بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ، وَعَلَىٰ آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ۞
[Allahuma sholi ala sayyidina Muhammad, wa ala ali sayyidina Muhammad.]
•••
•
•
•
Pukul 13.00 Siang.
Setelah berpulang dari pemakaman dan melaksanakan salat zuhur di masjid. Imam, Iqbal dan Alisha pun kembali melanjutkan perjalanan ke rumah.
Alisha termenung dengan memandang ke sampingnya. Melihat Imam yang sangat fokus menyetir mobil dengan tangan kiri yang terus menggenggam tasbih kecil. Sedikit ia menoleh ke tempat jok belakang, terlihat Kakak lelakinya itu sudah rebahan dengan mata terpejam.
Alisha pun menghela napas, dan kembali memandang sang suaminya. Dalam isi pikirannya saat ini, dipenuhi dengan begitu banyaknya pertanyaan. Apakah suaminya tidak memiliki niat untuk bercerita sesuatu kepadanya? Tolong, perempuan itu kini benar-benar ingin tahu tentang kehidupan suaminya sendiri.
"Masih melihat saya dengan tatapan seperti itu?"
"Afizh tadi pagi itu langsung susul Kak Iqbal, ya?" Alisha mengalihkan topik pembicaraan ketika lamunannya dibubarkan oleh pertanyaan tiba-tiba dari Imam.
Imam menarik sudut bibirnya. Ia tahu sekali bahwa istrinya itu ingin mengeluarkan berbagai pertanyaan untuknya. Tapi tak mampu dia sampaikan, atau mungkin dia menunggu Imam lah yang membuka kejujurannya.
"Jika ingin bertanya sesuatu. Tanyakan, Na. Bukankah sudah saya bilang kemarin itu, saya tahu apa yang ingin kamu sampaikan, tapi saya ingin kamu yang mengeluarkan pertanyaan itu terlebih dulu. Jika sudah, saya minta maaf, karena saya tidak bisa berjanji apa pertanyaanmu itu bisa saya jawab sekarang atau tidak." Imam bertutur kata lembut. Sangat lembut dan penuh ketenangan.
Ketika Imam melihat Alisha tak merespon apapun dari perkataanya. Ia tersenyum tipis. "Kamu marah?"
"Tadi nggak pamit." Alisha menjawab ketika sekian puluhan detik berlalu. Dia marah. Dan dia mengakui akan hal itu. Rasanya pikiran miliknya sudah campur aduk sekarang. Diikuti oleh bayang-bayang ketidakjujuran.
"Saya sudah pamit, tapi kamu saja yang tidak dengar."
"Ish, namanya Nana tidur. Afizh juga nggak bangunin Nana."
"Tidak sempat."
"Ya sempatin dong."
"Sempatnya mencintaimu."
Alisha memutar bola matanya malas dan menatap ke arah lain. Padahal, hatinya kini sudah seperti taman bunga yang dipenuhi kupu-kupu. Sangat, sangat salah tingkah.
"Nggak baper!" jangan percaya, ucapan Alisha ini hanya dari luarnya. Padahal di dalamnya, ia sudah senyum-senyum sendiri namun ia tahan agar tidak diketahui oleh suaminya.
"Saya tidak menyuruh kamu untuk baper sedari tadi, Na...."
"Ih. Yaudah, Nana juga nggak baper tuh."
"Tapi kok pipinya merah?"
Deg!
Begitu ketahuan. Alisha semakin memalingkan wajahnya. Malu, perempuan itu sangat malu sekarang.
"Udah, dong. Malu tauuu."
"Iya, maaf. Tapi saya suka kamu gitu."
"Gitu gimana?"
"Gemesinnnn."
Sungguh, Alisha saat ini benar-benar ingin berjingkrak-jingkrak sampai jungkir balik akibat sangat gembiranya hatinya saat ini. Bagaimana bisa Alisha akan marah, jika perlakuan suaminya terus seperti ini?
Benar saja, saat tadi pagi ia bangun dan tak menemukan suaminya di mana pun, alias ia ditinggal sendiri. Alisha sudah mempersiapkan segala usaha untuk marah dan mendiamkan suaminya. Tapi ujung-ujungnya? Suaminya telah mengacaukannya. Cair, dirinya mencair.
Selain untaian tutur katanya, suara parau yang begitu lembut juga sangat Alisha hindari sampai saat ini. Sehingga pernah Alisha memutuskan untuk phobia dengan suara dan senyuman lelaki itu. Takut, dan tidak aman untuk kesehatan jantungnya.
•••
"Adik ipar yang baik hati. Tolong keluarin barang gue yang di bagasi dong? Kaki gue masih sakit...." Iqbal beralasan.
Imam yang baru saja membuka pintu mobil itu pun keluar. Ia menatap tajam ke arah Iqbal. "Apa yang kamu katakan?"
"Keluarin barang gue di bagasi."
Alisha tersentak ketika melihat Kakak lelakinya begitu sangat tidak sopan terhadap suaminya. "Sopan banget, ya. Sama adik ipar?"
"Iya, dong." Iqbal tersenyum bangga.
Alisha mendengus kesal. Ia pun mendekat ke suaminya. "Nana bantu, ya."
"Tidak usah, Na. Kamu masuk aja."
"Tapi..."
"Tidak apa-apa."
Alisha menarik napasnya dalam-dalam. Tak ada yang bisa dilakukannya selain menurut. Dia meninggalkan Imam yang mengeluarkan barang Iqbal dan kembali berdiri di samping Iqbal.
"Nah, gitu dong jadi adik ipar," puji Iqbal memasang raut bangga. "Ntar gue kasih piring cantik buat lo!" lanjutnya lagi, membuat Imam hanya menggeleng pelan di sana.
"Piring juga pasti punya Umi," timpal Alisha, membuat Iqbal tergelak tawa.
"Tuh, pinter." Puji Iqbal. Iqbal pun terdiam sejenak seraya menatap lekat Imam yang sudah mengangkat barangnya ke dalam rumah. Alisha ingin menyusul, namun terhalang oleh seseorang.
"Bentar, Al."
Alisha menoleh. Ternyata Kakak lelakinya yang menghalanginya.
"Apa?"
"Mau ngomong penting. Jarang-jarang, kan? Kita ada waktu bareng? Janji deh, Kakak akan selalu pulang ke rumah." Ujar Iqbal serius dengan perkataanya.
"Ngomong apa? Di dalam aja, yuk!" Alisha ingin menarik tangan Iqbal. Namun Iqbal menolak.
"Nggak mau. Di sini aja."
"Ish, Alish capek berdiri tauuu."
"Bentar aja."
"Yaudah apa?"
Iqbal mengangguk pelan ketika Alisha menurut. Tak lama pun, ia memutuskan untuk terdiam sejenak. Memikirkan kalimat yang pas untuk ia ungkapkan kepada adiknya.
"APA KAKKKK?" Alisha tidak sabar.
"Status kamu sekarang, apa?"
"Istri."
Iqbal mengangguk lagi.
"Istri, ya?"
"Iya."
Iqbal menghela napas pelan. "Istri... Sebagai Istri, apa yang udah kamu lakuin untuk suami kamu?"
Alisha geming. Kenapa dengan Kakak lelakinya yang mengeluarkan pertanyaan seperti itu? Pembahasannya juga sangat serius mengarah pada pernikahan.
"Em...." Alisha menggeleng pelan. "Belum ada, Kak."
"Kewajiban kamu, Al." Iqbal menekan kalimatnya.
"Iya, Kakkkk."
"Belum?"
Alisha mengangguk mengiakan.
"Kenapa belum?"
"Karena... Afizh belum minta. Dan Alish belum siap?" Alisha menjawab pelan, di mana ia mulai menundukkan kepalanya sedalam-dalam mungkin.
Baru kali ini saja Alisha rasa, pembahasan Iqbal sangat serius. Di mana Alisha juga baru sadar akan pasal itu. Kenapa bisa-bisanya ia lupa tentang kewajibannya sebagai seorang istri? Apakah karena suaminya itu yang terlalu baik serta tak pernah membahas soal ini, dirinya jadi lupa? Ia juga baru sadar, bahwa berulang kali suaminya itu mengkode kepadanya tentang kewajiban suami istri.
"Coba ulang kata kamu tadi? Karena apaaa????" Iqbal mendekatkan telinganya di wajah perempuan itu. Ia merendahkan tubuhnya agar pas dengan adiknya.
"Karena belum siap."
Iqbal kembali berdiri tegak. "Siapa yang belum siap?"
"Alishh," jawab Alisha pelan.
"Siapaaa?"
"Alishaaaa, Kakkkk."
Iqbal terdiam sejenak. "Jadi.. Kamu tahu, tugas kamu apa. Tapi kamu hanya belum siap?"
Ini terlalu serius, demi Allah. Alisha rasanya tidak sanggup untuk meneruskan. Perkataan kakaknya, seakan-akan telah membuatnya merasa bersalah karena tidak benar menjadi istri selama ini.
Iqbal menyentuh lembut pundak Alisha seperti ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting.
"Al?"
"Iya?"
"Dengar ini...."
•••
Pukul 20.00 malam.
Alisha menarik napasnya dalam-dalam. Lalu membuangnya secara perlahan. Posisi perempuan itu kini telah berada di depan pintu kamar. Ketika dirinya baru saja membantu Umi mencuci piring, ia datang ke kamar untuk beristirahat, namun tak sanggup menemui suaminya.
"Bismillah..."
Cklek..
Alisha berhasil membuka pintu. Bibirnya bergetar ingin mengucapkan kalimat..
"Assalamualaikum...."
Hening...
"Waalaikumussalam." Imam yang sedang rebahan itu segera duduk bersila di kasur seperti menanti kehadiran perempuannya.
"Tidur, yuk?"
Alisha mengangguk. Ia pun segera naik ke kasur dan membaringkan dirinya di samping Imam.
"Saya capek...." Kata Imam parau.
"Capek? Nana pijat, ya?"
"Bukan capek itu." Imam menggeleng pelan tak setuju.
"Terus capek apa?"
"Capek jatuh cinta sama kamu."
Alisha yang posisinya saat ini berbaring miring menghadap Imam. Ia pun langsung menarik selimut untuk menutupi wajahnya yang pasti sudah memerah merona. Sepertinya ia malam ini harus pesan tiket untuk terbang ke planet lain. Malam-malam seperti ini, ia harus dihidangkan dengan suara parau dari suaminya yang mungkin terlihat letih. Sekali ia mengintip, lelaki itu ternyata telah memejamkan mata.
Alisha pun membuka selimutnya untuk menghela napas lega. Pandangannya begitu teduh kala ia menatap wajah suaminya yang masih terlihat tampan ketika tertidur.
"Daripada melihat saya seperti itu, lebih baik kamu ambil wudu."
Alisha sontak memalingkan wajahnya. "Ih, siapa coba yang lihat Afizh?"
"Sudah ambil wudu?"
"Udah tadi."
Imam manggut-manggut dalam kondisi mata terpejam. "Berdoa."
"Udaah."
"Al-mulk?"
Alisha terkekeh. "Udahhh, Afizh. Tadi kan kita udah sama-sama saat Isya."
Imam kembali mengangguk. "Maaf, saya lupa. Karena yang saya ingat itu kamu-eh, maksud saya, saya cuma ingat Allah."
Sungguh, perempuan itu hampir saja baper dengan perkataan Imam yang berhenti di dirinya. Tapi, dirinya semakin dibuat baper akibat cintanya semakin bertambah ketika mendengar begitu besarnya lelaki itu mencintai Tuhan-nya.
"Semuanya udah berarti, ya?" tanya Imam lagi.
"Iya."
"Terus yang belum, apa?"
Alisha terdiam sejenak. Sebelum akhirnya ia menggeleng pelan sebagai jawaban.
Imam membuka pejaman matanya, lalu tersenyum kecil seraya mengelus lembut kepala perempuan itu. Setelah itu, ia pun mendekat, dan mengecup kening sang istrinya.
"Ungkapin apa yang ada di pikiran kamu tentang saya." Bisik lelaki itu dengan suara parau.
"Sekarang?"
Imam mengangguk. Alisha pun terdiam sebentar.
"Em.... Selamat malam."
Imam terkekeh pelan ketika istrinya malah mengucap kalimat itu. "Selamat malam, jugaaa."
Alisha tersenyum.
"Sudah? Itu saja?"
"Ada lagii." Kata Alisha.
"Apa?"
"Emm.. Sebelum tidur.. Nana minta maaf, ya? Maaf, kalau Nana belum bisa jadi istri yang baik, belum bisa jadi istri yang salihah, belum bisa jadi istri yang memiliki akhlak yang baik sama suaminya. Dan maaf, belum bisa menunaikan kewajiban Nana sebagai istri Afizh, masih sering bentak, masih sering meninggikan suara sama Afizh, padahal, itu nggak boleh...."
Imam menatap mata Alisha lekat. Seakan ia tidak mendengarkan apa yang Alisha ucapkan. "Apa?"
"Maaf..." lirih Alisha mengulang kembali.
"Apa yang kamu katakan?"
Pertanyaan Imam kembali, membuat Alisha malah terdiam kali ini. Apakah suaminya marah?
"Nggak apa-apa. Nana cuma minta maaf aja sebelum tidur." Alisha menampakkan senyum manisnya.
Imam mengangguk. "Saya juga minta maaf, ya?" Imam bergantian.
"Iya. Sama-sama, Afizh..."
"Terima kasih."
"Sama-sama."
"Terima kasih."
"Sama-sama."
"Terima kasih."
"Kok terima kasih terus, sih?" heran Alisha kepada Imam.
"Iya. Biar kita sama-sama terus."
Pipi Alisha memanas saat itu juga.
"Tidur aja, yuk." Alisha mengalihkan topik.
"Ayo."
"Salawatnyaa jangan lupaa. Habis itu bacakan ayat suci Al-Qur'an sampai Nana tidur, ya?"
Imam terkekeh pelan seraya menganggukkan kepala. Itu sangat mudah untuk dirinya. Imam pun mendekat ke Alisha lalu memeluk perempuan itu dengan erat.
"Assalamualaikum...." kata Alisha pelan di dalam pelukan itu.
"Waalaikumussalam.... Istriku."
JADI, IKARA ADALAH...
APA? POLIGAMI??
GAADA POLIGAMI, TENANG AJAH.
Ntar kalau Imam minta poligami, saya kubur aja dia, okeh.
SPAM NEXT >
04 april 2022
-15 juni 2022