“Sudah, jangan menangis. Tadi ada apa? Ayo ceritakan!” Aku mencoba menenangkan Raya yang tak mau berhenti menangis.
“Tadi, Bapak itu masuk ke dalam, Bang. Raya takut! Abang di sini saja, jangan tinggalkan Raya,” ucapnya.
“Iya, Abang di sini.” Aku terus memeluknya.
Bruk.
“Raya, Adrian. Ayo kita pergi.” Suara Ibu, itu tandanya Ibu telah pulang.
“Kami di kamar, Bu,” timpalku.
Ibu membuka kamar dan mulai memarahiku.
“Kalian ngapain, sih, di sini? Raya kenapa? Ini pasti kamu nakal, ya, ke adikmu!” ucap Ibu padaku.
“Tidak, Bu. Ayo Raya katakan pada Ibu,” bisikku.
Ia hanya menggeleng, mungkin ia masih takut dengan kejadian tadi.
“Ibu mau bawa kalian belanja ke mal. Kan, kalian belum pernah ke sana, kan. Ayo cepat ganti baju sekarang! Ibu tunggu di luar, ya!”
Aneh, bagaimana bisa Ibu membawa kami belanja ke mal, sedangkan kebutuhan sehari-hari kami masih sangat kurang? Untuk makan saja, kami sangat kesulitan.
“Raya, ayo bangun, ganti baju dulu.”
Ia mengangguk, lalu bangun dan mengganti pakaiannya.
Aku masih bingung dengan sikap Ibu yang tiba-tiba punya uang banyak, dari mana ia dapatkan uang itu? Ataukah ada sumbangan dari warga karena Asih baru meninggal?
“Abang tidak ganti baju?”
Raya membuyarkan lamunanku, aku langsung terperanjat dan berdiri.
“Iya, ini mau ganti, kamu kedepan dulu nanti Abang menyusul.”
Raya mengangguk, lalu berlari meninggalkanku.
Tak menunggu waktu lama, aku segera mengganti pakaianku. Hawa tiba-tiba berubah menjadi dingin di saat aku sendirian di dalam kamar, hawa merinding menyelimutiku saat ini.
“Kok, dingin!” gumamku.
Namun, aku tetap tak menghiraukan, mungkin cuaca saat ini sedang dingin walaupun masih di siang hari.
“Bang, tungguin aku .…”
“Kenapa, Raya? Kan, kamu sudah di depan, harusnya kamu yang nungguin Abang,” ucapku sembari membenarkan kancing bajuku.
Namun aneh, tak ada sahutan dari Raya lagi.
“Raya? Kamu ada di depan kamar kan?” teriakku.
Hening.
“Raya? Kamu ngapain di si—tu?” tanyaku sembari membuka pintu kamar ini, tetapi tak ada siapa pun.
“Adrian! Cepat, ayo! Kok, lama banget, sih?!” teriak Ibu yang berada di depan teras.
“Sebentar!”
“Ibu sedang pesan taksi online, jadi kita hari ini mobil, deh.”
“Yey, asyik!” teriak Raya.
“Ibu dapat uang dari mana?” tatapanku tajam mengarah ke wajah Ibu.
“Kerja!” jawabnya singkat.
“Kerja apa, Bu? Jangan bilang kalau Ibu itu kerja jadi ….” Belum aku menyelesaikan ucapanku, Ibu sudah memotongnya.
“Eh, Adrian! Kamu nih, ya, masih kecil udah mikir begitu! Emang kamu tahu apa tentang kerjaan itu, hah? Pergaulan kamu sekarang bebas, ya! Oke, sekarang kamu nggak boleh keluar, nanti biarin Ibu sewa guru privat buat ngajar kamu di rumah!” ucapnya keras.
“Tapi, Bu ....”
“Kenapa? Kamu beberapa hari ini tidak sopan terus sama Ibu. Inget Adrian, ini Ibu kamu! Dan asal kamu tahu, Ibu nggak akan pernah kerja menjual diri!” bisik tepat di telingaku.
“Ayo, cepat! Taksinya sudah datang!”
Aku menghela napas panjang sembari memasuki taksi.
“Adrian, kamu di depan sama Pak Sopir aja,” ucap Ibu.
“Iya, Bu.”
“Ini benar, ya, Bu. Mau ke mal?” tanya Pak Sopir sembari mengendarai mobilnya.
“Iya, Pak, benar.”
“Bu, tadi Bapak telepon, lho. Ibu nggak liat di hape?” celetuk Raya.
“Oh, ya, sebentar Ibu periksa dulu.”
Aku hanya menengok ke belakang untuk memastikan Ibu, dia sedang men-scroll ponselnya.
“Kamu telepon balik, Raya?” tanya Ibu.
“Bukan Raya, Bi. Tapi, Abang,” sahut Raya.
“Udah, nggak apa-apa, nanti Ibu tanya Abang kalau udah pulang dari belanja. Pak! Agak cepetan dikit, ya!”
“Baik, Bu—”
“Raya, tolong pegangin Zaki, perut Ibu sakit.” Aku segera menoleh ke arah Ibu, terlihat Ibu merintih kesakitan.
“Bu, kenapa, Bu?” tanyaku.
“Perut Ibu sakit,” ucapnya pelan.
“Kita ke klinik dulu, Bu.”
“Ya udah, iya. Pak tolong berhenti di klinik terdekat, ya,” perintah Ibu ke Pak sopir.
“Baik, Bu.”
Aku takut terjadi sesuatu pada kandungan Ibu, apalagi kandungannya tergolong masih sangat muda.
Sopir melaju cukup kencang. Sudah beberapa menit berlalu. Namun, kami tak kunjung menemukan klinik.
“Nak, kita kesulitan menemukan klinik,” bisik Pak Sopir padaku.
“Tidak perlu klinik, juga tak apa-apa, Pak. Ayo, Pak, cepat. Kasihan Ibu saya,” timpalku.
“Adrian! Mana kliniknya? Kenapa belum sampai juga? Lebih baik Ibu turun saja,” rintih Ibu.
“Jangan, Bu, sebentar dulu.”
***
Sakit sekali perutku, aku sudah tak sanggup lagi untuk menahannya.
“Bu, itu sudah mau sampai klinik,” ucap Adrian.
Aku hanya mengangguk, sembari terus menahan rasa sakitku.
“Sudah sampai!” ucap Pak sopir.
“Ayo, Bu, sini aku bantu.” Anak lelakiku dengan sigap turun dan membantuku keluar.
Beruntung Raya dan Zaki tidak rewel, tidak merepotkanku.
“Tolong, Pak, tunggu sebentar sampai kami keluar memeriksa Ibu,” ucap Adrian.
Aku dituntun oleh Adrian hingga masuk klinik. Kemudian aku masuk ke dalam ruangan dan diperiksa oleh salah satu dokter di sini. Sedangkan anak-anakku menunggu di ruang tunggu.
“Ibu sedang hamil?” tanya dokter ini.
“Iya, Bu Dokter,” jawabku singkat.
Ibu dokter hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, aku takut terjadi sesuatu pada janinku. Tapi, kan, aku tidak menginginkan janin ini, untuk apa aku mengkhawatirkannya?
“Ibu bisa duduk?”
Aku mulai bangkit dan duduk di sebuah kursi tepat di depan Ibu dokter ini.
“Kandungan Ibu sangat muda sekali, masih berusia dua bulan. Lebih baik, Ibu jangan stres dan terlalu lelah,” ucap dokter.