HELP [Tamat]

By TintaBiru26

329K 24.4K 2.9K

Aksa bukan siapa-siapa dan tak punya apa-apa. Hidupnya hanya di isi dengan luka,kecewa dan air mata. Dirinya... More

Kilas balik
Tokoh
Awal dari semuanya
Keluarga baru Dika
keluarga baru Mona
Doa Arya
Terlambat?
Pingsan
Ikut senang
Alergi
Amarah
perundungan
khawatir
Sendirian
hal yang tak di inginkan
Aksa atau Rayyan?
bagaimana caranya?
Darren
haruskah?
andai Dika tau
Rencana tuhan
kenapa selalu aku?
Pertanda?
Sakit.
kenapa?
Harus kemana?
yang selalu ada
Haruskah berkorban?
haruskah berkorban? 2
jadi seperti ini rasanya?
Rasa yang tak biasa
Birthday Keenan
niat menolong
belum usai
Rayyan
sama-sama tumbang
tidak ada rasa kasihan
istirahat sejenak
Trauma
Kecewa
Sekedar Info
Bullying
ternyata?
sama-sama takut
salah?
pertanda? 2
Kesakitannya
amarah?
berhenti berdetak?
Arka Bodoh
Mimpi dan kabar baik
satu kesakitannya terbongkar
tawanya
aku lagi?
siapa sebenarnya Calista?
Pergi.
jadi?
berawal
menyesal?
mulai mencari?
menghilang bak di telan bumi.
Baru
Dami-nya Rio
Akhir?
kepergiannya
Selesai
Good Bye
Cerita baru
GaReNdra
Baca dulu yukk

di pendam sendiri

3.4K 328 30
By TintaBiru26

ALOHAAAA....

YEAYYY...AKU UP🤗

Disinilah Aksa, berdiam diri di luar toilet laki-laki. Menunggu Rayyan yang tengah berganti seragam. Aksa menatap kosong ke arah depan. Kejadian tadi terulang di dalam ingatan.

Lontaran kata kematian yang mereka inginkan dari dirinya begitu terngiang bersahut-sahutan dengan lontaran kasar dari Mona, Dika, Arya, bahkan Keenan.

"Mati aja lo,"

"Hidup lo gak guna disini,"

"Kematian lo yang kita nanti-nanti sialan!"

"Satu pinta gua ke tuhan, semoga tuhan cepet-cepet cabut nyawa lo. "

"Gua akan selalu berdoa, semoga orang busuk kaya lo terkena karma nya. Sakit kanker misalnya?"

"Mati Aksa, yang saya ingin kan adalah kematian kamu. Menghilang lah Aksa. Menghilang. "

Aksa menggeleng-geleng kan kepalanya, berusaha menghilangkan suara-suara yang tiba-tiba saja berputar seperti kaset rusak di dalam ingatannya.

"Gua gak ingin minta apa-apa, yang gua minta dari lo adalah, kematian lo."

"Gak usah muna deh Sa. Dari pada lo sakit disini. Mending mati, mungkin disana lo akan tenang."

"Gak akan juga, karena manusia jahat dan pembunuh seperti dia akan di tempatkan di neraka. Dan kalian tau kan neraka itu panas. Dia akan di bakar di sana." 

Aksa semakin menggeleng-gelengkan kepalanya. Hingga refleks Aksa mengangkat tangan, berusaha melindungi diri sendiri saat tiba-tiba seseorang mencekal pundak Aksa.

"A-am-pun...j-jangan bakar Aksa," lirihnya meminta, berhasil membuat orang yang mencekal pundaknya itu menatap Aksa sedih.

"Sa..."

"A-ampun, A-aksa t-tidak akan nakal... n-nakal lagi."

Mata orang itu bergetar, air matanya menumpuk begitu saja di pelupuk matanya.

"Sa, hey. Ini gua. Rayyan. Jangan takut heum?" ucap orang itu dengan lembut dan nada yang sedikit bergetar. Iya, itu Rayyan yang baru saja keluar dari salah satu bilik toilet. Ia berusaha meraih tangan Aksa.

"Sa hey, lihat gua. Ada gua disini Aksa, please jangan takut."

"B-bang, m-mereka t-tidak mau berhenti. M-mereka terus saja terngiang-ngiang, m-mereka selalu saja muncul. A-aksa ingin menghentikannya, A-aksa takut." lirih Aksa, matanya memejam erat.

Satu air mata menetes begitu saja membasahi pipi Rayyan. Dengan perlahan, Rayyan membawa tubuh Aksa kedalam pelukannya.

"Tidak usah takut, ada gua disini Sa. Lawan mereka, gua akan temani disini heum?" ucap Rayyan bergetar. Ia mengelus punggung Aksa, berusaha memberi kekuatan.

"Mereka tidak mau berhenti, A-aksa takut."

Rayyan menggeleng, sebelah tangannya berusaha membekap mulutnya agar tidak mengeluarkan isakkan. Demi tuhan, dadanya terasa begitu sesak. Bukan, bukan karena penyakitnya tapi karena hal lain.

"Tuhan, sejauh apa kami menyakiti nya sehingga membuatnya memiliki rasa trauma seperti ini tuhan." 

Setelah beberapa menit, Akhirnya Aksa terbebas juga dari suara-suara itu. Aksa berusaha melepaskan pelukan, tubuhnya bersandar pada dinding toilet. Nafasnya sedikit tersenggal.

"Udah baikan?"

Aksa mengangguk pelan, lihatlah, seluruh tubuhnya kembali basah padahal, baru saja Aksa mengganti pakaiannya.

"Kita keluar ya, "

Aksa mengangguk pelan, dan dengan segera Rayyan menuntunnya pelan.

"Lo duduk dulu di sini, biar gua beli minum. lo istirahat dulu aja, setelah di rasa benar-benar tenang baru kita ke kelas."

"Biar Aksa saja yang beli minumnya bang, a-abang tunggu disini saja." ucap Aksa dengan sedikit kepayahan.

"Tapi---"

Aksa tidak menanggapi, kedua kakinya melangkah pelan, Aksa berusaha memfokuskan pandangan. Tidak, jangan sampai kosong lagi. Aksa tidak mau, suara-suara itu muncul lagi. Jujur saja, itu membuatnya sedikit lelah dan terasa menyakitkan.

Tanpa Aksa sadari sesuatu terjatuh dari dalam saku celananya. Dan Rayyan melihat itu, Rayyan mengernyitkan keningnya. Dan dengan segera ia mengambilnya.

Hatinya di buat bertanya-tanya, pikirannya melayang kemana-mana. Tabung obat. Iya, tabung obat itu jatuh begitu saja dari saku celana Aksa.

"Obat apa ini?"

Buru-buru Rayyan mengeluarkan ponsel, memotret tabung kecil itu.

"Tetapi kenapa obat ini sama persis dengan obat ka---"

"Bang Rayyan ini minumnya,"

Pluk!

Rayyan terkejut, refleks menjatuhkan tabung itu. Aksa yang melihat itu sedikit melebarkan kedua bola matanya. Cepat-cepat Aksa mengambilnya.

"Bang---"

"Obat apa itu Sa? Kenapa sama persis kaya punya gua?"

"Ah? Oh tidak, i-ini o---"

"Jangan mengatakan jika obat itu punya teman lo. Gua gak sebodoh itu untuk di bodoh-bodohi. Lagian, teman lo yang mana? Lo kan gak punya teman."

Aksa terdiam mendengar kata terakhir yang keluar dari mulut Rayyan. Rayyan yang sadar akan perubahan raut wajah Aksa merasa bersalah.

"Ah Sa.. g-gua, gak bermaksud untuk---"

"Santai aja kali bang, tidak usah seperti itu tanggapannya. A-aksa memang tidak punya teman kok. Tapi Aksa punya Abang, iya kan?"

Rayyan terdiam, jujur, ia merasa tidak enak.

"Bang..."

"Iya, Lo punya gua, begitu pun gua. Gua punya lo."

Aksa tersenyum tipis. Ia memberikan botol minum itu kepada Rayyan. Rayyan menerimanya setelahnya meneguknya hingga habis setengah. Tanpa sepengetahuan Rayyan, diam-diam tangan Aksa memasukkan kembali tabung obat itu kedalam saku celananya. 

"Sudah bel dari tadi bang, kita ke kelas yuk. Ini hari pertama Aksa masuk sekolah lagi, A-aksa tidak ingin membuat keributan di kelas."

Rayyan menurut, keduanya melangkah dengan tangan yang saling menggenggam satu sama lain.

Disinilah keduanya, di dalam kelas. Terduduk di kursi masing-masing. Rayyan yang terduduk di kursi barisan depan. Dan Aksa yang tengah terduduk di kursi bagian pojok paling belakang. Beruntung, gurunya belum datang untuk mengajar.

Banyak teman-teman sekelasnya yang saling berbisik membicarakannya. Namun Aksa hanya diam. Mencoba mengabaikan, walau sesekali suara bisikan mereka terdengar.

"Aksa Damian, di panggil kepala sekolah di kantor."

Bahkan, Aksa tidak sadar jika di depan sana seorang guru wanita sudah berdiri dengan membawa beberapa buku di tangannya.

"Ah?"

"Cepat, di tunggu di kantor."

Aksa mengangguk pelan, ia bangkit dari duduknya. Melangkah pelan keluar kelas. Sebelumnya, ia sempatkan untuk berpamitan.

********

Tangan Aksa saling meremas satu sama lain, jujur saja, ini kali pertama ia berhadapan dengan kepala sekolah. Biasanya, jika ada sesuatu ia akan di hadapkan dengan wali kelasnya. Tetapi, mengapa sekarang berbeda?

"Saya tidak akan berbasa-basi Aksa. Pertama, kamu kemana selama seminggu ini tanpa adanya keterangan? Kamu sakit?"

Aksa menggeleng pelan, "T-tidak pak, m-maaf. A-aksa ada sedikit urusan yang tidak bisa Aksa tinggal."

"Sepenting itu? Apa terlalu susah untuk memberi keterangan? Ini sekolah Aksa, bukan rumah yang bisa kamu masuki seenaknya."

"Maaf," Aksa menundukkan kepala.

"Karena ini untuk yang pertama kali, saya masih kasih toleransi. Tapi, jika kejadian ini terulang lagi, jangan salahkan saya jika saya memberikan kamu SP atau bahkan bisa saja saya mengeluarkan kamu."

Aksa hanya terdiam, hingga matanya terfokus pada selembar kertas yang kepala sekolah sodorkan ke arahnya.

"A-apa ini?"

"Tunggakan SPP, disini tertera sudah hampir 3 bulan kamu menunggak."

Aksa terdiam, sempat terkejut dengan apa yang bapak kepala sekolah ucapkan. apa Mona berhenti membiayai nya? Tetapi kenapa Mona tidak bilang? 

"A-apa ini tidak salah pak? I-ibu Aksa---"

"Ibu Mona sudah lepas tanggung jawab sejak 2 bulan terakhir Aksa. Apa kamu tidak tahu?"

Ah--sungguhkah? Jika memang iya, kenapa Mona Setega itu? Biaya dari mana Aksa? Apa Mona sengaja agar dirinya putus sekolah?

Aksa menggeleng pelan, ia benar-benar tidak di beri tahu.  Mona tidak ada bicara apa-apa.

"Sekarang kamu sudah saya beritahu, jadi kapan untuk melunasinya?"

"Kasih Aksa waktu ya pak, Aksa akan mencari uang dan cepat-cepat melunasinya."

Kepala sekolah itu terdiam, menatap sendu ke arah Aksa. Jujur saja, sebenarnya dia tidak tega melihat wajah pasrah milik Aksa.

"Saya kasih kamu waktu, sekarang silahkan kembali ke kelas kamu. Hanya itu yang ingin saya sampaikan. Saya mohon, jangan terlalu lama ya? Karena kalau bapak Dika tahu, kamu bisa saja langsung di keluarkan. Saya tidak mau sekolah ini kehilangan orang cerdas seperti kamu Aksa. Semangat ya!"

Aksa mengangguk seraya tersenyum tipis, ternyata kepala sekolahnya tidak seburuk apa yang dia pikirkan. Dan ya, asal kalian tahu. Bangunan sekolah ini adalah milik Dika.

"Terimakasih pak, Aksa usahakan secepatnya. Kalau begitu Aksa permisi." Aksa bangkit, begitu juga dengan kepala sekolah.

Aksa berlalu, sebelumya ia sempatkan berpamitan dan mencium punggung tangan kepala sekolah dengan lembut.

Di sepanjang perjalanan menuju kelas, Kaki Aksa melangkah, tatapan matanya kembali kosong. Kali ini, pikirannya tertuju pada kejadian barusan. Mona memutuskan membiayai sekolahnya. Bagaimana caranya Aksa membayar biaya sekolah nya kalau begini? Biaya sekolahnya tidak lah murah.

"Ibu, Aksa tidak tahu ya kalau ternyata ibu memutuskan biaya sekolah Aksa. Jujur aja Bu, Aksa bingung. Bagaimana caranya Aksa membayar. Uang yang ibu kasih perbulannya untuk Aksa saja rasanya tidak cukup untuk biaya sehari-hari Aksa. Belum lagi, Aksa harus menebus obat. Aksa harus membaginya seperti apa Bu? A-aksa tidak ingin putus sekolah, tapi Aksa juga tidak bisa berhenti meminum obat. Aksa benar-benar bingung Bu. Aksa butuh keduanya. Aksa butuh obat untuk meredam sakitnya Aksa, Aksa juga butuh sekolah. Aksa ingin buat ibu bangga sama Aksa. Tapi, kalau sudah begini, Aksa bisa apa?" batin Aksa.

Mata Aksa terasa memanas, dan tanpa seizin pemiliknya, air mata itu menetes begitu saja membasahi pipi Aksa. Namun Aksa cepat-cepat menghapusnya.

"Oma bantu Aksa..." lirihnya pelan.

"Aghh," Aksa menghentikan langkah, sakit di kepalanya tiba-tiba saja terasa. Refleks Aksa meremas belakang kepalanya dengan erat. Wajahnya memerah, bibirnya bawahnya ia gigit kuat-kuat berusaha untuk tidak mengeluarkan rintihan.

Tes.

Tes.

Tes.

Aksa sudah terbiasa, ini sudah biasa. Setiap kali kepalanya di penuhi dengan pikiran-pikiran yang tak seharusnya ia pikirkan. Cairan amis, pekat nan kental itu akan mengalir begitu saja tanpa pemberitahuan. Aksa segera memutar balik langkah. Beruntung, di koridor begitu sepi tidak ada orang. Yang ada, semua orang tengah sibuk belajar mengajar di dalam kelasnya masing-masing.  


Aishh... Tak tau lah aku ngetik apaan. Plain nya sih, part 50 atau part 55 bakal ending. Gak tau kesampean atau enggak. Doain ya guys hehe.

Btw, gimana dengan Chapter ini?

Apa yang ingin kalian sampaikan ke :

Aksa?

Mona?

Rayyan?

Continue Reading

You'll Also Like

15.6K 1.5K 41
ini cerita tentang Barra Malik Virendra, remaja SMA yang selalu di campakkan dikeluarganya sendiri. Dia selalu disalahkan di keluarganya. tidak semua...
38.8K 2.5K 6
❝Gue masih pengen liat lo hidup. Jadi gue mohon, bangun!❞ ❝Gue mohon, izinin gue pergi...❞ Copyright ©2020 by:Bisikanhati_
Januari By TATA

Teen Fiction

222K 27.2K 31
Katanya, Januari adalah awal. Dan ternyata benar. Januari adalah bagaimana ia kehilangan dan kemudian dipatahkan. Januari adalah bagaimana semesta me...
53.3K 4.4K 56
"Cita-cita gue pengen jadi atlet voli nasional, kalau perlu sampai ke tahap internasional juga. Tapi yang utama sih, tetep pengen jadi orang kaya ray...