Bismillah
Pocong Itu Bapakku
#part 14
#by: R.D.Lestari.K
Nani menurut. Ia duduk seraya memperhatikan gerak-gerik suaminya.
Baru saja Handoyo mendekat ke jendela, tiba-tiba matanya membulat sempurna. Bola matanya serasa akan terlontar keluar saat melihat sesuatu di bawah pohon rambutan dekat rumahnya.
Makhluk dengan ikat kepala putih itu tersenyum dan tak lama melesat terbang, hilang di antara lebatnya dedaunan.
Handoyo menyentuh dadanya yang bergemuruh. Sesegera mungkin ia menutup jendela dan berlarian naik ke atas kasur. Memeluk istrinya dan menutup wajahnya dengan selimut.
Nani yang kebingungan bertanya, tapi Handoyo kekeh diam. Ia tak ingin mengingat wajah makhluk berikat kepala itu, ia cuma berharap agar makhluk itu tak lagi menggangu hidupnya.
Dan harapannya itu kini menjadi nyata. Malam itu adalah malam terakhir ia bertemu makhluk putih seperti lontong, yang di sebut orang pocong. Karena hari-hari berikutnya, ia tak pernah lagi diganggu dan hidupnya kembali tentram.
***
Penyelidikan yang berlangsung alot hanya menyisakan lima orang tersangka. Padahal jelas, malam itu banyak warga yang ikut andil dalam pengeroyokan.
Polisi pun terkesan ogah-ogahan dalam mengusut kasus yang menewaskan nyawa seorang Bapak.
Malam itu, rumah Indah kembali di datangi petugas kepolisian. Indah dan Kartini mengaku pasrah. Mereka tak punya rupiah untuk berkeras.
Sudah jadi rahasia umum, semua yang bersangkutan dengan hukum, di kampungnya itu bisa di beli.
Mereka yang takut masuk penjara, lebih memilih menyogok. Tak jarang, Polisi di kampungnya rumahnya besar-besar dan hidup makmur.
Jika pihak korban ingin kasusnya berjalan sesuai prosedur, maka mereka harus menggelontorkan uang yang tak sedikit.
Indah dan Kartini menyerah. Mereka memilih damai dengan kelima tersangka yang tiga diantaranya sudah tak bernyawa. Mereka tak lain adalah Tejo, Dono dan Dirga.
Kompak penduduk kampung menjadikan tiga almarhum ini sebagai tersangka, karena dengan begitu mereka lepas dari hukuman, dan tiga orang itu pun tak akan mengelak.
Karena tiga orang itu sudah menjadi may*t, kasus pun dialihkan ke dua orang tersangka yang tersisa, mereka adalah Farhan dan Sudiro.
Farhan adalah orang pertama yang meneriaki begal dan memanggil warga kampung, sedang Sudiro adalah orang pertama yang mengejar Mulyono dan menyulut api amarah warga. Biasa disebut provokator.
Hingga proses perdamaian berlangsung alot, sedang perwakilan tiga keluarga yang lain tak terima dengan Polisi karena masih saja membawa nama keluarga mereka yang sudah meninggal menjadi tersangka.
Mereka terpaksa meminta maaf mewakili tersangka yang sudah meninggal, padahal mereka belum tentu bersalah.
Sedang Sudiro dan Farhan bisa bernapas lega karena Indah dan Kartini memaafkan dan mencabut tuntutannya.
Selain tak punya bukti yang kuat, saksi pun sepertinya meringankan. Memberi kesaksian palsu dan tentu uang di balik itu semua.
Indah melenguh saat mobil-mobil polisi dan keluarga tersangka itu meninggalkan pekarangan rumahnya.
Dadanya terasa sesak. Jantungnya memacu lebih cepat. Tangan gadis itu mengepal menahan emosi yang siap meledak. Terasa pipinya memanas.
Matanya berembun. Dalam hati, ia merutuki nasib miskinnya. Karena kemiskinan, ia tak bisa mendapat keadilan untuk bapaknya. Miris. Di mana hukum pun bisa di beli dengan uang.
"Indah ....," suara Ibu membuat Indah membalikkan tubuhnya. Ia menyeka air mata dan melangkah menuju kamar.
"Kenapa, Bu?"
"Danang di mana? jangan biarin adekmu main sendiri," ucap Ibu seraya membenarkan bedong bayi Mulyani.
Indah mengangguk pelan. Namun, sebelum ia pergi untuk mencari adiknya, Indah menatap Ibu untuk beberapa saat.
"Ibu...,"
"Iya, In?"
"Bu ... apa Ibu ga sedih dengan keputusan Pak Polisi tadi? bukankah mereka harusnya mendapat hukuman yang setimpal, Bu,"
"Gara-gara mereka, Indah tak bisa bertemu dengan Bapak, Bu. Indah kangen ...," tangis gadis itu akhirnya tumpah. Ia begitu rindu ingin bertemu bapaknya.
Meski sekilas, entah kenapa, ia merasa sosok pocong tempo hari yang tak terlihat wajahnya itu adalah bapaknya.
Dan, sosok itu tak pernah menampakkan diri secara utuh pada Indah. Hanya saat itu saja.
"Hhmmhh, sini, Nak," Kartini melambai ke arah Indah, menyuruhnya mendekat.
Indah menyender di bahu ibunya. Kartini membelai rambut legam Indah, anak gadisnya yang beranjak dewasa.
"Suatu saat ... kamu akan mengesampingkan ego dan menerima kenyataan hidup, bahwa semua itu tak selamanya adil, dan keadilan itu terkadang tak memihak pada pihak yang benar,"
"Pengalaman hidup akan menempa kita menjadi pribadi yang kuat. Tak selamanya kebenaran itu menang, ada masanya mereka yang beruang bisa mendapatkan segalanya, termasuk dengan keadilan,"
"Kita ... insan yang berada di garis kemiskinan, dipaksa menjadi kuat dalam keadaan apa pun, termasuk jika keadilan tak berpihak pada kita,"
"Ambillah hikmah, setidaknya, sampai saat ini... ibu masih berada diantara kalian. Menjadi ayah dan ibu dalam waktu bersamaan itu tak mudah,"
"Tapi, untuk kalian ... ibu akan berjuang. Dan, ketahuilah, meski bapakmu sudah tiada, ibu merasa ia masih dekat,"
"Banyaknya pertolongan yang datang, ibu yakin semua itu ada andil Bapak. Bapak sayang sama kita," ibu mengecup pucuk kepala Indah.
"Ibu ... apa Ibu percaya, gosip yang beredar jika teror pocong itu adalah arwah Bapak?"
Ibu terkekeh dan menatap Indah dalam. "Apa kamu percaya, orang yang sudah meninggal bisa keliaran?"
"Bapak selalu ada di sini, dan ibu yakin itu bukan Bapak," Ibu menunjuk dadanya.
"Bu ...,"
"Sekarang kamu cari Danang, makan siang. Ibu masak sambal ikan teri kesukaan Danang dan kamu,"
Indah mengangguk pelan dan beranjak dari ujung ranjang. Kakinya melangkah gontai keluar rumah dari pintu dapur.
Ia mencari Danang yang biasa main di belakang rumah yang merupakan tanah kosong dengan kebun singkong di kanan dan kiri, di kelilingi pohon bambu sehingga terasa sayup dan teduh.
Danang biasa bermain kelereng bersama teman-temannya, tapi siang ini, tak nampak seorang pun disana.
Suasana terasa hening, yang terdengar hanya gemerisik dedaunan bambu.
"Danang ... Danang ...," panggil Indah kencang. Tak ada sahutan, Indah semakin mempercepat langkahnya. Takut adiknya hilang.
"Ha-ha-ha, Bapak ... belikan ini, ya, Pak!"
Suara cekikikan Danang terdengar samar. Indah menghentikan langkah dan mempertajam indra pendengarannya. Mencari asal suara.
"Bapak ... Bapak jangan pergi... Danang masih mau main!"
Suara Danang semakin terdengar jelas. Indah kembali melangkah dan ia menemukan Danang di balik rerimbunan pohon bambu yang melengkung.
"Danang ...," panggil Indah saat melihat adiknya yang seperti sedang berbincang dengan seseorang.
"Kamu bicara sama siapa?"
"Mbak... itu ... Bapak pergi, Mbak. Padahal tadi ngajak Danang main," Danang menunjuk rumpunan pohon bambu yang jaraknya cukup jauh dari mereka.
Bulu kuduk Indah seketika meremang. Matanya mengedar kesegala arah. Tak ada seorangpun di sana kecuali mereka.
"Danang ... Bapak sudah ...,"
"Sudah apa, Mbak?"
"Meninggal, Nang ...,"
"Meninggal? ga, Mbak, yang meninggal itu bukan Bapak, Bapak masih hidup!"
"Danang?"
***