Canon

Bởi ashwonders

1K 129 32

Canon adalah kumpulan cerita pendek bertema romansa ringan remaja, berasal dari dalam buku tulis bersampul ke... Xem Thêm

'Sup?
Keep On Cheering! (part 1)
Keep On Cheering! (part 2)
Locker Girl (part 1)
Locker Girl (part 2)
Locker Girl (part 3)
Princess of Papaya (part 1)
Princess of Papaya (part 2)
Princess of Papaya (part 3)
Canon (part 1)
Canon (part 2)
Canon (part 3)

Keep On Cheering! (part 3)

60 10 8
Bởi ashwonders

FITA meresapi seluruh perkataan kakaknya dengan syok. Wajahnya memucat akibat kekagetan dan kebingungannya.

"Kak Chandra... dia...?"

"Iya, Fit. Kita macarin cowok yang sama. Yang, dinilai dari reaksinya sekarang, kayaknya udah tau kita berdua kakak-adik." kata Fian dengan senyum yang telah lenyap sama sekali dari wajahnya.

Sementara itu Chandra hanya diam.

Fita memandangi Fian dengan sepasang mata membelalak tak percaya, kemudian akhirnya beralih memandangi Chandra.

"Kak, itu bener?" tanya Fita, suaranya gemetar.

Chandra tersenyum simpul.

"Ya, itu bener."

Fita mengerjap dan terisak. Sementara Fian masih tak habis pikir bagaimana Chandra, cowok yang selama ini dikaguminya, ternyata bukanlah seperti yang dikenalnya selama ini. Seolah dalam sekejap dia berubah menjadi... orang lain. Orang yang tidak berperasaan.

"Minta maaf sama Fian dan Fita." ucapan luar biasa dingin itu terlontar dari mulut Riga.

Chandra lagi-lagi tersenyum, "Harusnya lo yang minta maaf sama Fian dan Fita, Ga. Karena gue nggak bakalan ngelakuin ini kalo bukan gara-gara lo."

Fian tahu seluruh sel penyusun tubuh Riga saat ini sudah meraung-raung ingin menanamkan bogem mentah ke wajah congkak milik Chandra. Sejujurnya, Fian belum pernah melihat Riga semarah ini. Dia pernah mendengar beberapa kali pengakuan anak-anak klub sepak bola yang bilang bahwa Riga mengerikan saat sedang marah.

Tapi mendengarkan urban legend itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan menyaksikannya langsung, seperti saat ini.

"Apa mau lo sebenernya?" desis Riga, menggertakkan giginya.

Chandra melangkah mendekati Riga hingga hidung-hidung mereka nyaris beradu satu sama lain.

"Mau bikin lo inget apa aja yang udah lo rampas dari gue, wahai adik gue tersayang."

Fian membelalak kaget. Dia memandangi Riga dengan tatapan syok.

Riga?

Auriga adiknya Chandra?

"Chan." Riga balas menatap Chandra tajam, "Lo butuh bantuan."

Saat itulah kekacauan terjadi. Chandra melayangkan tinju ke rahang milik Riga, mengakibatkan keduanya terjatuh ke aspal parkiran dan pergumulan pun terjadi. Kedua cowok itu saling pukul dan Fita memekik panik, sementara Fian menekap mulutnya, berusaha memproses segala kejadian mencengangkan yang terjadi di hadapannya.

"RIGA!" Fian menyerukan nama sahabatnya dan berlari hendak memisahkan keduanya, namun dicegah oleh tukang parkir mall yang kebetulan berada di dekat situ.

"Jangan, Mbak!" seru tukang parkir itu seraya memanggil rekannya di kejauhan, "ADA YANG RIBUT DI SINI!"

Dua orang sekuriti mall datang berlari-lari dari kejauhan dan dengan sigap segera memisahkan dua cowok yang sedang saling tindih itu. Chandra memberontak, masih berusaha melepaskan diri dari lengan-lengan sekuriti yang menahannya, terdapat memar di beberapa bagian wajahnya dan pelipisnya terluka. Sementara Riga tampak pasrah dalam kuncian lengan sekuriti satunya, namun tatapan menusuknya masih tertuju pada Chandra. Bibirnya sobek dan kancing atas kemejanya terlepas.

Fita berlari ke arah Fian dan memeluknya sambil menangis. Fian hanya mampu memandangi kedua cowok itu digiring oleh sekuriti ke kantor manajemen mall sementara dirinya mengikuti dari belakang, sambil sesekali mengelus-elus pundak adiknya untuk menenangkan.

Arloji Fian sudah menunjukkan hampir pukul empat sore. Dia masih berada di ruang tunggu manajemen mall. Fita sudah pulang duluan. Fian memesankan ojek online untuknya dan berjanji untuk mengobrol nanti setelah dia pulang. Adiknya berulang kali mengucapkan kata 'maaf' pada Fian karena dia tidak tahu Chandra adalah pacarnya. Namun Fian memeluknya dan berkata bahwa ini bukan salahnya.

Fian tahu bahwa adiknya jadian dengan Chandra lebih dulu dibandingkan dengannya. Karena itu dia tidak bisa menyalahkannya. Dan sekalipun urutannya terbalik, dia tetap tidak akan menyalahkan Fita. Dia tahu adiknya sama sekali tidak tahu apa-apa, dan yang patut disalahkan atas segala kekacauan ini adalah Chandra dan agenda sintingnya yang melibatkan Riga.

Pintu kantor manajemen akhirnya terbuka. Dia memperhatikan sesosok pria asing yang keluar bersama Chandra tak jauh di belakangnya. Pria itu tampak stres dan letih, dilihat dari caranya memijit puncak hidung dan ekspresi tegangnya. Keduanya berjalan menuju pintu keluar, dan ketika melewati ruang tunggu, tatapan Chandra bertemu dengan Fian.

Namun cowok itu hanya diam, dengan ekspresi yang tak terbaca. Dia mengalihkan pandangan dari Fian, lalu memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya dan mengikuti ayahnya berjalan menuju parkiran ke arah mobil hitam mereka.

Bohong bila Fian menganggap gestur itu tidak menyakitinya sama sekali. Hatinya serasa tertusuk dari berbagai arah melihat ketidakpedulian Chandra. Dia sama sekali tidak meminta maaf. Tidak ada basa-basi. Tidak ada penutup.

Fian mengeluarkan ponselnya dan menghapus foto-fotonya bersama Chandra. Chat history-nya bersama Chandra. Menekan unfollow pada setiap akun media sosialnya. Terakhir, dia menghapus kontaknya.

Kemudian sesosok wanita yang diketahuinya sebagai ibu Riga keluar, disusul Riga sendiri. Keduanya tampak berbicara serius selama beberapa saat di dekat pintu, dan akhirnya wanita itu melirik Fian. Dia menepuk pundak anaknya sebelum beranjak ke arah kursi tempat Fian menunggu. Fian hendak bangkit namun dicegah wanita itu.

"Fian, udah lama nggak main ke rumah." Tante Sinta tersenyum lembut dan ikut duduk di sebelah Fian, sementara Fian menyaliminya.

"Iya, kapan-kapan saya main lagi, Tante." Fian berupaya menyunggingkan senyuman.

Tante Sinta menatapnya sedih, "Fian, Tante mau minta maaf sama kamu atas nama Chandra. Chandra anak tertua Tante dan sekarang dia tinggal sama ayahnya, semenjak Tante cerai. Dia sudah menyakiti kamu dan adik kamu. Apalagi adik kamu masih SMP..."

Fian hanya mampu mengangguk dalam diam.

"Tante akan lakukan yang Tante bisa, demi kebaikan Chandra. Tante tahu ini sulit buat kamu, tapi Tante mohon, jangan biarkan apa yang terjadi hari ini membuat kamu menjauhi Auriga."

Fian tidak menyahut. Tante Sinta tersenyum, "Kamu sahabat yang penting buat dia."

Wanita itu meremas lembut kedua tangan Fian dan membelai puncak kepalanya sebelum bangkit dan melambai pada Riga, yang masih berdiri dengan canggung agak jauh dari mereka. Tante Sinta beranjak keluar dari gedung manajemen, menyisakan Fian dan Riga berdua.

Riga melangkah ragu mendekati Fian, yang masih duduk di kursi tunggu. Memar-memar pada wajahnya terlihat semakin jelas sekarang, namun bibirnya yang sobek sudah diobati dan dijahit oleh staf kesehatan pihak mall.

Fian mendongak menatap Riga yang saat ini berdiri di hadapannya.

"Sakit banget?"

Riga menggeleng pelan.

Fian mengangguk-angguk, "Syukur deh."

Riga mengulurkan tangannya.

"Gue anter pulang."

Fian mengangguk dan bangkit, namun dia tidak menyambut uluran tangan Riga.

Keduanya berjalan bersama-sama keluar gedung manajemen dalam diam. Langkah mereka lambat dan canggung. Semburat jingga pudar sudah mewarnai langit di atas mereka, dan keadaan lapangan parkir yang sempat ricuh karena keributan mereka sudah kembali normal.

"Fi..." Riga memulai.

"Lo mau jelasin kenapa lo nggak pernah bilang Chandra itu kakak kandung lo? Paling nggak... ada sesuatu yang bisa gue pahamin dari ini semua." potong Fian, masih meneruskan langkah pelannya tanpa memandang Riga.

Riga tertunduk memandangi sepatunya yang beradu dengan aspal parkiran.

"Chandra itu... jauh lebih sensitif dibanding kebanyakan orang. Sejak kecil." Riga akhirnya menjelaskan, "Sejak orangtua gue cerai dan pisah rumah, kondisi mental Chandra makin parah. Apalagi waktu nyokap mutusin boyong gue untuk tinggal sama dia, karena gue yang paling muda. Mungkin, sejak saat itu Chandra nganggep gue sebagai... perampas kebahagiaan dia."

Fian hanya diam mendengarkan cerita Riga.

"Bokap dan nyokap mutusin supaya gue dan Chandra selalu satu sekolah. 'Memperkuat bonding kakak-adik', istilah mereka." Riga tertawa kering, "Tapi terus pas SMP, Chandra pacaran sama satu cewek. Dan ceweknya itu rupanya deketin dia demi kenal sama gue. Dari situ, Chandra udah nggak pernah ngomong sepatah katapun ke gue. Dia menjauh.

"Nyokap tau soal semua itu, dia ngusulin supaya Chandra dapat terapi. Cuma bokap keras kepala. Dia nuduh nyokap gue nganggep Chandra gila, sekaligus nggak terima karena secara nggak langsung itu berarti nyokap gue nganggep bokap nggak becus ngurus anak. Sejak itu pula, bokap dan nyokap perang dingin."

Riga menghela napas keras sebelum meneruskan.

"Gue malu sama kondisi keluarga gue. Gue malu karena gue tau kondisi Chandra yang sebenernya, di balik penampilan sempurnanya di hadapan temen-temennya." Riga menyisiri rambut hitamnya dengan jemari, "Gue tau dia benci gue, dan gue muak karena terus-terusan ngerasa bersalah ke Chandra, padahal gue tau... bukan gue. Karena itu sejak SMA, dia nggak pernah ngomong ke siapa-siapa soal gue itu adiknya. Begitupun sebaliknya."

Terdengar langkah Riga terhenti. Kemudian cowok itu berujar pelan, "Mungkin... dia tau gue deket sama lo. Jadi dia rencanain semua ini untuk..."

Riga tidak sanggup meneruskan. Fian memperlambat jalannya hingga akhirnya langkahnya terhenti sepenuhnya. Dia akhirnya berbalik menghadap Riga, yang saat ini berdiri di depannya dengan bibir terkatup rapat membentuk garis tipis.

"Chandra... nggak pernah mau mampir ke rumah gue." Fian bercerita, "Dan waktu insiden bola basket... dia nyingkir dari depan gue, Ga. Padahal dia punya waktu buat blokir atau narik gue menjauh. Tapi nggak. Dia juga... kadang-kadang ganjil dan tatapannya... beda. Dari semua tanda-tanda itu, harusnya gue tau. Harusnya gue peka."

Fian menunduk, memainkan ujung jaketnya, "Waktu keluar dari ruang staf tadi, dia nggak ngomong apa-apa, sama sekali. Nggak ada basa-basi seremeh apapun. Sama sekali nggak ada kesempatan buat gue untuk bilang 'kita putus' atau apalah..."

Riga memandangi gadis di hadapannya itu, tak sanggup berkata-kata.

Fian terkekeh pahit sambil masih tertunduk, "Gue tau harusnya ada simpati dan pemahaman atas sikap Chandra setelah dengerin cerita lo, biarpun sedikit... tapi g-gue..."

Fian tak sanggup meneruskan karena detik berikutnya, dia terisak.

Kemarahan, kekecewaan, dan rasa sakit hati yang sejak kemunculan Chandra siang tadi telah ditahan-tahannya... akhirnya meluap dan tumpah menjadi tangisan yang tak bisa dibendung.

Riga, yang merasa dadanya sesak menahan emosi campur aduk akibat melihat gadis yang dia sayangi menangis untuk pertama kalinya di hadapannya, tak sanggup lagi menahan diri. Dia melingkarkan kedua lengannya di sekeliling tubuh Fian dan membawanya ke dalam pelukan erat.

Tangis Fian semakin menjadi, dia membenamkan wajahnya di kemeja Riga, sesenggukan, sementara cowok itu tak hentinya berucap, "Maaf. Maafin gue, Fi."

Fian mencengkeram lemah baju Riga.

"G-gue nggak bisa maafin dia, Ga..." Fian berujar ditengah isakannya, "Gue nggak tau apa gue bisa maafin dia..."

Riga mengeratkan pelukannya, berulang kali mengucapkan kata 'maaf' dan membiarkan Fian menangis sepuasnya, selama yang dia mau. Dia tidak tahu apakah itu bisa membuat perasaan Fian lebih baik, atau permintaan maaf berulang itu mampu menebus perasaan bersalahnya...

Tetapi satu hal yang Riga tahu, bahwa dia merasa tak pernah ingin melepaskan gadis itu dari pelukannya, sampai kapanpun.

SMA Bakti, satu bulan kemudian.

Sore yang terik itu, Fian tengah duduk di kursi pinggir lapangan untuk menonton jalannya latihan anak-anak klub sepak bola.

Sejujurnya, Fian merasa agak bosan karena belum sepenuhnya memahami aturan atau posisi para pemain. Mau bagaimana lagi? Dia terlalu sering menghabiskan waktu di lapangan yang berbeda sebelum ini.

Lamunan Fian terpecah ketika peluit berbunyi. Dia mengawasi sosok tinggi yang sudah sangat familiar di matanya itu mengumpulkan para anggota klub di tengah lapangan, memberi kata-kata penutup singkat sebelum membubarkan latihan. Kemudian sosok tinggi--dan berkeringat--itu berlari-lari kecil dari tengah lapangan menuju ke arahnya.

"Good job, Pak Ketua." Fian mendongak dan tersenyum sambil mengulurkan botol minum kepada cowok itu, agak menyipitkan mata karena teriknya matahari.

"Thanks." Riga duduk di sampingnya, mengambil jarak kira-kira satu meter.

Fian mengernyit.

"Jauh amat."

Riga menenggak sisa air di botol minumnya hingga habis, kemudian nyengir. "Gue bau."

Fian memutar bola mata, "Kayak baru pertama kali duduk di sebelah gue aja."

Riga mengernyit, "Maksud lo... biasanya gue bau?"

"Maksud gue, misal lo lagi bau pun gue udah kebal."

Keduanya mendengkus geli.

"Sori lo jadi nungguin gue sampe jam segini." ujar Riga dengan nada meminta maaf, "Ada anggota yang kerja kelompok tadi siang, jadi mulai latihan ketunda beberapa jam dari waktu pulang."

Sebetulnya, ini pertama kalinya anak-anak sepak bola latihan sesore ini, hingga pukul lima tiga puluh. Jam pulang normal kelas sebelas adalah pukul dua, dan selama berada di bawah pimpinan Riga, klub sepak bola selalu mengambil sesi latihan paling awal, yaitu jam setengah tiga sore sampai maksimal jam empat.

Jika dipikir-pikir lagi, selama Fian menjadi pacar orang itu, Fian tidak pernah ditanyai apakah dirinya keberatan menungguinya latihan hingga sore, karena klub basket hampir selalu mulai latihan dari jam empat.

Karena itu permintaan maaf dari Riga saat ini membuat hati Fian terasa hangat, dan membuat Fian menyadari, lebih dari biasanya, akan perhatian cowok itu.

"Santai aja, Ga. Udah biasa. Pengalaman dulu nontonin latihan..." kata-kata Fian terhenti, "...lo tau lah."

Mendadak atmosfer jadi terasa agak canggung. Fian masih kesulitan mengenyahkan perasaan tidak enak setiap kali obrolan mereka menyinggung topik itu, dan biasanya Riga peka soal ini dan tidak menyinggung-nyinggung lagi. Tapi kali ini cowok itu memutuskan untuk membahasnya.

"Dia pernah nyoba ngobrol atau hubungin lo setelah... kejadian itu?" tanya Riga hati-hati.

Fian menggeleng, "Untungnya nggak."

Riga menutup botol minum kosongnya.

"Kalo dia tiba-tiba hubungin lo dan... ngajak balikan?" gumamnya.

Fian tersenyum getir.

"Gue masih berusaha ngembaliin kepercayaan diri Fita sampe detik ini, Ga. Jadi... nggak. No chance."

Sejenak hening.

"No chance... bahkan untuk gue?"

Fian menoleh menatap Riga, mendapati cowok itu tengah memandanginya dengan ekspresi serius.

"Ada alasan lain kenapa gue nggak bilang kalo dia kakak gue... terutama ke lo." Riga mengungkapkan pelan, "Gue nggak mau lo tau kalo dia kakak gue. Gue takut lo bakal jadiin gue perantara buat deketin dia."

Riga mengalihkan pandangannya, "Seandainya gue jujur, mungkin lo nggak akan ngalamin drama itu. Gue minta maaf." dia menunduk menatap sepatunya dan mendengkus, seolah menertawai dirinya sendiri, "Gue suka sama sahabat gue sendiri, dan jadi idiot yang terlalu egois kalo itu menyangkut perasaan gue ke dia."

Fian tidak bisa membohongi dirinya sendiri, bahwa sebetulnya dia sudah menanti-nantikan pengakuan dari cowok itu selama beberapa waktu. Dia tidak bisa pura-pura buta terhadap bagaimana perlakuan Riga kepadanya selama ini. Dia cukup sadar, terutama setelah Chandra, bahwa pertemanan mereka tidak akan bisa bertahan menjadi hubungan platonis selambat apapun progress itu terjadi.

Namun tetap saja, mendengarkan seluruh pengakuan itu mengalir keluar dari mulut Riga secara langsung seperti saat ini membuatnya berdebar.

Melihat Fian yang tak kunjung bereaksi, Riga tampak salah tingkah.

"Gue tau mungkin lo masih butuh waktu setelah... setelah masalah dengan kakak gue. Dan pertemanan kita selama ini nyaman banget. Tapi... gue nggak mau cuma jadi satu-satunya yang baper tiap kali Reza manggil kita 'pengantin baru' kalo kita lagi barengan."

Riga mengacak-acak rambutnya frustasi.

"Argh! Tapi gue juga nggak mau hubungan pertemanan kita rusak gara-gara omongan gue sekarang..." ujarnya blak-blakan, seolah pasrah harga dirinya terjun bebas saat ini. "Intinya... gue, mm... gue cuma mau lo deket sama gue."

Fian memperhatikan Riga, yang sedang mencengkeram rambutnya dengan kedua tangan. Cowok dengan wajah semerah tomat yang duduk semeter jauhnya dari tempatnya duduk sekarang. Cowok yang baru pertama kali didengarnya bicara sebanyak ini soal perasaannya. Cowok yang entah kenapa tidak digebet Fian sejak pertama kali mereka bertemu.

"Riga!" Fian berseru.

"Ya?!" Riga menyahut sambil menegakkan kepalanya kaget, seolah mendapati namanya dipanggil guru untuk absensi pada saat dirinya sedang tidak fokus.

Fian menahan tawa, dia menepuk-nepuk tempat di sebelahnya, "Sini, ngomongnya supaya lebih jelas."

Masih dengan tampang yang kacau, Riga bangkit dan mendudukkan dirinya persis di sebelah Fian. Fian mengamati rambut hitam cowok itu yang berantakan, maka dia mengulurkan tangannya untuk merapikan rambut itu.

"Sebelum ini, gue nggak sadar betapa signifikannya kehadiran lo buat gue." Fian mengakui sambil masih terus merapikan rambut Riga. Fian tersenyum kecil, "Bahkan gue sering nyepelein kepedulian lo. Lo yang selalu nyempetin nanya 'pulang bareng nggak?' tiap sore. Lo yang selalu nganterin catetan pelajaran kalo gue nggak masuk. Keputusan lo buat jadwal latihan sepak bola selalu seawal mungkin supaya gue nggak nunggu kelamaan. Keputusan lo buat menghargai pilihan gue, dan memberi gue kesempatan memutuskan sendiri, sekalipun lo tau Chandra kayak apa."

Fian tersenyum kecil dan meneruskan, "Jadi... gue nggak bisa marah soal alasan lo. Gue kagum karena lo berani jujur, pada akhirnya. Dan... gue happy banget atas perasaan lo."

Ketika Fian akhirnya menurunkan tangannya dari rambut Riga, Riga hanya mampu terdiam memandangi gadis di hadapannya itu, seolah tersihir. Ditatap seperti itu, Fian mengalihkan pandangannya karena mendadak merasa wajahnya panas.

"Fian." panggil Riga.

"Hm?"

Riga meraih tangan Fian dan menyusupkan jemarinya di antara jemari gadis itu. Riga menatap Fian dengan takjub, begitupun Fian terhadap Riga, seolah kesulitan mempercayai keberuntungan mereka karena dapat mengenal satu sama lain.

Riga mengeratkan genggaman tangannya dan akhirnya memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan yang sudah sangat lama ingin diutarakannya.

"Itu. Ng... jadi... mau jadi cewek gue, Fi?" tanya Riga, dengan telinga luar biasa merah, "S-seterusnya... mau kasih dukungan buat gue dari pinggir lapangan sepak bola?"

Fian merasakan hatinya kebahagiaan yang membuncah. Fian sudah memutuskan... hatinya sudah memutuskan bahwa mulai detik ini, dia pasti akan terus bersorak hanya untuk Riga.

Maka Fian menyunggingkan senyuman terlebar yang sanggup dilakukannya, lalu menjawab pertanyaan Riga.

"Duh, iya lah. Dengan senang hati, Pak Ketua."


✨⚽ THE END ⚽✨


TMI:

- Chandra akhirnya menjalani terapi kejiwaan, dan dia masih diperbolehkan melanjutkan sekolahnya di SMA umum serta meneruskan kegiatannya di bidang olahraga basket sebagai penyaluran emosi. Dia juga mengambil privat taichi dengan pengawasan terapisnya sekarang. Tante Sinta dan Riga bahkan meningkatkan kunjungan untuk menemui Chandra sekarang.

- Fita memutuskan untuk fokus dengan sekolahnya dan bergabung di kegiatan pecinta alam, demi mengatasi traumanya terhadap cowok.

- Waktu pertama kali Riga dan Fian memberanikan diri gandengan di hadapan teman-teman mereka setelah jadian, hampir tidak ada satupun yang memberi reaksi terkejut. Komentar Reza, "Justru gue lebih kaget waktu lo jadian sama Chandra, Fi."

- Setiap kali Fian menyoraki Riga dari pinggir lapangan ketika cowok itu sedang menggiring bola ("RIGA, SEMANGAATTTT!"), tendangan Riga nyaris selalu berakhir meleset.


Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

4.2M 319K 52
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
1.2M 45.8K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
2.7M 280K 65
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
1.6M 132K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...