NAMANYA ARUM.

بواسطة ElAlicia

130K 23.7K 2.9K

Kota Pelabuhan, 1965 Arum adalah seorang gadis pantai yang gesit dan trengginas selayaknya ombak di kala huja... المزيد

INTRO
PROLOG
1. SAWAH PAK TARNO
2. RUMOR
3. DANU
4. MAMA SINTHA
5. PERASAAN TAK BIASA
6. BISKUIT AYAH
7. RUMAH MAS DANU
8. SURAT
9. HARI TERAKHIR
10. KOTA KEPENDUDUKAN
11. SATU RANJANG
12. SENI RAKYAT
13. MALAM BERSAMA
14. PAGI HARI
15. KEPERCAYAAN
16. KABAR BAIK
17. KEJELASAN
18. KEBENARAN
19. PAKSAAN HALUS
20. SURAT
21. KOTA PELABUHAN
22. JANGGAL
24. MIMPI BURUK
25. DILEMA
26. BOHONG
27. BANTUAN
28. FRUSTRASI
29. SEBELUM MELAUT
30. KESEPAKATAN
TENTANG NAMANYA ARUM

23. KETAKUTAN

3.1K 719 164
بواسطة ElAlicia

Ketakutan Arum kini menjadi kenyataan. Mas Danu benar mencarinya di kota itu, meskipun tidak secara terang-terangan. Arum tahu bagaimana pria itu bekerja. Mas Danu akan mengirimkan anak buah, menyamar sebagai warga kota itu dan memperhatikan gerak-gerik Arum setiap hari, mencari di mana Arum tinggal dan bersama siapa. Ketika semuanya sudah pasti, Mas Danu sendiri yang menjemputnya. Pria itu licik seperti iblis, di balik pembawannya yang tenang dan kalem. Neraka bahkan tidak sudi menerima pria seperti Mas Danu.

"Arum!" panggil Mas Danu pelan dengan nada lembutnya. Suara pria itu menggema di rumah Mama Sintha yang terasa sepi dan kosong itu. Arum sendiri bersembunyi di balik palang tangga teratas rumah Mama Sintha, mengintip apa yang sedang terjadi di ruang tamu. Ia tak sendirian, sebab perempuan-perempuan lain di situ juga ikut bersembunyi, sekaligus melindungi Arum. Mama Sintha-lah yang menghadap Mas Danu sendirian dengan segala ketegaran yang ia punya.

"Dia tidak ada di sini," gumam Mama Sintha dengan wajah tidak pedulinya sembari menggerakkan kipas tangannya.

"Dia di sini," balas Mas Danu tenang, membuat Arum semakin yakin pria itu sadar akan kehadirannya.

"Kenapa kamu sangat yakin, Danu? Apa kamu juga sudah melihat gerak-geriknya, seperti yang kamu lakukan pada warga kota ini?" balas Mama Sintha berani, membuat Arum dan perempuan lain sontak menghela nafas kaget.

Danu menatap Mama Sintha cukup lama, sebelum pria itu kembali memalingkan pandangannya ke arah lain, mengabaikan segala perkataan wanita itu. "Arum..." panggil Danu lagi dengan nadanya yang sedikit membujuk.

Danu memberanikan dirinya melangkah mendekati anak tangga, sampai Mama Sintha menghalangi jalannya. Keduanya kini saling bertatapan. Mas Danu dengan tatapan tenangnya dan Mama Sintha dengan tatapan beraninya. Meskipun pria itu terlihat tenang, tetapi Mama sintha sadar jika Danu tampak tegang.

"Ini tata krama orang kependudukan?" sindir Mama Sintha tajam.

"Ini tata krama orang pelabuhan?" balas Mas Danu lagi, tidak mau kalah. "Menyembunyikan istri orang lain."

"Menyembunyikan istri seorang pembunuh," desis Mama Sintha, membuat Danu memicingkan matanya. Tangannya terkepal erat di samping tubuhnya dan hal itu tak luput dari pandangan Arum. Danu meraih leher Mama Sintha dan mencekiknya lembut. Tidak bermaksud untuk benar-benar menyiksa wanita itu, tetapi cukup untuk membuat bulu kuduk Mama Sintha dan Arum berdiri tegak.

"Jangan memancing saya," ucap Danu mendikte setiap perkataannya pada Mama Sintha.

"Bunuh saya sebisa kamu, Danu..."

"M-mas," panggil Arum pelan, membuat Mama Sintha dan Mas Danu mendongakkan kepala mereka ke arah Arum. Mama Sintha melebarkan matanya kaget sekaligus khawatir. Ia berulang kali menyuruh Arum kembali dengan tatapannya, tetapi Arum bersikukuh berdiri di ujung tangga teratas dengan tubuhnya yang gemetar.

Arum tidak ingin ada korban lain karena dirinya. Perbuatan pria itu membuat Arum sadar jika Mas Danu jauh lebih berkuasa dari yang ia pernah bayangkan. Dan Mama Sintha bukanlah tandingan pria itu. Sudah cukup, Arum melihat Ayah pergi meninggalkannya, jangan lagi ada orang lain yang ia kasihi meninggalkannya.

"Pulang, Arum," gumam Mas Danu lagi dengan nadanya yang sepelan mungkin.

"Naik, Arum," sergah Mama Sintha cepat.

"Daripada kamu memaksakan pilihan untuk dia, biarkan Arum memilih," gumam Mas Danu lagi dengan nada dinginnya. "Pulang bersama saya atau tinggal di sini."

Itu bukan pilihan. Itu sebuah ultimatum. Paksaan.

Tinggal di rumah Mama Sintha membuahkan konsekuensi yang besar untuk orang-orang di situ, sedangkan pulang bersama Mas Danu hanya akan membahayakan dirinya sendiri... dan anaknya. Arum merasakan hatinya diremas ketika ia melangkah turun, tangga demi tangga, semakin mendekati Mas Danu. Mama Sintha tampak seolah ingin mencegah Arum, tetapi Mas Danu dengan sigap mengulurkan tangannya pada Arum. Arum menitikkan air matanya ketika ia meraih tangan besar Mas Danu. Menggandeng iblis penyebab penderitaannya.

"Maaf," bisik Arum pada Mama Sintha sembari terisak. "Jangan cari Arum..."

Mas Danu menarik Arum dengan lembut masuk ke dalam pelukannya dan membawa istrinya itu ke mobil yang sudah menunggu mereka di depan. Arum tidak ingin menolehkan wajahnya, sebab ia tidak ingin melihat kekecewaan di wajah Mama Sintha. Karena itu, ia hanya menundukkan kepalanya dan menurut begitu saja ketika Mas Danu menaikkannya ke atas mobil. Kini, ia duduk di jok belakang bersama Mas Danu dengan ditemani seorang supir di jok pengemudi. Mobil tersebut perlahan bergerak meninggalkan rumah Mama Sintha.

Samar-samar, Arum mendengar namanya diteriakkan dengan tangisan pilu. Arum tidak menoleh. Ia menegarkan dirinya, tetapi tak ayal air mata terus jatuh dan mengalir di pipinya. Ia merasakan rangkulan lembut di tubuhnya dan Arum dibawa ke pelukan Mas Danu. Tangan pria itu perlahan bergerak ke arah telinga Arum dan dengan sengaja menutupnya. Kecupan lembut terasa di puncak kepala Arum.

"Kamu sudah aman sekarang, Arum," ucap Mas Danu yang terdengar seperti ironi bagi Arum.

***

"Non," ucap Mbok Asri dengan wajah syoknya ketika melihat Arum kembali. Tak pernah sedikit pun, Mbok Asri mengira Arum akan kembali. Gadis malang itu pun juga tidak seharusnya pulang, apalagi pada sosok Danu.

"Mas buatkan teh ya?" tawar Mas Danu, tidak mempedulikan apa yang sebenarnya terjadi pada Arum dan bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja. "Ganti baju, Arum, lalu tidur. Sudah malam."

Arum masuk ke kamarnya sendiri dengan ditemani oleh Mbok Asri. Arum seolah tubuh tanpa nyawa. Saking lelahnya, Arum, ia sampai tidak memikiki tenang untuk sekadar mengganti bajunya. Mbok Asri yang membantu mengganti pakaian keluarnya menjadi terusan tidur yang sopan. Arum duduk di depan meja riasnya sembari menangis.

Arum merindukan kehangatan rumah Mama Sintha; kehangatan kotanya dan kehangatan penduduk di sana. Rumah ini memang sangatlah indah, mewah dan berdinding semen, tetapi hal itu tidak akan memberi Arum kenyamanan seperti ketika ia di rumah Mama Sintha. Rumah ini terasa dingin, sepi dan menyedihkan. Setiap kali Arum berada di rumah itu, yang ia pikirkan hanyalah bagaimana bodohnya dia membiarkan Mas Danu menyentuhnya. Membiarkan pria itu menidurinya dan membohonginya seperti ini.

Arum yang menangis, tak luput dari pandangan Mbok Asri. "Non sudah selamat. Itu yang terpenting," ucap Mbok Asri, berusaha menenangkan Arum.

"Selama Arum pergi... apa yang dilakukan Mas Danu pada Mbok?" tanya Arum perlahan dengan nadanya yang gemetar.

Mbok Asri terdiam, tetapi Arum bisa merasakan tubuh wanita itu menegang. Apa pun yang terjadi, pastilah itu bukan sesuatu yang menyenangkan. "Ndak ada, Non. Saya baik-baik saja," gumam Mbok Asri sembari tertawa gugup.

Arum meraih tangan Mbok Asri dan menggenggamnya dengan lembut. "Maaf, Mbok, karena saya..."

"Ndak, Non, itu pilihan saya juga. Tidak usah khawatirkan saya, Non. Saya baik-baik saja," gumam Mbok Asri lagi sembari balas menggenggam tangan Arum, meyakinkan gadis malang itu bahwa nasibnya sebenarnya jauh lebih baik dari Arum.

"Arum..."

"Biar saya saja." Suara itu menghentikan perkataan Arum. Mbok Asri buru-buru pamit, meninggalkan Arum berduaan saja dengan Mas Danu. Pria itu meletakkan nampan teh dan biskuit di atas nakas, lalu berjalan menghampiri Arum. Langkah pria itu tenang dan ekspresi Mas Danu datar. Arum sungguh tidak mengerti emosi apa yang sedang dirasakan Mas Danu sekarang. Pria itu tidak terlihat marah atau pun sedih atau pun bahagia. Pria itu seperti tubuh tanpa nyawa, yang tidak memiliki emosi apa pun.

Arum berdiri dari kursi meja riasnya, lalu melangkah ke ranjangnya sendiri, berniat untuk tidur. Ketika ia melewati Mas Danu, sikutnya dicengkeram dan tubuhnya kembali ditarik, hingga kini ia berhadapan dengan pria itu.

"Apa mereka mengatakan saya membunuh Ayah, Arum?" tanya Mas Danu sembari mendengus pelan. "Dan kamu percaya?"

"Sampai kapan Mas akan seperti ini?" desis Arum dengan matanya yang berkaca-kaca. "Arum bukan gadis bodoh yang..."

"Saya tahu," potong Danu lagi dengan tatapan tajamnya.

"Jadi benar?" tanya Arum, berusaha menahan isakannya. "Mas membunuh Ayah?"

Tatapan Danu menggelap. Pria itu meremas sikut Arum sembari memicingkan matanya. "Sekali pun Mas membantah, kamu tidak akan percaya, Arum. Lalu, untuk apa?"

Arum menghela nafas tidak percaya. Air matanya menitik. Adalah sesuatu yang luar biasa, Arum bisa menahan dirinya sampai pada titik ini. Diraihnya tangan Mas Danu yang besar dan diletakkannya di lehernya. Arum menatap tepat di mata Mas Danu. Keduanya saking bertatapan dalam keheningan malam. Yang satu dengan tatapan tegarnya dan yang lain dengan tatapannya yang tak terbaca.

"Bunuh, Arum," ucap Arum mantap. "Bunuh saja, Arum, Mas. Mas lebih dari mampu melakukan itu."

Danu menatap Arum dengan tatapannya yang tajam dan mengeratkan genggamannya di leher Arum. Tangan pria itu besar dan hangat, membuat Arum yakin Mas Danu bisa dengan mudahnya mematahkan lehernya. Semakin lama genggaman itu semakin erat, membuat nafas Arum mulai tersendat. Arum menutup matanya, bersiap menjemput ajalnya. Mas Danu menunduk hingga wajahnya berjarak beberapa senti saja dari Arum. Nafas Arum kian berat di kala genggaman itu semakin menguat.

"Kamu tahu saya bisa melakukannya, Arum, tetapi saya tidak ingin," ucap Danu sembari merenggangkan tangannya, membuat Arum bisa bernafas dengan normal juga akhirnya. Arum membuka matanya perlahan dan mendapati wajah Mas Danu begitu dekat dengannya. Ujung hidung keduanya bersentuhan lembut.

Tangan Mas Danu yang berada di lehernya perlahan naik hingga ke sisi wajahnya. Anehnya, wajah Mas Danu kembali melembut dan tidak sedingin yang tadi. "Arum," bisik Mas Danu. Kali ini suara pria itu terdengar rapuh dan menyimpan kesedihan. "... jangan seperti ini."

Arum tetap diam dan memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia muak melihat mata Mas Danu yang kali ini tampak begitu manusiawi dan tulus.

"Apa yang Mas lakukan bukanlah sebuah pilihan," ucap Danu lagi dengan nadanya yang gemetar.

"Mas punya pilihan. Selalu punya pilihan. Hanya saja Mas memilih pilihan yang egois," balas Arum lagi sembari memundurkan tubuhnya dari jangkauan Mas Danu. "Bahkan neraka pun tidak pantas untuk manusia seperti Mas."

"Kamu tidak akan pernah mengerti, Arum..." ucap Danu lirih.

"Mas juga tidak akan pernah mengerti," jawab Arum dengan tatapan teguhnya.

Saling memahami adalah hal yang paling diperlukan dalam situasi ini, tetapi baik Arum maupun Danu menolak melakukan itu, sebab untuk menjelaskan apa yang terjadi pada mereka saja sudah begitu menyakitkan. Karena itu, keduanya memilih untuk saling menyalahkan dan hidup dalam pikiran masinh-masing.

TBC...

Hola bestie, im beekk.

Mungkin kalian mengharapkan kemarahan Mas Danu yang besar, tetapi aku ga merasa itu cocok dengan karakternya sejak awal. Menurutku, Danu itu tipe yang tenang2 menghanyutkan dan marahnya pun juga sama. Tenang2 menghanyutkan.

Jangan bosan2 yaw

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

7.2M 767K 53
Catrionna Arches dipaksa menikah dengan jenderal militer kerajaan, Kenard Gilson. Perjodohan yang telah dirancang sejak lama oleh kedua ayah mereka...
333K 17.7K 38
Bagaimana jadinya jika seorang ceo muda meninggal dunia akibat kecelakaan, malah bertransmigrasi ke tubuh seorang bayi yang baru saja berumur 40 hari...
25.7K 2.9K 22
Seorang pengacara dari kalangan bangsawan yang memiliki status sebagai *Omega*, ia sangat membenci para bangsawan yang ada di sekitar nya, sang ayah...
659K 61.2K 32
Ibuku bilang, selama ini kami harus hidup susah dan terus-menerus bersembunyi karena ayahku sangat membenci kami dan ingin membunuh kami. Namun ... K...