The Boy Who Talked To The Tre...

By ashwonders

2K 225 153

Pada suatu hari, Andrea Jacobson membuat keputusan untuk menjauh sejenak dari kehidupannya di Portland. Dia... More

7 Reasons
'Sup?
Cast Aesthetics
1. Cotswolds
2. Hari Pertama Menjadi Senior
3. Cowok Berjaket Kuning
4. Hal-Hal Yang Terjadi
5. Piknik Di Hutan
6. Es Krim dan Memori
7. Lukisan Yang Kosong
8. Sir Fergus
9. Cewek Roti
11. Hari Abu-Abu
12. Tanpa Batas
13. Misi Yang Serupa
14. Dua Orang Yang Luar Biasa Mirip
Writer's Note
Bonus (Part 1)
Bonus (Part 2)
Bonus (Part 3)

10. Modifikasi

54 8 6
By ashwonders

BANYAK yang terjadi setelah Andrea menelepon Matt.

Setelah merampungkan pekerjaannya membantu Georgia dan membereskan Brierwood keesokan harinya, Andrea pergi ke hutan untuk menuju tempat favorit barunya. Sekarang, Andrea memiliki panggilan khusus terhadap pohon cedar besar itu, 'Pak Tua', untuk menghargai kebijaksanaan si pohon yang selalu ada untuk mendengarkan keluh kesah dua remaja problematik yang belakangan sering duduk-duduk di bawahnya.

Dia memastikan Lucas tidak berada di manapun di dekat-dekat situ sebelum mendudukkan diri di bawah kerindangan dahan-dahan milik Cedrus. Kemudian, dia mengeluarkan ponsel dan menekan tanda panggil pada nomor Priscilla.

Kalau boleh jujur, itu adalah percakapan tercanggung yang pernah dilakukan Andrea seumur hidupnya. Priscilla jelas-jelas tidak menduga bahwa Andrea akan menghubunginya lebih dulu. Dan Andrea juga tak menghabiskan banyak waktu berbasa-basi untuk segera membahas topik yang sudah sangat lama ingin dia utarakan.

Andrea memberitahunya soal Matt yang sudah tahu garis besar yang terjadi di antara mereka. Andrea juga mengemukakan perasaannya dengan gamblang. Bagaimana dia berharap segalanya bisa tetap 'normal' seperti sediakala, namun dia tahu itu semacam impian muluk.

Priscilla mengakui bahwa dirinya merasa seperti antagonis selama ini. Dia menyukai Matt sejak SMP, jauh sebelum Andrea menyadari perasaannya terhadap cowok itu ketika mereka sudah SMA. Dan ketika Priscilla membaca buku harian Andrea, dia berkata bahwa kebencian sempat merayapi hatinya.

"Mengerikan bukan, perasaan-perasaan yang bisa timbul ketika dua cewek menyukai satu cowok yang sama?" kekeh Priscilla dari seberang telepon, kedengaran seperti mau menangis, "Matt pasti akan membenciku kalau dia tahu soal ini. Bagaimana saat itu rasanya... aku kepingin menguasai dirinya hanya untukku, seolah dia adalah barang, bukan manusia."

Andrea menyandarkan punggungnya ke batang pohon, mendongak menatap warna langit yang mengintip dari sela-sela dedaunan. Bila semalam percakapannya dengan Matt terasa melegakan seperti berhasil melalui sebuah labirin besar dan akhirnya menemukan pintu keluarnya yang bercahaya, percakapannya dengan Priscilla saat ini seolah memaksanya mengurai lebih dalam jalur-jalur dan sudut-sudut gelap milik labirin itu.

Andrea menghela napas, "Dengar, Pris. Kau menyukainya, dan dia menyukaimu. Dia tahu perasaannya. Jadi aku berharap kau dan Matt bahagia dengan hubungan kalian sekarang."

Keheningan canggung terjadi selama beberapa saat, Priscilla mengucapkan 'terima kasih' pelan sebelum bertanya, "Sully tahu, bukan?"

"Soal?"

"Soal kau yang suka Matt."

"Yeah... cukup lama, dia menebaknya sendiri. Kau tahu bagaimana dia itu seperti cenayang."

Priscilla terkekeh, kemudian terdiam sebentar sebelum bertanya lagi, "Kylie... belum tahu?"

Rasanya seperti Priscilla ingin memastikan bahwa Andrea memang tidak pernah memberitahukan soal perasaannya terhadap Matt kepada siapapun. Seolah ingin mencari setitik pembenaran dari tindakannya musim panas lalu.

"Tidak, dia tidak tahu."

"Kau akan memberitahunya?"

"Mungkin. Rasanya tidak adil kalian semua tahu, kecuali dia."

"Termasuk... soal jurnalmu?"

Kemarahan akhirnya kembali menggelegak di dada Andrea.

"Kenapa? Kau merasa aku bersikap tidak adil karena memberitahunya, tetapi tidak memberitahumu?"

"Andy--"

"Sully tidak pernah kuberitahu, sekadar pengingat."

"Andy... a-aku... aku minta maaf."

Suara Priscilla terdengar goyah.

"Aku minta maaf... karena telah bersikap begitu kekanakkan... karena telah melanggar privasimu dengan membaca jurnalmu tanpa izin. Aku telah... bersikap begitu egois soal Matt dan mengacaukan segalanya. Aku minta maaf."

Andrea mengerjapkan matanya yang basah. Dia bahkan jengkel sendiri kenapa harus bersikap emosional saat ini, setelah sekian lama.

Andrea mendongak, berusaha mengusir airmatanya.

"Satu-satunya permintaan maaf yang akan kupertimbangkan adalah soal jurnalku." dia menjawab setelah beberapa saat terdiam, "Kau nggak perlu minta maaf soal kau yang sekarang memacari Matt karena... aku bukan pemilik Matt."

Priscilla tertawa sengau.

"Kau kedengaran kayak orang suci."

"Diamlah."

Pada intinya, percakapannya dengan Priscilla berakhir damai, dan sejujurnya, Andrea merasa cukup bangga pada dirinya sendiri.

Andrea menghabiskan sepanjang sisa malamnya untuk 'mengejar ketertinggalan'. Dia menghubungi Kylie, menjelaskan segalanya. Selama berteman dengan cewek itu, Andrea mengenalnya sebagai pribadi yang vokal. Dia tak segan mengemukakan ketidaksukaannya terhadap seseorang, atau opini pribadinya tak peduli sekonyol apapun itu. Tetapi ini pertama kalinya Andrea mendapati cewek itu kehilangan kata-kata.

"Tidak ada tanggapan?" pancing Andrea, setelah sesi video call mereka yang luar biasa panjang.

Kylie menghela napas panjang, masih kesulitan berkomentar. "Hanya saja..."

"Aku minta maaf sudah menyembunyikan semua ini darimu--"

"Kau nggak perlu minta maaf pada siapapun, Andy. Kau menyukai Matt dan itu perasaan milikmu. Tidak memberitahukannya kepada siapapun adalah hakmu sepenuhnya. Priscilla juga temanku, tetapi aku tidak bisa merasa lebih kecewa lagi terhadapnya." Kylie berkata berapi-api.

Kali ini Kylie yang kedengaran kayak orang suci, batin Andrea.

"Aku nggak mau menjadi pengacau hubunganmu dengan Pris. Aku memberitahu soal insiden itu kepadamu hanya karena aku muak memendamnya sendirian." ujar Andrea terus terang.

Kylie menyisiri rambut pirang panjangnya, mendesah. "Kita sama-sama tahu segalanya nggak bisa 'normal' seperti sediakala setelah semua ini. Tapi kita akan melalui ini. Biar bagaimanapun kita akan berusaha."

"Yeah... kita akan berusaha." gumam Andrea muram.

"Lebih semangat sedikit!" Kylie mengeluarkan jiwa kapten pemandu soraknya.

"Kita akan berusaha!"

Setelahnya, obrolan didominasi percakapan soal keseharian baru Andrea di Cotswolds. Andrea menceritakan kegiatan barunya membuat roti dan bekerja di penginapan, juga tentang cowok nyentrik yang kerjaannya curhat kepada pohon. Kylie dengan antusias menginterogasinya dan memastikan level keimutan dari 'kenalan cowok' ini, dan Andrea tanpa ragu memberi Lucas angka delapan dari sepuluh. Sebagai balasan, Andrea ganti memantau perkembangan kisah Kylie dan Sully, tapi tak menemukan hal baru.

Mau tak mau Andrea jadi gemas sendiri, mengapa Sully belum juga menyatakan perasaannya terhadap cewek itu?

🌳

Mereka menemukannya. Web developer untuk proyek website baru Georgia.

Paman Matt--Mike Venturi--bergabung dengan diskusi Andrea, Lucas, Georgia, dan beberapa perwakilan pengusaha lokal beberapa hari kemudian. Melalui pertemuan video di salah satu restoran di Burford High Street pada Sabtu siang itu, Mike setuju membuatkan presentasi final untuk ditunjukkan pada pertemuan berikutnya yang lebih formal dan rencananya akan diadakan di balai kota.

Ditambah, Andrea menyampaikan kesediaannya untuk mengambil peran sebagai fotografer konten website, membuat Georgia berseri-seri. Bahkan dia juga membawa kameranya di dalam tas untuk jaga-jaga.

"Kita sudah dapat garis besar daftar usaha lokal yang akan masuk ke dalam situs. Aku akan rapat dengan Mike untuk menentukan objek-objek foto apa saja yang perlu kauambil dengan lebih detail..." kata Lucas bersemangat dari kursi pengemudi di sebelah Andrea. Georgia masih perlu mengobrol lebih jauh dengan teman-temannya untuk membicarakan beberapa hal lagi dengan kelompok pengusahanya--termasuk soal penawaran dari Mike--karena itu Lucas menawari Andrea menyopirinya dengan kombi biru sewaannya.

"Luke, kau tidak perlu melakukannya. Kau sudah terlalu banyak membantu."

"Aku toh senggang..." Lucas mengangkat bahunya enteng.

"Tapi kau ke sini untuk liburan!" Andrea mengingatkan, entah untuk yang keberapa puluh kalinya.

"Aku ke sini dengan sebuah misi, ingat?" cowok itu meliriknya penuh arti, "Dan kulihat tampaknya kau sudah beberapa langkah lebih unggul dalam menuntaskan misi-misimu. Aku menolak tertinggal. Jadi aku menyibukkan diri."

Andrea mengangkat alis, terkesan karena Lucas begitu memperhatikan perkembangannya. Di lain sisi, Andrea ingat bahwa misi-misi Lucas antara lain melupakan mantan ceweknya dan menemukan gairah melukisnya lagi, "Apa hubungannya menuntaskan misimu dengan membantu pekerjaanku?"

Lucas tidak langsung menjawab. Walaupun tatapan cowok itu fokus ke jalan raya, Andrea dapat menangkap bibirnya terkulum.

"Lebih banyak dari yang kauketahui."

Georgia memberi Andrea libur hari ini, karena itu Lucas tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengajaknya pergi. Dan cowok itu belum bilang mereka hendak ke mana. Andrea menghela napas dan menyandarkan kepalanya ke jok, memutuskan untuk pasrah dengan sikap sok misterius Lucas.

Lucas mengemudikan kombi dan membawa mereka keluar dari Burford High Street, melewati jalur yang membelah padang-padang rumput luas daerah Upton, melintasi lahan-lahan pertanian dan memasuki wilayah Gloucestershire. Setelah berkendara selama setengah jam--ditemani sesi karaoke Lucas yang sejujurnya tidak buruk karena cowok itu ternyata jago nyanyi--mereka akhirnya tiba di Bibury.

Deretan pepohonan rindang kembali membingkai jalan yang mereka lalui dan rumah-rumah tua yang cantik kembali bermunculan. Kontras dengan Burford yang ramai dengan deretan toko dan tata letak perumahannya yang lebih lapang, Bibury memiliki aura pedesaan yang lebih intim, rimbun, dan tenang.

Mereka melaju menyusuri River Coln, sungai kecil yang mengaliri daerah itu, dan akhirnya Lucas memarkirkan kombinya dekat jembatan batu mungil yang mengarah ke sebuah jalan kecil.

"Arlington Row Bibury." Lucas menutup pintu kombinya sementara Andrea yang juga baru turun mengamati sekitar, "Salah satu tempat di Cotswolds yang paling banyak difoto."

"Kupikir kau akan mengajakku ke tempat tidak mainstream yang nggak banyak dikunjungi turis."

Lucas nyengir, "Memangnya kita bukan turis?"

Selama beberapa saat, keduanya berjalan menyusuri deretan rumah tua berdinding batu sewarna madu dan beratap hitam yang manis itu, dengan Lucas yang bertindak sebagai pemandu wisata dadakan.

"Dulu sekali--sekitar akhir abad empat belas menurut Wikipedia--tempat ini adalah toko wol, tapi di abad tujuh belas--lagi-lagi menurut Wikipedia--dialihfungsikan menjadi rumah para penenun." Lucas berjalan di sebelah Andrea sementara mereka menikmati keindahan bangunan.

Andrea sudah mengeluarkan kamera dari dalam tasnya dan hendak mengambil gambar bangunan, ketika perhatiannya teralih pada sesuatu yang dibawa Lucas.

Itu adalah kotak peralatan melukisnya, dan sebuah tabung hitam besar dan panjang yang memiliki tali. Tali itu disampirkan di salah satu pundaknya seperti ransel.

Andrea mengamati Lucas berdiri di depan salah satu jendela bangunan, berusaha mengintip ke dalam. Hari ini Lucas mengenakan topi jerami yang bulat dan lebar, dengan kemeja pantai putih gading bercorak daun palem dipadu jins longgar dan sepatu kets. Dorongan untuk mengabadikan penampilan cowok itu begitu besar hingga tanpa sadar Andrea mengangkat kameranya dan menjepret.

Lucas menoleh mendengar bunyi shutter kamera Andrea, "Apa kau baru saja memotretku?"

Andrea mengangkat bahu, mengulum senyum. "Bersalah."

Lucas mengernyit, "Kenapa nggak foto bangunannya? Kan bagus."

"Katamu tadi ini salah satu tempat yang paling banyak difoto. Sudah banyak yang punya. Tapi kalau foto yang ada pelukis tukang ngintip berdiri di depan salah satu jendelanya? Belum ada yang punya."

Tawa Lucas pecah.

Sulit dipercaya Andrea hanya memberi nilai 'delapan dari sepuluh' untuk level keimutan cowok ini. Kombinasi senyum cerah, rambut ikal pirang, selera berpakaian unik, serta fakta bahwa dia ngobrol dengan pohon dan jago melukis--juga jago nyanyi--terus terang saja sudah sangat cukup untuk menduduki level sepuluh.

"Aku senang melihatmu akhirnya memegang kamera." ungkap Lucas.

"Ah... ya." Andrea menyadari bahwa mungkin ini pertama kalinya Lucas melihatnya memotret. Dia menimang kameranya dengan satu tangan, "Akhirnya menyadari bahwa sedih banget jika aku harus berhenti menyukai fotografi hanya karena cowok yang sempat kutaksir--yang juga suka fotografi--pacaran dengan cewek lain. Maksudku, memangnya apa salah fotografi?"

Lucas tersenyum lembut.

"Yeah. Mengapa pula harus mengorbankan hobi?"

Ketika mengucapkannya, sorot Lucas sekilas berubah muram. Seolah dia mengatakan hal itu bukan hanya untuk Andrea. Tetapi untuk dirinya sendiri.

"Ngomong-ngomong, katanya kau nggak suka palem. Tapi bajumu begitu." Andrea memutuskan mengalihkan topik dan menunjuk motif di kemeja Lucas. Mereka meneruskan berjalan menuju sebuah bukaan di ujung Arlington Row, lalu memasuki setapak kecil dan panjang yang dinaungi kerimbunan pepohonan.

"Yang ini spesial. Soalnya ini dulu punya ayahku." Lucas menunduk mengamati kemejanya sendiri dengan senyuman kecil.

"Dia juga membenci palem dan memutuskan menghibahkannya kepadamu?" canda Andrea.

"Tepatnya, dia nggak bisa memakainya lagi. Dia meninggal waktu aku masih umur sebelas."

Andrea mengerem langkahnya, "Oh... aku turut berduka. Maaf aku nggak--"

"Nggak apa." Lucas terkekeh ringan, "Aku suka kok, membicarakan ayahku. Dia pria yang menyenangkan. Kata ibuku tawanya mirip denganku. Mungkin Tuhan terlalu menyukai tawanya, jadi Dia mengambilnya terlalu cepat."

"Apakah dia sakit?"

Lucas mengangguk, "Serangan jantung. Dia tipe yang sulit diajak kerjasama bila itu menyangkut pola makannya, menurut ibuku."

Andrea jadi teringat ayahnya. Dia bersyukur pria itu menurut pada istrinya dan memakan apa saja yang terhidang tanpa protes.

"Bagaimana dengan ibumu?" Andrea bertanya seraya keduanya melanjutkan berjalan menyusuri jalan setapak.

"Ibuku sehat. Sedang liburan ke Tuscany dengan teman-teman dekatnya, malah." cerocos Lucas, "Aku memamerkan tiket pesawatku ke Cotswolds beberapa minggu sebelum liburan musim panas dimulai. Tahu-tahu dia membalas dengan memamerkan tiketnya."

Andrea tertawa, "Kedengarannya dia wanita yang menyenangkan."

"Lumayan." komentar Lucas pelit.

Jalan setapak yang keduanya lalui perlahan membuka. Pemandangan di kiri-kanan mereka berganti ke padang rumput luas. Lucas membimbing keduanya berjalan keluar dari setapak dan melangkahi rerumputan, membelah ilalang rendah yang berdesir di sekeliling mereka ketika angin berhembus. Mereka berjalan hingga ke dekat tepian hutan yang membatasi padang luas itu, dekat dengan bunga-bunga liar yang tumbuh dengan rendah dan cantik, memenuhi sebagian besar padang dengan warna-warni yang tersebar tak merata.

Lucas berhenti, lalu melebarkan taplak piknik tipis yang dibawanya dan mulai meletakkan alat-alat lukisnya. Andrea ikut duduk, menikmati kehangatan matahari di wajahnya. Untungnya suhu hari itu mendukung untuk kegiatan luar ruangan.

Kemudian ketika Lucas akhirnya melepaskan tabung panjang dari punggungnya, Andrea membuka suara.

"Luke, sudah dari tadi aku ingin tanya... sebetulnya apa itu?"

"Oh, ini? Ini lukisan lamaku."

"Mau diapakan?"

"Mau dilukis ulang."

Andrea mengernyit, "Apa? Kenapa?"

Alih-alih menjawab pertanyaan Andrea, Lucas malah bertanya balik. "Kau mau membantuku?"

"Apa, melukis? Aku nggak bisa melukis."

"Berkontribusi saja." Lucas ceria.

Cowok itu kemudian mengeluarkan gulungan besar dari dalam tabung hitam panjang miliknya. Dia membuka gulungannya, menampilkan lukisan langit dengan matahari dan bulan di atas kanvas yang bentuknya agak aneh. Bentuk kanvas itu seperti dipotong menyerupai pola...

"Atap kombi. Lukisan ini tadinya menempel di atap kombiku." jelas Lucas, membaca pertanyaan di wajah Andrea.

"Kau punya kombi sendiri?"

"Ya, warnanya kuning. Yang biru itu kan hanya sewaan."

"Dan kau menyewa lagi kombi di sini?"

"Untuk mengepas lukisan ini nantinya." dia mengangkat bahu.

Andrea mengernyit, geli campur bingung, "Baiklah."

"Nah." Lucas memandangi lukisan langit itu, "Sebaiknya diapakan?"

Andrea ikut mengamatinya, "Sayang sekali kalau harus dilukis ulang. Padahal bagus."

"Yah..." Lucas terdiam sejenak, jemarinya menelusuri tepian kanvas, "...mau bagaimana lagi. Bulannya harus pergi."

Andrea mendongak menatap Lucas. Cowok itu balas menatapnya sambil menyunggingkan senyuman kecil.

"Oke." Andrea menggulung lengan kemejanya, paham. "Baiklah."

Gadis itu menatap ke sekelilingnya. Mengamati pepohonan, rerumputan, dan langit cerah di atas mereka. Kemudian tatapannya terhenti pada bunga-bunga liar di sekitar mereka dan mendapat ide.

"Apa bunga favoritmu?" tanya Andrea tiba-tiba.

"Wah..." Lucas menghembuskan napas dari mulutnya, berpikir-pikir. "Apa ya? Aku suka banyak bunga. Buttercup, ranunculus, dahlia... mungkin forget-me-not..."

Lucas mengucapkan yang terakhir sambil terkekeh getir. Andrea menangkap sorot mata cowok itu agak menerawang.

"Bagaimana dengan ayahmu? Apa beliau memiliki bunga yang disukai?" celetuk Andrea.

Lucas mengerjap. Dia memandangi Andrea selama beberapa saat.

"Kurasa... dia pernah bilang dia menyukai bunga matahari." jawabnya.

"Kalau begitu bagaimana kalau kita buat padang bunga matahari?"

Senyuman Lucas kembali terbit, kali ini dengan cerah.

"Ide bagus."

Lucas mulai mengeluarkan peralatan lukisnya. Dia memilih warna-warna. Kuning, cokelat, hitam, hijau, biru, putih, lalu menuangkannya ke atas palet lukisnya. Dia mengambil sebuah kuas yang kemudian disodorkannya kepada Andrea.

"Kau yang mulai." kata cowok itu.

Andrea mengambil kuas itu dari tangan Lucas. Dia berpikir sejenak sebelum akhirnya mencelupkan ujung kuasnya ke warna cokelat, dan mencampurkannya sedikit dengan warna hitam di atas palet.

Andrea sudah hendak menyentuhkan kuasnya ke atas gambar bulan, sebelum keraguan merambatinya dan akhirnya dia menggeleng.

"Tidak. Kau yang harus memulai." dia mengembalikan kuas itu kepada Lucas.

Cowok itu memandangi kuas di tangan Andrea dengan ekspresi yang tak terbaca. Beragam emosi sepertinya tengah berkecamuk di benak pemuda itu dan tercermin pada kedua matanya. Karena itu Andrea ingin memberi sedikit dorongan.

"Langkah pertamamu." ujar Andrea.

Lucas beralih menatap Andrea lagi. Dia merapatkan bibirnya dan mengangguk, sebelum menerima kuas itu dan mulai melukis. Dia menimpa gambar bulan dengan warna cokelat tua pilihan Andrea. Lalu dia membentuk bulatan yang menutupi keseluruhan bentuk bulan hingga akhirnya bulan itu tak lagi dapat dilihat. 

Andrea tersenyum bangga, "Kau melakukannya."

Lucas menjauh sejenak dari hasil karyanya. Ekspresinya kembali cerah.

"Aku melakukannya." katanya, berseri-seri.

Tawa Andrea memenuhi udara, "Ya, walaupun belum kelihatan bentuknya. Mari buat kelopaknya."

"Dan lebih banyak bunga lagi." Lucas setuju.

Entah berapa lama waktu yang dihabiskan Andrea dan Lucas untuk melukis di padang rumput dekat Arlington Row. Yang jelas, ketika Lucas mengepak lukisan setengah jadi itu--bagian bunga-bunganya sudah nyaris selesai, dan Lucas akan menyelesaikan sisanya sendiri--dan mengantarkan Andrea kembali ke rumah Georgia, langit telah berubah warna jingga keunguan.

Sepanjang perjalanan di dalam kombi sewaan Lucas, keduanya mengobrol ngalor-ngidul tentang begitu banyak hal. Di satu momen, mereka membicarakan soal rencana menggulingkan Sawfitz namun di momen lainnya, topiknya berubah drastis ke tipe pakan ayam terbaik yang pernah dicoba Lucas atas dasar rasa penasaran.

Ketika akhirnya Lucas menghentikan mobilnya di depan rumah Georgia, Andrea turun dengan mata sembab dan perut sakit karena kebanyakan tertawa. Di sebelahnya, Lucas merendenginya dengan ekspresi berpuas diri, seolah bangga dapat membuat Andrea tertawa sebanyak itu.

"Sepertinya Georgia belum pulang dari acara dengan teman-temannya." kata Andrea, menyadari seluruh lampu di pondok itu masih padam. Mereka tiba di teras dan Andrea merogoh ke balik salah satu pot tanaman untuk mengambil kunci pintu depan.

"Terima kasih sudah mengantarku." kata Andrea seraya membuka pintu, "Sampai ketemu besok."

"Yeah... sampai ketemu besok..."

Andrea tersenyum, "Met malam, Lucas."

"A-Andrea? Um..."

Andrea berbalik, "Ya?"

Lucas membuka mulutnya ragu-ragu, kelihatan hendak mengutarakan sesuatu namun nampak gugup.

"Terima kasih... um... untuk waktumu hari ini." ujar Lucas akhirnya, "Kau tidak tahu betapa berartinya bantuanmu bagiku."

"Kau membantuku soal telepon dengan Matt. Jadi... kurasa kita sama-sama saling dukung dalam 'langkah pertama' kita." Andrea tersenyum.

Lucas memandangi Andrea. Pandangan yang mengandung begitu banyak arti. Sorot yang seolah mengenali Andrea, menerimanya sebagai seorang teman, seorang yang paham dan memiliki perasaan yang sama... yang belakangan rasanya semakin sering cowok itu tujukan padanya.

Dan entah karena dorongan apa Andrea tergerak untuk melakukannya. Dia melangkah maju dan melingkarkan kedua lengannya ke sekeliling leher Lucas, membawa pemuda itu ke dalam dekapannya.

Lucas membalas pelukan Andrea dengan sama emosionalnya. Dia merengkuh tubuh Andrea dengan erat, mengubur wajahnya di pundak gadis itu.

Setelah rasanya sudah lama sekali keduanya berpelukan, Andrea dapat merasakan hembusan napas panjang cowok itu di bahunya.

"Ini aneh." gumam Lucas, agak teredam rambut Andrea.

"Hm?" Andrea menggumam sambil terus memejamkan mata.

"Aku merasa... lega."

Andrea juga menyadarinya. Pelukan ini terasa nyaman dan... menenteramkan. Rasanya hampir-hampir seperti bermeditasi.

"Kayaknya aku juga merasa begitu."

"Yeah?"

"Mm-hm."

Lucas mengeratkan pelukannya, "Bila kita lepas, apakah ombak akan kembali menerjang tanpa ampun dan mengombang-ambing kita?"

Andrea terkekeh, "Mungkin. Tapi kurasa tidak akan terasa seburuk sebelumnya."

Kemudian, Andrea mengendurkan lengannya. Begitupun dengan Lucas. Akhirnya mereka saling berdiri berhadap-hadapan satu sama lain. Keduanya berlama-lama menikmati efek dari pelukan mereka.

"Bagaimana?" tanya Andrea.

"Yeah. Melegakan. Seperti..." sepasang mata biru Lucas menelusuri wajah Andrea, "...seperti akhirnya berhasil mengeluarkan kepalaku ke permukaan air laut dan kembali menghirup udara segar."

Andrea tertawa pelan.

"Lucas Freewell, ternyata kemiripan-kemiripan di antara kita ini memang nggak kunjung habis."

Lucas nyengir lebar.

"Sangat setuju."

🌳

Fun fact: Beberapa tempat yang disebut dalam cerita ini adalah lokasi yang nyata. Kamu bisa coba eksplor tempat-tempat itu dengan Google Streetview. It'll be fun!

Continue Reading

You'll Also Like

15.3M 217K 8
Sudah terbit
6.7M 958K 54
Prahara rumah tangga si cowok spek malaikat dan cewek spek iblis. PART MASIH LENGKAP! TIDAK DI HAPUS SAMA SEKALI ❣️ Novel tersedia di seluruh Gramedi...
2.7M 41.2K 3
• Versi Original • Juna punya dua topeng. Topeng pertama adalah yang orang-orang tahu. Baik, teladan, sosok pemimpin yang mendengar semua aspirasi an...
83.7K 8.8K 73
Author : Xue Ye Setelah bangun, Su Man menjadi BaiFuMei generasi kedua dalam sebuah buku. Sayang sekali dia adalah istri dari pria anjing yang memanj...