DINI HARI GALIH βœ”οΈ

By purpleliyy

38.6K 5K 2.7K

Tentang Galih yang penuh pengorbanan. Selalu sabar, menyayangi tanpa syarat. Bersusah-payah, berkorban tanpa... More

01 - Galih, Nenek, dan Januar
02 - Galih, Si OB
03 - Mas Galih
04 - Bertanya-tanya
05 - Nenek Bangga sama Galih?
07 - Tak Ingin Jauh
08 - Tidak Sedih
09 - Dera
10 - Sekat Napas
11 - Marah, Seperti Apa?
12 - Tidak Boleh Sedih, Galih...
13 - Semangat, Galih!
14 - Masih Banyak yang Peduli
15 - Gambar Nenek
16 - Gara-gara Gelas
17 - Diceritakan Saja
18 - Dengan Pak Rafdi
19 - Mama Afiani
20 - Menawan
21 - Bunga itu Layu
22 - Bunga itu Dipetik
23 - Yang di Dunia
24 - Lenyap Berkumpul (TAMAT)
cerita angst baru!πŸ’”

06 - Harus Lebih Keras

1.2K 224 92
By purpleliyy

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

".... Saya ambil formulirnya dulu, ya," ucap seorang customer service bank yang sedari tadi melayaniku. Dia berdiri dari kursinya dan pergi ke sisi lain untuk mengambil formulir yang dimaksud.

Siang ini, jam makan siangku aku gunakan untuk pergi ke bank. Aku sudah izin pada Kak Anita si office girl senior kalau-kalau aku kembali ke kantor dengan terlambat (setelah jam makan siang selesai).

Aku gembira sekali rasanya. Setelah menunggu antrean selama 1 jam, kesempatanku untuk menghadap customer service pun tiba. Kuberikan semua berkas data kepadanya. Lalu, dia meninjau beberapa saat. Aku menunggu hingga dia pun mengonfirmasi semuanya.

Tak lama kemudian,  Mbak customer service itu datang lagi. Menyodorkan secarik kertas yang harus kuisi dengan lengkap. Sekali lagi kukatakan, aku mengisi data-data ini dengan senyuman senang. Tidak sabar memberi kabar kepada Januar.

Aku mengambil tenor 36 bulan untuk mengkredit 25 juta. Cicilannya 800 ribu per bulan. Agak berat memang, sebab gajiku hanya 2 juta. Namun, hanya itu saja tenor terlama yang mereka tawarkan.

Aku berharap bisa melunasi utang ini tanpa harus terlilit. Aku akan cari-cari kerjaan lain. Aku sudah punya rencana, akan cari sampingan di malam hari. Mungkin aku akan melamar kerja di restoran tenda pecel lele Mbak Yani karena restoran itu buka malam hari.

Kabar baiknya, aku sudah tanya Mbak Yani kemarin. Katanya, ada lowongan sebagai tukang cuci piring. Kerjanya dari pukul 10 malam sampai 2 dini hari. Gajinya 50 ribu per malam, kalau 30 hari, 1 setengah juta. Sudah lebih dari cukup menutupi cicilanku per bulan. Tapi, Mbak Yani bilang, aku baru boleh bekerja 2 minggu depan.

Aku bekerja menjadi OB dari pukul 9 pagi (sebelum kantor buka) sampai pukul 8 malam. Lalu setelah itu, bekerja di tempat pecel lele. Lelah? Pasti. Aku sudah membayangkan sendi-sendiku yang bakal terasa mau patah setelahnya. Tapi kalau tak begitu, aku tak mungkin bisa membayar utang. Siapa lagi yang harus kuharapkan? Aku tak punya siapa-siapa untuk kumintai bantuan. Aku hanya berharap semoga Allah selalu memberiku kesehatan. Karena kalau aku sakit, aku tidak bisa bekerja. Dan itu akan membuatku gila. Aku harus terus bekerja untuk Nenek dan Januar.

Semoga Januar mau mempertimbangkan saranku untuk melamar jadi ojek online atau pekerjaan apa pun yang bisa dia jadikan sampingan. Aku sungguh tidak akan meminta sepeser pun dari penghasilannya. Semua penghasilannya untuk kebutuhan dirinya saja.

Waktu-waktu pun bergulir. Selesai mengisi formulir, aku menunggu lagi. Tapi, kata Mbak customer service, uang pinjamanku baru akan cair seminggu lagi sebab butuh pengecekan data di Bank Indonesia terlebih dahulu.

Yah, aku kira akan langsung cair siang ini. Padahal, mataku sudah berbinar-binar menunggu semua prosesnya. Tidak sabar mendapatkan uang yang sudah Januar idam-idamkan. 25 juta ditambah tabunganku 3 juta, 28 juta.

Aku akan menyampaikan kabar ini pada Januar. Semoga dia bisa terlihat lebih bahagia. Karena hatiku selalu perih tiap melihatnya tak bahagia dan sering marah. Aku ingin melihat adikku bahagia, sekali saja. Sebab, aku selalu merasa duniaku gelap tiap melihat tatapannya yang hampir selalu tak cerah menatap dunia, seolah dunia ini begitu jahat padanya.

Aku ingin membuktikan pada Januar bahwa dunia ini tidak sejahat yang dia kira. Aku sedih jika teringat peristiwa di hari-hari belakang. Waktu Januar masih SD sampai SMP, dia sering menangis karena merindukan Mama. Dia sangat dekat dengan Mama.

Rasanya, aku ingin membawakan Mama lagi untuknya, untukku. Tapi, bisa apa aku? Aku bukan Tuhan. Sekelas malaikat pun tak dapat mengembalikan nyawa seseorang yang telah diambil-Nya.

Oleh karena itu, aku selalu berusaha supaya adikku bahagia. Hanya dia yang aku punya selain Nenek Maryam.

....

Setelah semua prosedur aku jalani, Mbak customer service menanyakan apa ada lagi yang aku butuhkan. Aku menjawab 'tidak', lantas bergegas keluar dari bank ber-AC dingin menyejukkan ini.

"Galih!"

Seseorang memanggil ketika ujung sepatu wariorku sampai di teras bank. Aku menoleh ke arah suara, menatap siapa yang memanggilku dari jarak 3 meter barusan.

"Eh, Bu Anggun?" ucapku sopan setelah melihat orangnya.

Dengan jas biru tua dan rok hitam selutut, Bu Anggun yang rambutnya putih seperti selebriti itu tersenyum padaku. Aku tak bergerak, sebab kulihat arah langkah Bu Anggun tengah terayun menghampiriku.

"Dari mana kamu?" tanyanya ramah setelah berdekatan.

"Dari sini, Bu." Aku menunjuk pintu bank di belakangku dengan ibu jari. "Tapi, ini sudah mau balik ke kantor lagi kok, Bu."

"Oooh." Bu Anggun mengangguk-angguk saja. "Kamu udah makan siang?" sambungnya.

"Belum, Bu," jawabku.

Bu Anggun diam sejenak. "Kamu suka nasi liwet? Kebetulan, saya pingin makan di tempat nasi liwet deket bank ini. Yang nasi liwet Ibu Wita. Kamu tahu, kan?" tanya Bu Anggun cepat dan lancar.

Aku mengangguk. "Iya, Bu, saya tahu."

"Saya habis ambil uang tunai di ATM situ." Bu Anggun menunjuk mesin ATM yang juga ada di bank ini.

"Oh, iya, Bu." Aku mengangguk dan tersenyum lagi.

"Mau? Nasi liwet?" tanyanya lagi. Begitu santai dan ringan, lancar dan akrab. Seolah aku adalah temannya. Bu Anggun memang cara bicaranya cepat dan lugas, juga ramah pada semua orang.

Diajak makan siang oleh istri direktur, aku malu sejujurnya. Tapi, juga tidak enak kalau menolak. Nanti Bu Anggun pikir, aku ini cuma OB, tapi sudah berani menolak-nolak ajakan istri direktur.

Tapi... nasi liwet di sana sangat mahal. Seporsinya 48 ribu sebab ayamnya besar dan lauk lainnya banyak. Aku tak pernah makan di sana, cuma tahu karena sering disuruh membeli nasi liwet di sana oleh karyawan-karyawan kantor lainnya.

"Galih? Halo?" Bu Anggun mengintip wajahku.

Aku terkekeh kikuk karena ketahuan melamun. "Maaf, Bu. Anu, nasi liwet di sana mahal. Saya–"

"Saya yang bayar," potong Bu Anggun cepat.

"Tapi, Bu, ini sudah bukan jam makan siang saya," kataku pelan.

"Gak apa-apa. Yuk!" ajaknya lagi, lalu langsung bergegas.

Alasan untuk menolak pun habis. Gerakan Bu Anggun sudah mempimpin. Lantas, aku mulai mengikuti. Berjalan di belakang Bu Anggun yang langkahnya begitu lincah dan tegas meski menginjak sepatu hak tinggi.

Aku memegang tali tas selempangku dengan kedua tangan. Menunduk, memerhatikan jalan dan tumit Bu Anggun dari belakang. Aku takut dia tersandung sesuatu dan jatuh karena hak sepatunya kecil dan panjang, sedikit mengerikan.

Jarak restoran nasi liwet Bu Wita tidak jauh dari bank yang baru saja kusambangi. Dan bank, juga tidak jauh dari kantor kami. Maka, dengan berjalan semenit saja, kami sampai di tempat ini.

Bu Anggun mengambil tempat duduk di meja persegi panjang yang dilengkapi dua kursi kayu cokelat. Karena kursinya berhadapan, jadi kami duduk berhadapan.

Seorang pelayan restoran mendatangi, lalu memberikan daftar menu di atas meja. Bu Anggun mengambil daftar menu tersebut, lantas segera membacanya.

"Kamu mau nasi liwet apa, Galih? Ada ayam, ikan tongkol, teri, sama... apa lagi, nih?" gumam Bu Anggun di akhir, menilik serius daftar menu di tangannya yang ramping.

Aku tersenyum. "Terserah Bu Anggun aja, Bu," jawabku.

"Saya sukanya yang ayam campur teri. Nanti dia ada telur-telurnya juga, sama tempe-tahu. Iya kan, Mbak?" tanya Bu Anggun pada pelayan restoran.

"Betul, Mbak," jawab Mbak pelayanannya.

"Galih, kamu apa? Nih, pilih dulu." Bu Anggun menyodorkan menu ke depanku.

Aku menggeleng. "Gak usah, Bu. Saya ikut pesenannya Bu Anggun aja," tolakku dengan sopan.

Bu Anggun mengerjap-ngerjap sejenak, sebelum menarik kembali menu itu dan menyerahkannya lagi pada Mbak pelayan. "Ya udah, yang tadi aja 2, Mbak," katanya kemudian.

Kami kembali berdua. Aku sedikit menunduk, menatapi barang-barang di atas meja sementara Bu Anggun sibuk dengan ponsel hitamnya yang punya tiga lensa kamera besar. Harganya hampir sama dengan biaya pendaftaran kuliah Januar kalau tidak salah.

"Kamu tadi di bank ngapain?" tanya Bu Anggun tiba-tiba. Dia masih menatapi ponselnya.

"Ada urusan, Bu. Saya tadi habis pinjam uang," jawabku.

"Pinjam uang?" tanyanya mengulangi, kemudian meletakkan ponselnya di atas meja.

"Iya, Bu."

"Ada keperluan?"

"Iya." Aku tersenyum.

Bu Anggun mengetuk-ngetuk meja dengan kuku telunjuk berkuteks merahnya. Entah apa yang dia pikirkan. Namun, terlihat jelas dia sedang menjalin-jalin benak di dalam otak.

"Galih."

"Iya, Bu?"

"Kalau boleh tahu, kamu pinjam berapa? Buat apa? Maaf, ya, saya bukannya mau kepo. Cuma mau kira-kira, kamu nanti bayarnya bisa sesuai atau enggak," jelas Bu Anggun, lalu tersenyum. Menyiratkan supaya aku tidak perlu merasa terganggu.

Sepertinya, Bu Anggun ingin memperkirakan, apa aku mampu membayar utang di bank dengan gaji 2 juta per bulan atau tidak.

"Saya pinjam 25 juta, Bu. Buat biaya pendaftaran adik saya kuliah," kataku jujur saja.

Bahu Bu Anggun menurun perlahan. Sorotnya berubah lebih dalam. Apa Bu Anggun kasihan? Atau simpati? Sepertinya demikian.

"Insya Allah, nanti saya sambil kerja tambahan, Bu. Malamnya, saya kerja di tempat pecel lele dekat rumah saya," ucapku lagi.

"Jadi apa?" tanyanya pelan, tatapannya lembut menyimpan prihatin.

"Tukang cuci piring, Bu." Aku tersenyum.

"Gak capek memangnya?" tanyanya lagi dengan pelan dan hati-hati.

Aku tersenyum lebar menatap bawah, lalu kembali menatap Bu Anggun. "Insya Allah gak capek, Bu. Udah biasa," ujarku.

Bu Anggun menghela napas, masih menatap dengan tatapan tak sampai hatinya. Matanya agak memerah. Lalu, dia tersenyum lebar tanpa mengeluarkan giginya. "Kamu hebat, saya salut punya karyawan seperti kamu. Semoga adik kamu bisa jadi dokter yang sukses, ya?" ucapnya tersenyum, dengan manik berkaca-kaca lembut.

Aku tersenyum canggung, mengangguk. Jadi tidak enak karena sudah membuat makan siang Bu Anggun jadi mendung.

"Iya, Bu, aamin. Makasih doanya, Bu." Aku tersenyum.

Selang beberapa menit, pesanan kami pun datang. Nasi liwet yang sungguh menggugah. Ada ayam goreng besar, nasi bertabur teri dan bawang goreng, tempe-tahu goreng, telur dadar yang diiris-iris panjang, juga sambel. Oh ya, kemangi dan juga selada sebagai lalap. Aku menelan ludah melihat tampilannya.

Bu Anggun tersenyum senang menatap nasi liwetnya. Tampaknya, nasi liwet Bu Wita adalah salah satu makanan favorit Bu Anggun melihat dari ekspresinya.

"Ayo, Galih, makan dulu," ucapnya, lalu mengambil sendok dan garpu.

Aku mengangguk tersenyum. Mulai makan juga, mengikuti Bu Anggun. Perutku semakin berteriak-teriak, tidak sabar dimasuki nasi liwet yang mahal dan enak ini.

....

15 menit pun berlalu tanpa percakapan. Nasiku sisa 3 suap sementara Bu Anggun, nasinya masih setengah. Maklum, aku laki-laki dan sedang sangat lapar, jadi makannya lebih cepat. Bu Anggun makan dengan santai dan anggun, seperti namanya.

"Loh? Galih?" Tiba-tiba, dia bersuara.

Aku langsung mengangkat kepala dengan cepat. "Ya, Bu?"

"Kok ayam sama tahu-tempenya gak dimakan? Kamu gak suka?" tanyanya dengan mata membulat. Heran dan penasaran tercetak jelas di wajahnya.

Seperti biasa, aku tersenyum canggung. "Suka, Bu. Iya, ini ayam sama tempe-tahunya mau saya bungkus aja. Boleh kan, Bu?" tanyaku baik-baik.

Bu Anggun mengerutkan alis. "Kok dibungkus? Kenapa gak dimakan di sini aja? Kamu makan lalap sama sambel doang?" tanyanya terdengar heboh dan kaget.

"Enggak, Bu. Ini kan, ada teri sama telur dadarnya." Aku menunjuk piringku. "Ini aja udah enak banget, Bu." Aku tersenyum lebar sebagai tanda terimakasih.

"Itu ayam sama tahu-tempenya mau kamu bawa ke rumah?" Bu Anggun bertanya lagi.

"Iya, Bu."

"Buat adik sama nenek kamu? Nanti saya pesenin dua porsi lagi, ya. Kamu makan aja itu ayam kamu–"

"Gak usah, Bu. Saya udah ken–"

"Kamu tulang punggung loh, Galih. Kalau makanan kamu gak bergizi, nanti kamu sakit, gimana? Siapa yang bakal kerja buat adik dan nenek kamu?" sergap Bu Anggun, membuat bibirku bungkam tak dapat lagi menyahut.

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚Bersambung˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

Continue Reading

You'll Also Like

298K 38K 61
[Tersedia Di Shopee] Di dunia ini banyak terjadi pertemuan. Silih berganti, orang asing satu dengan orang asing lainnya. Ada yang sekadar bertemu pan...
5.8K 539 16
Apa jadinya jika seorang gadis tomboy yang terlihat seperti seorang pria terlempar ke dimensi lain? Terlebih lagi gadis itu memiliki nama yang mirip...
La Familia By πŸŒ™

General Fiction

9.5K 1K 22
Home is where Umi and Abi is. Jika lelah, pulang lagi pada percaya. Karena orang rumah akan selalu merayakan kepulanganmu.
4.8K 662 26
Hanya berisi tentang kehidupan sehari-hari Byun Baekhyun, seorang balita yang selalu dititipkan pada tetangganya, Oh Sehun. Warn: Bukan konten BxB, i...