Heartbeat

By ameiranou

159K 6.9K 265

"Sekali lo berurusan sama Daniel. Kecil kemungkinan lo buat lepas dari dia. Karena Daniel, bukan orang yang m... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Epilog
Axelardo; (Not) Bad Papa

Chapter 44

1.5K 73 1
By ameiranou

HAI HALO

SEBELUMNYA, SELAMAT HARI RAYA IDUL ADHA ✨

selamat menikmati daging kurban masing-masing, hehehe

OKE, CAPCUSS BACA

Jangan lupa vote dan komen ya ges ya:)

***

Daniel membawa pulang Dania. Adiknya itu datang dengan muka kesal. Bukan hal yang tidak mungkin jika Dania datang dengan wajah berseri sedangkan tingkah kakaknya itu ada-ada saja kalau untuk membuatnya kesal.

Dania pikir, ia akan pulang bersama Erick, sedangkan cowok tadi akan diurus oleh Daniel--itupun kalau Daniel memiliki rasa kelapangan hati dalam memberikan sejumput rasa bahagia untuk adiknya agar bisa pulang dengan kekasihnya. Sayangnya, Daniel adalah tipe kakak yang pelit. Maksudnya pelit mengalah. Ia malah meminta Erick yang menunggu. Jelas saja, Dania kesal setengah mati.

"Kamu kenapa kayak kesal gitu, Dan?" tanya Nara sekaligus menyapa Dania yang baru memasuki rumah. Rita yang duduk bersama Nara di sofa ruang tengah ikut menoleh melihat kedua anaknya.

Daniel membawa pulang Dania seperti jam pulang sekolah biasanya. Jadi, Rita tak akan tahu kalau sebenarnya mereka dari klinik, bukan dari sekolah.

"Tanya aja sama pacar Kak Nara," jawab Dania ketus lantas bergegas menuju kamarnya.

Nara melirik Daniel yang berjalan menuju ke arahnya. Tanpa aba-aba cowok itu duduk di sampingnya, dan yang paling parah langsung bersandar di bahunya.

"D-Daniel ...." peringat Nara gugup. Pasalnya ada Rita yang sekilas memperhatikan mereka dengan senyum tipis.

"Bunda ke dapur dulu, nanti makan siang sekalian ajak Dania," ucap Rita seraya memberi pesan.

"Dania ngambek, Bun. Tinggal aja!" sahut Daniel lalu terkekeh.

Rita hanya menggeleng pelan, sebelum memilih untuk segera pergi ke dapur.

"Kamu tadi ke sekolah beneran buat jemput Dania?" Daniel mendongak, ia berganti posisi bersandar pada sofa, lalu membuka ponselnya. Nara menghela napas ketika tak ada jawaban yang Daniel berikan.

"Daniel ...."

"Hm," jawab Daniel malas.

"Kamu, nunggu lama?"

Daniel melirik Nara malas. "Ya." Tidak mungkin ia menceritakan kejadian tadi pada Nara, apalagi di rumah ini ada sang bunda. Dania saja mati-matian ia minta tutup mulut.

"Kamu ketemu--"

"Nggak!" sambar Daniel sudah paham ke mana tujuan pertanyaan Nara. Daniel menatap Nara sepenuhnya. "Lo masih berharap sama si cupu?"

"Daniel!" peringat Nara ketika Daniel masih memanggil Altair dengan panggilan itu. Daniel mendengus, ia memutar bola matanya jengah lalu membuang muka.

"Gue nggak ketemu," jawab Daniel ketus.

Nara mengangguk lesu. Daniel melirik Nara sekilas, ia tak berbuat apa-apa selain hanya bisa diam. "Ayo makan," ajak Daniel memilih berjalan dahulu.

Nara mengikuti, tak ada yang ia harapkan selain hari cepat berlalu agar dirinya bisa bertemu dengan Altair dan menjelaskan semuanya. Tak munafik, Nara masih memiliki setitik harapan terhadap cowok itu.

***

Hari kedua skors. Daniel memaksa Nara untuk ikut ke mana ia akan pergi. Nara tidak tahu, karena sedari berangkat Daniel tutup mulut dan hanya menitah Nara untuk segera bersiap.

Udara luar begitu sopan menyapa kulit pipi Nara yang tengah duduk di jok belakang motor Daniel. Seharian kemarin, ia tidak keluar. Ia lebih memilih di rumah Daniel membantu Rita memasak dan bersih-bersih walaupun kerap diperingati Rita agar tak terlalu repot. Namun, rasanya tidak enak jika menumpang tapi kita tidak melakukan sesuatu yang menyenangkan bagi pemilik rumah--itu yang Nara pikirkan. Seperti halnya saat ini, ia tengah menyenangkan Daniel sebagai salah satu pemilik rumah dengan menuruti keinginannya.

"Turun!"

Nara turun, ia melepaskan helm nya lalu menatap sekeliling. Ia mengeryit bingung, ketika menoleh ke arah Daniel, ternyata cowok itu juga tengah menatapnya.

"Kenapa kita ke mall?"

"Beli hadiah," jawab Daniel acuh lalu memilih untuk lebih dulu masuk.

Nara menaruh helm nya tergesa, lalu segera menyusul langkah Daniel. "Hadiah buat siapa? Dania?"

"Bukan!"

"Oh, buat Bunda, ya?"

"Bukan juga!"

"Terus?"

Daniel menghentikan langkah, berbalik sepenuhnya ke arah Nara yang entah kenapa sangat banyak bicara. "Cerewet banget, sih? Buat cewek gue, puas?"

"Cewek kamu?"

"Iya, cewek gila yang tiap hari ngerecoki idup gue mulu!" ketus Daniel sebelum memilih untuk masuk ke dalam lebih dulu. Sejujurnya, Nara tak paham. Namun, tidak ada pilihan lain selain mengikuti langkah Daniel sebelum cowok itu berbalik dan murka padanya.

Nara duduk di sebuah kursi yang ada di toko perhiasan selagi menunggu Daniel yang tengah berbincang dengan seorang pelayan toko. Tak lama, Daniel menghampiri Nara dengan tangan membawa kotak berukuran sedang.

"Liat." Daniel mengangkat kotak itu.

"Kamu beli?"

"Ck, gue mana ada duit?" jawab Daniel. Jelas, hal itu membuat kebingungan menghampiri Nara. Kalau Daniel tidak memilik uang untuk membelinya, kenapa ia membawa kotak yang jelas berisi perhiasan itu?

"Udah, deh. Lo bawa dulu!"

Nara tak menemukan setitik kebohongan pada mata Daniel. Pertanda cowok itu bersungguh-sungguh. Lantas, dari siapa ini? Kenapa yang membawa Daniel?

"Nara ...." panggil Daniel dengan nada geram saat Nara tak kunjung merespon.

"I-iya," jawab Nara sambil menerima.

Setelah itu, keduanya malah saling diam bertatap-tatapan.

"Udah?" tanya Nara. Daniel mengangguk, lalu menggenggam tangan Nara untuk kembali ke parkiran. "Kita ke sini cuma ambil ini doang?"

"Hm," jawab Daniel. "Sekarang gue mau ajak lo makan."

Nara tak banyak bicara, ia menurut. Daniel membawanya ke sebuah tempat makan yang cukup terkenal. Lagi-lagi, Nara dibuat kebingungan, tadi Daniel bilang tidak punya uang, tapi kenapa malah membawanya ke sini?

"Tunggu, bentar lagi orangnya datang," ucap Daniel saat mereka sudah duduk di sebuah ruangan privat yang ada di restoran itu.

"Si--"

"Udah nunggu lama, ya?" Nara berbalik karena memang posisinya membelakangi pintu masuk. Ia membulat kaget ketika mendapati sosok Trisha yang berdiri di hadapannya dengan sebuah senyum mengembang.

"Bu Trisha?"

"Ya, lama tidak bertemu Nara." Entah kapan tepatnya, Trisha tiba-tiba mendekat dan memeluknya. Nara melirik Daniel yang memberinya kode seolah meminta untuk membalas pelukan Trisha. Dengan gerakan kaku, Nara membalas pelukan itu. Ia merasakan bahunya yang basah. Apa Trisha menangis?

"Bu Trisha baik-baik aja?" Trisha melepaskan pelukannya, lalu segera menghapus air matanya dan tersenyum hangat.

"Saya nggak pernah merasa buruk jika itu dekat dengan kamu," ucap Trisha lalu mengambil duduk di antara dirinya dan Daniel. Nara sempat mengeryit bingung, sebelum setelahnya mencoba tersenyum canggung.

"Kamu bawa apa yang saya minta tadi, Daniel?" Daniel mengangguk, lalu mendekatkan paper bag yang ada di atas meja pada Trisha. Wanita itu tersenyum, lalu melirik Nara. "Kamu udah liat?"

Nara menggeleng, ia hanya tahu isi dari paper bag itu, namun tidak dengan yang di dalam kotak.

Trisha mengambil kotak di dalam paper bag itu, lalu membukanya dan menyerahkan pada Nara. Cukup beberapa detik untuk Nara memahami apa yang Trisha berikan di hadapannya. Ia melirik Trisha lalu beralih pada Daniel.

"Ini ...." Nara menggantungkan ucapannya.

"Buat kamu," ucap Trisha.

"Maksud Bu Trisha?" Nara mencoba memahami, lalu ia menggeleng. "Maaf, Bu. Saya tidak bisa menerima begitu saja. Kalung ini pasti mahal."

Trisha melirik Daniel, lalu kembali mengarah pada Nara. "Tapi saya memesannya khusus untuk kamu."

"Memesan untuk saya?" Nara balik bertanya. "Tapi untuk apa?"

"Hari ini ulang tahun kamu--"

"Bu Trisha," peringat Daniel ketika merasa Trisha sudah semakin jauh. Trisha melirik Daniel dengan tatapan menyedihkan. Jujur, Daniel iba. Tidak ada seorang ibu yang tak ingin dianggap oleh anaknya. Apalagi, Nara tinggal satu-satunya harta milik Trisha yang dimilik. Namun, di kesepakatan awal, mereka berjanji bahwa akan menjadikan ini sebagai sebuah rahasia. Lalu, kenapa Trisha malah ingin membongkarnya?

"Saya rasa, ini sudah waktu yang tepat. Saya tidak bisa menjamin bisa mengatakannya di kemudian hari," jelas Trisha. Tak lama usai menghela napas, Daniel memilih mengangguk.

"Sebenarnya, apa yang saya tidak mengerti?"

"Maaf, Nara. Tapi, saya harus mengatakan ini." Setetes air mata jatuh di pipi Trisha, wanita itu lantas menghapus dan mencoba tersenyum.

"Selamat ulang tahun, Arabella. Putriku."

Seperkian detik usai ucapan itu, keadaan menjadi hening. Trisha masih tak melunturkan senyum harunya. Sedangkan Nara mengeryit bingung, sesekali melirik Daniel yang hanya diam. Cowok itu hanya tersenyum tipis. 

"Arabella? Putri Bu Trisha? Di mana?" tanya Nara sambil melirik ke seluruh ruangan itu. Ia menatap sepenuhnya pada Trisha ketika tangan wanita itu menggenggam tangannya.

"Kamu. Kamu Arabella, putriku." Trisha mengatakannya dengan nada bergetar. Raut wajah Nara perlahan mendatar, tatapannya nyaris kosong. Ia sedikit menggerakkan bibirnya dengan kaku.

"Bu Trisha tidak perlu bilang seperti itu."

Trisha menggeleng. "Kamu benar-benar putri saya yang hilang Nara."

Air mata Nara tanpa diminta menetes. Ia menggelengkan kepalanya masih tak percaya. "Ta-tapi kenapa bisa?" 

"Ceritanya panjang. Intinya Tuhan masih sayang sama kita, karena masih memberi waktu untuk kita bersama, sayang." Trisha menghapus air mata putrinya.

Nara terlihat masih mencoba memahami apa yang tiba-tiba ia terima ini. Tidak ada persiapan, dan tidak ada aba-aba. Nara mendongak ke arah Daniel yang diam dengan raut muka biasa saja. 

"Daniel ... udah tahu?"

"Sorry." Hanya itu yang bisa Daniel ucapkan. Raut wajah Nara seolah mengatakan kekecewaan.

"Mama yang minta, itu." Nara memandang Trisha. Mama? Terhitung, ada dua wanita yang membahasakan Nara dengan sebutan paling mulai itu. Yang pertama adalah Rita, dan yang kedua Trisha--ibu kandungnya.

"Hari ini ulang tahun kamu. Mama sengaja memberi kalung ini, buat kamu." Trisha mengambil kalung putih itu lalu memandangnya dengan sendu. "Papa memberikan ini saat dia akan berangkat ke Belanda bersamamu."

Demi Tuhan, Nara belum siap di posisi ini. Ia masih tidak percaya, mentalnya masih syok untuk menerima semua fakta ini. Ia menggeleng. "Maaf, Bu. Nara butuh waktu."

"Na--"

"Nggak, Niel." Nara menggeleng dengan air mata yang sudah mengalir deras, isakan mulai keluar dari bibirnya. " Maaf, aku butuh waktu."

Nara bangkit berdiri, ia menarik tas selempangnya dan berjalan keluar. Trisha memandang nanar kepergian putrinya, sedangkan Daniel sudah berancang untuk menyusul.

"Saya minta tolong susul dia. Saya tidak mau putri saya kenapa-napa, Daniel."

Daniel mengangguk. Tanpa berpamitan, ia berlalu keluar. Ia mencegat Nara yang sudah sampai di parkiran. Gadis itu enggan menatapnya, tapi Daniel jelas tahu kalau gadis itu menahan tangisnya.

"Aku mau pulang," ucap Nara dengan suara sengaunya.

"Silahkan," jawab Daniel acuh.

Nara menatap Daniel dengan mata merahnya. Daniel mendengus, ia mencoba bersikap biasa saja, meski hatinya terus memaksanya untuk memeluk gadis lemah di hadapannya ini.

"Dengan satu syarat. Pulang ke rumah gue, biar gue yang anter."

Nara menggeleng. "Aku bisa cari bus, aku masih ada panti untuk tujuan pulang."

Daniel menghela napas panjang. "Apa lo cewek yang nggak punya sopan santun, Nara?"

"Maksud kamu?" Nara mengeryit.

"Papa gue minta lo buat tinggal di rumah gue. Harusnya sebelum lo pergi, lo pamit dulu sekalian bilang terima kasih, kek. Tapi, apa yang malah lo lakuin ini?" 

"Nggak gitu, Niel."

"Nggak gitu gimana?" Daniel sedikit meninggikan suaranya seolah ia sedang emosi. Padahal, tanpa Nara ketahui ini adalah cara Daniel untuk menahannya. 

"Aku cuma mau tenangin diri sebentar di panti." 

"Rumah gue punya taman, punya kolam ikan, punya perpustakaan yang sekiranya nyaman buat lo. Nggak usah banyak alasan, mending ikut gue pulang!"

Nara tak bisa lagi mengelak ataupun menolah ketika Daniel sudah menariknya menuju di mana cowok itu memarkir motornya. Daniel memasangkannya helm, lalu memintanya untuk segera naik.

"Satu lagi, gue juga punya dada kalau lo butuh tempat bersandar."

TBC

Ini nggak lama banget kan ya?

Asli, aku kena euforia liburan. Keenakan menyenangkan diri sendiri sampai lupa ada draft yang lagi setengah jalan. Maaf banget ya🤧

Btw, selamat liburan ye:}

Continue Reading

You'll Also Like

Garis Luka By Rani

Teen Fiction

11.3M 1.1M 49
"Lo suka sama gue kan?" Zeta mengangguk cepat dengan matanya yang berbinar. "Mau jadi pacar gue kan?" Zeta mengangguk lagi. Agra tersenyum, senyum...
6.6M 594K 48
"A-aku h-harus panggil kalian ... a-apa?" "Kakak aja." -Alderion "Abang." -Alzero "..." -Alvaro "Sayang juga boleh." -Alvano . . . Ini hanya tentang...
30.9M 1.8M 67
DIJADIKAN SERIES DI APLIKASI VIDIO ! My Nerd Girl Season 3 SUDAH TAYANG di VIDIO! https://www.vidio.com/watch/7553656-ep-01-namaku-rea *** Rea men...
ARJUNA By Nath

Teen Fiction

301K 17.1K 56
"Gue bakalan dateng ke acara sama dia." Arjuna menunjuk dengan jari telunjuknya kearah seorang siswi yang terlihat tengah sibuk menempelkan kertas p...