HELP [Tamat]

By TintaBiru26

329K 24.4K 2.9K

Aksa bukan siapa-siapa dan tak punya apa-apa. Hidupnya hanya di isi dengan luka,kecewa dan air mata. Dirinya... More

Kilas balik
Tokoh
Awal dari semuanya
Keluarga baru Dika
keluarga baru Mona
Doa Arya
Terlambat?
Ikut senang
Alergi
Amarah
perundungan
khawatir
Sendirian
hal yang tak di inginkan
Aksa atau Rayyan?
bagaimana caranya?
Darren
haruskah?
andai Dika tau
Rencana tuhan
kenapa selalu aku?
Pertanda?
Sakit.
kenapa?
Harus kemana?
yang selalu ada
Haruskah berkorban?
haruskah berkorban? 2
jadi seperti ini rasanya?
Rasa yang tak biasa
Birthday Keenan
niat menolong
belum usai
Rayyan
sama-sama tumbang
tidak ada rasa kasihan
istirahat sejenak
Trauma
Kecewa
Sekedar Info
Bullying
di pendam sendiri
ternyata?
sama-sama takut
salah?
pertanda? 2
Kesakitannya
amarah?
berhenti berdetak?
Arka Bodoh
Mimpi dan kabar baik
satu kesakitannya terbongkar
tawanya
aku lagi?
siapa sebenarnya Calista?
Pergi.
jadi?
berawal
menyesal?
mulai mencari?
menghilang bak di telan bumi.
Baru
Dami-nya Rio
Akhir?
kepergiannya
Selesai
Good Bye
Cerita baru
GaReNdra
Baca dulu yukk

Pingsan

5.1K 354 12
By TintaBiru26

Duoble up yuhuuu....


Seorang lelaki kini tengah menghadap  ke arah tiang bendera, tangannya terangkat untuk memberikan hormat. Sudah 1 jam ia berdiri di sana. Keringatnya sudah bercucuran, bukan, bukan karena terik matahari melainkan karena sesuatu.

Tubuhnya bergetar, wajahnya terlihat pucat. Kapan hukumannya akan selesai? Mengapa lama sekali? Pikirnya. Ia sudah tidak kuat. Jauh darinya, dari dalam kelas, seorang lelaki yang duduk tepat di dekat jendela menatapnya dengan senyum miringnya.

"Nyatanya, gua gak perlu capek-capek untuk menghukum lo Aksa. " ucapnya dalam hati.

Sementara disisi lain, tepatnya di koridor sekolah yang sudah sepi,karena kegiatan belajar-mengajar sedang berlangsung. Seorang lelaki yang sedang membawa beberapa buku,langkahnya terhenti. Matanya menatap seseorang yang tengah berdiri di tengah lapang sana.

Tapi bukan itu fokusnya, tubuh itu, ya tubuh lelaki yang tengah menjalankan hukuman itu seakan-akan, akan limbung.

Brak!

Buku-buku itu, ia lepaskan begitu saja. Entah dorongan dari mana, kaki jenjang itu berlari ke arah seseorang di tengah lapang sana.

Hap!

Dapat, beruntungnya ia cepat, jika tidak, tubuh itu akan limbung menghantam tanah.

"Hei, "

Lelaki itu terkejut kala melihat wajah lelaki yang tengah berada di dalam dekapannya. Wajahnya pucat, matanya sayu,tapi ia terkejut bukan karena itu. Melainkan sesuatu yang mengalir tepat dari kedua lubang hidung mancungnya. Merah,amis dan segar.

"Aksa hey?" tepuk lelaki itu tepat di pipi pucat Aksa. Yaa--lelaki yang tengah menjalankan hukumannya adalah Aksa.

"S-sakit, bang. "

Deg!

A-apa? Abang? Aksa memanggil dirinya Abang? Hatinya berdetak, entah kenapa ia merasa sangat---senang?

"Jangan tutup mata lo, kita ke UKS." Lelaki itu segera menggendong tubuh Aksa.

"Astaga! Mengapa tubuh dia enteng sekali? Dia makan apa sih?" batin lelaki itu.

"T-terimakasih sudah peduli bang--" mata Aksa terpejam, ia benar-benar jatuh terkulai di dalam gendong laki-laki itu.

"Aksa? Hey? Bangun sialan! " ucap lelaki itu kalang kabut. Bukan, ia bukan peduli ia hanya kasihan. tekannya dalam hati.

Sementara seseorang yang sejak tadi memperhatikan mereka mengepalkan kedua tangannya.

"Sial, kenapa harus di tolong sih? Seharusnya bang Rayyan biarkan saja dia pingsan dan mati. Hidupnya hanya bisa merepotkan orang lain." monolognya.

***

Rayyan---lelaki itu menaruh Aksa di atas brankar UKS. Ya, yang menolong Aksa adalah Rayyan.

Rayyan menatap wajah Aksa Lamat, wajah itu, wajah itu sangat mirip dengan---

"Ada apa ini?"

Rayyan menoleh, disana, petugas kesehatan datang dan langsung bertanya. Rayyan mengangkat bahu acuh.

"Ada minyak kayu putih?" tanya Rayyan. Petugas kesehatan itu mengangguk.

"Ada, sebentar. Nih," petugas itu menyerahkan minyak itu terhadap Rayyan. Rayyan mengernyit.

"Maksud lo?"

"Ck, ya ini, tadi lo minta minyak kayu putih."

"Ya lo urus dia lah, gua sih ogah. Kan lo petugas kesehatannya disini."

Petugas itu menghela nafas, ia segera meraih tisu, membersihkan noda darah di bawah hidung Aksa. Rayyan? Lelaki itu pergi? Tidak, ia malah terduduk di salah satu brankar.

"Ck, katanya ogah tapi malah diem disitu."

"Gua hanya mastiin dia gak mati, " ucap Rayyan santai, tangannya sedang sibuk mengutak Atik ponselnya, tapi matanya sesekali melirik Aksa yang masih damai dengan pejamnya.

"Lo ngedoain anak orang mati?"

Rayyan mengangkat bahunya, "kalo udah waktunya gimana?"

Petugas itu menatap Rayyan. Kepalanya menggeleng pelan.

"Kenapa dia?" tanya Rayyan.

"Pingsan,"

"Ck, maksud gua, kenapa bisa pingsan?"

"Maag nya kambuh, dia belum sarapan kaya nya. "

Rayyan ingat, ia tidak pernah melihat Aksa sarapan di rumah. Entah di sekolah, sepertinya tidak. Ah-kenapa Rayyan harus peduli? Biarkan saja.

"Tapi ko bisa mimisan?"

"Ya mana gua tau, panas dalam kali."

Rayyan hanya manggut-manggut.

Eugh!

"I-ibu,"

Hati Rayyan mencelos, ia tak bisa membayangkan jika dirinya menjadi Aksa. Di saat sedang sakit seperti ini, ia hanya sendirian. Tidak ada sosok ibu dan ayah. sungguh, ia tidak bisa membayangkan.

Mata Aksa perlahan terbuka, matanya mengerejap pelan berusaha menetralkan pandangan.

"Gua kira lo mati? Kenapa sih, jadi orang selalu nyusahin?"

Aksa menolehkan kepalanya cepat. Di sana ada Rayyan dan petugas kesehatan. Dan Aksa kenal betul suara itu, Rayyan.

"Ma-maaf,"

"Seharusnya tadi gua biarin lo pingsan di tengah lapang sana dan biarin lo mati."

Deg!

Ya Tuhan, berapa orang yang menginginkan kematian dirinya? Apa semua makhluk bumi ini menunggu kabar kematiannya? Sepertinya seperti itu.

"Ray, mulutnya." ucap petugas itu.

"Pergi sana, dia sudah sadar ini kan?"

Petugas itu mengangguk, sebelum itu ia memerintahkan Aksa, untuk segera memakan roti dan obat maag yang sudah ia siapkan. Aksa tak merespon, kepalanya hanya di penuhi dengan kata mati. Jangan sampai, ia sampai bunuh diri.

"Iya, seharusnya Abang biarin aku mati di sana. Pasti, bang Arya, ibu dan bang Arka akan senang. Mungkin tak cuma mereka, Abang juga akan senang bukan? Lalu kenapa Abang tolongin aku?" setelah petugas itu berlalu, Aksa memberanikan diri mengangkat suara.

Rayyan? Lelaki itu diam tak berkutik.

"Itu karena gua kasihan, gua gak mau lo mati gitu aja sebelum lo menderita sederita-deritanya. Lo harus ngerasain jadi gua, hidup tanpa seorang ibu itu gak enak. Gua pengen lo ngerasain itu."

Aksa terdiam, apa selama ini Rayyan buta? Bahkan Aksa hidup hanya sendirian, mungkin. Tapi memang begitu kenyataannya. Semua keluarganya menolak, kecuali Oma.

Ingin rasanya Aksa berteriak di hadapan Rayyan kalau dirinya sudah merasakan tanpa sosok seorang ibu jauh sebelum Rayyan merasakan. Bahkan hingga saat ini, ia tak pernah merasakan hadirnya sosok seorang ibu di sisinya. Tak hanya ibu, bahkan ayah. Apa belum cukup? Mau semenderita apa lagi dirinya, Rayyan?

"Tidak, gua tidak akan membunuh bunda Mona. Gua hanya ingin merebut bunda Mona,"

"Tanpa Abang rebut, ibu memang milik Abang. Bukan aku. tak perlu berbagi bang, Aku beri semuanya untuk Abang." Aksa menundukkan kepalanya, matanya memanas. Dirinya bukan siapa-siapa, ia tak berhak meminta.

"Tapi, jika aku lelah nanti, izinin ibu peluk aku sebentar ya bang? Jika ibu mau, kalau engga tak apa. Hanya sebentar, setelah itu, aku kembalikan lagi ibu ke Abang." Batinnya. Ia hanya bisa berdoa, semoga suatu saat nama diirinya ada di dalam hati sang ibu walau hanya sedikit.

"Gak usah drama bisa? Gua muak sa. " Rayyan berlalu, entah kenapa lama-lama berdekatan dengan Aksa, hatinya terasa perih.

Tes!

Mata Aksa membulat, ia terkejut. Tubuhnya bergetar hebat. Apa itu? Darah? Ia mimisan? Perlahan tapi pasti tangan Aksa terangkat, memegang hidungnya, dan benar saja, darah itu mengalir dengan begitu derasnya membasahi sebagian brankar dan celananya.

Tangan Aks bergetar, demi tuhan, ia takut dengan darah. Tapi, siapa yang akan menolong jika bukan dirinya. Mati-matian ia berusaha melawan rasa takut itu.

Ada apa ini, kenapa ia bisa mimisan? Apa doa Arya kemarin akan terkabul? Aksa menggeleng cepat, mengenyahkan pikiran-pikiran negatif yang terlintas di otaknya.

"Kalau benar doa bang Arya terkabul, berarti aku memang orang busuk Bu? Ibu..aku takut, ibu bisa tolong aku? Demi Allah aku takut, aku gak mau sendiri Bu, tolong." 

***

Hari demi hari berlalu, sudah seminggu ia tinggal di rumah Mona. Kali ini, ia akan berpindah kerumah Dika. Ya begini lah hidupnya, berpindah-pindah. Ingin sekali Aksa menatap di rumah salah satu dari mereka, jujur saja Aksa capek. Aksa ingin mempunyai tempat pulang yang tetap bukan sementara seperti ini, setidaknya bisa membuat ia melepas penat.

Aksa berjalan pelan di atas trotoar, menuju rumah Dika. Ingin sekali Aksa menaiki bus atau angkot, tapi Ia tidak mempunyai uang. Mona belum memberinya. Ada sebenarnya, tapi sudah habis, kemarin baru saja ia pakai untuk melakukan chek up. 

Huft!

Aksa menghela nafas, ia lelah. "Oma, Aksa ingin punya tempat tinggal tetap Oma. Aksa capek begini terus," batinnya, sesekali kepala mengdongkak menatap langit yang luas, senyumnya terukir.

"Tapi Oma tak usah khawatir, Aksa baik-baik saja. Akan selalu baik-baik saja, oma baik-baik disana, tunggu Aksa." batinnya lagi.

Tak terasa, setelah berjalan kiranya sekitar 30 sampai 35 menit. Akhirnya Aksa sampai di depan gerbang rumah Dika.

Srek!

Aksa membuka gerbangnya pelan, selalu saja begini. Ragu, ketika memasuki rumah Dika maupun Mona.

"Aku masuk atau tunggu salah satu dari mereka keluar ya?" pikir Aksa, ingatkan sekali. Dirinya bukan siapa-siapa. Dirinya hanya menumpang.

"Ahh, masuk sajalah. Tak apa." ucapnya, Aksa melangkahkan kakinya pelan. Tangannya menggenggam erat tali tas nya. Kenapa terlihat sepi sekali, kemana semua orang?

"Assalamualaikum," salam Aksa ketika membuka pintu utama, sepi, bebar-benar sepi. Kemana mereka? Apa Keenan belum pulang? Aksa mencoba perlahan masuk.

Prang!

Aksa terkejut bukan main kala mendengar sesuatu terjatuh, sepertinya dari arah kamar Dika. Ah--ada apa? Aksa segera berlari, menaiki satu persatu anak tangga. Tak memperdulikan larangannya untuk menginjakkan kaki di lantai atas. Siapa tau, disana, ada seseorang yang membutuhkan bantuan.

Cklek!

Aksa membuka pintu kamar yang ia yakini sebagai kamar Dika, dan betapa terkejutnya ia saat melihat pecahan beling yang terceceran di lantai. Bukan, bukan itu yang membuatnya terkejut, melainkan, seseorang yang tergeletak di antara pecahan-pecahan beling itu.

"Tanteee..." Aksa segera berlari, menghampiri seseorang yang Aksa panggil dengan sebutan Tante.

Calista--ya, itu Calista. Aksa panik, kenapa Calista bisa tidak sadarkan diri seperti ini? Apa yang harus ia lakukan?

Rumah sakit.

Entahlah, kata itu terlintas di dalam otaknya. Dengan sisa tenaga yang ia punya, ia segera mengangkat tubuh Calista. Walau sesekali terhuyung karena berat badan Calista yang bisa di bilang sedikit berisi.

"Tante sabar ya, aku akan bawa Tante kerumah sakit. Tante harus bertahan."

***

Drrtt drtt!

Dika yang sedang makan di jam istirahat itu menoleh ke arah ponselnya. Nama Aksa tertera di layar ponselnya. Ah- kenapa anak itu menelfon? Bikin bad mood saja. Dika segera meriject panggilan Aksa.

Drttt! Drttt!

Ck!

Dika kesal, ia memblokir cepat nomor Aksa. Tak peduli apa yang sedang terjadi dengan anak itu. Ia melanjutkan makannya.

***

"Halo," ucap Zaidan datar, malas sekali sebenarnya mengangkat telfon dari anak sial itu.

Mata Zaidan membola saat Aksa mengabari jika sang mama jatuh pingsan. Ah--ada apa ini? Apa yang anak sial itu lakukan? Pikirnya. Zaidan, mematikan telfon, belum sempat Aksa menjelaskan. Ia terburu-buru, sebelumnya ia mengirimi Dika pesan.

Sementara di lain sisi, seorang remaja yang masih lengkap dengan balutan seragam sekolahnya tengah terduduk, menunggu seseorang yang tengah di periksa oleh dokter itu dengan harap-harap cemas.

"Ya Allah, selamatkan Tante Calista. Jangan biarkan Tante Calista kenapa-kenapa ya Allah."

"Aksa!"

Aksa bangkit, disana, Zaidan,Keenan dan Dika datang berbarengan. Wajah mereka terlihat sangat khawatir.

"Ayah? Bang Zaidan, Keena--"

"Apa yang udah lo lakuin Aksa?" ucap Keenan menggebu-gebu, Aksa menggeleng.

"A-aku tidak me---"

Plak!

Wajah Aksa menoleh ke arah kiri, saat  Dika menamparnya.

"Sialan, apa yang kamu lakukan terhadap istri saya anak sial!"

Bugh!

"Agrhh," Aksa refleks memekik saat Zaidan membogem mentah perutnya, bukan, bukan perut melainkan pinggang kanannya. Wajah berubah pias.

"Sampai terjadi apa-apa dengan mama gua, lo tanggung akibatnya. " Zaidan berlalu, menghampiri ruang UGD, setelahnya hanya berdiri di sana menatap pintu itu nanar, begitupula Keenan.

"A-ayah," tangan Aksa berusaha menggapai lengan Dika, berusaha meminta bantuan. Sungguh, pukulan Zaidan bukan main-main, ia sampai mati kutu, rasanya untuk bergerak saja sangat sulit. Dika menghindar.

"Sampai Calista kenapa-kenapa, pergi kamu dari rumah. Saya gak butuh kamu anak sialan!" setelah berucap seperti itu, Dika merengkuh kedua anak sambungnya, berusaha menguatkan.

"Papa, mama tidak kenapa-kenapa kan?" tanya Keenan.

"Pasti, mama kamu tidak akan  kenapa-kenapa. Kamu jangan Khawatir heum. Ada papa."

"Aku takut pa," lirih Zaidan.

Kali ini, Dika menatap pintu UGD dengan tatapan nanar. Ia masih merengkuh kedua anak sambungnya. Aksa? Lelaki itu terus menatap dengan tatapan seolah meminta tolong.

"A-ayah tolong, ini sangat sakit. Demi Allah aku tidak melakukan apapun terhadap Tante Calista."

Cklek!

Pintu UGD itu terbuka, memperlihatkan seorang lelaki paruh baya lengkap dengan jas putihnya layaknya seorang dokter.

"Dokter?" Dika segera melepaskan rengkuhannya.

"Bagaimana keadaan istri saya? Apa ada sesuatu yang serius?"

Dokter itu menggeleng, kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman, tangan terulur. Mereka mengernyit, apa maksudnya dari uluran tangan itu?

"Selamat pak," Dika semakin bingung saat dokter itu menjabat tangannya.

"Untuk?" Bukan, bukan Dika. Melainkan Zaidan yang bertanya.

"Ibu Calista tengah mengandung."

Deg!

Mata mereka berbinar, apa katanya mengandung? Berarti sebentar lagi, Dika akan mempunyai anak bersama Calista. Zaidan dan Keenan akan segera mempunyai adik?

"Dokter serius?"

Dokter itu mengangguk. "Iya, usia kandungannya sudah memasuki usia 2 Minggu. Sekali lagi selamat pak."

Keenan segera menghambur kepelukan Dika. Kedua lelaki itu menangis terharu. Berbeda dengan Zaidan, lelaki itu menoleh ke arah tempat Aksa berada. Nihil, disana sudah tidak Aksa. Zaidan jadi merasa bersalah.

Zaidan terus menatap tempat itu, tempat di mana ia membogem perut Aksa dengan kuat. Wajah itu, wajah yang berubah pias itu, Zaidan masih mengingatnya.

"Aishh, bukan salah aku." batin Zaidan.

Alohaaaaa......

Bagaimana dengan Chapter ini? Makin gak jelas yaa? Hehe, maafkan;)

Typo tandai yaa:)

Vote dan commentnya jangan lupa:)

Si kesayangan aku, Aksa Damian❤️

Continue Reading

You'll Also Like

3.8K 601 12
Aku berasal dari keluarga sederhana yang tidak memiliki masa depan yang jelas Ini kisahku, seorang anak yang menginginkan kehidupan yang layak se...
660K 50.3K 32
🐰🐰🐰 Hanya menceritakan tentang seorang anak laki-laki yang berusia 4 tahun dengan keluarga barunya. 🐰🐰🐰
17K 2.3K 32
* Jangan lupa vote dan follow aku ya! . . . Lavender punya arti kesetiaan. Ia menjujung tinggi rasa percaya tanpa sedikitpun ingin berkhianat. Ia suc...
42.6K 2.4K 45
Menceritakan tentang seorang anak yang menginginkan kasih sayang dari seorang Ayah sejak ia lahir. Fahrizal Bayu Permana, seorang lelaki yang berusah...