IMAMA AL-HAFIDZH

By triilyynaa

9.8M 997K 171K

[SUDAH TERBIT] Novel tersedia di Gramedia dan TBO Apakah kalian pernah menemukan seorang pemuda laki-laki yan... More

⚠️ S P O I L E R ⚠️
01. IAH - Pacaran
02. IAH - Bertemu Seorang Pemuda
03. IAH - Kembali pulang ke Rumah
04. IAH - Imama Al-Hafidzh
05. IAH - Dijodohkan oleh sang Abi
06. IAH - Menikah
07. IAH - Malam Pernikahan
08. IAH - Rumah di dalam Hutan
09. IAH - Cerita dari Imama
10. IAH - Romantis Ala Rasulullah
11. IAH - Tentang Hisab Kelak
12. IAH - Cerita dari Alisha
13. IAH - Bertemu dengan Masa Lalu
14. IAH - Berhenti untuk Berharap
15. IAH - Dua Lelaki itu saling Kenal dekat
16. IAH - Sempurna itu cinta mereka
17. IAH - Kehilangan
18. IAH - Menyimpan Kecurigaan
19. IAH - Kewajiban Seorang Istri?
20. IAH - Tahajud Bersamamu
21. IAH - Romantis Ala Imama
22. IAH - Tiga Gadis SMA
23. IAH - Cinta atau Nafsu?
24. IAH - Kecewa dalam ketidakjujuran
25. IAH - Pengakuan sebenarnya
26. IAH - Dia adalah Raden
28. IAH - Tentang Irama, Saudaranya.
29. IAH - Iqbal menjadi lebih baik
30. IAH - Pesantren Al-Hafizma
31. IAH - Uji Keimanan dari Hafizma untuk Imama
32. IAH - Cinta Mereka di Ndalem
33. IAH - Tentang Wanita Tarim
34. IAH - Iqbal putus
35. IAH - Perjanjian Hafizma dan Syarat Irama
36. IAH - Menikah Lagi
37. IAH - Rahasia yang berakibat salahpaham
38. IAH - Kerja Sama
39. IAH - Cinta sang Gadis
40. IAH - Kabar Palsu
41. IAH - Hanya Satu Wanita
42. IAH - Ngidam aneh
43. IAH - Kejadian di Pasar
44. IAH - Berita Bahagia
45. IAH - Mati sama-sama
46. IAH - Hijrahnya Ikara
47. IAH - Hidayah yang datang tiba-tiba
48. IAH - Perkelahian
49. IAH - Ima dan Ama
50. IAH - Mengingat Kembali
51. IAH - Berhati-hati untuk ke depannya
52. IAH - Ziarah ke Makam Bunda
53. IAH - Datangnya sosok Pria Asing
54. IAH - Fitnah diantara dua pihak
55. IAH - Salah paham yang kian Menjadi
56. IAH - Menyelesaikan Masalah dengan tenang
57. IAH - Sakit Demam
58. IAH - Terperangkap di Gudang
59. IAH - Kepergian Sang Nahkoda?
60. IAH - Kepulangan yang Abadi.
EXTRA PART + Pesan dan Kesan
ATHALLAH DAN HAFIZMA, PUBLISH.
IMAMA SEGERA TERBIT!
PRE-ORDER IMAMA AL-HAFIDZH

27. IAH - GUS DAN NING

138K 16.4K 4.4K
By triilyynaa

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

SHOLAWAT DULU! JANGAN DI LEWATI💘

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ، وَعَلَىٰ آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ۞
[Allahuma sholi ala sayyidina Muhammad, wa ala ali sayyidina Muhammad.]


••••


"Terus.. Kalau Gus? Nana ingat-ingat itu bukannya nama panggilan untuk anak laki-laki... Atau... Seperti putra dari Kyai gitu, ya?"

Imam terdiam membisu mendengar pertanyaan itu. Inilah rasanya waktu yang pas untuk bersiap diri. Imam pun kini berbalik menghadap ke samping. Menatap sang istri yang berada di depannya sekarang dengan tatapan lekat.

Alisha yang dilihat seperti itu. Langsung mengernyit bingung. "Kenapaa?"

"Maaf."

Kalimat permintaan maaf yang Alisha dengar saat ini semakin begitu membuat Alisha mengernyit bingung.

"Maaf? Untuk apa?"

Terdengar helaan napas dari Imam yang saat ini ia kembali menghadapkan tubuhnya ke depan. Mulai menggerakkan tangannya untuk membuka pintu itu.

Imam memejamkan matanya. Lalu berucap pelan. "Kali ini. Izinkan saya untuk memberitahu...."

"Kehidupan, sang Imama Al-Hafidzh sebenarnya."

Cklek...

Pintu pun terbuka.

Alisha langsung terbelalak kaget. Kedua matanya langsung membulat sempurna ketika menatap sekeliling rumah itu.

Tak lama kemudian, terlihat sosok wanita paruh baya dengan pakaian seperti pelayan itu keluar dari arah kanan. Wajahnya langsung berbinar ketika menatap kehadiran mereka.

Ia pun langsung mendongak ke lantai atas tangga. "Ning! Gus Raden pulang, Ning!" teriak wanita itu.

"SIAPA, BI!?" keluar suara perempuan yang menggema di lantai atas, dia bertanya kembali kepada wanita itu.

"GUS RADEN!"

Hening....

Tidak ada suara lagi dalam lantai atas.

Sehingga tiba-tiba saja, terdengar suara langkah kaki seseorang yang berlari menuruni anak tangga. Imam pun langsung mendongakkan kepalanya menatap seorang perempuan cantik berambut panjang itu mulai menghampiri Imam dengan pakaiannya yang begitu feminim.

Dia tersenyum.

Dengan helaan napas, perempuan itu berlari ingin memeluk Imam, namun dengan cepat lelaki itu menghindar. Tapi hindaran itu tidak membuat perempuan itu putus asa. Sekarang ia malah menyentuh kedua tangan lelaki itu.

"Ima? Ini Ima?"

Melihat itu. Alisha sontak membulatkan kedua matanya. Refleks ia ingin mencegah dan memarahi perempuan itu yang berani menyentuh sang suaminya. Namun ia urungkan saat sadar akan sesuatu, Imam sangat menerima dengan tulus sentuhan itu.

"Dia siapa? Ya Allah... Tahan Alish, nggak boleh marah. Mungkin itu mahramnya? Kamu harus percaya sama suami kamu..."

Karena Alisha masih saja tidak tahan melihat itu, ia pun memberanikan diri untuk berdeham.

"Ehm!"

Sontak membuat kedua lawan jenis itu menatap ke arah Alisha. Imam pun segera melepas sentuhan dari perempuan itu. Di mana senyuman tipis pun ia tampakkan saat tak sengaja melihat Alisha sedang menunjukkan raut wajah cemburu.

"Ima?"

Imam menatap perempuan di depannya yang seperti memanggilnya.

"Siapa dia?" tanya perempuan itu menoleh ke arah Alisha.

Imam bukannya menjawab. Lelakinya itu kini malah meraih tangan Alisha dan menggenggamnya dengan erat. Hal itu pun membuat perempuan itu terkejut. Di mana Imam kembali menatap perempuan di depannya.

"Menurutmu, pernah saya melakukannya?"

Perempuan itu terdiam.

Keheningan pun terjadi di sana, sehingga membuat Imam kini mampu menghabiskan waktu senggangnya untuk menyorotkan matanya menatap sekeliling rumah itu.

"Mewah sekali?"

Tiba-tiba saja Imam memecahkan keheningan dengan kalimat itu. Di mana kalimat itu cukup menggambarkan apa yang ia rasakan saat menatap sekeliling rumahnya.

Perempuan itu tersenyum. "Iya. Ini hasil kerja keras Ira sendiri loh?"

"Saya tidak bertanya itu."

"Terus?"

"Ini bukan rumah kita?"

Perempuan itu terkekeh saat Imam tak percaya. "Hah? I-ini rumah kita, Ima. Tapi Ira renovasi aja..."

"Hidup kita sederhana."

"Iya. Ini 'kan udah sederhana?"

Imam tidak lagi sanggup membalas ucapan perempuan itu. Ia pun membuang napasnya lalu memutuskan untuk menarik tangan Alisha keluar dari rumah itu. Namun segera saja perempuan itu menghalangi.

"Ima..."

Imam berhenti melangkah saat perempuan itu sudah berdiri di depan menghalanginya.

"Imaa mau ke mana?"

Imam menggeleng pelan. "Saya ingin mengembalikan rumah ini seperti semula."

Perempuan itu menurun kedua tangan yang sedari tadi ia rentangkan untuk menghalangi Imam. "Hah? Kenapa Ima?"

"Ya karena rumah ini sangat mewah."

Perempuan itu memasang raut heran saat mendengar jawaban Imam. "Huh? Mewah? Ya pasti lah, Ima. Sekarang kan kita ini udah jadi kaya?"

"Kaya?"

"Iya."

"Sudah salat?"

Seketika perempuan itu terdiam. Sebuah pertanyaan yang Imam lontarkan begitu sangat membuatnya membungkam.

"Kenapa diam, hm?"

Perempuan itu menunduk. "I-iraa... Ira nggak punya mukena."

Imam menarik sudut bibirnya. Rasanya napasnya tercekat saat itu juga. Sesak sekali ia mendengar ucapan yang keluar dari mulut perempuan itu. Di mana ia paham, bahwa perempuan itu mengartikan bahasa itu sebagai 'tidak pernah melakukan salat.'

Alisha. Perempuan yang berada di samping Imam itu tersentak saat ia rasakan tangan Imam yang berada di genggamannya itu bergetar seperti ingin mengepal kuat.

Terlihat, Imam kini mulai menatap perempuan yang menunduk itu.

"Ikara...."

Sebutan nama yang akhirnya membuat perempuan itu mendongakkan kepala. Ikara. Itu lah namanya.

"Kamu tahu?" suara Imam begitu serak dengan nada yang bergetar geram. "Ayah... Di sana... Itu hidup dengan serba kekurangan. Ndalem Ayah kecil. Ayah hanya punya lima baju. Dan itu pun mungkin hanya gamis. Dan mungkin juga saya rasa... Ayah hanya memiliki cadangan makanan sedikit hari ini. Apa tak pernah kamu pikir kan apakah pagi ini beliau telah sarapan? Saya rasa kamu tidak tahu karena saya yakin kamu belum menemui Ayah sampai sekarang di sana. Atau memang... Kakimu itu terlalu sangat sulit untuk membawamu masuk ke dalam lingkungan Al-Hafizma?"

Ikara menggeleng. "Bukan Ima... Ira malu kalau Ira masuk ke Pondok. Ira nggak mau buat malu Ayah karena ada anaknya yang masih belum bisa istiqamah taat. Apalagi kalau santri Al-Hafizma lihat Ira yang saat ini nggak pakai hijab. Bukannya nanti Ayah dan Ima yang akan jadi bahan bicara oleh orang lain?" Ikara menjeda sejenak. "Selain itu pun, Ira nggak mau hancurin dakwah Ima. Ira takut Ima jadi bahan omongan yang enggak-enggak. Dan mereka akan bilang kok adik dari pendakwah kayak gitu sih? Kok seorang Ning seperti itu? Ima... Ira mohon Ira cuma mau kalian bisa berdakwah tenang. Nggak perlu pikirin Ira sekarang. Ira cuma belum siap untuk berubah. Ima belum siap pakai hijab. Ira belum siap untuk menjalankan kewajiban. Tapi Ira sedang usahakan...."

"Ikara. Demi Allah, saya tidak pernah melarang kamu untuk melakukan apa yang kamu sukai. Tapi saya.. Hanya melarangmu akan dua hal. Yaitu melarangmu untuk melakukan kemaksiatan seperti kamu tidak memakai hijab saat ini. Dan melarang kamu untuk meninggalkan kewajiban kamu seperti salat yang kamu tinggal selama ini. Dan sangat lantang saya katakan. Seorang yang sengaja meninggalkan salat lima waktu, itu adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan meminum minuman keras!"

Deg!

Imam kini mendekat ke Ikara. Sampai wajah mereka begitu berdekatan. "Dan sekali lagi saya katakan. Meninggalkan salat, itu lebih besar dari hubungan haram yang kamu lakukan dengan Iqbal. Kamu tahu itu perbuatan yang salah. Kamu tahu kamu ini telah didik dengan baik oleh Ayah. Di mana Ayah selalu memberi kita beberapa ilmu. Yang mana yang baik, dan mana yang buruk. Lalu mengapa seakan kamu lupa itu semua? Apakah dunia ini terlalu membuatmu lalai? Apa kenikmatan yang kamu mau? Hanya karena temanmu semua mengikuti dunia, kamu juga terikut? Hanya karena temanmu tidak memakai hijab karena sebuah trend di zaman ini, kamu juga ikut? Atau memang kamu sangat senang jika mereka masuk neraka dan kamu juga ingin ikut!?" Imam terkekeh pelan. "Dipersilahkan dengan hormat, saya tidak melarangmu. Tapi jangan harap, saya membiarkan kamu untuk terus tetap seperti ini."

"Imaa..."

"Jangan mengikuti kemauanmu sendiri, Ira. Jangan ikuti hawa nafsumu. Lawan dia jika dia membawamu untuk melakukan hal yang tidak baik. Sampai kapan kamu terus ikuti dia? Sampai dunia ini menjadi milikmu? Saya rasa jika dunia ini menjadi milikmu. Kamu tak akan pernah puas. Karena memang jika kamu hanya mengejar dunia. Tidak ada yang namanya kepuasan kalau kamu hanya mengikuti dunia dengan keinginan hawa nafsumu. Kejarlah akhirat, walau hanya satu keinginan, itu akan membuatmu puas melebihi dunia dan seisinya."

Ikara. Perempuan itu kini semakin menunduk dalam. Air matanya turun begitu saja saat lagi dan lagi ia kembali mendengar peringatan dari sang Kakak lelakinya.

"Ira. Jika kamu tahu saya sekarang sangat malu kepada sayyidatina Fatimah Az-zahra. Saya malu dengan beliau. Apakah kamu tidak malu, ya Ikara? Apa kamu masih mempunyai malu menatap wajahnya nanti? Masih punya malu melihatnya nanti? Apa kamu yakin beliau mau melihat wajahmu nanti? Tolong, tunjukkan dirimu sebagai seorang muslimah. Tunjukkan dirimu sebagai seorang muslim. Yang selalu menjalankan segala kewajibanmu."

Lagi dan lagi Ikara hanya mampu terdiam. Mulutnya begitu membisu untuk mengucapkan sepatah kata pun. Tak lama, Imam kembali berucap. "Ini bukan untuk terakhir kalinya. Tapi saya tidak akan pernah berhenti sebelum kamu melakukannya."

Seperti yang Ikara sadari bahwa itu adalah kalimat terakhir yang akan Imam ucapkan. Ikara pun memutuskan untuk mendongakkan kepalanya menatap Imam. Senyum simpul pun ia tampakkan seraya mengangguk. Ia menyeka air matanya sambil berucap...

"Ira janji. Ira akan berubah. Ira janji sama Ima... Ira akan belajar ikhlas menerima dan taat menjalankan kewajiban Ira. Tapi secara bertahap...."

Permintaan lembut dari Ikara. Akhirnya berhasil membuat Imam bernapas lega.

"Saya tunggu." Ucap Imam.

Tak lama pun Imam kembali menoleh ke Alisha. Ia mengambil tangannya dan membawa perempuan itu ke dekatnya agar segera mengikutinya keluar dari teras rumah itu.

Sebelum itu, saat Imam melewati Ikara, ia berkata. "Assalamualaikum...."

"Waalaikumussalam."

Setelah mendapat jawaban. Imam pun akhirnya melangkah melewati Ikara. Di mana Ikara sedikit berteriak.

"Siapa perempuan itu?!"

Imam dan Alisha menghentikan langkah. Di mana keduanya sedikit berbalik menoleh ke belakang.

"Perempuan saya."

Ikara tersentak. "M-maksudmu itu istri kamu? Kamu sudah menikah?!"

•••

Iqbal. Lelaki itu kini membawa secangkir teh dengan duduk di ruang tamu. Di mana di sana telah ada Abi Jaffar dan Umi Fatimah yang sedang asik menonton televisi. Sesekali Iqbal menatap jam di dinding, yang sudah pukul 17.00 sore. Berdecak, saat tersadar bahwa kedua pasangan itu belum juga kembali pulang ke rumah.

"Itu Gus lupa atau gimana, sih? Katanya bakal mau jujur? Bawa Alish ke mana coba sampai sekarang belum pulang."

Iqbal membatin seraya meneguk teh yang ia buat. Tak lama pun, ia mulai melamun mengingat kejadian suatu hal.

Flashback on.....

Sebuah mobil berwarna hitam kini melaju kencang di jalan raya. Di mana cuaca saat itu telah hujan deras. Di dalam mobil, terdiri dari 6 orang pemuda laki-laki.

"Apisma. Yakin nih, kita bisa sampai tujuan? Hujannya deras banget." Ujar salah satu pemuda.

"Sampai, kok. Kita ini udah telat banget loh. Kasihan mereka yang udah nunggu kita di acara." Jawab pemuda lelaki yang masih fokus dalam penyetirannya.

Lelaki itu pun berdecak ketika menerima penolakan. Ia pun dengan cepat menoleh ke belakang. "Ohh Gus Raden... Bisakah kita tunda dulu ke sana?"

"Laa."

Laa. Ucapan bahasa arab yang diartikan sebagai 'tidak'. Dirinya benar-benar kembali mendapat penolakan. Lelaki itu pun akhirnya pasrah akan keputusan. Ia kembali fokus menatap ke depan. Tidak disangkanya jika ada pengendara motor yang melaju kencang ke arah mobilnya, ia pun langsung tersentak terkejut.

"Bis, Bis, kiri, Bis! Itu ada motor, balap banget!"

Lelaki yang mengemudi itu pun langsung tersadar dalam lamunannya.

"Astaghfirullah!"

"Awas!"

BRAK!

"Awh!" kedua lelaki yang berada di depan itu langsung tersentak. Kepalanya terbentur ke depan.

"Gila tuh, motor. Gus bagaima-" belum sempat lelaki itu menyelesaikan bicaranya, Imam. Lelaki itu sudah terlebih dahulu keluar dari mobil itu.

Tak ada pilihan lain, mereka pun ikut keluar dari mobil.

"Argh!!" sosok lelaki yang masih mengenakan helm di kepalanya, ia merintih kesakitan ketika merasakan tumpukkan kuat di bagian kakinya. Dia telah tertimpa oleh motor miliknya.

Tak lama pun, Imam pun datang menghampiri, hujan yang semakin deras, membuat aspal itu tampak licin.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Imam yang sangat cemas, ketika melihat lelaki itu mencoba untuk berdiri.

Imam pun membantu melepas helm milik lelaki itu. Yang membuat lelaki itu sedikit menggeleng merintih.

"Bisa jaga keseimbanganmu?" tanya Imam kembali, membuat lelaki itu menggeleng.

Tak lama, lelaki itu menyentuh dada miliknya sendiri.

"Allah.." ucapnya, sebelum ia langsung kehilangan kesadaran, dengan cepat Imam mempertahankannya agar tidak jatuh.

"HAFIZMA! Buka pintu mobil!" teriak Imam, yang langsung membuat mereka merespon cepat.

•••

"Dengan keluarga pasien?"

Imam. Lelaki itu berdiri saat ia melihat seorang Dokter keluar dari ruangan yang ia tunggu. "Kami, Dok. Kami yang membawanya datang ke sini. Bagaimana keadaan pemuda itu?"

Dokter lelaki itu tersenyum. "Alhamdulillah, dia baik-baik saja. Sekarang kalian boleh menjenguknya."

"Terima kasih, Dok..." kata pemuda yang masih terduduk bersama empat pemuda lainnya.

"Sama-sama. Jika begitu saya permisi.."

Selepas Dokter itu pergi. Keenam pemuda itu pun masuk ke dalam ruangan.

"Gus Den.. Kita nggak akan masuk ke penjara, kan?" tanya salah satu pemuda itu saat mereka mereka semua kini telah berdiri mengelilingi pembaringan lelaki itu.

"Hush. Ucapan lo nggak enak banget di denger, Zay."

"Kan semogaa..." balasnya.

"Aamiin."

"InsyaaAllah."

"Semoga saja dia cepat sadar."

"AAMIIN." Keempat pemuda itu serempak mengaamiinkan ucapan satu temannya. Hal itu pun membuat Imam yang sedari tadi diam hanya tersenyum tipis. Padahal dalam hatinya saat ini telah membaca doa agar lelaki yang telah terbaring itu cepat sadar.

"Abii.. Umi..."

Serempak keenam pemuda itu menoleh ke lelaki yang berhasil mengeluarkan suara.

"Alhamdulillah.. Udah sadar!"

"Hey, Mas. Aman?"

Salah satu pemuda menyenggol pinggang pemuda di sampingnya. "Nggak sopan banget. Malah nanyain aman segala."

"Itu kan udah sopan..."

"Sudah-sudah." Imam mengangkat bicara. Yang di mana ia mulai mendekat ke lelaki itu.

"Ponselmu telah aman bersama saya, bolehkah saya membukanya untuk mengabari Abi dan Umi kamu?"

Lelaki itu membuka pejaman matanya saat mendengar suara lembut dari seseorang di telinganya. Tak lama pun, ia menjawab dengan anggukan. Mendapat izin itu, segera saja Imam mulia menelepon nomor kontak dari sang Ayah lelaki itu.

"Assalamualaikum, pak? Benar, ini dengan ayah dari Iqbal Kinanan Najjah?"

•••

"Kenapa kamu menggunakan kecepatan tinggi?"

Imam. Lelaki kini mengembalikan handphone itu kepada pemiliknya. "Rem saya blong. Selain itu.. Saya juga tadi menghindari dari geng. Mereka mengejar saya."

Keenam pemuda itu saling menatap saat mendengar penjelasannya. Apalagi sangat aneh ketika mereka mendengar kalimat Geng.

"Geng?"

Iqbal. Lelaki itu mengangguk. "Iya. Saya dikejar oleh geng Ganezza. Karena mereka mau saya masuk ke geng itu. Padahal saya udah nolak. Tapi sampai sekarang.. Mereka masih maksa."

Kelima pemuda itu langsung tersentak saat mendengar nama geng itu. Termasuk Imam sendiri.

"Tunggu. Kalau boleh kita tahu. Apa alasan kamu nolak mereka?" salah satu pemuda bertanya.

Mendengar pertanyaan itu. Iqbal sedikit duduk tegak di kasurnya. "Nggak mungkin. Mereka itu kasar. Sukanya buat kerusakan. Gimana mau gabung sama mereka? Kalau alasan mereka ngajak saya gabung aja, itu agar mereka bisa merusak anggota pendakwah yang udah cukup terkenal tahun ini. Namanya Hafizma. Saya memang belum pernah ketemu sama mereka. Jadi, ya jelas saya nggak mau kalau saya gabung sama mereka untuk berbuat kerusakan. Bisa diusir saya sama Abi."

Penjelasan Iqbal, membuat keenam pemuda itu kembali saling bertatapan satu sama lain.

"Ehm..."

Salah satu pemuda mengangkat tangannya seperti ingin bersalaman kepada Iqbal. Melihat itu, Iqbal pun terheran. "Kenapa, ya?"

"Kita."

"Kenapa sama kalian?" Iqbal bingung.

"Kita Hafizma."

Deg!

Iqbal membulatkan matanya tak percaya. Spontan saja ia langsung menatap keenam pemuda yang berada di ruangannya.

"Kalian pendakwahnya?!"

Imam mengangguk. Ia pun menjulurkan tangannya kepada Iqbal. "Saya Imama. Raden Imama Hafizh Al-Ayyubi."

Flashback off..

Tok.. Tok...

"Assalamualaikum..." pintu terbuka dengan menampilkan pasangan yang sudah ditunggu-tunggu kepulangannya.

"Waalaikumussalam...." jawab mereka semua serempak.

"Lama banget. Habis dari mana aja, sih?" Iqbal mengomel. Namun tatapannya bukan pada Alisha, melainkan pada Imam.

"Jalan-jalan." Jawab Imam begitu santai.

Iqbal pun mengangguk. Ia kini beranjak berdiri dari sofa. Lalu mendekat ke Alisha dan menarik perempuan itu agar duduk di samping Abi Jaffar dan Umi Fatimah.

"Kenapa sih, Kak?" Alisha heran melihat perilaku kakaknya barusan. Ia kini melihat sang suaminya dan kakaknya yang berdiri bersampingan.

Iqbal menatap Abi dan Uminya. "Abi, Umi. Iqbal mau mempersilahkan menantu kalian untuk menyampaikan sesuatu yang penting bagi kalian. Termasuk kamu, Alish. Kamu harus dengar semuanya." Iqbal berucap tegas. Lalu ia menoleh sekilas ke arah Imam. "Iya, kan? Saya persilahkan dengan hormat."

Iqbal mengayunkan tangannya ke arah sofa di depan Abi, Umi, dan Alisha. Di mana setelah itu, Iqbal meninggalkan Imam berdiri dan duduk di samping Alisha.

Keheningan terjadi. Imam masih setia dalam posisi berdiri menatap satu keluarga lengkap yang duduk menatapnya. Dengan helaan napas, Imam pun mulai duduk di sofa berhadapan dengan mereka.

"Afizh mau ngomong apa?"

Alisha mencoba memecahkan keheningan saat dari tadi tidak ada yang membuka suara.

"Mengucap salam." Jawab Imam.

"Oh."

Jawaban itu saja yang mampu Alisha berikan. Sampai ia pun kembali terduduk tenang menunggu ungkapan apa yang ingin Imam sampaikan.

Imam berdeham pelan dengan mulai membenarkan duduknya memperkenalkan diri.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh...."

Imam menarik sudut bibirnya untuk mengatur napas. Bersiap mengungkapkan hal yang diminta oleh Iqbal.

"Perkenal kan. Saya adalah seorang pemuda laki-laki yang tinggal di sebuah rumah dalam hutan. Tak menyangka kisahnya, saya sudah berada di depan sini. Di mana status saya sekarang adalah seorang suami dari anak Abi Jaffar dan Umi Fatimah yang sedang berada di depan saya. Awalnya saya tak menyangka akan berada di dalam keluarga ini. Menikah dengan anak Abi Jaffar, adalah hadiah dari Allah yang begitu indah dalam hidup saya."

Abi Jaffar pun tersenyum mendengar itu.

"Maka tak perlu menunggu lama. Saya ingin memperkenalkan nama saya. Bahwa nama saya adalah Muhammad Imama Al-Hafidzh. Nama yang telah diberikan oleh guru saya kepada saya. Di mana, sang Imama Al-Hafidzh adalah seorang pemuda yang sedang bersembunyi di dalam hutan sana. Dia meninggalkan seluruh keluarganya dalam satu tahun yang lalu. Dan yang berada di depan kalian semua, ini masih dengan Imama Al-Hafidzh."

Usai mengucapkan itu, Imam kini bangkit dari duduknya dan mulai menjulurkan tangannya kepada Alisha. Hal itu pun masih membuat Alisha bingung, tapi ia tak mau memikirkan itu. Segera saja ia menerima uluran tangan itu agar berdiri dari duduknya.

Imam membawa perempuan itu untuk duduk di sofa yang ia duduki tadi. Dan ia pun duduk di sampingnya seraya menggenggam kedua tangan perempuan itu.

"Jika saya tadi mengenalkan diri saya sebagai Imama Al-Hafidzh. Sekarang berikan izin kepada saya, untuk memperkenalkan diri saya sebagai... Raden Imama Hafizh Al-Ayyubi."

Geming. Alisha masih tak mengerti dengan apa yang dijelaskan oleh Imam kepadanya. Imam yang melihat kebingungan istrinya sendiri, ia pun tersenyum.

"Nama asli saya adalah Muhammad Raden Imama Hafizh Al-Ayyubi. Saya adalah putra sulung dari Kyai Hafizh Al-Ayyubi, pemilik Pondok Pesantren Al-Hafizma. Nama saya dikenal oleh Raden di dalam Pondok. Jika diluar, saya dikenal dengan Imama. Jika bersama keluarga, saya dikenal dengan Ima. Dan jika bersama kamu, saya dikenal dengan Afizh. Maka dari itu, semenjak kamu telah menjadi istri saya, saat itu juga, status kamu adalah seorang Ning, wahai Nanaku."

Alisha membeku ditempat. Bibirnya tertutup rapat akibat tak bisa mengatakan sepatah kata pun. Melihat keheningan Alisha, Imam pun semakin tersenyum manis dengan mengelus kepala Alisha.

"Siap tinggal bersama saya di Ndalem? Siap membantu saya memimpin Al-Hafizma? Siap menjadi istri dari seorang Gus? Dan siap, menjadi Ibu dari anak-anak saya, wahai Nanaku?"

Kejeduar!

Iqbal kini memukul sofa yang ia duduki sambil menggigit bibir bawahnya akibat ikut salah tingkah melihat keromantisan ala Imama itu. Ia iri, bahagia, rasanya campur aduk dijadikan satu. Sedangkan Umi Fatimah dan Abi Jaffar pun juga tergelak penuh kebahagiaan melihat semua anak-anaknya tertawa riang. Bagaimana keadaan Alisha dan Imam? Mereka juga sudah terikut tertawa. Di mana Alisha kini menyenderkan kepalanya di dada Imam sehingga Imam bisa memeluk sang perempuannya dengan lembut.

"Siapp?"

"Siapppp!"

Malam itu. Adalah suatu kebahagiaan terbesar bagi mereka semua. Saling bertebar kebahagiaan hingga sampai tibanya azan magrib berkumandang. Mereka pun melanjutkan syukur dengan salat berjamaah.

•••

"JADI!? UMI SAMA ABI UDAH TAU SIAPA SUAMI ALISH SEBENARNYA!? DARI SEBELUM NIKAHIN ALISH? AAA UMI SAMA ABI JAHAT NGGAK KASIH TAUU ALISH....."

Alisha. Perempuan itu menaiki anak tangga dengan terisak kecil. Ia baru saja mendapat kenyataan yang pahit. Ternyata, sang Ayah dan Ibunya telah mengetahui siapa Imam sebenarnya. Kenapa tidak pernah cerita? Sungguh, ia juga baru mendapat info jika itu atas permintaan sang suaminya sendiri.

Dengan raut wajah cemberut, perempuan itu pun kini membuka pintu kamarnya dengan kesal. Agar suaminya tahu bahwa ia sangat begitu marah.

Melangkah perempuan itu mendekat ke Imam yang sedang terbaring santai dengan membaca buku sejarah Islam. Refleks kini membuatnya mengambil bantal guling dan melemparkannya ke arah lelaki itu. Sangat pelan, agar suaminya tidak kesakitan. Tapi tidak mungkin, sudah pasti itu empuk.

Imam menegakkan tubuhnya terduduk di kasur. Kedua alisnya terangkat bingung menatap sang istrinya. "Kenapa, Na?"

"Jahat."

Imam menutup buku itu. Lalu meletakkan kembali ke tempat semula.

"Saya?"

"Iya!"

Imam terdiam sejenak. Yang tak lama ia mulai menepuk kasur di sampingnya. Mengisyaratkan perempuan itu untuk naik ke kasur. Alisha pun menurut.

"Apa saya melakukan kesalahan? Di mana kesalahan saya?"

Alisha menggeleng. Di mana ia kini malah duduk di pinggir ranjang. Hal itu pun semakin membuat Imam bingung.

"Kenapa menjauh?"

Hening...

"Na...."

Tidak ada jawaban.

Merasa aneh. Imam pun memutuskan untuk kembali membaringkan tubuhnya dan tidur miring menghadap Alisha.

"Ayo, kemarilah." Kata Imam seraya mengayunkan telapak tangannya untuk istrinya itu mendekat.

Alisha melihat Imam sekilas, lalu menoleh ke arah lain kembali. "Nggak."

"Kenapa?"

"Nggak maau."

"Tapi saya capek."

"Ya udah tidur."

"Tapi saya tidak bisa tidur kalau tidak dipeluk sama kamu."

Alisha membuang napasnya kasar. Ia lelah saat baru menyadari Imam berbicara dengan dirinya itu menggunakan bahasa formal. Bukan kah dia ini istrinya? Mengapa seakan berbicara dengan orang kantoran? Sangat tidak mencerminkan hubungan suami istri.

"Afizh ini ngomong sama istri kayak ngomong sama Presiden pad lagi rapat. Formal banget. Ini itu istri Afizh, bukan orang lain..."

Alisha kini langsung mengangkat bicara. Di mana penuturannya itu hanya membuat Imam terdiam.

"Denger, nggak?"

Imam menatap Alisha. Di mana ia menggeleng sebagai jawaban. "Sudah biasa seperti ini, Na."

"Ya jangan dibiasakan dong. Masa ngomong sama istri sendiri kayak gitu. Coba ngomong pakai kata-kata romantis..."

Imam mengangguk. "Itu yang saya khawatir kan. Ketika saya memunculkan kalimat rolama, pasti semuanya akan berbeda."

Alisha terkekeh. "Kok bisa?"

"Ya saya lupa. Yang berbicara itu siapa."

Alisha semakin terkekeh. "Ya udah. Mana kata rolamanya? Ayo. Nana nggak mau tau. Afizh jangan bicara formal lagi sama Nana."

Imam menggeleng.

"Tidak bisa."

"Ish, bisain dong."

"Bagaimana caranya?"

Rasanya perut Alisha kini ada yang menggelitiki. Ia pun kembali terkekeh dengan menoleh ke arah lain.

"Pikir sendiri."

Mendengar jawaban itu. Imam menghela napas lelah. "Bisakah kita membahasnya nanti? Ini sudah malam, saya mengantuk.. Capek."

Alisha menggeleng keras.

"Nggak mauu."

Imam kembali menjulurkan tangannya kepada perempuan itu yang masih saja duduk di tepi sudut. "Saya mengantuk. Kemari.. Mendekat lagi...."

"Nggaak! Nggaaak! Nggaak! Ganti dulu bahasa kamu, Gus."

Imam menurunkan bibirnya ke bawah saat mendengar penolakan itu. Ditambah saat ia mendengar Alisha memanggilnya dengan sebutan itu.

"Tapi saya tidak bisa, Ning."

Alisha menggeleng. "Nggak mauu. Tetap pada syarat pertama. Ini permintaan sang Ning Alisha."

Imam mengeluarkan suara tangisan bayi. Lucu sekali jika didengar. Gemas sekali.

"Na, Na, Na.. Ayo temani saya tidur.."

"Ganti lagiii."

"Na, ayo, Na. Saya ngantuk! Heeem..."

Bibir lelaki itu benar-benar lucu saat ia turunkan ke bawah. Melihat itu pun, segera saja Alisha terkekeh geli melihatnya. Begitu lucu sekali ekspresi suaminya itu. Sungguh baru pertama kali Alisha melihatnya.

"Ih... Kok ketawa...." suara Imam memberat lucu.

Alisha pun menghentikan tawanya sejenak, lalu menatap sekilas Imam. "Coba dong, coba ulangii?"

Imam menepuk kasur sampingnya. "Sinii, Na..."

"Nggak mauuu."

"Nana sayang, jangan jauh-jauh, Afizh gak mau jauh, ayo peluk Afizh.."

Imam melayangkan tangan kanannya ke atas, seperti bersiap memeluk seseorang.

"Pengen peluk, Nana. Pengen cium Nana, ndak bisa jauh dari Nana, ayo sini, Na.. Afizh mau tidur, Afizh butuh pelukan.."

KEJEDUAR!

Alisha membuka mulutnya lebar-lebar ketika mendengar rengekan suaminya barusan. Tunggu, apakah dirinya tak salah dengar? Apakah itu suaminya? Sang Imama Al-Hafidzh?

Tidak mungkin. Rasanya, wibawa sang Imama telah hilang untuk malam ini ia berikan kepada sang istrinya. Lelaki itu benar-benar merengek seperti tidak dibelikan sang Ibu membeli mainan.

Saat itu juga Alisha kembali tertawa geli. Ia memegangi perutnya yang lelah akibat tertawa. Gemas, ia gemas sekali. Imam yang sudah tidak sabar lagi saat Alisha hanya tertawa tanpa mendekat ke dirinya. Ia pun sedikit bangkit dan langsung menarik tangan Alisha secepat kilat, dan membaringkan begitu saja ke sampingnya.

Sentak, Alisha tertarik kuat. Imam pun tersenyum manis dalam pejaman matanya saat ia kini berhasil mendekap tubuh istrinya.

"Deket lagi..," lirih Imam penuh kelembutan, membuat Alisha langsung menurut begitu saja. Ia pun mendekat ke Imam lagi.

Tertarik erat. Imam berhasil memeluk hangat sang istrinya.

"Yey, ketangkep.. Sayang Nana.."

Cup

Memerah. Wajah gadis itu langsung datar seketika. Ia hanya membeku di tempat ketika mendapatkan kecupan singkat dari lelaki yang tengah memeluknya itu.

Diam-diam pun, ia tersenyum manis. Membuat Imam semakin membawa istrinya itu berada di dekapannya yang paling dalam.

Untuk pertama kali, Alisha melihat sang suaminya berbicara dan berperilaku seperti itu.

Keheningan beberapa detik. Ketika Alisha ingin mencoba memejamkan mata, berharap suaminya akan membacakannya salawat serta ayat suci Al-Qur'an. Tiba-tiba saja ia mendengar bisikan lembut di telinganya.

"Coba, Nana pilih.. Mau baca doa tidur bersama, atau doa bersenggama bersama, hmm?"

DEG

GIMANA DENGAN KELANJUTANNYA? JADIKAH MEREKA...

SPAM SEJARAH CINTA🕯🕯🕯

SPAM 'SUBHANALLAH'

Di bawah sini kalian boleh mengeluarkan segala pertanyaan yang belum terungkap 👇🏻

ADA YANG BERANI MENYIMPULKAN??

Ini ada yang mau di sampaikann ke Lyy gak?😔



28 april 2022
-28 juni 2022

Continue Reading

You'll Also Like

333K 37.3K 11
"Menjadi nyonya Kozume sekaligus istri dari seorang Kozume Kenma menjadi awal lembaran baru di hidup [Full Name]" • Kozume Kenma x Reader • Wife © ne...
7.1K 524 33
Quotes islam di ambil dari tokoh" sahabat nabi
7.5K 327 3
Seorang CEO muda bernama Zayn Delano Gabriel tanpa sengaja menjatuhkan hatinya pada seorang gadis muda berparas cantik yang bernama Zahra Almaira Rah...
12.4K 1.2K 36
Blurb : Bagaimana bisa seorang Gadis berhijab seperti diriku mengagumi dirinya, orang-orang mungkin menyebutku Gadis yang bodoh karena berani Mencin...