IMAMA AL-HAFIDZH

By triilyynaa

9.8M 997K 171K

[SUDAH TERBIT] Novel tersedia di Gramedia dan TBO Apakah kalian pernah menemukan seorang pemuda laki-laki yan... More

⚠️ S P O I L E R ⚠️
01. IAH - Pacaran
02. IAH - Bertemu Seorang Pemuda
03. IAH - Kembali pulang ke Rumah
04. IAH - Imama Al-Hafidzh
05. IAH - Dijodohkan oleh sang Abi
06. IAH - Menikah
07. IAH - Malam Pernikahan
08. IAH - Rumah di dalam Hutan
09. IAH - Cerita dari Imama
10. IAH - Romantis Ala Rasulullah
11. IAH - Tentang Hisab Kelak
12. IAH - Cerita dari Alisha
13. IAH - Bertemu dengan Masa Lalu
14. IAH - Berhenti untuk Berharap
15. IAH - Dua Lelaki itu saling Kenal dekat
16. IAH - Sempurna itu cinta mereka
17. IAH - Kehilangan
18. IAH - Menyimpan Kecurigaan
19. IAH - Kewajiban Seorang Istri?
20. IAH - Tahajud Bersamamu
21. IAH - Romantis Ala Imama
22. IAH - Tiga Gadis SMA
23. IAH - Cinta atau Nafsu?
24. IAH - Kecewa dalam ketidakjujuran
25. IAH - Pengakuan sebenarnya
26. IAH - Dia adalah Raden
27. IAH - GUS DAN NING
28. IAH - Tentang Irama, Saudaranya.
29. IAH - Iqbal menjadi lebih baik
30. IAH - Pesantren Al-Hafizma
31. IAH - Uji Keimanan dari Hafizma untuk Imama
32. IAH - Cinta Mereka di Ndalem
33. IAH - Tentang Wanita Tarim
34. IAH - Iqbal putus
35. IAH - Perjanjian Hafizma dan Syarat Irama
36. IAH - Menikah Lagi
37. IAH - Rahasia yang berakibat salahpaham
38. IAH - Kerja Sama
39. IAH - Cinta sang Gadis
40. IAH - Kabar Palsu
41. IAH - Hanya Satu Wanita
42. IAH - Ngidam aneh
43. IAH - Kejadian di Pasar
44. IAH - Berita Bahagia
46. IAH - Hijrahnya Ikara
47. IAH - Hidayah yang datang tiba-tiba
48. IAH - Perkelahian
49. IAH - Ima dan Ama
50. IAH - Mengingat Kembali
51. IAH - Berhati-hati untuk ke depannya
52. IAH - Ziarah ke Makam Bunda
53. IAH - Datangnya sosok Pria Asing
54. IAH - Fitnah diantara dua pihak
55. IAH - Salah paham yang kian Menjadi
56. IAH - Menyelesaikan Masalah dengan tenang
57. IAH - Sakit Demam
58. IAH - Terperangkap di Gudang
59. IAH - Kepergian Sang Nahkoda?
60. IAH - Kepulangan yang Abadi.
EXTRA PART + Pesan dan Kesan
ATHALLAH DAN HAFIZMA, PUBLISH.
IMAMA SEGERA TERBIT!
PRE-ORDER IMAMA AL-HAFIDZH

45. IAH - Mati sama-sama

96.3K 11K 991
By triilyynaa

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

۞اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ، وَعَلَىٰ آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ۞
[Allahuma sholi ala sayyidina Muhammad, wa ala ali sayyidina Muhammad.]


•••

Sebuah mobil kini berhenti tepat di depan pintu gerbang rumah bertingkat. Merasa ada kejanggalan di perjalanan menuju gerbang, pemilik mobil itu pun langsung keluar dari mobilnya dan sedikit berlari mendekat ke arah seorang gadis yang baru saja telah keluar dari pintu gerbang dengan membawa koper.

"Fatim!" teriaknya, membuat gadis yang dipanggil itu pun menoleh.

"Kamu mau ke mana? Kenapa bawa koper. Koper siapa ini?" Bryan, lelaki itu begitu sangat antusias menanyakan apa yang telah terjadi pada gadis itu, Fatim. Kenapa bisa dia membawa sebuah koper dan seperti ingin pergi dari rumahnya?

Fatim, dia menundukkan kepalanya. "I-iya, maaf, Pak. Sebelumnya maaf kalau saya nggak bilang dulu sama Bapak. Tapi saya izin pergi dari rumah Bapak untuk kembali pulang ke rumah. Maaf sekali lagi, Pak."

"Pulang ke rumah?" Bryan masih tak mengerti. "Tunggu, kalau kamu mau pulang ke rumah kamu, harusnya kamu itu bilang dulu sama saya. Kenapa jadi buru-buru seperti ini? Ayo ceritakan apa yang membuat kamu ingin pulang, kita masuk ke dalam rumah." Bryan mengajak Fatim untuk masuk ke dalam rumahnya kembali.

Namun Fatim menolak uluran tangan dari Bryan. Ia menggeleng. "Emm.. Nggak, Pak. Saya beneran ingin pulang ke rumah. Setelah saya pikir, ingatan saya bener-bener udah pulih sepenuhnya. Dan saya ingin pulang ke rumah saya."

"Tapi kenapa buru-buru?"

"AKU USIR!" tiba-tiba terdengar suara teriakan dari jendela atas kamar milik Devvy yang berhasil menyahut ucapan Bryan.

Bryan terkejut. Ia mendongakkan kepalanya ke atas, menatap Devvy yang memunculkan diri di jendelanya. "Devvy! Why did you throw her out?!" murka Bryan.

Devvy menarik napas panjang, sebelum ia berteriak, "SHE IS EVIL! DIA GAK MAU BANTU AKU DAN MALAH DUKUNG SI PEREMPUAN ITU!" tegasnya.

"PEREMPUAN APA MAKSUDMU?" tanya Bryan masih tak mengerti pada adiknya.

Melihat kekacauan yang takutnya akan semakin membesar nanti. Fatim yang sesaat diam pun kini mulai sedikit mencegah Bryan dan menenangkannya. "Pak... udah, Pak. Nggak usah ribut sama Mbak Devvy. Saya aja yang pergi, Pak."

Bryan mengalihkan tatapannya pada Fatim, ia masih diam tak bersuara. Yang tak lama, terdengar teriakan lagi. "USIR DIA, KAKKKKK!! AKU GAK MAU TAU DIA HARUS PERGI DARI SINI DAN JANGAN PERNAH BAWA DIA KE SINI. BIARIN DIA PULANG!"

"Dev-" dengan tangan yang sudah mengepal ingin masuk ke dalam rumah, tiba-tiba Fatim mencegah Bryan dengan menyentuh lengannya. Hal itu spontan membuat Bryan berhenti melangkah.

Fatim refleks melepaskan sentuhannya. Ia gugup dengan apa yang dilakukan olehnya barusan. "M-maaf, Pak. S-saya nggak maksud untuk nyentuh Bapak."

Bryan mengangguk. Ia tak terlalu memperdulikan tentang hal itu. Tapi berbeda dengan Fatim yang sangat menyesal dikarenakan mereka itu bukan mahram. "Tidak apa-apa. Tapi saya tidak bisa biarkan Devvy melakukan ini sama kamu."

"Nggak apa-apa, Pak. Sebelum Mbak Devvy usir... saya juga mau kembali pulang ke rumah saya." Perjelas Devvy.

Bryan membuang napas berat. "Yaudah kalau kamu maunya seperti itu. Baik, ayo saya antar."

"Nggak perl-"

"Saya antar, ya?"

Fatim menunduk. Tak ada kalimat lagi yang berani keluar dari mulutnya selain menurut tentang apa yang Bryan inginkan.

"Baik, Pak. Makasih..."

•••

Pukul 14.00 sore.

Kembali kepada ketujuh Hafizma dan satu perempuan yang kini berstatus istri dari pemimpin pertama mereka. Mereka kini telah kembali pulang ke Asrama setelah menghabiskan waktu beberapa jam di rumah sakit. Saat ini pun, mereka semua berjalan menuju Ndalem Kyai Hafizh. Para Hafizma mengantarkan Imama yang ingin membawa istrinya pulang beristirahat.

"Eh, ada tamu, ya?" celetuk Alisha saat ia merasa di dalam Ndalem seperti sangat ramai.

Imama menggeleng. "Nggak tau, Na. Yaudah masuk aja, yuk." Ajak Imama, Alisha pun lantas mengangguk menuruti.

Setelah mereka sampai di dalam seraya mengucapkan salam diikuti oleh para Hafizma. Kini Imama dan Alisha terkejut saat melihat kehadiran seseorang di ruang tamu dengan duduk di tikar bersama ayahnya, Kyai Hafizh.

Mata Alisha pun berbinar menatap sang tamu itu. "UMI? ABIII?!" lantas Alisha berlari dengan memeluk orangtuanya yang sangat teramat ia rindukan. Pelukan itu pun diterima oleh keduanya dengan senyuman.

"Aaaa kangeeennnn," cicit Alisha dalam pelukan uminya. Di mana membuat para orang-orang yang berada di sana hanya bisa tersenyum dengan terharu.

"Iyaa, Nak. Umi jugaa kangennn sekali sama Alish." Tiba-tiba Umi Fatimah melepaskan pelukan dan menangkup pipi putrinya yang tertutup cadar itu. "Alish gimana kabarnya selama di sini? Baik, kan?"

Alisha mengangguk. "Iya, Umi. Alhamdulillah... Alish sehat kok di sini. Aaa Alish kangen masakan Umi..." Alisha kembali memeluk uminya.

Umi Fatimah terkekeh dengan ikut membalas pelukan tersebut. Lantas tak lama ada yang berdeham singkat, seperti cemburu jika didengar. "Ehm... Abi nggak diajak, nih?"

Spontan Alisha melepas pelukan dan menatap ke sebelahnya. Ternyata abinya itu sedang cemburu karena ia hanya memeluk uminya saja. "Iya, iyaa... Abi juga kok. Sayang Abi...." Alisha beralih memeluk abinya.

Sampai-sampai hal itu juga kembali dicemburui oleh seorang pemuda lelaki yang ikut duduk di tikar sebelah Abi Jaffar. Dia berdeham. "Mantunya nggak diajak?"

Lantas mereka semua tertawa dengan bersamaan yang tak lama Abi Jaffar langsung membawa Imama kepelukannya. Ia mengelus punggung laki-laki itu. "Bagaimana kabarmu?"

"Alhamdulillah, baik, Abi..."

"Tanganmu?"

Imama melepaskan pelukannya dengan terkekeh kecil. "Juga baik."

Alisha mengulas senyum saat melihat keakraban Abi dan suaminya. Lantas ia kembali menatap Umi Fatimah. "Kok Umi... Sama Abi ke sini nggak bilang-bilang dulu sama Alish?"

"Ya biar surprise dong, Al," kini setelah puluhan menit berkumpul, Iqbal baru muncul di hadapan keluarganya. Ia saat ini mendekat ke Umi dan abinya untuk menyalami. "Kok udah sampai aja, sih, Bi? Katanya mau malem?"

"Kalau malam kelamaan, umimu udah kangen sama adik kamu," ujar Abi Jaffar menjawab. Iqbal pun terkekeh.

"Umi, mah, baru sehari dua hari ditinggal.. Udah kangen aja. Dulu Iqbal gak pulang sampai satu minggu gak dicariin tuh," ketus Iqbal.

"Karena Kak Iqbal itu laki-laki. Jadi nggak perlu dicemasin. Yang perlu dicemasin itu anak perempuan orang lain. Takutnya gak dijaga baik-baik sama Kak Iqbal. Iya, kan, Mi?" Alisha menoleh ke arah uminya.

"Sok tau kamu. Ya pasti Kak Iqbal jagain lah kalau perempuan. Gini-gini Kak Iqbal sangat meneladani cara sosok Imama Al-Hafidzh. Kalau kerayu sama godaan sesuatu atau perempuan, tinggal bakar aja tangan tuh perempuan."

Dahi Alisha berkerut. "Kok malah tangan perempuannya?"

"Ya kalau tangan Kakak sendiri ya sakit lah, Al. Mana berani. Hih... Bayanginnya aja udah kayak mau sakaratul maut." Seketika Iqbal merinding saat selesai mengatakannya.

Semua yang berada di ruangan tamu tersebut terkekeh mendengar ucapan Iqbal itu. Alisha menggelengkan kepalanya. "Ya kebalik dong, Kak. Harusnya tangan Kak Iqbal yang dibakar. Kok malah perempuannya? Kasihan tau..."

"Dih, buat apa dikasihani? Dia aja suka bangkitin syahwat dan selalu godain kaum laki-laki. Pakai suara diimutin, matanya yang di kedipin, dan lain-lain yang lebih parah dari itu. Jadi dia yang harus tanggung jawab."

Alisha mengerucutkan bibirnya. "Ih, Kak Iqbal kenapa, sih, perempuan terus yang disalahkan. Kapan coba laki-lakinya?"

Mendengar itu, lantas Iqbal langsung memalingkan wajahnya. "Iya deh, iya. Perempuan itu selalu benar. Apalagi yang lagi dihadapin sekarang perempuan yang lagi hamil, ya... Harus dimaklumi lahir batin ini, mah."

Sontak ucapan Iqbal itu mampu terdengar jelas oleh semua yang berada di ruang tamu. Termasuk Kyai Hafizh, Abi Jaffar, Umi Fatimah dan Izara. Mereka sedikit tertegun dengan satu kalimat yang dikeluarkan oleh Iqbal.

"Apa, Nak? Siapa yang hamil?"

•••

Beberapa jam kemudian, setelah usai Imama dan Alisha menceritakan tentang apa yang terjadi, mereka semua pun langsung melaksanakan salat asar berjamaah saat tiba waktunya. Lalu ketika telah selesai, mereka kembali berkumpul di Ndalem dengan bercerita banyak hal antar keluarga. Para lelaki berada di ruangan tamu dengan bercerita tentang Pondok dan sebagainya. Sedangkan para perempuan telah berada di dapur. Yaitu Umi Fatimah, Alisha dan Izara. Mereka bertiga ingin menyiapkan masakan untuk berbuka puasa nanti. Ya, semuanya berpuasa kecuali Alisha. Karena perempuan itu telah berbuka puasa sejak berada di rumah sakit tadi. Contohnya saat ia tak bisa lagi menahan memakan kurma.

"Resep Umi the best," ucap Izara saat menghirup aroma sup yang diresep oleh Umi Fatimah.

Alisha terkekeh dengan mendekat. "Iya, dong, Ra. Uminya siapa dulu..."

Lantas mereka bertiga terkekeh bersamaan. "Sudah-sudah, ayo bawa ke ruang tamu. Kita bawa cemilan dulu sama minuman untuk buka. Kalau nasinya, itu bisa kita lanjutkan selepas salat magrib." Jelas Umi Fatimah, yang membuat kedua perempuan itu mengangguk setuju.

"Umi sama Ara duluan aja. Ini Alish mau angkat telepon dulu," ujar Alisha saat ia melihat handphone-nya berbunyi.

Dan benar Umi Fatimah juga Izara pergi dulu meninggalkannya di dapur. Merasa ia sudah sendiri, ia pun mulai mengangkat panggilan telepon itu.

"AAA ALISHAAA!" teriak seorang gadis saat panggilan telepon itu telah terhubung.

Alisha terkejut mendengar teriakannya, spontan ia menjauhkan handphone dari telinganya. Selepas sunyi, kembali Alisha letakkan handphone itu di telinga. "Iya-Iya, Nay. Ini Alish... Ucap salam dulu, jangan teriak-teriak..."

Nayyara, gadis itu terkekeh. "Iya-iya, maaf, Al... namanya kangen sama kamu. Yaudah nih, assalamualaikum..."

"Nah, gitu... Waalaikumussalam. Gimana kabar kamu, Nay?"

"Alhamdulillah, baik, Al. Oh iya, Al.. Aku punya kabar gembira deh buat kamu."

Dahi Alisha berkerut. "Kabar gembira? Kabar apa tuh?"

"Coba deh, tebak. Kamu tau nggak aku sekarang ada di mana dan di kamar siapa?"

Merasa tidak bisa menebaknya, Alisha menjawab dengan gelengan. "Nggak tau, emang kamu ada di mana?"

"Ih, ayo dong tebak. Gini aja, sekarang kamu tebak aku lagi sama siapa?"


Alisha terdiam berpikir. Sehingga Nayyara yang tak kunjung mendengar Alisha bicara, ia berdeham singkat. "Oke, deh... Ini aku kasih tau. Coba kenalin ini suara siapa?"

Alisha membubarkan lamunannya dan kembali fokus pada lanjutan kalimat Nayyara di telepon. Sehingga ia dikagetkan dengan suara seseorang selain Nayyara.

"ALISSSSSHHHH!!!"

Deg

Kedua mata Alisha berbinar saat itu juga ketika ia mendengar teriakan itu. "F-FATIM? INI KAMUUU??"

•••

Pukul 20.00 malam.

Selepas mengantarkan kepulangan Abi Jaffar dan Umi Fatimah di depan pintu Ndalem. Alisha, perempuan itu langsung menuju kamarnya dengan melangkah lelah. Hal itu pun langsung membuat Imama melirik aneh sang istrinya. Segera ia izin kepada ayahnya, Kyai Hafizh-yang masih berdiri depan teras rumah itu. Untuk mengizinkannya agar beristirahat lebih dulu. Kyai Hafizh pun mengangguk dan memahami. Setelah mendapat izin, barulah Imama masuk ke kamarnya menyusul istrinya.

Imama membuka pintu kamar dan menatap Alisha yang sudah berdiri di depan jendela dengan menatap langit seraya melamun. Imama pun tersenyum dan perlahan menghampiri.

"Na? Kamu kenapa?"

Alisha menoleh ke sampingnya. "Nggak apa-apa kok." Katanya tersenyum, cadarnya telah ia lepas. Di mana Imama sangat melihat jelas bahwa wajah istrinya itu tampak sedang galau.

"Saya pikir bukan itu," ucap Imama, tak percaya. Ia kini perlahan duduk di pinggir kasur. Tak lama, ia menepuk kasur sampingnya itu. "Ayo sini, coba cerita sama saya. Saya ada waktu untuk kamu."

Alisha menggelengkan kepalanya. Sedikit ia tersenyum tipis untuk membuat suaminya itu percaya. "Nggak apa-apa, Afizh. Nana itu cuma...."

"Cuma apa, hm?"

Alisha membuang napas berat. Kepalanya telah menunduk ke bawah. "Kenapa Abi sama Umi gak mau nginep di sini dulu? Kan anaknya masih kangen...."

Imama tersenyum. Ternyata itu alasan istrinya mengubah raut wajahnya menjadi murung. Memang ia tadi mendengar bahwa sebelum mertuanya itu pulang, istrinya meminta-minta pada Umi untuk menginap di sini. Namun mereka menolak karena beberapa alasan yang penting, yang membuat mereka tak bisa menuruti keinginan putrinya. Kembali Imama tepuk kasur di sampingnya. "Ayo sini, saya mau bicara."

Menurut. Alisha mendekat ke Imama dan duduk di samping lelaki itu.

"Masih rindu sama Umi, ya?" tanya Imama mengelus lembut kepala Alisha. Alisha mengangguk mengiakan.

"Iya."

"Yaudah, besok kalau kamu mau. Saya bisa antar kamu ke sana. Kita main-main ke rumah Umi sama Abi," ucap Imama.

Sontak membuat Alisha terkejut, matanya berbinar bahagia. "Beneran?" tanyanya, masih tak percaya. Ketika ia mendapat jawaban anggukan dari Imama, segera ia ingin berterima kasih dengan memeluk suaminya itu. Belum saja memeluk, Imama malah menghindar dari sentuhan istrinya.

Alisha mengernyit bingung saat Imama menolak untuk di peluk.

"Eits.. Jangan peluk dulu." Kata Imama.

"Kenapa?"

"Ada wudu," jawabnya.

Alisha masih tak mengerti. Wudu? Ingin salat apa? Bukankah suaminya itu sudah melaksanakan salat isya?

"Salat? Salat apa?"

Bukan menjawab, Imama malah bangkit dari duduknya dan beralih menggelar sajadah di samping kasur. Lantas Alisha yang melihat itu pun menghela napas dengan membaringkan tubuhnya ke samping menghadap Imama. Ia menatap suaminya itu yang sudah melaksanakan salat begitu khusyuk. Sempat Imama mengatakan sebelum takbir, bahwa ia ingin melaksanakan salat Qiyamul Lail.

Setelah sepuluh menit, Imama telah selesai melaksanakan salatnya. Setelah salam, Alisha memanggil.

"Afizh?"

Imama menoleh ke sampingnya.

"Udah selesai?" tanya Alisha, pelan.

Imama yang mendengar pertanyaan itu pun mengulas senyuman manis. Meski lampu mati dan hanya menyalakan lilin di sekitar mereka, namun tampak sekali jika Imama sedang tersenyum. Wajahnya begitu sangat tenang dan damai. Membuat Alisha tak bosan jika menatap wajah lelaki itu.

"Kamu bisa tidur di ranjang sendiri malam ini, Na?" tanya Imama.

"Bisa sih," jawab Alisha, ragu. "Emang Afizh gak tidur di atas ranjang?"

Keheningan beberapa detik. Sebenarnya Alisha sangat mengantuk. Namun ia tahan saat melihat Imama tak kunjung menaiki kasur dan tidur bersamanya.

"InsyaaAllah," Imama menjawab lirih, yang tak lama ia memalingkan wajahnya untuk kembali menatap sajadah, kepalanya menunduk dengan menatap jari-jemari tangannya yang mulai ia gerakkan untuk melanjutkan berdzikir dan beristighfar sebanyak ratusan kali. Hingga membuat Alisha yang tak tahan karena waktu sudah larut malam, matanya pun langsung terpejam begitu saja.

Alisha mengerti tentang apa yang dilakukan oleh Imama. Bahwa suaminya itu ingin izin padanya untk menghabiskan malamnya bersama Tuhannya. Alisha pun sama sekali tak keberatan jika soal itu. Karena memang dahulu ia pernah melakukan salat Qiyamul Lail. Di mana ia habiskan malamnya itu dengan melaksanakan berbagai salat sunnah dan amalan-amalan lainnya, termasuk membaca Al-Qur'an dan juga berdzikir.

Saking fokusnya ia berdzikir, sampai ia tak bisa menahannya lagi hingga di pertengahan malam ia tertidur dengan posisi masih berada di sajadahnya. Sampai waktu pagi pun tiba, ia bangun tepat pukul 03.00 pagi. Segera ia mandi dan mengambil wudu kembali untuk melaksanakan salat tahajud. Sungguh, ia sangat rindu masa-masa itu. Namun sayangnya jarang sekali ia lakukan. Hanya salat tahajudlah yang tak pernah ia tinggal. Dari kecil ia begitu diajarkan untuk tak pernah meninggalkannya. Namun sangat disesali jika kadang ia telat bangun karena kecapean dan patut dimaklumi saat ia mengalami uzur.

Kini jam telah menunjukkan pukul 04.00 pagi. Imama yang baru saja keluar dari kamar mandi itu pun langsung melangkah mendekat ke Alisha yang masi tertidur lelap di kasur.

"Na..."

Hening...

"Na... istriku? Bangun, sayang... Tahajud, yuk? Imamnya lagi nunggu makmumnya loh ini...."

Dalam posisi memejamkan mata, tiba-tiba Alisha langsung menampakkan senyum tipis. Bisa saja suaminya itu. Pagi-pagi seperti ini sudah dirayu dengan kalimat-kalimat rolamanya.

"Hm...." jawab Alisha yang berusaha menyembunyikan salah tingkahnya.

"Kok hm aja? Ayo bangun, sayang, Allah udah nunggu kamu. Yuk, gerak. Ambil wudu, ganti baju kamu. Kan mau ketemu sama Allah."

Alisha mengangguk. Ia membuka pejaman matanya dengan lambat. Lantas mulai bangun untuk duduk. "Kok gitu sih, ngomongnya? Bilang mau ketemu sama Allah kayak kita itu mau meninggal aja. Pakai kalimat lain dong..."

Imama terkekeh. "Itu kan pikiran kamu. Ngapain mikir sampai sana?"

"Afizh dulu yang bahas," cicit Alisha.

Imama semakin terkekeh kecil. "Bukan saya yang membahas, Na. Tapi memang harus, kan, seperti itu? Kita itu wajib mengingat tentang kematian. Dan benar-benar meyakini bahwa akhirat itu adalah negeri yang kekal dan sebenar-benarnya. Dunia ini sifatnya fana, nggak abadi. Jadi jangan sampai kita terlena sama dunia, ingin menginginkan apa yang ada di dunia, sampai lupa sama akhirat dan kematian yang akan datang. Kita ini hanya menunggu giliran aja."

Alisha termenung sebentar saat mendengar ucapan Imama. Sehingga Imama yang sadar istrinya itu sedang melamun pun langsung membubarkannya. "Kok ngelamun?"

Raut wajah Alisha berubah menjadi kecut. Ia mengerucutkan bibirnya ke bawah. "Afizh?"

"Hm?" Alis Imama terangkat.

"Jangan tinggalin Nana, ya?"

Hening sebentar sebelum akhirnya Imama kembali tersenyum. Ia genggam tangan milik perempuan itu. "Kok jadi ngomong gitu? Saya di sini aja kok. Sama kamu."

Alisha menggeleng. "Bukan itu ih, jawabannya." Alisha sangat yakin, bahwa Imama pasti mengerti apa yang baru saja ia bahas. Dan jawaban dari Imama itu seolah-olah menghindari dari apa yang ingin ia tanyakan.

"Na..."

"Afizh... Nana ulangi, ya?" Alisha menatap lekat mata milik Imama. "Jangan tinggalin Nana, ya?"

Imama menelan salivanya. Membalas tatapan lekat dari perempuan itu. Yang seperti ada buliran air mata di pelupuk matanya. "Kamu juga dengarkan saya, ya? Semua.... dengarkan baik-baik.. semua manusia yang ada di bumi ini pasti akan mengalami yang namanya kematian. Semua akan pergi, Na... Saya, kamu, kita... itu akan kembali kepada Allah."

Ketika Imama hanya mendapat Alisha hanya diam. Ia pun mengalihkan wajahnya ke arah lain. "Sudah, jangan bahas ini. Ayo salat." Ingin Imama menegakkan tubuhnya kembali, namun digagalkan saat Alisha mengeluarkan suatu kalimat.

"Siapa dulu yang pergi?"

Tertahan langkah Imama yang ingin pergi ke arah kamar mandi. Ia menoleh ke arah Alisha sekilas.

"Kamu atau aku?"

Deg

"Kita semua." Jawab Imama semampunya.

"Afizh dulu atau Nana dulu?"

Sungguh, tak menyangkanya Imama jika pagi-pagi seperti ini sudah dipertanyakan hal yang menurutnya tak mampu lagi ia jawab. Sulit ia rasa.

"Wallahu alam, Na."

"Atau sama-sama?"

¶¶¶

Alhamdulillah..

Bagaimana perasaan kalian saat membaca part ini?

SELAMAT MENJALANI HARII! SEMOGA ALLAH MELINDUNGI KALIAN DI MANAPUN KALIAN BERADA💐


-29 agustus 2022

Continue Reading

You'll Also Like

30 JUZ By rome

Teen Fiction

3.4M 392K 59
[USAHAKAN FOLLOW SEBELUM BACA] Ngajak anggotanya hijrah? Hanya kisah tentang pemuda yang terpaksa memasuki pesantren untuk menghafal 30 JUZ sebagai s...
3.4K 508 58
10 April 2022 http://www.jjwxc.net/onebook.php?novelid=2699394 古穿今之异能影后 作者:只只不醉 raw, no edit, mtl, google translate ~~~~~~~~~~ sinopsis: Putri Shen H...
7.1K 524 33
Quotes islam di ambil dari tokoh" sahabat nabi
Say My Name By floè

Teen Fiction

1.3M 73.7K 35
Agatha Kayshafa. Dijadikan bahan taruhan oleh sepupunya sendiri dengan seorang laki-laki yang memenangkan balapan mobil malam itu. Pradeepa Theodore...