Testudines:Amongraga

By SiskaWdr10

5.6K 480 230

[Series stories F.3 familly] ⚠️Bisa dibaca terpisah⚠️ Ketika rumah bukan lagi tempat berpulang. "Anak perempu... More

01.Tukang ojeg telepati
02.Surat lamaran menikah
03.Pola pikir Mr.Amongraga
04.Pentingnya menghargai
05.Apa definisi rumah?
06.Nikotin dan ruang bebas
07.Penerus dari peradaban
08.Merima dua kemungkinan
09.Titik berhentinya di lo
10.Gadis pistanthrophobia
11.Sya, semesta minta maaf.
12.Perisai berlekung manis
13.Seisi dunia adalah Raga
14.Raga is not a monster
15.Pemenang kehidupan
16.Rumah tentang seseorang
17.Dewasanya figur ayah
18.Sekalipun egois terbesar
19.Tungkai yang kembali mati
20.Kini hujan yang bersaksi
21.Siapa, takdir? that bullshit.
22.Jalan main setiap karakter
24.Ada dalam dua kubu sama
25.Beberapa keadaan pelik itu
26.Harapan bercita-cita ada?
27.Pelan-pelan agar sejalan
28.Muncul dari hal sepele
29.Ibu peri pemilik hati tulus
30.Adalah bagian yang patah
31.Arah kian menyepi kesian
32.Seruput coklat hari Rabu
33.Ruang tak pernah hilang
34.Yang bangkit yang sakit
35. Hiii

23.Sekuat racun peptisida

99 13 6
By SiskaWdr10

23.Sekuat racun peptisida

Pulang dari makan bersama Jaendra, Nesya diantar pulang oleh si pipi bolong itu, dari atas jendela ruang kerja Major memukul dinding melihatnya, beranjak ke kamar Nesya.

"Lo...." Nesya otomatis mundur, Major yang tadinya duduk santai di atas ranjang berdiri, tersenyum menyeramkan. Nesya sempat membeku sesaat menyadari artian niat dibalik senyum.

Langkah cepat selanjutnya berbalik badan, hendak berlari meski kecil harapan lolos.

BRAK!

Kaki panjang major jauh lebih cepat menutup---menedang pintu, menarik kasar lengan kurus Nesya. Tau akan digigit laki-laki dengan beragam corak tato tersebut membentak. "DIEM, SIALAN! LO GIGIT GUE PATAHIN LEHER LO!"

"AKH!" tubuh mungilnya terbanting ke ranjang, mencoba bangkit tetap kalah cepat oleh Major yang langsung mendorongnya, memeluk dari samping.

"LEPASIN!" teriak Nesya sampai tenggorokan kering kerontang. "BRENGSEK!"

Semakin kencang teriakan semakin erat juga pelukan major membuat Nesya dilanda sesak, bibir bawahnya berdarah karena ia gigit kuat menetlarisikirkan ketakutan, bau hanyir dan terasa asin bercampur dalam saliva.

"Jor, jangan gini, lepasin gue," mohon Nesya pada Major yang mulai menyandarkan kepala di bahu.

"Kenapa gak boleh, Raga juga selalu giniin lo kan?" tanya Major serak juga dingin dilanda kabut amarah, dia tidak tahu saja siang tadi Raga telah menjadi titik dimana Nesya menganggap tidak ada manusia yang betul-betul tulus.

"Engga, gue bukan Mama gue jor."

"Alah, sama murahannya juga pake ngeles, siapa cowok pake mobil brio tadi? yang baru? kalo tau semurah ini harga diri lo gonta-ganti cowok mending dari dulu gue pake," ucap Major enteng.

Kukuh Nesya menggeleng keras. "Engga, jor udah lepasin."

Sengaja Major malah menyeruak wangi tubuh Nesya, deru nafas terdengar nyaring. Bulu kuduk Nesya meremang seketika, ini sudah sering kali terjadi diawali sejak Nesya berumur lima belas tahun, kaget? tentu saja, setiap saat ingat momen ini lututnya bergetar hebat.

Karna Nesya merasa, hal ini salah besar. Terlebih mereka berbeda gender, Major laki-laki normal walau puluhan tahun menyendiri nafsu birahinya tetap berjalan. Umur Nesya juga semakin bertambah ke arah dewasa, bisa saja---tidak, Nesya selalu berarsumsi kata 'pake' yang selalu Major jadikan senjata hanya berlaku untuk menakuti, selebihnya batas dia hanya mencium lama puncuk kepala.

"Lo gak bisa lepas dari gue, harus selamanya bergantung ke gue biar bisa gue jadiin tempat lampiasan atas perginya Bunda," berat suara si tubuh penuh tato jelas terdengar sebab posisinya dia memeluk Nesya dari belakang dan menaruh kepalanya di pundak Nesya.

Padahal kalau kita reka adegan ke waktu beberapa jam lalu, tombak tajam telah menggores kan seluruh hidup Nesya ke jurang gelap, jatuh sendiri, ketika detik ini Major bilang 'bergantung' sedikit boleh jujur ia bahagia, karna setidaknya meski satu dunia membenci Major tetap disini dengan caranya.

Namun, untuk alasan 'pelampiasan' jatuh yang tertusuk tombak itu kini tertimpa sejuta luka.

"Lo jahat, jor."

"Iya, gue. Gak peduli."

"Jahat banget," lirih Nesya hilang tenaga untuk melawan. Wajahnya pias, efek berdiam diri di bawah guyuran hujan dua jam baru terasa.

"Gue cuma ngizinin lo pacaran sama Raga."

"Kenapa?"

"Karna... dia yang akhirnya bakalan nyesel pernah milih lo."

"Kenapa lo anjing."

Tangan Major merambat ke leher, mencekik perlahan-lahan, Nesya sampai tahan nafas merasakan sensasi getaran takut yang sudah melewati batas.

Demi sumpah Major berkali lipat menyeramkan mode seperti ini ketimbang mode ibu tiri jahanam.

"Ulang sekali lagi," dingin suaranya mengintrupsi detak jantung Nesya untuk berhenti seperkian detik.

"Maaf... maaf, jor...." terbata menjawab nyaris seperti bisikan. "Terserah mau hukum gue apa asal lepasin."

Dua puluh menit menimang barulah hukuman untuk Nesya terlaksana. Di depannya Major duduk tenang, memantau Nesya agar tidak lengah lagi.

Memaksakan diri menelan selada mentah satu baskom untuk ditelan, enek, pait, mual bercampur menjadi satu rasa.

"Lo udah muntah tiga kali, sekali lagi muntah gue kunciin di kamar, telen!" perintahnya bersedekap dada.

Mata Nesya memanas, terus membayangkan apa yang kini ia makan adalah sajian paling lezat, pengalihan agar tidak melakukan kesalahan seperti yang major larang tadi.

Sang penjaga malam telah menunjukan pari purnanya, bintang gemintang menghiasi langit. Kamar Nesya hanya berisi temaram penerangan lampu tidur, terduduk di pojok kamar sambil memeluk kakinya erat-erat, menenggelemakan wajah ke pelukan kaki.

Dalam keadaan tubuh terbalut switer milik Mama Jaendra, Nesya terisak kecil, menangisi Raga-nya, teman-temannya, sekolahnya dan menangisi diri sendiri yang sepertinya tidak pantas bahagia.

Tapi setidaknya switer ini mampu menghangatkan tubuh Nesya. Aroma switernya juga wangi parfum Jaendra, membuatnya merasa di pojok kamar ini, di kehampaan jiwa kosong...

....Jaendra menemani.

********

Keesokan hari Aurora sudah bergaya, membangunkan Raga yang malas-malasan menutupi telinga menggunkan bantal guling di ranjangnya.

"Ra masih pagiiiii," decak Raga menguap.

"Lo mau kuda-kudaaan gak SIHHH?!"

Raga terbangun dari posisi tiduran. "Astagfirullah, Ra. Salah begaul lo?"

"Hah?" Arurora menggaruk rambut hasil mengepang dua. "EH ANJING---MAKSUD LO? GUE ADUIN BUNDA, YA."

"LAHHH?" Raga mengejar Auora yang sudah mengotak-ngatik posel mencari nomer bunda. "RAA GUE DIEM YA?"

"PIKIRAN LO TUH!"

Dua tangan Raga angkat tanda menyerah. "Iya, ampun. Mandi gue mandi," katanya mengambil handuk.

Pagi ini hari pertama masa skorsing Raga dihitung. Auora bilang dia dapat uang dari langit, berbaik hati mengajak Raga belanja baju di distro langganan, muter-muter mal plaza hingga barang bawaan setumpuk, Raga jelas diberatkan untuk kurir membawa barang.

"Ujung-ujungnya tetep aja lo nyopet hodie gue, Ra. Sia-sia, numpukin baju doang di lemari," cerocos Raga tahu kebiasaan sepupunya.

"Bukan nyopet ya, pinjem," tegas Auora.

"Kalo minjem dibalikin."

"Lah gue balikin, dih?" misuh Auora tak terima.

"Kalo inget," lanjut Raga, Auora menyengir minta maaf.

Melewati toko buku Raga memandang nanar, dulu dua anak SMA yang baru mengenal beberapa hari berjalan bersebelahan kesana.

*****

Selain tidur arlternatif healing Raga adalah olahraga berkuda. Selesai memakai alat pelindung khas ia naik ke atas pelana, memegang tali kekang kuda hitam gagah, guna mengendali arah laju.

Ketenangan tersendirinya, semakin pesat laju kuda semakin hilang stres kepala.

Sebelum menarik tali kekang, surai tengkuk kudanya Raga elus berulang-ulang agar merasa lebih dekat, waspada kalau saja tengah jalan mengamuk. Karna bagi Raga bukan hanya manusia yang punya perasa mengenai hati, hewan juga.

Bunyi meringkik kuda nyaring terdengar ketika Raga mulai memacu perlahan mengelilingi gelanggan yang amat luas ini. Ke-4 kali putaran lajunya mulai sepesat angin puting beliung, melingkar-lingkar, lincah tanpa sedikitpun takut terjatuh.

Dari sisi lapangan Auora saja terpana, sesaat lupa jika laki-laki bersorot tajam yang tengah fokus mengarahkan kuda yaitu sepupu sendiri, selalu terbesit pertanyaan: memang apa salahnya menikahi saudara sendiri? iya, warasnya hilang.

Wajar mahir karna terlatih sejak kecil, didukung oleh ayah dan ibunya, apalagi kala melihat Raga yang meskipun terjatuh atau kena amukan kuda sampai dilarikan ke rumah sakit anak itu tidak pantang menyerah, dengan kata lain tidak kenal kapok.

Pembawaaan Raga yang memang manly semakin tambah memukau saja, ini maksud khayalan gadis-gadis penggemarnya di sekolah mungkin. Tentang pangeran berkuda.

Pengeran berkuda yang kisah cintanya sesulit membangun Piramida. Atau, sekuat cairan racun peptisida untuk membasmi gulma, membunuh kesenjangan dalam jatuh cinta.

"Mingkem Ra," ejek Raga mengadakan tangan.

"Engga ah, sana-sana," usir Auora menolak ajakan Raga menunggangi kuda.

"Percaya sama gue."

"Aduh kaya denger buaya ngomong."

"Remaja bukan buaya, kalo lo tua bangka, Ra," balas Raga membuat lekung Auora turun ke bawah.

"Ck! remaja sialan," meski bersungut-sungut dia tetap naik, berpegang erat memeluk pinggang Raga.

Di tengah jalan Auora berkicau lagi. "Harusnya sih gue b aja liat lo macu kuda gini, tapi tetep aja lo---gak anjir ah, dipuji lo malah tengil, maksudnya---gue nih tau banget dari kecil lo kan emang udah terlatih naek kuda sama ayah juga sama grandpa."

Memori yang satu itu selalu berhasil membuat binaran mata Raga meredup seperti sinar rembulan, tetap memukau dipandang perih dirasa.

"Mereka berdua juga pas hari ultah ke 7 tahun lo saingan beliin kuda yang mahal, mood banget liat tu bapak-bapak kelahi atau adu mulut, gue masih suka nanya bunda Ra kenapa uncle biru selalu ribut sama grandpa Alex? eh ada dua kan, mereka kasih kudanya satu-satu, siapa namanya, ga?" tanya Aurora memiringkan kepala.

"Satu Caca, satu marica, biar kalo dipanggil nyahut hei-hei," gurau Raga enteng agar hatinya mengalihkan mengingat hari itu.

"AHAHAHA ANJAS."

"Kediaman rumah ricardo apa yang kurang dah ga, sampe lo seneng berkuda aja dibikinin lapangannya. Eh bentar, bukannya ayah biru tuh mau kasih macan putih, ya?" mata Auora menerawang, bagai kaset memutar ingatan silam.

"Iya, gak boleh sama bunda. Udah mindah-mindahin barang bawaan sampe lima koper buat minggat ke rumah omah, takluk juga ayah. Ya emang gitu Ra, sekeras kepala apapun ayah, dia cuma bisa takluk sama bunda."

"Jadi ngebayangin sebucin apa ya dulu mereka pas pacaran? btw, macan putih juga kan bahaya, umur lo dulu masih bocah. Pantes aja Bunda Ra segitunya, dia sayang banget, banget, banget sama lo ga," ucap Aurora lembut, di kata 'banget' sengaja penuh tekanan.

"Sayang Tata maksud lo?" Raga tertawa hambar sekilas. Semalam Raga coba menghubungi bunda berkali-kali, boro-boro di balas di angkat saja tidak.

"LO JUGAAAA, jangan mulai deh ga."

"Sayang tapi nolak jadi wali murid sidang khasus kepsek, Ra gue masih anaknya kan?"

Justu saat Auora ingin menjawab lantang, pesan masuk kedalam ponselnya.

Bunda Rai:
Bunda udh bujuk Papa Kale buat pengacaranya jdi juru bicara ke sekolah Raga, R ora jangan kasih tau Raga, ya? do'a kan saja semoga semua lancar nak..

********

"Kak tanggung jawab dong, minta maaf ke ruang kepsek cepetan!" desak adik kelas penggemar Raga berbondong-bondong menghadang Nesya yang baru saja sampai di koridor.

"Iya, kak! enak-enak aja jalan tanpa rasa salah! Kak Raga kan bisa aja keluar!" si anak berbando merah muda sama ngotot.

"Itu juga awal salah lo kak Nesya, sadar diri dong!" lanjut gadis ber-eyeshadow cetar.

Tubuh Nesya diguncangkan sana-sini, minta pertanggung jawaban hingga radar koridor penuh oleh bising teriakan mereka.

"KAAAK!"

"AWAS AJA KALO KAK RAGA BENERAN DIKELUARIN!"

"LO YANG HARUSNYA KELUAR KAK!"

Meski tidak seberibgas pasukan Monica dan Zanika kemarin ini tetap saja menggau ketenangan Nesya hingga mimik datar itu memerah menahan amarah.

"Gue gak salah, gue gak minta Raga buat ngebela," ketus Nesya akhirnya.

"LHO! LHO! MANA ADA SIH MALING NGAKU?" cemooh gadis cardingan cokelat, matanya berputar jengah.

"Ck, males. Jangankan kita, kak Monic sama kak Zanik aja dilawan kan pake asumsi ngaconya itu? mending langsung paksa minta maaf aja!" saran si gadis kawat gigi biru dengan potongan rambut segi layer.

"IYA KAK MINTA MAAF!"

Mulai lagi sesi ricuh.

Nesya mengangkat dagu dan alis selaras, tersenyum kiri. "Cuma pengecut yang milih jalan pintas tunduk padahal bukan salah dia."

"Mulai deh belagunya," cibir salah satu anak. Nesya membuang nafas perlahan.

"YA TERUSS MAU LO SEMUA APA? JADIIIN GUE KAMBING ITEM BIAR RAGA AMAN, ENAK AJA! AWAS DEH LO SEMUA, GAK MANDI GUE DARI KEMARIN!" bentakan dingin Nesya membuat mereka semua mundur sambil ber-ih jijik, itu yang membuat celah Nesya untuk kabur.

Berjalan cepat meninggalkan kerumunan pemuja visual, membalikan sedikit badan lalu melayangkan jari tengah.

"Pijir ku tak kamu sekolah!" seruan Alice senang melihat hadirnya Nesya, tatapan nyalang setiap mata di kelas tertuju pada meja mereka.

Nesya balik menatap lebih tajam. "Apa liat-liat!" dia jadi lebih 'sentimental' tidak peduli mau kembali dikeroyok, soalnya dari rumah sudah membuat pertahanan yang lebih kokoh.

"Kenapa? saya sudah bilang Lis, sekalipun seribu orang bilang salah kalo kita engga salah lawan aja," balas Nesya mengedikan bahu.

Masuk jam pertama mapel kimia, Alice menoleh ke samping temannya itu lima kali menguap sekarang sudah tidur dilipatan tangan.

"Nes! ngunba, eh--bagun!" Alice menggerakkan bahu Nesya bisik-bisik agar tidak menggangu Bu Utami menerangkan.

Respon Nesya keluar ketika penghapus terbang mengenai kepalanya. "NESYA PRINZESSIN, KELUAR KAMU DARI KELAS! SAYA TIDAK TERIMA SISWI PEMALAS!"

Tidak ada kata pembelaan untuk diri sendiri, mengatakan alasan sejujurnya kenapa dia mengantuk.

Melengos ke luar sambil mengusap wajah, hei siapa yang peduli dengan depresi anak dari hasil perselingkuhan mengganggu jam tidur malam?

"Bolos?" sumber suara berat berintonasi rendah nan lembut itu dari laki-laki berumur empat puluhan di depan Nesya yang menenggak. Alis tebalnya bertaut dengan wajah dingin, senyum tipisnya sempurna membuat Nesya termangu.

"Saya, sir?"

Sir. Sebab simpulan awal Nesya beliau seseorang dari luar yang suka memberikan penilaian terhadap sekolah.

"You do."

Poni serta rambut sebahu berantakan, tempat bolos Nesya memang kantin, tidur lelap. "Yess."

"Boleh saya tahu alasannya?"

"Jadi pinter itu terlalu mencolok," jawab Nesya mengarang, si alis tebal terkekeh.

Karangan yang membawanya ke satu momen dimana ia duduk berdua di perpus bersama Raga.

"Lagi ngapain si et dah tugas bio bikin tabel mulu, paling males gue bikin garis-garis gini," grutu Nesya dipaksa Raga untuk menyelesaikan tugas biologi agar tidak dihukum hormat bendera.

"Biar dipisah."

"Bodo."

"Kalo nyatu tapi gak jadian kan gak enak?"

"BODO SUMPAH BODO."

Tergelak Raga ditempatnya, lanjut memperhatikan Nesya menggaris kertas polio. Materi kelas Nesya, sistem otot manusia dan fungsinya, lembar buku paket mulai ia buka satu persatu. "Gak usah ngeliatin, kaya penjaga buku di gramedia lo----eh anjir ni mana sih letak otot jantung."

"Browsing," saran Raga membuat wajah Nesya pongah. "AHAHAHA, lo jujur banget sya?"

Ini yang paling Raga suka dari Nesya, meski IQ-nya tidak tinggi dia selalu mau usaha mencari, tidak mau menyontek (kalau menurutnya bisa dikerjakan sendiri) atau cara instan mencari jalur internet.

"Thanks, gak dulu," tangannya mengibas.

Raga membuka pin ponsel. "Letak otot jantung?"

"Lo ngapain sok-sok-an cari di internet padahal hafal di luar kepala?" kesal Nesya. Raga tertawa sambil menunjukan layar ponsel. Disana terdapat nomer whatsapp-nya yang diberi nama 'otot jantung', setengah mampus Nesya kebingungan.

"Otot jantung punya lurik-lurik kaya otot lurik dan satu-satunya otot yang punya cabang, disebut juga duskus interkalaris. Otot ini sama berkerjanya kaya otot polos yaitu dengan involuntary, letaknya dimana lagi kalo bukan di dinding jantung? otot jantung juga terus kerja meskipun kita engga sadar, dalam artian lain 'tidur atau pingsan'. Jangan lupain juga kalau otot ini  punya peranan penting yang berfungsi  ngebantu jantung mompa darah ke seluruh tubuh," tutur Raga disimak tekun oleh Nesya.

Jika boleh jujur Nesya lebih mengerti Raga yang menjelaskan dari pada Ibu guru, sungguh.

"Dinding jantung?" Nesya memastikan dibalas anggukan Raga.

"Dan lo tau karna sepenting itu gunanya, otot jantung sampe dikasih julukan tersendiri." Raga menaikan satu alis, nada cool-nya menerap dalam jiwa.

"Eh, apa?"

"Istimewa."

"Istimewa? terus..." Nesya melirik ke layar ponsel Raga. "Apa hubungannya sama nama kontak nomer gue---EHHHH JADI GUE IS---"

"Is Dahlia?" lanjut Raga terbahak sebab wajah Nesya semerah kepiting rebus.

Untuk mengalihkan salah tingkah dia menulis jawaban dari Raga, apa-apaan seenaknya membuat jantung berdebar pake acara mikir dulu. Aduh apa begini jatuh cinta pada si bintang sekolah. Ribet.

"Sekarang gue percaya kalo lo emang yang menangin piala-piala besar di kaca lemari kantor itu," ucap Nesya jujur, bertatapan kembali.

"Korelasinya?"

"Jawaban lo. Jadi dulu lo sesempurna apa, ga? dan..." bolpoin Nesya simpan di cuping telinga. "Lo gak kangen masa-masa sempurna itu?"

"Sempurna itu bencana. Hidup di atas eksepatsi tinggi semua orang selalu sukses bikin depresi."

Telak Nesya mengunci mulut.

Balik ke masa sekarang, meja kantin dengan pria berjas biru aroma parfum musk.

"Ya kalau sekolah bolos terus mau jadi apa kedepannya?" tanya si bapak di depan Nesya.

"Jadi diri sendiri. Jadi dokter udah banyak. Guru udah banyak, karyawan udah banyak, PNS lain juga udah banyak, tapi sedikit yang bener-bener udah jadi dirinya sendiri, sir," balas Nesya tersenyum dengan mata sayu, yakin sih dia hanya melindur saja jawab begitu.

"Begitu?"

"Yeahh." Nesya manggut-manggut. "Saya akhirnya tau artii kalimat dari anak yang bapak bela."

"Eh?" wajah datarnya berekspresi tanya. "Ah tentu saja, Raga melakukan itu diluar nalarnya karna kamu...Nesya?"

Kale. Iya, Papanya Auora sekaligus Abangnya Bunda Rai. Dia paling bisa diandalkan. Ini kebetulan saja bertemu dan bercakap-cakap sedikit, ingin tahu gadis apa yang keponakannya amat cinta.

Nesya tersenyum lebar. Perkiraannya tepat sasaran, tidak melesat. "Raga bilang, miliaran orang di bumi pasang topeng di muka mereka, kita gak bakal tau asli dibalik topeng itu apa. Bukan cuma tentang mereka yang menutup luka di hati. Artian lainnya juga, topeng itu dijadiin peran buat jauh dari karakter diri sendiri, karna banyak banget di luar sana yang nyembunyiin jati dirinya di depan keluarga, sahabat, rekan kerja atau orang tua sekalipun? sering tanya apa alesannya? ya, antisipasi dari niat baik palsu sama mulut-mulut tajem yang seenaknya aja ngerendahin."

"Misalnya?"

"Gini...." Nesya menegakan tubuh. "Saya punya mimpi tinggi dalem hidup tapi ketika guru di sekolah tanya saya selalu jawab 'enggak tau' karna yang udah-udah juga, ketika saya lantang menyuarakan mimpi saya, mereka akan menjawab 'wahh, anak haram, hasil di luar nikah alias anak selingkuhan ini emang pantes, emang bisa?' sir... bukannya mimpi itu emang harusnya setinggi langit? tapi karena beberapa keadaan saya harus kubur itu dan merima nasib, tanda kutip, gak bisa jadi diri saya sendiri." Nesya terkekeh kecut, sorotnya merah tiba-tiba.

"Tidak semuanya berpikir seperti itu," ucap Kale setelah sesaat lengang, Nesya yang menunduk kembali mendongkak. Tatapan matanya seolah: lo bilang gitu karna gak ngerasain.

"Tapi saya rasa kamu sudah merasakan itu semua," lanjut Kale, sudut bibir kanan Nesya terangkat. "Mungkin saya memang tidak benar-benar bisa mengerti sepenuhnya, saya cukup berharap kamu bisa menemukan jati diri mu sendiri," diimbuhi senyuman dan tepukan bahu tiga kali, beranjak pergi sebab dua pria berbadan besar jas hitam formal menghampiri.

******

"Kamu dikeroyok siapa? siapa yang berani pukulin kamu? ini kenapa rambutnya berantakan?" pertanyaan merentet dari Achung bernada penuh penekanan namun masih lembut kepada gadis Belanda.

"Tidak pululin itu siapa-siapa, kachung."

"Achung, liss," ralat Achung sabarnya penuh untuk Alice. "Terus kenapa berantakan gini?"

"Itu adalah! Kareunah teman-teman sekelas coba merampas buku PR biology Nesya, saya tolong bantu coba tapi saya malah keruyokan kena," jelas Alice sejujur kejadian yang ada.

Achung menghela, memperbaiki tatan rambut serta bando Alice. "Mending buat sekarang-sekarang jaga jarak dulu sama Nesya, dia sentimental kan?"

"Tidak, tercela tindakan seperti itu, apapun keadannya aku tetap bersama sahabat ku, Nesya anak baik."

"Lis...."

"Ketika saat itu menyebut orang-orang aku aneh dahulu, hanya Nesya tidak ikut-ikut," sela Alice lebih tegas.

Keputusan bijak. Achung menerima meski khawatir akan berdampak lebih parah bila berteman dengan bulan-bulanan bahan bully satu sekolah.

Bunyi resleting tas sekolah bersahutan dengan bunyi denyitan kursi di dorong, seluruh anak kelas XII MIPA 1 sudah menyelesaikan seluruh mata pelajaran hari ini.

"Duluan aja," perintah Nesya pada Alice yang alisnya bertaut tanya. "Ada sedikit urusan."

"Oh begitu ya? ya sudah, hati-hati."

Nesya merapikan poni, terkekeh. "You to."

Tahap pertama memastikan kelas benar-benar kosong, kedua naik ke kursi untuk membuka jendela pojok, dibuka perlahan, mengambil tiga bangku ia lempar ke bawah. Selesai itu, tanpa rasa takut sedikitpun Nesya loncat ke bawah lewat jendela, mendarat sebelah kursi. Menyeringai tipis, merapikan bangku tadi agar tidak ada yang curiga.

Barulah bergegas pulang, berjalan santai melewati koridor, sialnya koridor kelas sepuluh di depan ruangan X MIPA 3 ada segerombolan siswi, membentuk kubu melingkar. Berbisik-bisik saat melihat batang hidung Nesya, dari formasi melingkar keluar lah sang ketua, Monica.

Gadis ular itu berse-hai palsu, Nesya membuang nafas rendah hendak melanjutkan perjalanan, dihadang oleh Zanika yang tiba-tiba melempar hot dog dengan saus yang banyak ke atas kepala Nesya. Cih, balas dendam tiruan.

"Enak banget hidup lo, udah bikin semua ini kacau masih santai aja jalan?" ketus Monica membusungkan dada.

Nesya berdecih diiringi tawa sarkas. "Hidup siapa yang gue bikin kacau? lo semua?" lirikan mata menyapu mereka satu persatu, membidik titik benda-benda branded yang mereka pakai. "Lo semua yang punya orang tua lengkap tumbuh dari hasil cinta? lo semua yang bebas beli apapun pake duit orang tua? lo semua yang gak perlu mikir besok makan pake apa? lo semua yang selalu nyuruh bersyukur di depan manusia yang kalo bisa milih mending gak minta dilahirin?"

Cukup menampar, fakta beredar juga Nesya hanya hidup bersama Major. Tidak ada kehangatan pelukan orang tua apalagi materi yang mencukupi.

"Lo berharap kita kasian?" Zanika bertanya dingin. Tawa lain mengalum setuju.

Tangan kanan Nesya mengambil hot dog di atas kepala, satu tangannya lagi dipergunakan mengetuk pelipis. "Karna lo semua setan sialan gue cuma ngarepin otak kalian berfungsi, karna orang yang punya belas kasih engga mungkin seberengsek lo semua. Stop ngerasa paling tau hidup gue," tegas Nesya lagi-lagi jeda berperan untuk seperkian detik.

Jari tangan Zanika maupun Monica mengepal bengis, apalagi Nesya malah dengan santai menguyah hotdog itu, menghadang yang menghalangi. Santai berjalan sambil mengunyah.

Badannya berbalik. "THANKS FOR HOT DOG!" teriak Nesya, sebagai penutupan ia mengacungkan jari tengah.

Zanika mendengus, cepat mengambil atensi seluruh anak. "KITA HARUS BIKIN DIA GAK BETAH SEKOLAH DISINI!" misinya memperhasut dari mulut ke mulut.

Monica menyilang tangan bersama bibir mengedik acuh. "Liat aja besok."

**********

Nesya pake switer biru mama Jaendra, ehehe


Continue Reading

You'll Also Like

945K 2.9K 19
21+ Ria, seorang ibu tunggal, berjuang mengasuh bayinya dan menghadapi trauma masa lalu. Alex, adik iparnya, jatuh hati padanya, tetapi Sheila, adik...
521K 39.4K 45
"Seru juga. Udah selesai dramanya, sayang?" "You look so scared, baby. What's going on?" "Hai, Lui. Finally, we meet, yeah." "Calm down, L. Mereka cu...
3.4M 212K 45
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...
1M 33.4K 45
-please be wise in reading- ∆ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ∆ Tentang Vanila yang memiliki luka di masalalu dan tentang Vanila yang menjadi korban pelecehan...