HELP [Tamat]

By TintaBiru26

329K 24.4K 2.9K

Aksa bukan siapa-siapa dan tak punya apa-apa. Hidupnya hanya di isi dengan luka,kecewa dan air mata. Dirinya... More

Kilas balik
Tokoh
Awal dari semuanya
Keluarga baru Dika
keluarga baru Mona
Doa Arya
Terlambat?
Pingsan
Ikut senang
Alergi
Amarah
perundungan
khawatir
Sendirian
hal yang tak di inginkan
Aksa atau Rayyan?
bagaimana caranya?
Darren
haruskah?
andai Dika tau
Rencana tuhan
kenapa selalu aku?
Pertanda?
Sakit.
kenapa?
Harus kemana?
yang selalu ada
Haruskah berkorban?
haruskah berkorban? 2
Rasa yang tak biasa
Birthday Keenan
niat menolong
belum usai
Rayyan
sama-sama tumbang
tidak ada rasa kasihan
istirahat sejenak
Trauma
Kecewa
Sekedar Info
Bullying
di pendam sendiri
ternyata?
sama-sama takut
salah?
pertanda? 2
Kesakitannya
amarah?
berhenti berdetak?
Arka Bodoh
Mimpi dan kabar baik
satu kesakitannya terbongkar
tawanya
aku lagi?
siapa sebenarnya Calista?
Pergi.
jadi?
berawal
menyesal?
mulai mencari?
menghilang bak di telan bumi.
Baru
Dami-nya Rio
Akhir?
kepergiannya
Selesai
Good Bye
Cerita baru
GaReNdra
Baca dulu yukk

jadi seperti ini rasanya?

3.8K 352 47
By TintaBiru26

Disinilah Aksa, terduduk di salah satu kursi taman rumah sakit. Matanya mengedar, menatap orang-orang yang berlalu lalang. Disini ramai tetapi mengapa Aksa malah merasa kesepian? Jiwanya terasa kosong, hampa dan sunyi.

"Andai ayah disini, mungkin aku gak akan merasa sesepi ini. Aku kangen ayah... Aku ingin bertemu dan memeluk ayah. Kemana aku harus mencari ayah?" monolognya, bertanya kepada dirinya sendiri. Matanya sedikit berkaca-kaca.

"Ayah, apa ayah juga merindukan aku? Apa ayah juga mencari aku?"

'ayah...mereka jahat sama Aksa, Aksa salah apa? Tolong beritahu Aksa yah... Aksa ingin bersama ayah saja.'

Drttt...

Drttt...

Aksa merogoh saku celananya, mengambil benda pipih yang sedang bergetar.

Ibunya Aksa is calling

"Ibu?" lirih Aksa, ia menatap layar ponselnya. Haruskah ia mengangkat panggilan itu?

"Maaf bu... Tidak untuk sekarang, beri Aksa waktu..." lirihnya, ia biarkan benda pipih itu terus bergetar hingga mati dengan sendirinya.

"Abang cariin, ternyata kamu disini." seseorang datang sembari mengusak puncak kepala Aksa lembut. Refleks, Aksa menoleh. Ahh---Rio. Aksa tersenyum.

"Abang?"

"Sedang apa heum?" Rio bertanya seraya mendudukkan dirinya di samping Aksa. Aksa menggeleng kecil, senyumnya masih terukir.

"Gak lagi apa-apa kok bang, hanya sedang menikmati angin."

"Angin, tidak bagus untuk kesehatan kamu Dami. Ayok, kembali ke kamar. Istira---"

"Semalaman aku sudah tertidur, lagian aku bosan di kamar, sendirian tidak ada teman. Tubuhku juga sudah baik-baik saja."

"Tapi tetap saja, kondisi kamu belum stabil. Katanya pengen cepet-cepet, di lepas infusannya. Kalau seperti ini, kapan di lepasnya heum?" Rio menatap lembut mata Aksa.

"Kenapa tidak di lepas sekarang? Tangan ku sudah terasa kebas bang. Lepas yaa? Please..." Aksa memperlihatkan puppy eyes nya. Membuat tangan Rio refleks terangkat, mengacak gemas puncak kepala Aksa.

"Gemas banget si Dami-nya Abang ini.."

"Ahh Abang..." rengek Aksa, bibirnya mengerucut. Rambutnya yang sedikit berantakan itu bertambah berantakan gara-gara Rio. Bukannya merasa tidak enak atau gimana, Rio justru tertawa kencang. Raut wajah Aksa begitu menggemaskan menurutnya, apalagi dengan bibirnya yang sedikit mengerucut.

"Umur berapa si kamu dek? Gemas banget. TK dimana?"

"Aishh, tau ahh..." Aksa membuang muka, bibirnya masih mengerucut. Mengapa ada seorang dokter seperti Rio?

"Aish...aishh... Kok ngambek, yaudah-yaudah Abang minta maaf. Sekarang, kita kembali keruang rawat kamu. Habiskan infusan itu, setelahnya Abang cabut. "

Bibir Aksa yang semula cemberut kini telah berubah membentuk senyuman.

"Serius?" tanya Aksa antusias, Rio mengangguk.

"Yeayy... Ahh... Akhirnya, bebas juga dari infusan. Paipai," tangan Aksa yang terbebas dari infusan melambai-lambai ke satu tangannya yang sedang tertempel selang infus. Membuat Rio tertawa.

Di sisi lain, Mona sedang menggerutu kesal. Mengenggam kuat ponselnya.

"Anak itu pasti sedang menghindar, awas aja kalau ketemu nanti akan saya beri hukuman," ucap Mona, wajahnya terlihat memerah.

"Ibu..." panggil Arya, lelaki itu sedari tadi terdiam. Banyak yang ia pikirkan, salah satunya adalah bagaimana caranya menyembuhkan Rayyan tanpa menyiksa Rayyan lebih lama.

"Sebelumnya, aku udah hubungi dia. Bukan gak mungkin, saat ini dia sedang berusaha menghindar. Tapi, kita harus main halus. Jangan terlalu memaksa dia, kita biarkan dia dekat dengan Rayyan sembari bujuk anak itu pelan-pelan. Aku yakin anak itu akan menurut, apalagi jika ibu yang merayu."

Mona terdiam, apa yang Arya ucapkan ada benarnya juga. Ingat kata Zaidan, perlahan tapi pasti.

"Kita biarkan semuanya seperti biasa, anak itu tinggal di rumah, menjaga Rayyan. Setelah itu, perlahan tapi pasti. Hati anak itu akan berpindah ke dalam tubuh Rayyan."

"Kamu benar, kita harus main halus. Ibu akan temui anak itu baik-baik. Sekarang, kamu kembali ke ruang rawat Rayyan, pantau adik kamu. Pastikan kalau adik tidak kenapa-kenapa. Ibu pergi sebentar."

Arya mengangguk.

******

"Aishh, padahal besok hari ulang tahun gue. Tapi kenapa lo malah disini bang, lo gak mau gitu ikut ngerayain ultah adek kelas lo yang paling ganteng ini?" ucap Keenan, lelaki itu tengah berada di dalam ruang rawat Rayyan bersama Zaidan,Darren dan Arka.

"Cihh, ganteng dari mana nya? Masih gantengan juga gue. Lo mah apaan, cuma serpihan debu." ucap Zaidan seraya merapihkan kerah bajunya.

"Masih mending gua, dari pada lo, kutil unta."

"Enak aja, kutu monyet."

"Yee kutil unta,"

"Kutu monyet,"

"Kutil unta, wlee..."

"Ku--"

"Bang Zaidan, Keenan stop. Lo berdua bisa gak sih sehari aja gak ribut. Gak di rumah gak dimana, sesuai kan diri bisa? Kasihan Rayyan, kasihan bang Darren."

Hening.

Zaidan dan Keenan sama-sama menoleh ke arah Darren yang tengah menatap sendu wajah pucat Rayyan yang masih terpejam.

"Ya dia nyebelin, pake segala bilang gua serpihan debu lah. Kutu monyet lah. Padahal dia kutil unta, mending diem."

"Tuh kan, Lo yang lebih nyebelin. Kutu monyet, serpihan debu, bubuk ranginang, serbuk nu---"

"Bang Zaidan stop! Jangan mulai lagi deh. Gua capek de---"

Eughh...

Lenguhan Rayyan berhasil menghentikan ucapan Arka. Lelaki itu refleks menyebut nama Rayyan. Tidak, tidak hanya Arka melainkan Darren juga.

"Rayyan?"

"A-ak-sa..." lirih Rayyan, kelopak matanya terbuka perlahan.

Hening.

Mereka semua terdiam, apa yang harus mereka lakukan?

"A-ak-sa... A-aksa, di-ma-na..." ucap Rayyan terbata, matanya mengedar, mencari sosok Aksa. Tapi tak ia temui.

"I-ingin Ak-sa..."

Seseorang datang, terduduk di pinggiran brankar, mengelus puncak kepala Rayyan lembut. Arya.

"Ibu sama ayah sedang mencari anak itu dek, sabar ya?"

Rayyan menatap Aksa, begitu pula yang lainnya.

"Jangan jahatin dia lagi bang, dia anak baik." Arya mengangguk.

"Waktu aku tertidur, aku melihat dia menangis sendirian. Wajahnya terlihat kesakitan. Mau aku samperin tapi tidak bisa, sampe satu cahaya datang, membawa dia pergi. A-aku, gak mau dia pergi. A-aku mau buat di seneng dulu sebelum aku pergi. Ayok bang, bawa Aksa kesini. Aku tidak mau menyesal lebih dalam lagi."

Hening.

"Bang ayok... Cari dia, bawa dia kesini. Aku butuh dia..."

Masih sama, tak ada yang menanggapi.

"Tadi, kalau gua gak salah lihat. Aksa ada disini memakai baju pasien. Sepertinya dia sedang di rawat juga disini." ucap Zaidan tiba-tiba.

"Apa?" pekik Arka pelan.

"Kalau gua gak salah lihat,"

"Berarti anak itu ada disini? Kalau begitu, biar gua yang cari. Bang, Ka, Dan, Nan. Kalian jaga Rayyan, gua mau cara anak itu."

"Bawa Aksa kesini ya bang?" Lirih Rayyan, Darren tak menanggapi. Lelaki itu terus melangkah, keluar ruang rawat Rayyan.

Hening.

Mereka terdiam dengan pikiran mereka masing-masing.

"Anak itu ada disini? Tapi kenapa tadi tidak mengangkat telfon ibu? Apa anak itu sengaja menghindar?" batin Arya.

"Anak itu ada disini? Benarkah? Ahh--mungkin bang Zaidan salah lihat." batin Arka.

"Gua gak peduli, anak itu ada disini atau enggak. Gua gak peduli anak itu sedang sakit atau engga, bahkan mati sekali pun kaya nya gua juga gak akan peduli. Biarkan saja," batin Keenan.

"Bang Zaidan bilang, Lo ada disini pake baju pasien. Itu tandanya, Lo lagi gak baik-baik aja ya Sa? Lo sakit, lo di rawat, tapi baik bunda ataupun kita gak ada yang nemenin. Padahal sebelumnya gua udah janji untuk selalu ada buat lo. Sakit banget ya Sa? Maafin gua.." batin Rayyan.

"Gua yakin itu Aksa, karena jelas banget. Tapi kenapa? Ada apa dengan anak itu? Ahh--kenapa juga harus Lo peduli Zaidan, biar kan saja." batin Zaidan.

*******

"Bang..." Aksa melangkah ragu-ragu memasuki rumah Rio. Apalagi, tadi Rio bilang papinya baru aja balik dari Kanada. Aksa benar-benar gugup.

"Bang, a-aku cari kost-an aja ya bang? A-aku takut."

"Jangan takut Dami, papinya Abang gak bakal gigit ko. Bukannya, dari dulu kamu ingin bertemu dengan papi nya Abang?"

"Tapi apa bisa?"

Rio menatap Aksa, pernyataan macam apa itu? Ya, jelas bisa. Tinggal bertatap muka, maka itu sudah di anggap pertemuan bukan?

"Ya bisa, tinggal tatap muka. Setalah itu, kamu bakal tau papinya Abang kaya gimana."

"Bukan itu maksud aku, maksud aku a-apa papi nya Abang bakal nerima aku? Karena banyak di luaran sana yang---"

"Setiap manusia itu beda-beda Dami, belum tentu apa yang kita suka di sukai balik sama orang. Begitu pun sebaliknya. Lebih baik sekarang kita masuk, dan ketemu sama papi nya Abang. Papinya Abang jahat kok, cuma agak..." Rio menggantungkan kalimatnya, menatap wajah Aksa yang terlihat sedikit menegang.

"A-agak?"

"Agak...pilih-pilih orang,"

"Ahh Abang, tuh kan. Aku pergi aja deh. Papi nya Abang pasti gak suka sama aku. "

"E-eh, a-abang hanya bercanda Dami haha..." Rio tertawa, melihat Aksa yang hendak pergi, beruntungnya Rio dapat mencegah Aksa.

"Abang..."

"EKHEM!"

Aksa menegang saat suara bariton seseorang terdengar. Jantungnya berdegup cepat kala melihat seorang lelaki tengah berdiri di ambang pintu dengan bersidekap dada.

"P-papi? Ahh---apa kabar? Rio kangen," Rio, lelaki itu memeluk tubuh seorang lelaki yang di panggil dengan panggilan 'papi' itu.

Lelaki itu hanya terdiam, tak membalas pelukan Rio. Matanya menelisik Aksa dari atas hingga ke bawah. Aksa yang di tatap seperti itu segera menelan ludahnya susah payah.

"Siapa dia?"

"Ah? Oh kenalin Pi dia---"

"Jadi, karena anak ini kamu tidak bisa menjemput papi di bandara?"

Rio terdiam, menatap papinya dengan tatapan yang sangat sulit di artikan. Setelahnya, ia menatap Aksa yang sedang menundukkan kepala seraya meremas kedua tangannya.

"Pi..."

"M-maaf om, A---"

Lelaki itu mengangkat dagu Aksa, wajah Aksa berubah pias di lakukan seperti itu. Apa, lelaki kekar dengan rahang yang tegas itu akan menamparnya? Memarahinya? Ahh--sudah Aksa bilang, dirinya lebih baik tidak bertemu dengan orang baru yang mungkin saja tidak mau menerimanya.

"Ahahaha... Lucunya..." Lelaki itu, meng-uyel-uyel pipi Aksa gemas. Aksa sedikit menganga. Sementara Rio hanya mengulas senyum.

"Kamu dapet anak beruang dari mana? Gemas sekali..." Lelaki itu terus menguyel pipi Aksa, sang empunya pipi hanya terdiam, menatap polos lelaki di hadapannya.

"Ahh papi... Bikin jantungan tau gak? Aku kira papi akan memarahinya..."

"Tidak mungkin papi memarahi anak segemas ini Rio, kamu dapet dimana? Kenapa baru di pertemukan dengan papi heum?"

"Haha, papi ini ada-ada saja. Lihat, wajah dia masih kebingungan di campur dengan rasa takut."

"Ahh, lucunyaa... Sini-sini, papi peluk." Lelaki itu membawa tubuh Aksa kedalam pelukannya.

"Ahh, papi ingin bayi beruang ini Rio. Bayi beruang ini untuk papi oke?"

"O-om? A-apa---"

"Panggil papi, " ucap lelaki itu. Seraya melepas pelukan.

"Bisa? Ahh--maksudnya boleh?" Aksa menatap lelaki itu dan Rio secara bergantian.

"Tentu kenapa tidak?"

"Bang?" Aksa menatap Rio, Rio hanya mengangguk-anggukan kepalanya seraya tersenyum. Setelah itu, Aksa kembali menatap lelaki itu.

"B-boleh gak, k-kalau aku panggil ayah?"

"APA?"

Aksa tersentak kaget, bukan, bukan hanya Aksa tetapi Rio juga.

"Bayi beruang ku ingin memanggil papinya dengan sebutan ayah? Tentu saja boleh kenapa tidak? Panggil ayah, ayok panggil ayah."

"Papi..." Kesal Rio, kenapa juga mesti teriak. Kan bikin jantungan. Lelaki itu tidak menanggapi. Ia malah menatap Aksa dengan penuh binar.

"Ayok panggil ayah, papi ingin dengar."

"A-ayah," ucap Aksa sedikit ragu.

"Ahhh...lucunyaa," Rio memutar bola matanya malas, sudah berapa kali papinya itu memuji Aksa? Rio bosan mendengarnya.

"Papi lebay deh..."

"Papi ganteng, papi diam."

"Hahaha," tawa Aksa terdengar, membuat Rio serta Farris. Papinya, Rio terdiam. Ini kali pertama , Rio mendengar tawa Aksa.

"Aishh, suara apa itu?"

Aksa menghentikan tawanya, menatap Farris takut-takut, ia membekap mulutnya dengan kedua tangannya.

"Ahh bayi beruang ku tertawa... Lucunya..." Sorak Farris senang. Rio tertawa mendengar itu.

"A-ayah, b-boleh a-aku meminta sesuatu?"

"RIO!"

Lagi, Rio dan Aksa di buat terkejut.

"Lihat lah anak ini, ini kali pertama kita bertemu. Anak ini sudah berani meminta sesuatu."

Aksa menundukkan kepalanya, merasa tidak enak.

"M-maaf om ahh--Ayah,"

Farris tertawa, "ayah bercanda, mau minta apa heum? Ayah akan turuti semua kemauan bayi beruang ayah. Ayo katakan."

"Papi bikin kesel deh, bikin jantungan. Kenapa sih, sifat nya gak pernah berubah?" Kesal Rio.

"Syuut.. kamu diam. Ayok sayang, katakan apa yang kamu mau?"

"Ahh? T-tidak jadi ayah," Aksa merasa tidak enak. Padahal dia ingin.

"Jangan sungkan, sekarang, kamu anak ayah, dan ayah adalah ayah kamu. Kamu ingin meminta apa? Ayok bilang?"

"Peluk, boleh?"

Tanpa ragu, Farris segera merengkuh tubuh Aksa. Mengelus kepala Aksa pelan. Aksa yang di perlakukan sepeti itu, tak dapat menahan air matanya. Ini yang selama ini ia cari, ini yang selama ini ia butuhkan. Pelukan hangat dari sosok seorang ayah.

'Ya Allah, jadi begini rasanya di peluk oleh seorang ayah? Hangat sekali, Aksa suka.'

"Terimakasih ayah, A-aksa senang." Farris mengangguk seraya tersenyum.

"Ayah juga senang sayang, jangan sungkan untuk meminta apapun kepada ayah heum?"

Aksa tak menanggapi, lelaki itu hanya tersenyum. Air matanya masih mengalir. Farris melepaskan pelukannya.

"Ahh, lucunya.. kenapa manis dan tampan sekali anak ini ya tuhan..." Farris, mengusap pipi Aksa, menghapus air mata Aksa. Aksa tersenyum. Begitu juga Rio yang sedari tadi melihatnya.

"Abang senang melihat kamu tersenyum seperti itu dek, Abang rela berbagi asal Abang bisa lihat senyum kamu yang manis itu setiap hari."


ALOHAAA.....

SELAMAT MALAM HIHI

BAGAIMANA DENGAN CHAPTER INI? TIDAK MENGANDUNG BAWANG KAN? SENGAJA, AKU INGIN BUAT AKSA BAHAGIA SESEKALI, SEBELUM AKSA DI BUAT LEBIH MENDERITA WKWKWK...(TERTAWA JAHAT)

Maafin yaa, makin gak jelas🙏

Aku ngantuk, mau tidur... Paipai🖐️

Continue Reading

You'll Also Like

202K 27.4K 33
Summary : Angkasa dan Samudra pernah sedekat nadi sebelum sama sama memutuskan untuk mengambil langkah mundur dan menciptakan jarak lebar membentang...
Januari By TATA

Teen Fiction

222K 27.2K 31
Katanya, Januari adalah awal. Dan ternyata benar. Januari adalah bagaimana ia kehilangan dan kemudian dipatahkan. Januari adalah bagaimana semesta me...
124K 3.6K 40
"Udah gue bilang kan, sekali pun bekas lo pasti gue makan" Samuel Wiratama, ketua dari salah satu geng motor yang ada di Jakarta 'Warrior'. Samuel me...
18.3K 1.5K 21
Bukan kisah seorang badboy yang bertemu dengan perempuannya, bukan kisah benci yang menjadi cinta, bahkan bukan kisah sahabat kecil yang mejadi teman...