oh, Pangeran Mahkota Austria Franz Ferdinand mengunjungi Sarajevo, Serbia bersama istrinya hari ini." Jawab Marie sembari menyerahkan secangkir teh kepada Yunho.

    Mendengar hal itu, Yunho jelas terkejut. "Ke Sarajevo? Dengan kondisi politik seperti sekarang ini?!"

    Marie menekuk alis lalu mengangguk dengan kecewa, "banyak pihak yang menyayangkan keberangkatan Pangeran Franz ke Serbia."

   Mendengar jawaban itu, Yunho makin khawatir tentang kunjungan Pangeran Mahkota Austria Franz Ferdinand ke Sarajevo, Serbia bersama istrinya yaitu Sophie Chotek, yang merupakan Duchess Hohenberg atau gadis bangsawan Jerman itu.

    Soal Sophie Chotek, Yunho pernah sekali bertemu dengan wanita itu, ketika Ayahnya menemui seorang perdana menteri Jerman yang berada di sebuah negara kecil bernama Raminston. Kemudian perdana menteri itu mengajak Ayahnya beserta dirinya untuk menemui Sophie Chotek di sebuah acara pesta dansa. Hanya pertemuan singkat, Yunho yakin wanita itu tak lagi bisa mengingat mereka karena banyak bangsawan besar lain yang dia temui selama hidupnya.

  "Mengunjungi Serbia di saat seperti ini bukanlah hal yang bijak, semua orang tahu itu." Batin Yunho menatap pantulan wajahnya di air teh dalam cangkir yang dia pegang. Semua orang tau betapa tegangnya hubungan antara Austria-Hongaria dan Serbia semenjak awal tahun 1900-an. Dimulai semenjak Austria mengadakan pelatihan perang di Bosnia, kemudian Serbia menganggap jika Austria sedang memamerkan kekuatannya.

    Selain itu, salah satu gejolak penting antara kedua negara adalah konflik ekonomi 1906-1909 yang dikenal sebagai Perang Babi (**yaitu perang dagang antara Kekaisaran Austro-Hungaria dan Kerajaan Serbia pada tahun 1906 hingga 1908 di mana Habsburg tidak berhasil memberlakukan blokade bea cukai pada daging babi Serbia**) diikuti dengan krisis diplomatik dan militer atas aneksasi Austria atas Bosnia.

 
  "Oh, ya, Marie.." Yunho bangkit dari duduknya, "dimana Ayah?"

  "Um, Tuan Besar sedang keluar.." Balas Marie sambil cepat cepat mendorong troli makanannya keluar dari ruangan Yunho, seakan tak ingin ditanyai lebih lanjut soal keberadaan Tuan Besar.

  "Jawab saja Marie, aku tak akan marah." Ucapan Yunho yang terdengar lebih tegas dari biasanya membuat wanita itu berhenti, dia dengan ragu ragu menoleh ke arah Yunho lalu menjawab pelan,

  "beliau mengurus sesuatu.. soal kelakuan kawan Tuan Muda kemarin—"

    Belun selesai Marie bicara, Yunho segera berlari keluar dari kamarnya, dia seakan paham bahwa apapun yang akan Ayah nya lakukan pada Hongjoong sebagai bentuk 'ganti rugi' bukanlah hal baik.

    Berlari di jalanan pada bulan Juni dengan sinar mentari yang menyengat merupakan hal tidak biasa, makanya orang orang dengan payung mereka melihat Yunho dengan tatapan aneh. Apa gerangan seorang bangsawan muda tampan berlari di bawah terik matahari di musim panas?

    Kini dia Yunho sampai di suatu tempat, wilayah kumuh dengan tanah yang becek karena hujan pagi buta tadi. Dia melambatkan larinya seraya menarik nafas, mengisi paru parunya dengan oksigen yang tercampur oleh bau kotoran hewan dan sampah dari pemukiman tidak layak itu. Kakinya mengajak dirinya untuk menyusuri jalan berlumpur, menyisir rumah rumah berlantai dua yang gerbangnya compang camping dan temboknya telah berlubang dimakan usia.

    Di samping kiri kanan jalan yang Yunho lewati, tampak para gadis dengan bibir yang terpoles lipstik merah menor tampak menatap aneh padanya—hanya sesaat, karena tak lama mereka mengalihkan pandangan mereka, ada pula para pemuda yang mencari perhatian dari para gadis itu, juga para wanita gemuk yang seakan menunjukkan kepada Yunho bagaimana tampang 'para gadis' yang bibirnya terpoles lipstik itu sepuluh tahun kedepan.

    Ketika Yunho menemukan rumah Hongjoong di ujung gang kumuh itu, dia mempercepat langkahnya, namun belum juga dia melangkah masuk ke dalam rumah yang sudah reyot itu, dari dalam, sosok yang dia cari di dorong keluar oleh dua petugas berpakaian prajurit, dilempar begitu saja bak sebuah kantong sampah. Yunho yang melihatnya jelas merasa kesal, dia coba melindungi kawannya itu dengan berdiri di hadapannya—menengahi antara Hongjoong dan dua prajurit itu.

  "Tuan Muda, bisakah Anda menyingkir? Kami harus menahan pemuda ini." Kata salah seorang yang berjenggot tebal dan bermata besar. Matanya terlihat benar benar besar seakan dia melotot sepanjang hidupnya. Suaranya serak, dan tercium bau arak yang tercampur bau tembakau dari nafasnya.

  "Atas tuntutan apa?" Tanya Yunho, dia masih mempertahankan suara lembutnya. Walau emosinya bergejolak ketika melihat kawan karibnya ini dilempar kasar seperti tadi. Apalagi ketika Yunho menyadari adanya luka lebam dan darah yang keluar dari salah satu lubang hidung Hongjoong.

  "Pembunuhan." Suara yang lebih berat muncul dari dalam rumah, Tuan Besar—alias ayah Yunho keluar dengan empat prajurit lain yang sedang menggotong seorang pria tua lemas di sebuah tandu. Sekali lihat, dan Yunho mengenali jika pria tua itu adalah Owen. Tubuhnya kurus kerempeng dan kulitnya terlihat terlampau kusam. Garis garis wajah yang seakan dipertegas oleh kuasa Tuhan menunjukkan betapa lama manusia itu telah hidup.

  "Dia melindungi seorang anak, Ayah." Kata Yunho, "Anda tak bisa menuntutnya untuk itu. Apalagi, sebelumnya, mereka membunuh Ibu dari si anak, mereka juga bukan seorang bawahan yang jujur atas tanggung jawab yang engkau beri."

  "Yunho." Suara ayahnya menjadi makin berat seakan menunjukkan betapa marah orang itu, "apakah kau sekarang akan membelanya atas sebuah pembunuhan?! Apa yang aku ajarkan padamu adalah untuk tidak mengampuni sebuah kejahatan di atas tanah ini.. entah apa yang orang rendahan itu ajarkan padamu hingga kau membelanya dalam kasus pembunuhan!"

    Yunho menggertak giginya, dia marah, sangat marah hingga telinganya menjadi sangat merah. Namun, di situasi seperti ini, Yunho menyadari bahwa jika dia membuka mulutnya, jika dia mengeluarkan suaranya sekarang juga, maka akan keluar sebuah kalimat yang menyakitkan.. kalimat yang akan dia sesali seumur hidupnya karena akan membuat sang Ibu kecewa, dan Yunho cukup bijak untuk memilih menutup mulutnya daripada membuat ayahnya semakin marah.

  "Apa yang akan Anda tuntut darinya, Ayah?" Tanya Yunho ketika dia mulai tenang.

  "Kasus pembunuhan. Dan nyawa harus dibayar dengan nyawa." Balas sang Ayah.

  "Lalu apa yang akan Anda lakukan pada para korban yang mati di tangan Hongjoong?" Tanya Yunho lagi.

  "Menguburkan mereka dengan layak." Balas sang Ayah.

  "Lantas, apa yang akan Anda lakukan pada mayat si wanita yang dibunuh beserta janin di dalam rahimnya?" Tanya Yunho lagi.

    Tuan Besar tak langsung menjawabnya.

  "Lihat? Siapa yang sebenarnya dipengaruhi adalah Anda, Ayah.. bukankah Anda tadi bilang nyawa dibayar dengan nyawa. Bukannya saya ingin membela ataupun membenarkan apa yang Hongjoong lakukan. Namun tuntutan yang Anda berikan tidaklah bijak. Jangan sampai apa yang Anda pilih adalah sebuah pilihan yang hanya berdasar perasaan dendam." Yunho menjelaskan dengan suara lembutnya.

  "Jangan sampai itu justru membuat Ayah menjadi figur publik yang buruk. Karena itu, pikirkan lagi.. jangan mengikutsertakan kebencian dalam mengambil sebuah keputusan. Tuntunan yang seharusnya Ayah jatuhkan pada Hongjoong justru adalah perbuatannya yang main hakim sendiri. Namun, Ayah tahu dengan baik bahwa Hongjoong adalah pemuda yang cerdas, mungkin dia tak bisa membaca ataupun menulis, tapi dia memahami soal hukum, justru dia bisa balik menyerang Anda dengan tuntutan bahwa Ayah secara sadar mempekerjakan orang dengan loyalitas tinggi namun kinerja yang buruk. Bukankah itu akan memalukan, Ayah?"

  "Coba pikirkan lagi baik baik, jikalau Anda memilih untuk menuntut Hongjoong ke pengadilan tinggi, bagaimana jika justru Anda yang dibalik oleh keadaan? Lagipula, Anda justru telah membuatnya terluka, hakim pasti menaruh simpati pada orang yang 'diserang' lebih dulu, jadi menurut saya, menganggap hal ini tak pernah terjadi, baik kemarin yang Hongjoong lakukan maupun hari ini yang Ayah lakukan adalah yang terbaik." Jelas Yunho.

    Sang Ayah termenung, dia menghela nafas panjang lalu memerintahkan kepada para prajurit tadi untuk pergi dari sana, membatalkan rencananya menuntut Hongjoong ke pengadilan karena apa yang Yunho katakan masuk akal dan membuatnya cukup khawatir soal apa yang terjadi setelahnya. Setelah kepergian Tuan Besar, Hongjoong berdiri dan menghampiri Owen yang terduduk bersandar pada tembok rumah.

  "Terimakasih, Yunho." Kata Hongjoong.

  "Kenapa tak bilang jika Owen sedang sakit?" Tanya Yunho sambil membantu Hongjoong memapah Owen kembali ke dalam rumah.

  "Penyakit tua, hanya menunggu sampai Tuhan mengambil nyawanya." Balas Hongjoong.

    Yunho menekuk alis, "Sudah lama?"

  "Cukup lama dari yang bisa kau bayangkan." Hongjoong menjawab sambil tertawa, "semua orang tau bagaimana naif nya pikiranmu, Yunho."

    Yunho mendengus, "kau sedang mengolok-olok ku?"

  "Hanya mengatakan realita." Balas Hongjoong sambil membawa sebuah baskom berisi air dari meja sebelah ranjang  Owen dan pergi dari sana.

    Dalam kepergian Hongjoong yang sebenarnya hanya beberapa saat, Yunho barulah menyadari sesuatu. Dia menatap sekeliling ruangan dan mendapati banyaknya kertas, kain bekas dan cat warna merah yang memenuhi sudut ruangan. Penasaran, Yunho mendekati benda benda yang berserakan itu dan suaranya tercekat di tenggorokan ketika menemukan sebuah lambang familiar di salah satu kain bekas itu.

     Tangan Yunho terulur untuk mengambil kain tersebut, mengamatinya lekat lekat siapa tahu dialah yang salah lihat, namun tidak, gambar itu tetap sama di matanya. Dia menoleh kepada Hongjoong yang barusan kembali dengan tatapan khawatir dan gugup. Dengan suara yang bergetar, Yunho bertanya, "kamu akan mulai memberontak, Hongjoong?"

     Hongjoong dengan wajah datarnya mengangguk, "bukankah sudah jelas di depan matamu?"
 
  
 
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
 
  
 
 
#####

Halo, Hola!

Selamat hari Jum'at penuh barokah. Semoga di hari ini kalian bisa mendapatkan banyak hal baik, semoga urusan dunia kalian dimudahkan dan banyak senyuman untuk hari ini.

Memulai dengan Biologi yang penuh kode kode sintetis protein yang uwaw :D

Keren banget ya :') aku keinget dulu pas bikin novel Hwa sama Ajisaka, buku catetan ku penuh ama angka sama huruf.

Well, semangat yaa hari ini!
Jaga kesehatan jangan sampai sakit!
Jangan lupa bahagia <3

 
Makasih udah baca!
 
Luv kalian semua ️❣️❣️❣️
 
 
 

Continue Reading

You'll Also Like

45K 10.9K 29
THE DEVIL TRIANGLE THEORY Kejadian ratusan tahun silam mungkin sudah buyar di sebagian Manusia dan beberapa orang mungkin melupakannya. Tapi kembali...
1.4M 81.7K 31
Penasaran? Baca aja. No angst angst. Author nya gasuka nangis jadi gak bakal ada angst nya. BXB homo m-preg non baku Yaoi 🔞🔞 Homophobic? Nagajusey...
257 65 36
Setelah Sohyun menceritakan tentang mimpinya yang terus berulang kepada kakak perempuannya, sang kakak berpendapat bahwa Sohyun mengalami lucid dream...
24K 5K 17
Nonton film horror itu seru, tapi kalau masuk ke dalam film horror masih seru gak? Genre : black comedy Status : this story is just for fun St...